BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dikutip dari Suprajitno (2004), anak sekolah adalah anak yang memiliki umur 6 sampai 12 tahun yang masih duduk di sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan sesuai usianya. Sekolah merupakan pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak-anak. Selama mereka menempuh pendidikan formal disekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, termasuk interaksi antara anak dengan pendidikan. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak. Agresivitas adalah perilaku menyerang orang lain baik secara fisik (non verbal) maupun secara kata-kata (lisan/ verbal). Agresivitas pada kanak-kanak ini dapat berupa perilaku seperti memukul, mencubit, menggigit, marahmarah, bahkan mencaci maki (Yusuf, 2002). Perkembangan individu merupakan suatu proses perubahan terus menerus sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Perkembangan ini merupakan perpaduan antara tenaga-tenaga asli dari dalam diri individu dan tenaga dari luar (lingkungan). Kedua tenaga yang disebutkan tadi terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi pada individu, kedua tenaga tersebut dapat 1
2 menjadikan individu itu berkembang dengan lancar tanpa gangguan yang disebut dengan perkembangan positif, atau berkembang dengan penuh gangguan dan disebut dengan perkembangan negatif. Aspek perkembangan pada anak yang perlu distimulasi diantaranya adalah aspek nilai agama moral, bahasa, sosial emosional, kognitif dan fisik. Apabila kelima aspek tersebut tidak di stimulasi secara optimal maka anak akan mengalami suatu hambatan dalam perkembangannya. Lingkungan sangat berpengaruh dalam pencapaian perkembangan anak. Anak yang tidak beradaptasi dengan lingkungannya akan mengalami tekanan tersendiri. Maka anak cenderung akan melakukan hal-hal yang di luar kendalinya. Sehingga anak tidak mampu lagi mengendalikan emosi dalam dirinya. Perilaku agresif adalah bentuk tindakan perilaku bersifat verbal seperti menghina, memaki, marah, dan mengumpat. Sedangkan untuk perilaku agresif non verbal atau bersifat fisik langsung adalah perilaku memukul, mendorong, berkelahi, menendang, dan menampar. Perilaku menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukkan oleh siswa atau individu bisa dikategorikan sebagai perilaku agresif (Itabiliana, 2008). Secara khusus perilaku-perilaku tersebut menunjukan gangguan-ganguan yang disebabkan oleh proses belajar yang tidak semestinya, seperti gangguan mempelajari jenis-jenis kemampuan yang diperlukan seperti mencintai lawan jenis, memiliki konsep diri yang positif, atau terlanjur mempelajari bentukbentuk perilaku yang maladaptif misalnya, anak yang tumbuh menjadi anak agresif karena meniru perilaku orangtua dan tekanan keadaan di dalam
3 keluarga atau lingkungan yang tidak harmonis. Tugas tenaga pendidik adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal yang sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Perilaku agresif dapat dipengaruhi oleh sifat egosentris, yaitu masih sulitnya memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain atau masih sulit berempati. Jadi individu tidak dapat memahami jika ia memukul atau menghina orang lain, orang tersebut akan merasa sakit. Individu juga mudah menjadi agresif jika kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar, menagntuk, atau sakit (Itabiliana, 2008). Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani dapat menimbulkan gangguan proses belajar mengajar dan akan menyebabkan siswa cenderung beradaptasi terhadap kebiasaan buruk tersebut. Berdasarkan pendidikan formal terdapat pola pelayanan yang dapat dilaksanakan oleh guru untuk membantu mengembangkan setiap potensi siswa dan memberikan pencegahan dan pengentasan terhadap perilaku bermasalah yang dilakukan siswa sepertihalnya perilaku agresif. Hubungan yang positif dengan teman sebaya merupakan hal yang penting pada anak usia sekolah. Hubungan dengan teman sebaya dapat membantu dalam mengatasi masalah (Huston & Ripker, dalam Santrock, 2008). Kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan anak usia sekolah baik secara emosional maupun secara sosial.
4 Hasil penelitian dilakukan oleh Elisabeth (2007) menunjukkan nilai bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelatihan keterampilan sosial yang diberikan dapat menurunkan perilaku agresif anak. Hasil penelitian Budi (2009) menunjukkan tidak terdapat perbedaan agresif antara remaja awal dan remaja tengah, nilai F sebesar 0,443 (p> 0,05) Pola asuh authoritarian orangtua mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan agresi. Laela (2010) menunjukkan bahwa program manajemen kemarahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan agresi. Wulandari (2010) membuktikan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan social dengan perilaku agresif. Herawati (2014) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat (dengan nilai rxy= -0,709) dengan p = 0,00 (p< 0,05) antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresif. Pola asuh merupakan cara keluarga membentuk perilaku anak sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Baumrind mengelompokkan pola asuh menjadi 3 tipe, yaitu: demokratis, otoriter, dan permisif. Baumrind dalam Fathi (2010) mengatakan bahwa pola asuh demokratis lebih kondusif dalam mendidik anak. Orang tua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam hal kemandirian dan tanggung jawab. Orang tua yang otoriter cenderung merugikan karena anak tidak mandiri, kurang tanggung jawab, serta agresif, sedangkan orang tua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar rumah.
