1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan sampai saat ini masih menjadi problem kesehatan utama karena tingginya morbiditas dan mortalitas (Maggioni, 2005). Angka prevalensi gagal jantung di Amerika dalam setahun ditemukan 5,8 juta orang yang terdiri atas 3,1 juta lakilaki dan 2,7 juta perempuan serta merupakan penyebab frekuensi tertinggi dari hospitalisasi pada pasien usia 65 tahun atau lebih. Insidensi atau kasus baru dalam setahun pada usia lebih sama dengan 45 tahun adalah sebesar 670.000 orang yang terdiri atas 350.000 laki-laki dan 320.000 perempuan. Angka mortalitas akibat gagal jantung juga masih tinggi. Dalam setahun angka mortalitas pada gagal jantung sedang adalah sekitar 26% dan meningkat sekitar 40% pada gagal jantung berat (Göhler et al., 2008). Meskipun dengan terapi medis yang optimal, angka mortalitas tetap tinggi. Di Amerika angka mortalitas dalam setahun dari gagal jantung adalah sebesar 282.754 orang. Angka hospital discharge dari gagal jantung meningkat dari 877.000 di tahun 1996 menjadi sebesar 1.106.000 orang di tahun 2006 (NCHS, 2006). Prognosis dari gagal jantung kurang baik yaitu diperkirakan angka survival 50% dan 10% pada jangka waktu 5 dan 10 tahun. Gagal jantung juga menempati sekitar 30-35 % dari total hospitalisasi (Roger, 2010). Case fatality
2 rates setelah hospitalisasi dari gagal jantung dalam 30 hari adalah 10,4%; sedangkan dalam 1 tahun adalah 22% dan dalam 5 tahun adalah 42,3% (Loehr, 2008). Di Indonesia, penderita gagal jantung yang menjalani rawat inap adalah sebesar 13.396 kasus. Sedangkan untuk yang menjalani rawat jalan sebesar 16.431 kasus. Selain itu gagal jantung memunculkan angka case fatality rate sebesar 13,42% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007). Data kasus tertinggi Penyakit Tidak Menular di Propinsi Jawa Tengah adalah kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah atau penyakit kardiovaskuler seperti jantung, stroke, hipertensi dengan jumlah 833.094 kasus (54,33%). Untuk prevalensi gagal jantung sendiri sebesar 0,14% yang artinya dari 10.000 orang terdapat 14 orang yang menderita gagal jantung (DINKES Provinsi Jawa Tengah, 2009). Biaya yang dikeluarkan untuk manajemen gagal jantung cukup tinggi yaitu sebesar 5,9 % dari total anggaran kesehatan di Amerika (Riley, 2007). National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI, 2007) memperkirakan total biaya dari gagal jantung pada tahun 2010 di Amerika adalah sebesar 39,2 juta dollar dengan direct cost sebesar 35,1 juta dollar. Di negara berkembang, gagal jantung mengkonsumsi antara 1-2% dari total anggaran kesehatan dan dua per tiganya adalah biaya hospitalisasi (McMurray, 1996).
