BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman banyak perubahan yang terjadi, salah satunya adalah perubahan dalam pandangan orang dewasa mengenai pernikahan. Hal ini didukung oleh DeGenova (2008) yang mengatakan pernikahan dan parenthood telah mengalami berbagai perubahan dalam beberapa dekade terakhir yang terlihat dari adanya pergeseran rata-rata usia menikah pertama dan perubahan pandangan individu mengenai pernikahan itu sendiri. Pada generasi sebelumnya, salah satu alasan individu memilih menikah adalah untuk lebih membentuk identitasnya sebagai orang dewasa. Hal ini dijelaskan oleh Arnett (2004) yang mengatakan adanya perubahan besar dalam cara orang dewasa awal memandang arti dan nilai tentang menjadi dewasa dan menjalankan peran sebagai orang dewasa dan sebagai orang tua, pada generasi terdahulu mencapai stabilitas pernikahan dan memiliki anak tampak seperti prestasi bagi mereka. Sementara itu, pada generasi sekarang, terutama pada wanita, pandangan mengenai pernikahan telah berubah karena adanya keinginan untuk mencari identitas mereka sendiri yang terpisah dari identitas pernikahan, juga untuk menemukan pemenuhan pendidikan dan karir serta kemandirian ekonomi (DeGenova, 2008). Adanya keinginan untuk pemenuhan pendidikan, karir, dan kemandirian ekonomi sebelum memasuki dunia pernikahan pada dewasa awal ini, menurut Arnett (2000) banyak terjadi di kota-kota besar. Perubahan pandangan bahwa pernikahan bukan lagi hal yang dapat membentuk identitas seseorang sebagai orang dewasa ini juga terlihat dari terjadinya peningkatan rata-rata usia menikah pertama di dunia. Biro sensus di Amerika (Lehrer & Chen, 2012) mencatat pada tahun 1950-1960 rata-rata usia menikah pada wanita dan pria adalah 20 dan 23 tahun, sementara pada tahun 2010 usia rata-rata menikah adalah 26 tahun untuk wanita dan 28 tahun untuk pria. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) melalui lembaga kependudukan BKKBN, mencatat adanya pergeseran usia pernikahan pertama di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta (BKKBN, 2010). Pada tahun 2003, rata-rata usia 1
2 menikah pertama di Indonesia adalah usia 19 tahun, sedangkan pada tahun 2010 adalah usia 22 hingga 25 tahun, baik dalam jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Adanya peningkatan usia nikah pertama ini juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Sa diyah (2003) pada mahasiswi yang belum menikah di Jogjakarta. Dalam penelitian dengan 200 orang partisipan usia 22-25 tahun, diketahui sebanyak 97 orang memiliki intensi yang tinggi dalam menunda usia pernikahan dan 49 orang memiliki intensi yang sangat tinggi dalam menunda usia pernikahan. Banyaknya partisipan yang memiliki intensi untuk menunda usia menikah sampai usia yang lebih tinggi dikarenakan adanya manfaat-manfaat yang akan didapat dari hal tersebut. Adanya manfaat dari menunda usia menikah inilah yang dirasa para partisipan akan membuat pernikahan mereka sukses dan bahagia (Sa diyah, 2003). Dari hasil survey yang peneliti lakukan, diperoleh kesimpulan bahwa keseluruhan responden memiliki pandangan positif mengenai pernikahan. Survey kecil ini dilakukan tanggal 1 Mei 8 Mei 2015, kepada 30 orang emerging adult laki-laki dan perempuan yang belum menikah tetapi sudah memiliki pasangan, usia 18-29 tahun di Jakarta. Dari hasil survey diketahui sebagian besar dari responden menyatakan bahwa pernikahan merupakan suatu kewajiban dan sakral. Beberapa responden masih memiliki pandangan mengenai pernikahan didasarkan pada nilai-nilai agama yang mereka anut. Sebagian lainnya menyatakan bahwa pernikahan merupakan komitmen jangka panjang kepada pasangannya dan akan dilakukan sekali seumur hidup. Para emerging adult tersebut menganggap pernikahan sebagai hal yang dapat memberi keuntungan, seperti mendapatkan kebahagian, kesejahteraan, memiliki teman hidup untuk berbagi suka dan duka, memiliki keturunan dan pernikahan dianggap sebagai ikatan yang dapat menjadikan mereka lebih dewasa. Adapun responden yang memiliki pendapat bahwa pernikahan memberikan kerugian dalam hidup mereka hanya berdasarkan alasan bahwa pernikahan akan memberikan batasan-batasan yang tidak ada pada saat mereka berstatus belum menikah, seperti batasan waktu luang dan karir. Terdapat hal menarik terkait pertanyaan mengenai kerugian yang mungkin ditimbulkan dari pernikahan, dimana sekitar 10 orang responden menyatakan bahwa pernikahan tidak memiliki kerugian apapun ketika nanti dijalani. Dari pemaparan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
3 sebagian besar emerging adult yang berpacaran di Jakarta memiliki sikap positif terhadap pernikahan. Sikap positif terhadap pernikahan yang didalamnya berisikan keyakinan bahwa sebuah pernikahan akan sukses dan bahagia bahkan terlihat pada dewasa muda yang orang tuanya bercerai. Hal tersebut didapat dari penelitian Sapoetro (2009) yang menunjukan hasil bahwa individu pada dewasa awal yang orang tuanya bercerai memiliki sikap positif terhadap pernikahan. Terlepas dari adanya perubahan pandangan mengenai pernikahan dan peningkatan usia nikah pertama yang telah dipaparkan di atas, emerging adult saat ini, khususnya di Indonesia tetap memiliki harapan agar pernikahannya sukses dan bahagia. Adanya harapan untuk memiliki pernikahan yang akan sukses dan bahagia tersebut merupakan salah satu bentuk sikap seseorang terhadap pernikahan atau attitude toward marriage. Sikap terhadap pernikahan adalah opini individu mengenai pernikahan sebagai sebuah institusi (Braaten & Rosen, 1998). Sementara itu, Klein (2005) mendefinisikan sikap terhadap pernikahan sebagai opini subjektif individu mengenai lembaga pernikahan yang didalamnya melibatkan pandangan global tentang apakah nantinya seseorang harus menikah atau tidak harus menikah, kepuasan dalam hubungan pernikahan, kelanggengan pernikahan dan perasaan yang ditimbulkan terhadap pernikahan dan konflik peran di dalam hubungan pernikahan. Terdapat dua sikap terhadap pernikahan, yaitu positif dan negatif (Braaten & Rosen, dalam Mosko & Pistole, 2010). Sikap terhadap pernikahan yang positif merepresentasikan kepercayaan bahwa suatu pernikahan akan sukses dan bahagia (Braaten & Rosen, 1998). Individu yang memiliki sikap positif terhadap pernikahan memiliki beberapa pandangan mengenai pernikahan yaitu meyakini bahwa pernikahan merupakan satu-satunya jalan yang mengesahkan hubungan seksual antara pria dan wanita, meyakini pernikahan merupakan ajaran agama yang sakral (suci) dan tidak boleh dilanggar, mau mempelajari hal-hal mengenai pernikahan, dan mau mempersiapkan diri untuk menempuh jenjang pernikahan (Agustin, 2013). Sedangkan, sikap negatif terhadap pernikahan merepresentasikan kepercayaan bahwa pernikahan hanyalah sebagai sebuah perjanjian legal atau kontrak (Braaten & Rosen, 1998). Individu yang memiliki sikap negatif terhadap pernikahan memiliki keragu-raguan, kecemasan, dan perasaan tidak aman terhadap hubungan intim dimana hal tersebut
4 terlihat dari sikap dan perasaan negatif mereka terhadap hubungan intim, terutama pernikahan (Larson et al, 1998). Dari penjelasan mengenai sikap terhadap pernikahan, diketahui bahwa sikap terhadap pernikahan merupakan hal yang berisikan pandangan positif atau negatif yang seseorang miliki dalam melihat pernikahan sebagai suatu institusi dimana itu merupakan suatu hal yang dapat membentuk ekspektasi pernikahan, mengarahkan individu untuk menikah atau tidak, dan juga sebagai salah satu hal yang mempengaruhi individu dalam mempertimbangkan siapa orang yang akan dinikahinya kelak (Larson & Thayne, dalam Mosko & Pistole, 2010). Sikap terhadap pernikahan sudah terbentuk dan lebih stabil pada masa emerging adult (Willoughby, Carrol, Vitas, & Hill, 2011). Pada masa ini individu tengah mengalami masa transisi dari remaja menuju dewasa, dimana masa dewasa identik dengan masuknya seseorang ke dalam dunia pernikahan (Lahey, 2005). Lebih lanjut, Willoughby, Carrol, Vitas, dan Hill (2011) mengungkapkan bahwa berbagai jenis hubungan jangka panjang dan pembentukan sikap terhadap pernikahan merupakan halhal yang menjadi karakteristik emerging adult. Individu pada masa ini sudah mulai memikirkan mengenai dunia pernikahan karena telah dihadapkan pada pilihan apakah ia harus membangun sebuah rumah tangga, menunda atau sama sekali tidak membangun rumah tangga (Arnett, 2006). Jika dilihat dari teori perkembangan yang diungkapkan oleh Erik Erikson (dalam Lahey, 2005), individu pada masa dewasa awal ada di tahap perkembangan dimana ia ingin memiliki hubungan dengan orang lain dan ditandai dengan adanya hubungan spesial atau hubungan romantis dengan orang lain untuk memperlihatkan kelekatan dan kedekatan dengan orang lain (keintiman). Satu hal yang menjadi kunci utama seseorang mendapat intimasi adalah dengan melalui hubungan jangka panjang dengan kekasihnya, bahkan melalui bentuk pernikahan (King, 2014). Emerging adult dalam rentang usia 18-29 tahun memiliki beberapa karakteristik, salah satunya adalah eksplorasi identitas khususnya dalam percintaan (Arnett, 2000). Eksplorasi dalam hal percintaan yang dimaksud adalah dimana individu mulai mencari pasangan hidup yang benar-benar cocok dengannya dan belajar untuk mencurahkan dirinya dalam hubungan yang lebih serius. Individu lebih memilih menjalani hubungan pacaran yang memiliki tujuan yang pasti atau yang mengarah ke pernikahan daripada hubungan pacaran yang sekadar untuk main-main (Arnett, 2004).
5 Menurut Blood (dalam Sari, 2014), menemukan pasangan yang tepat dan mengembangkan hubungan personal adalah dua langkah awal menuju pernikahan dimana salah satu bentuk perwujudan kedua langkah tersebut adalah berpacaran. Pada saat berpacaran, pasangan mengembangkan berbagai pengetahuan tentang pasangannya dan perbedaan di antara keduanya serta kemampuan interpersonal yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan pernikahan, khususnya untuk menyesuaikan diri di masa awal pernikahan. Status berpacaran juga memiliki keterkaitan dengan sikap seseorang terhadap pernikahan, karena dalam proses pacaran seseorang mulai membentuk ekspektasi mengenai pernikahan seperti apa yang akan ia dan pasangannya miliki kelak dimana hal tersebut akan membentuk sikap terhadap pernikahan (Scott, Schelar, Manlove, & Cui, 2008). Sikap terhadap pernikahan yang merupakan hasil evaluasi seseorang mengenai pernikahan sebagai suatu institusi akan menimbulkan keyakinan dan ekspektasi mengenai seperti apa pernikahannya kelak (Riggio & Weiser, 2008). Sikap ini juga yang nantinya akan mengarahkan individu dalam berperilaku guna mewujudkan harapannya tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Johnson (2009) disebutkan bahwa sikap terhadap pernikahan yang berisikan kepercayaan mengenai pernikahan adalah hal yang nantinya akan membuat seseorang memiliki kemampuan untuk mempertahankan pernikahan yang sukses. Riggio dan Weiser (2008) menjelaskan bahwa sikap positif terhadap pernikahan akan mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan pasangannya. Hal ini terlihat dari tindakan individu tersebut dalam berjuang untuk untuk menghindari perpecahan atau mempertahankan kualitas hubungannya. Sementara sikap negatif terhadap pernikahan akan mempengaruhi kurangnya komitmen dan kemampuan seseorang dalam mempertahankan sebuah hubungan romantis. Kemampuan dalam hubungan romantis atau relationship skills ini, menurut Epstein (2005) merupakan keterampilan seseorang dalam sebuah hubungan yang bertujuan untuk meningkatkan kelanggengan, meningkatkan kepuasan, dan mengurangi konflik dalam sebuah hubungan, dimana hal-hal tersebut akan berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah hubungan. Salah satu relationship skills yang paling ampuh dalam kesuksesan sebuah hubungan romantis adalah pengetahuan tentang pasangan atau knowledge of partner (Epstein, 2013).
6 Pengetahuan tentang pasangan dijelaskan oleh Showes dan Zeigler-Hill (2004, dalam Epstein, 2013) tentang bagaimana individu dapat mendeskripsikan pasangannya secara tepat. Menurut Gainey (2012) pengetahuan tentang pasangan adalah bagaimana orang mengorganisasikan pikiran tentang pasangan romantis mereka saat ini. Terdapat tiga kriteria yang menggambarkan tingkat pengetahuan terhadap pasangan yang dijelaskan oleh Epstein (2005), yaitu knowing how to having fun with one s partner, knowing about his/her preferences, dan caring abour one s partner s hopes and dream. Dari penjelasan mengenai pengetahuan tentang pasangan dapat terlihat bahwa pengetahuan tentang pasangan merupakan sebuah kompetensi atau keterampilan seseorang untuk mengetahui sejauh mana ia dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pasangannya. Pengetahuan tentang pasangan sebelum menikah dapat seseorang miliki melalui proses pacaran karena pacaran merupakan proses dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengetahui satu sama lain (DeGenova & Rice, 2005). Dari adanya serangkaian aktivitas bersama untuk dapat mengetahui berbagai hal mengenai pasangan inilah yang dapat membentuk sikap seseorang terhadap pernikahan (Fincham & Bradbury, dalam Riggio & Weiser, 2008). Ketika individu memiliki pengalaman buruk dalam hubungan romantisnya yang terdahulu, kemungkinan akan membuat individu tersebut memiliki ketakutan dengan hubungan romantis, termasuk pernikahan. Begitupun sebaliknya, ketika individu memiliki pengalaman baik dalam hubungan romantisnya terdahulu mungkin akan membuat individu tersebut memiliki pandangan positif mengenai pernikahan (Fincham, Stanley & Rhoades, 2010). Menurut Johnson (2009), semakin banyak seseorang memiliki pengalaman dalam hubungan romantis, semakin memperluas keyakinannya terhadap pernikahan. Dengan kata lain, pengalaman dalam hubungan romantis, buruk maupun baik inilah yang akan membentuk sikap positif ataupun negatif mengenai pernikahan. Selain adanya pengalaman dalam hubungan romantis yang dimiliki seseorang, lamanya waktu dalam menjalin hubungan romantis atau pacaran juga memiliki keterkaitan dengan pengetahuan tentang pasangan. Penelitian yang dilakukan oleh Martin (2012) di Amerika mengenai pasangan yang menjalin hubungan pacaran mengungkapkan dewasa muda pada zaman sekarang cenderung untuk memperpanjang
7 waktu dalam proses pacaran sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Hal tersebut dikarenakan, dengan adanya perpanjangan waktu, pasangan jadi lebih mengenal satu sama lain dan mengurangi ketidakpastian satu sama lain sehingga nantinya dapat menemukan pasangan hidup yang sangat kompatibel. Lama masa pacaran normal dimulai dari enam bulan sampai tiga tahun. Kurang dari waktu tersebut, pasangan terbilang terlalu dini untuk menikah karena belum mengembangkan pengetahuan mengenai pasangannya, baik mengenal karakteristik kepribadian masingmasing maupun latar belakang dan karakter keluarga pasangannya (Putranto, 2012). Berdasarkan pemaparan di atas, terlepas dari adanya perubahan pandangan mengenai institusi pernikahan dan peningkatan usia nikah pertama, emerging adult tetap memiliki harapan yang tinggi dalam pernikahan. Hal tersebut terlihat dari beberapa fakta yang disajikan sebelumnya dimana dapat diketahui bahwa sikap terhadap pernikahan terlihat positif pada emerging adult saat ini. Adanya fakta mengenai sikap terhadap pernikahan pada emerging adult inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui faktor lain terkait sikap terhadap pernikahan seperti perilaku dalam hubungan romantis. Hal ini didasari oleh penelitian Riggio dan Weiser (2008) yang menyatakan untuk penelitian selanjutnya, disarankan meneliti perilaku spesifik dalam hubungan romantis yang memiliki keterkaitan dengan sikap terhadap pernikahan karena sikap positif atau negatif terhadap pernikahan yang dimiliki seseorang mungkin akan mengarahkan aksi dan reaksinya dalam hubungan romantis. Salah satu perilaku dalam hubungan romantis yang memiliki kaitan dengan sikap terhadap pernikahan adalah relationship skills pengetahuan tentang pasangan. Menurut Epstein (2013), relationship skills yang paling penting dalam sebuah hubungan romantis adalah pengetahuan tentang pasangan. Pemilihan variabel sikap terhadap pernikahan juga dikarenakan masih sedikitnya penelitian mengenai sikap terhadap pernikahan di Indonesia, padahal variabel ini merupakan hal kuat yang dapat memprediksi hasil hubungan seseorang nantinya (Willoughby, 2015) dan juga sebagai hal yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mempertahankan pernikahan yang sukses (Johnson, 2009). Sementara pemilihan variabel kedua, yaitu pengetahuan tentang pasangan merupakan salah satu hal penting dalam suatu hubungan. Hal tersebut dikarenakan relationship skill pengetahuan
8 tentang pasangan diduga lebih mudah dipelajari dan dikuasai oleh orang-orang dibanding dengan keterampilan-keterampilan yang lain (Epstein, 2013). Dengan melihat dinamika antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult usia 18 sampai 29 tahun yang berpacaran lebih dari enam bulan di Jakarta. Adanya hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan ini didasari pada studi literatur yang dilakukan oleh Johnson (2009). Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa sikap terhadap pernikahan dapat membuat seseorang memiliki relationship skills. Namun, belum diketahui relationship skills mana yang memiliki hubungan dengan sikap terhadap pernikahan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengambil variabel pengetahuan tentang pasangan karena menurut Epstein (2013), variabel ini merupakan kemampuan yang tidak diduga muncul sebagai hal kuat dalam kesuksesan suatu hubungan. Pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini, peneliti menggunakan dua alat ukur yaitu Marital Attitude Scale (MAS) yang dikembangkan oleh Braaten & Rosen (1998) untuk mengukur favorable sikap terhadap pernikahan. Sementara itu, variabel pengetahuan tentang pasangan diukur menggunakan dimensi knowledge of partner dari Epstein Love Competencies Inventories (ELCI). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan diatas, masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult di Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban dalam bentuk data empiris guna menjawab pertanyaan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult di Jakarta.