5 Arkoff dalam Fathi (2010) mengatakan, anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresifitasnya dalam tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang bersifat sementara. Anak yang dididik secara otoriter akan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresifitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan yang merugikan, sedangkan anak yang di didik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan. Saat anak mengalami perilaku agresif, banyak orangtua yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut. Dalam membekali peserta didik dengan pengetahuan etika lingkungan, tentunya akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengetahuan, sikap, tanggung jawab serta aturan-aturan yang mesti dipatuhi oleh peserta didik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Nurjhani (2009) mengatakan pendidikan lingkungan dibutuhkan dan harus diberikan kepada anak sejak dini agar mereka mengerti dan tidak merusak lingkungan. Hal ini dipengaruhi beberapa aspek antara lain :(a) Aspek Kognitif, pendidikan lingkungan hidup mempunyai fungsi untuk meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan lingkungan. (b) Aspek Afektif, pendidikan lingkungan
6 hidup berfungsi meningkatkan penerimaan, penilaian dalam menata kehidupan dalam keselarasan dengan alam. (c) Aspek Psikomotorik, pendidikan lingkungan hidup berperan meniru, memanipulasi dalam upaya meningkatkan budaya mencintai lingkungan. Perilaku agresif bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya merasa kurang diperhatikan, tertekan, pergaulan buruk dan efek dari tayangan kekerasan di media masa. Dampak dari perilaku agresif bisa dilihat dari dampak pelaku dan korban. Dampak dari pelaku, misalnya pelaku akan dijauhi dan tidak disenangi oleh orang lain. Sedangkan dampak dari korban, misalnya timbulnya sakit fisik dan psikis serta kerugian akibat perilaku agresif tersebut. Permasalahan yang ditemukan di lapangan adalah terdapat beberapa siswa di sekolah yang secara sengaja berperilaku agresif seperti memukul dan mencubit temannya, berkata kasar, menghina dan mengejek serta merusak benda milik sekolah dan milik teman-temannya, sehingga menyebabkan sakit fisik seperti memar dan luka bagi yang mendapatkan perlakuan fisik dan sakit hati bagi siswa yang dihina serta rusaknya benda milik sekolah dan milik teman temannya. Perilaku agresif ini tidak hanya dilakukan siswa terhadap temannya saja, namun juga terhadap guru seperti melawan dan mencemooh guru ketika belajar. Hal ini mengakibatkan siswa yang berperilaku agresif dijauhi oleh teman-temannya dan membuat guru-guru tidak senang dengan siswa tersebut.
7 Hasil survey yang dilakukan oleh peneliti dengan observasi dan wawancara dengan guru di MI Al-Hidayah masih banyak anak mengalami perilaku agresif dilihat dari tingkah laku saat bermain dengan temanya seperti memukul, mendorong, berkelahi, menghina, mengucapkan kata-kata kasar, dan marah. Hasil wawancara 7 dari 10 orang tua mengungkapkan anaknya masih sulit diatur dan mudah marah ketika keinginanya tidak terpenuhi bahkan ada juga yang memukul. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah terhadap perilaku agresif pada anak usia sekolah. B. Rumusan Masalah Penelitian Pencegahan perilaku agresif ini sangat tergantung pada pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dan juga faktor lingkungan di sekolah sendiri. Pola asuh orang tua sangat efektif di dalam keluarga terutama Antara orang tua dan anak sangat di perlukan karena kurangnya pola asuh orang tua dapat menyebabkan anak kurang terkontrol dalam kesehariannya dan anak bisa menjadi tidak terarah. Anak mungkin berusaha menarik perhatian orang tua dengan berbagai cara, seperti melakukan tindakan Perilaku agresif dengan bentuk tindakan perilaku bersifat verbal seperti menghina, memaki, marah, dan mengumpat. Sedangkan untuk perilaku agresif non verbal atau bersifat fisik langsung adalah perilaku memukul, mendorong, berkelahi, menendang, dan menampar. Perilaku menyerang, memukul, dan mencubit yang
8 ditunjukkan oleh siswa atau individu bias dikategorikan sebagai perilaku agresif. Oleh karena itu peneliti sangat tertarik untuk menganalisis Adakah hubungan antara pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah terhadap perilaku agresif pada anak usia sekolah?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah dengan perilaku agresif pada anak usia sekolah. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia orang tua, usia anak, jenis kelamin anak, pekerjaan orang tua. b. Mengetahui gambaran pola asuh orang tua kepada anak. c. Mengetahui gambaran faktor lingkungan sekolah terhadap anak. d. Mengetahui gambaran perilaku agresif yang dilakukan oleh anak. e. Menganalisis hubungan antara pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah dengan perilaku agresif pada anak usia sekolah.
