INUNG ISMI SETYOWATI B

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

Transkripsi:

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun oleh: INUNG ISMI SETYOWATI B 200 060 038 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan umum di UU Otonomi Daerah No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah menggantikan UU No. 22 tahun 1999. Pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, dimulai secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi yang sesungguhnya. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah (Sidik et al, 2002 dalam Maimunah, 2006). Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk propinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 dan UU 32/2004 melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Adapun eksekutif sebagai pelaksana operasionalisasi daerah berkewajiban membuat

draft/rancangan APBD, yang hanya bisa diimplementasikan kalau sudah disahkan oleh DPRD dalam proses ratifikasi anggaran (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan diberbagai sektor terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya serius (pemerintah) dengan memberikan berbagai fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Desentralisasi fiskal disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda (Harianto dan Adi, 2007). Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tidak akan memberikan arti apabila tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Brata (2004) dalam Harianto dan Adi (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Kedua komponen tersebut adalah PAD dan Bagian Sumbangan & Bantuan. Namun demikian, belum mencakup periode setelah otonomi daerah sehingga hubungan PAD dan Pertumbuhan ekonomi dapat saja mengarah ke hubungan negatif jika daerah terlalu ofensif dalam upaya peningkatan penerimaan daerahnya.

Di dalam UU No. 25/1999 ditegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemda, Pempus akan mentransfer dana perimbangan, yang terdiri dari DAU, Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Bagian daerah dari Bagi hasil pajak dan bukan pajak, Pemda memiliki sumber pendanaan sendiri berupa PAD, pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemda. Seharusnya dana transfer dari Pempus diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemda untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula dilakukan secara transparan dan akuntabel (Abdullah dan Halim, 2003). Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antarpemerintahan dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah (Prakosa, 2004). Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, pemerintah memberikan dana perimbangan dan salah satu komponen dana ini yang memberikan kontribusi terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Dalam beberapa tahun berjalan, proporsi DAU terhadap peneriman daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk PAD (Adi, 2006) Hal ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat ini. Namun demikian, dalam jangka panjang, ketergantungan semacam ini harus menjadi semakin kecil. Berbagai investasi yang dilakukan pemerintah daerah diharapkan

memberikan hasil positif yang tercermin dalam peningkatan PAD (Harianto dan Adi, 2007). Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah (pemda) setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Kesinambungan pembangunan daerah relatif lebih terjamin ketika publik memberikan tingkat dukungan yang tinggi (Mardiasmo, 2002 dalam Adi, 2006). Perubahan alokasi belanja ini juga ditujukan untuk pembangunan berbagai fasilitas modal. Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai aktivitas peningkatan perekonomian, salah satunya dengan membuka kesempatan berinvestasi. Pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dilakukan untuk meningkatkan daya tarik investasi ini. Pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas ini akan berujung pada peningkatan kemandirian daerah (Wong, 2004 dalam Adi, 2006). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik

untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Saragih (2003) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Stine (1994) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengaloksikan belanja untuk berbagai kepentingan publik. Pada dasarnya penelitian ini mereplikasi dari penelitian Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) dengan waktu, obyek yang berbeda namun variabel dan alat analisis yang digunakan adalah sama. Penelitian ini berusaha ingin mengetahui apakah pertumbuhan ekonomi, perdapatan asli daerah dan dana alokasi umum berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka judul penelitian ini adalah: Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (studi empiris pada pemerintah daerah kabupaten/kota Se Jawa Tengah periode 2006-2007). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap anggaran belanja modal. 2. Apakah pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh terhadap anggaran belanja modal. 3. Apakah dana alokasi umum (DAU) berpengaruh terhadap anggaran belanja modal. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap anggaran belanja modal 2. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh pendapatan asli daerah (PAD) terhadap anggaran belanja modal. 3. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh dana alokasi umum (DAU) terhadap anggaran belanja modal. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Memberikan masukan baik bagi Pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang akan datang yang berkaitan dengan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi dari APBN dan APBD, serta UU dan PP yang menyertainya.

2. Bagi Dunia Pendidikan Memberi kontribusi teori sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi peneliti-peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini. E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dalam penelitian ini, maka penulis membaginya kedalam lima bab berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab kedua ini akan menganalisis beberapa landasan teori yang digunakan sebagai pondasi dalam penelitian ini dan dalam merumuskan hipotesis. Selain landasan teori, bab ini menuliskan beberapa penelitian terdahulu yang masih terkait dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Keterangan mengenai kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian dan beberapa hipotesis yang telah dirumuskan juga turut disertakan dalam bab ini. BAB III METODE PENELITIAN Bab ketiga dalam skripsi ini akan menjelaskan metode penelitian yang terdiri dari: jenis penelitian,obyek penelitian, sampel dan data, variabel penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi tentang uraian secara rinci mengenai langkah langkah analisis data dan hasilnya serta pembahasan hasil yang diperoleh. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan penelitian, keterbatasan, dan saran-saran yang perlu disampaikan.