3 Terapi standar yang diberikan untuk gagal jantung berat adalah loop diuretik, ACE inhibitor, digoksin, β blocker atau kombinasinya. Pada dua RCT (CONSENSUS dan SOLVD-Treatment) yang dilakukan pada 2.800 pasien dengan diagnosis gagal jantung ringan ke berat yang diberi enalapril dan plasebo menunjukkan hasil bahwa terapi dengan ACE inhibitor menurunkan risiko kematian (RRR = Relative Risk Reduction) sebesar 27% pada CONSENSUS dan 16% pada SOLVD-Treatment. Selain itu pada SOLVD-Treatment juga menunjukkan RRR sebesar 26% pada hospital admission untuk memburuknya gagal jantung. Keuntungan ini muncul jika digabungkan dengan terapi konvensional (NICE, 2010). Pada sebuah meta analisa terapi menggunakan diuretik menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 75% (OR=0.25, 95% CI 0.07% to 0.84%; p=0.03; ARR 8.2%; NNT=12) dan peningkatan exercise capacity sebesar 63% (OR=0.37, 95% CI 0.1% to 0.64%) (Faris et al., 2002). Incremental cost-effectiveness terapi ACE inhibitor pada AIRE dan HOPE menunjukkan perkiraan sebesar $2,800/YOLS (Year of Life Saved) dan $15,000/YOLS, sedangkan perkiraan terapi seumur hidup sebesar $5,000/YOLS dan 8,500/YOLS. Penelitian yang dilakukan oleh Pitt et al. (1999) pada RALES mendapatkan bahwa diuretik menurunkan hospitalisasi gagal jantung sebanyak 250 (663 versus 413, plasebo versus diuretik). Kemudian penelitian Spannheimer et al. (1998) mendapatkan total cost torasemide dan furosemide adalah DEM 1,502 dan DEM 1,863. Sedangkan cost effectiveness (annual cost per patient with improved NYHA
4 class) adalah DEM 3,954 dan DEM 7,605. Kesemua penelitian tersebut masih membandingkan antara masing-masing obat dengan plasebo. Sedangkan penelitian Spannheimer et al. (1998) masih membandingkan antar diuretik. Oleh karena itu, Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai analisis biaya terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES sehingga hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk studi farmakoekonomi lain. I.2. Perumusan Masalah Bagaimanakah analisis biaya terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES I.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis biaya terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Untuk menghitung biaya terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES.
5 2. Untuk menghitung biaya terapi diuretik tanpa ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES 3. Menghitung effectiveness terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES. 4. Menghitung effectiveness terapi diuretik tanpa ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES. 5. Menghitung Incremental cost effectiveness ratio (ICER) terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor pada pasien gagal jantung peserta ASKES. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian tentang analisis biaya terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor belum pernah diteliti sebelumnya. Namun pada beberapa studi didapatkan bahwa 1. Pada PEP-CHF trial menunjukkan bahwa terapi ACE inhibitor menurunkan rate of heart failure hospitalisation selama 1 tahun sebesar 35% (RR =0.65, 95% CI 0.43 to 0.98) (Cleland et al., 2006). 2. Pada AIRE (Acute Infarction Ramipril Efficacy) menunjukkan bahwa perkiraan incremental cost-effectiveness terapi ACE inhibitor selama studi sebesar $2,800/YOLS dan perkiraan terapi seumur hidup sebesar $5,000/YOLS (Malik et al., 2001).
6 3. Pada HOPE (Heart Outcomes Prevention Evaluation) menunjukkan bahwa perkiraan incremental cost-effectiveness terapi ACE inhibitor selama studi sebesar $15,000/YOLS dan perkiraan terapi seumur hidup sebesar $ 8,500/YOLS (Backhouse et al., 2005). 4. Pada RALES (Randomized Aldactone Evaluation Study) menunjukkan bahwa diuretik menurunkan hospitalisasi gagal jantung sebanyak 250 (663 versus 413, plasebo versus diuretik; p<0.001) (Pitt et al., 1999). 5. Pada penelitian yang dilakukan oleh Spannheimer et al (1998) didapatkan total cost torasemide dan furosemide adalah DEM 1,502 dan DEM 1,863. Sedangkan cost effectiveness (annual cost per patient with improved NYHA class) adalah DEM 3,954 dan DEM 7,605. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan adalah penelitian ini dilakukan dengan menggunakan terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor serta dari perspektif payer dan biaya yang dihitung meliputi biaya pengobatan langsung. I.5. Manfaat Penelitian 1. Untuk perkembangan IPTEKDOK Sebagai sumber referensi dalam penelitian farmakoekonomi pada pasien gagal jantung.
7 2. Untuk Klinisi Sebagai salah satu referensi dalam pemilihan terapi pada pasien gagal jantung. 3. Untuk Masyarakat Mengetahui besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pasien gagal jantung peserta ASKES yang mendapat terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor. 4. Pihak ASKES Mengetahui besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pasien gagal jantung peserta ASKES yang mendapat terapi kombinasi diuretik dengan ACE inhibitor terhadap terapi diuretik tanpa ACE inhibitor maka diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk pihak ASKES dalam membuat kebijakan manajemen pelayanan peserta asuransi yang lebih baik dan efektif sehingga dapat meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.