BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Situasi krisis ekonomi yang tidak kunjung usai mengakibatkan permasalahan sosial di berbagai negara, termasuk Negara Indonesia yang dampaknya di rasakan di wilayah Sumatera Utara salah satunya di kota Medan. Salah satu masalah sosial di kota Medan yang membutuhkan pemecahan segera adalah perkembangan jumlah anak jalanan yang belakangan ini semakin mencemaskan masyarakat. Anak-anak jalanan tersebut membutuhkan perhatian khusus karena tidak hanya rawan terhadap perlakuan buruk bagi diri anak tersebut, tetapi juga memunculkan penyimpangan sosial yang ditimbulkan dari diri anak-anak jalanan itu sendiri. Berdasarkan data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan pada 2010, sekitar 222 anak-anak di kota Medan berada di Jalanan. Jumlah anak-anak jalanan tersebut tersebar di berbagai titik jalan maupun persimpangan kota Medan, seperti Simpang Pos, Pinang Baris, Jalan Aksara, Amplas, Sei Kambing dan Petisah. Fakta yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit dari anak-anak jalanan tersebut yang terlibat dalam kekerasan ataupun korban dari tindakan kriminalitas.(http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=articl e&id=161088:medan-masih-dipenuhi-anak-jalanan&catid=14&itemid=27, diakses 7 Januari 2011, pukul 16:24 WIB).
Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan. Mereka sudah terbiasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, hingga barang dagangan dirampas oleh preman. Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Kekerasan yang sering terjadi pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan menyimpang. Salah satu perilaku yang popular menyimpang adalah ngelem, yang secara harafiah berarti menghirup lem. Istilah ngelem baru dikenal oleh anak jalanan kota Medan pada awal tahun 1996, yang mereka adopsi dari anak jalanan di kota-kota di pulau Jawa. Pengadopsian ngelem itu sendiri dilakukan ketika adanya kegiatan ataupun pertemuan antara anak jalanan kota Medan dengan anak jalanan di kota-kota di Pulau Jawa, yang awalnya ingin tahu dan ingin coba-coba. Selain dengan kegiatan atau pertemuan tersebut, mobilitas dari anak jalanan itu sendiri juga memberikan kontribusi pengetahuan dalam mensosialisasikan ngelem kepada anak jalanan lainnya. Perilaku ngelem tersebut menjadi populer pada tahun 1998 dan hingga saat ini, perilaku tersebut tengah menjadi salah satu fenomena dalam kehidupan masyarakat kota Medan. Adapun lem yang digunakan oleh anak-anak jalanan untuk melakukan aktifitas ngelem tersebut adalah lem plastik, lem perabotan atau lem alat rumah
tangga. Lem ini mengandung bermacam-macam zat kimia yang sangat berbahaya jika dikonsumsi. Di dalamnya terdapat Lysergic Acid Diethyilamide atau LSD dan berbagai macam Volatile Hidrokarbon termasuk diantaranya, toluene aceton, alifatik acetat, benzine, petroleum naftat, perklorethylen, trikloretane, karbontetraklorida. Selain berisi Volatile Hidrokarbon, juga mengandung Diethyleter, Kloroform, Nitrous Oxyda, macam-macam Aerosol, Insektiside. Bahan-bahan ini bersifat menekan sistem susunan saraf pusat (SSP depresstant) yang sebanding dengan efek alkohol meskipun gejalanya berbeda. Umumnya efek akut bahan ini serupa dengan inhalasi ether atau mitrous oxyda (obat anastesi/bius umum) yang berupa euforia ringan, mabuk, pusing kepala tapi masih dapat mengontrol pendapatnya. Sesudah itu ia akan merasa bahwa dirinya tenang, namun pada akhirnya tidak jarang melakukan tindakan anti-sosial dan tindakan impulsif dan agressif. Anak jalanan yang telah ketagihan melakukan kegiatan ngelem akan menghirup aroma lem secara kontiniu sehingga mengakibatkan perubahan emosionalnya. Jika hal ini berkelanjutan maka akan meniimbulkan gejala psikotik akut seperti halusinasi dengan kesadaran berkabut dan amnesia. Kematian bisa terjadi karena kecelakaan akibat hilangnya kesadaran dan kesulitan bernafas sewaktu menghirup lem yang berada di kantong plastik. Sebuah survei yang dilakukan Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) tahun 2002 menunjukkan sekitar 68,7 persen anak jalanan pernah ngelem. Survei itu dilakukan terhadap anak-anak dampingan KKSP yang berada di tiga lokasi, Amplas, Pasar Petisah dan anak-anak di persimpangan Jalan Juanda, Medan. Hasil survei itu menunjukkan, ngelem sudah menjadi sebuah kebiasaan, sehingga menjadi ketergantungan berat. Kenyataann menunjukkan bahwa mereka tidak peduli makan
atau tidak. Kebiasaan ini yang membuat munculnya semboyan, biar tidak makan asalkan ngelem. Selain itu, tidak jarang pula, sebagian besar uang yang mereka peroleh dari hasil banting tulang, mulai dari mengamen, asongan, nyemir hingga pengemis, seluruhnya digunakan hanya untuk ngelem. (http://www.kksp.or.id/id/cetak.php?id=16, diakses 7 Januari 2011, pukul 19:42 WIB). Ngelem dijadikan sebagai pelarian terhadap adanya gangguan karakter pada diri anak, seperti marah, suntuk, kesal dan lain-lain. Tindakan ngelem juga terkadang dijadikan semacam syarat bagi anak untuk diterima dalam pergaulan ataupun komunitas tertentu. Jika tidak ngelem akan dijuluki pengecut atau tidak gaul. Ada semacam tekanan sosio-kultural seperti rasa bangga bila ngelem. Secara fisik ngelem dianggap memungkinkan untuk menghilangkan rasa lapar, kelelahan dan juga rasa sakit terhadap penyakit yang dideritanya. Sementara secara psikis bisa menghilangkan rasa cemas, depresi dan stres. Hal tersebut di atas menjelaskan bahwa ngelem merupakan suatu masalah yang sangat serius karena tidak hanya dapat berakibat buruk bagi kesehatan, tetapi juga menimbulkan penyimpangan sosial dan masalah sosial bagi kehidupan anakanak jalanan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat luas, khususnya di kota Medan. Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti memilih topik permasalahan perilaku ngelem pada anak jalanan. Penelitian ini diharapkan dapat mengkaji masalah anak jalanan yang terlibat dalam perilaku ngelem serta menjawab faktor
penyebab munculnya kebiasaan perilaku ngelem tersebut pada anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Mengapa anak jalanan cenderung melakukan perilaku ngelem? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab: 1.3.1.1 Masalah anak jalanan 1.3.1.2 Penyebab anak jalanan cenderung melakukan perilaku ngelem 1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa khususnya mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi ilmu sosial, masyarakat maupun pemerintah. 1.3.2.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang perilaku ngelem pada
anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang 1.4 Definisi Konsep 1.4.1 Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan, berusia antara 5 sampai dengan 17 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan dan umumnya memiliki penampilan yang tidak terurus. Dalam penelitian ini anak jalanan yang diteliti adalah anak jalanan yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarga maupun yang telah memutuskan hubungan dengan keluarganya. 1.4.2 Ngelem merupakan suatu kegiatan menghirup aroma lem plastik atau lem perabotan alat rumah tangga yang terbuat dari bahan plastik secara berkelanjutan sehingga berpengaruh pada emosional pemakainya. 1.4.3 Perilaku adalah suatu tindakan atau aktifitas yang dilakukan akibat rangsangan dari lingkungannya dan dapat diamati secara langsung. Dalam hal ini yang dimaksud adalah perilaku anak jalanan yang tampak sebagai akibat dari aktifitas mereka sebagai penghisap lem. 1.4.4 Keluarga adalah orang yang pernah mengasuh, mendidik dan merawat si anak hingga anak tersebut berada di jalanan dan diakui anak tersebut sebagai keluarga.
1.4.5 Penyimpangan sosial merupakan segala bentuk tingkah laku anak jalanan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan bersifat tidak dikehendaki oleh orang banyak karena dapat dianggap berbahaya, merugikan dan mengganggu kesejahteraan masyarakat. Penyimpangan sosial yang dilakukan anak jalanan adalah perilaku ngelem maupun perilaku-perilaku lainnya yang tidak sesuai norma yang ditimbulkan oleh anak-anak jalanan pelaku ngelem. 1.4.6 Teman sebaya merupakan anak-anak jalanan yang dalam aktifitasnya memiliki kebiasaan yang sama di jalanan dan berada di sekitar anak jalanan di Jalan Ngumban Surbakti yang juga melakukan kegiatan ngelem. 1.4.7 Sosialisasi anak merupakan proses pengajaran terhadap diri seorang anak yang diperoleh dari keluarganya maupun lingkungan sekitarnya dimana ia hidup dan berkembang