9 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perilaku agresif pada anak usia sekolah. Supaya kemudian dapat dikaji kembali mengenai penanganan-penanganan yang seharusnya diberikan kepada anak yang mengalami perilaku agresif. 2. Bagi Orang Tua Dapat memberikan gambaran kepada orang tua untuk menerapkan pola asuh orang tua yang tepat dalam mendidik anak sehingga tidak terjadi perilaku agresif dalam intensitas yang tinggi. 3. Bagi Anak Usia Sekolah Dapat memberikan saran kepada anak agar dapat mengkontrol emosional pada anak usia sekolah sehingga tidak terjadinya peningkatan perilaku agresif. 4. Bagi Institusi Pendidikan Manfaat penelitian bagi sekolah khususnya MI (Madrasah Ibtidaiyah), diharapkan institusi pendidikan dapat memahami hal-hal yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif sehingga diharapkan dapat mengarahkan peserta didiknya untuk dapat mengenali dan mengendalikan emosi anak.
10 E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul hubungan poal asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah terhadap perilaku agresif pada anak usia sekolah belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, ada penelitian sejenis yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Budi A, S. Hafsah (2009) dengan judul penelitian Perilaku Agresif Ditinjau Dari Persepsi Pola Asuh Authoritarian, Asertivitas Dan Tahap Perkembangan Remaja Pada Anak Binaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarja Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan agresif antara remaja awal dan remaja tengah, nilai F sebesar 0,443 (p> 0,05), jadi hipotesis pertama diterima. Hasil analisis hubungan antara Pola asuh authoritarian orangtua mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan agresi, nilai rxy= 0,370 taraf signifikansi p < 0,001, sumbangan efektif 13,5%, jadi hipótesis kedua diterima. Hasil uji hipótesis ketiga didapatkan rxy 0,006 dengan taraf signifikansi p > 0,05, jadi hipotesis ketiga ditolak.. Persamaan pada variable terikat yaitu perilaku agresif. Perbedaan pada variable bebas Penelitian tersebut menggunakan variable persepsi pola asuh authoritarian, asertivitas sedangakan penelitian ini menggunakan pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah. 2. Siddiqah, Laela (2010) dengan judul penelitian Pencegahan dan Penanganan Perilaku Agresif Remaja Melalui Pengelolaan Amarah (Anger Management). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program
11 manajemen kemarahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan agresi peserta [F (1,22) = 6,300, p <0,05, η 2 = 0,06]. Perubahan agresi pada kelompok eksperimen membuktikan bahwa program manajemen kemarahan memiliki arti praktis dan bermanfaat untuk mengurangi agresi di masa muda. Di sisi lain, agresi yang lebih tinggi pada post test pada kelompok kontrol membuktikan bahwa agresi akan meningkat jika tidak ada pengobatan untuk remaja dengan tingkat kemarahan yang tinggi. Persamaan pada variable bebas yaitu pencegahan dan penanganan perilaku agresif. Perbedaan penelitian pada variable terikat. Penelitian tersebut menggunakan pengelolaan amarah sedangkan penelitian ini menggunakan pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah. 3. Wulandari, Pratiwi (2010) dengan judul penelitian Hubungan Antara Kecerdasan Sosial Dengan Perilaku Agresif Pada Siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukan nilai r xy sebesar -0.421 dengan p= 0.001 (p < 0.01) dengan angka tersebut membuktikan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan social dengan perilaku agresif pada siswa SMK Muhammadiyah piyungan Yogyakarta. Persamaan pada variable terikat yaitu perilaku agresif. Perbedaan penelitian pada variable bebas. Penelitian tersebut menggunakan kecerdasan sosial sedangkan penelitian ini menggunakan pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah.
12 4. Herawati, Anna Ayu (2014) dengan judul penelitian Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Agresif Siswa Kelas X TM (Teknik Mesin) SMKN 2 Kota Bengkulu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat (dengan nilai rxy= -0,709) dengan p = 0,00 (p< 0,05) antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresif siswa kelas X TM (Teknik Mesin) SMKN 2 Kota Bengkulu. persamaan penelitian pada variable terikat yaitu perilaku agresif. Perbedaan penelitian pada variable bebas yaitu Kecerdasan Emosional sedangkan penelitian ini adalah menggunakan pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah. 5. Syahadat, Yustisi Maharani (2013) dengan judul penelitian Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Agresif Pada Anak. Hasil penelitian ini di dapatkan yang telah dilakukan pada dua subjek disimpulkan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat menurunkan perilaku agresif pada subjek penelitian ini, yaitu anak kelas V SD, berusia 10 tahun dan melakukan perilaku agresif fisik (menendang, memukul, dan mendorong) serta agresif verbal (mengejek, berteriak-teriak, membentak dan berkata kasar). Persamaan penelitian pada variable terikat yaitu perilaku agresif. Perbedaan penelitian pada variabel bebas yaitu pelatihan regulasi emosi sedangkan pada penelitian ini adalah menggunakan pola asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah.