BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) telah berkembang dengan pesat dan memegang peranan penting dalam kekuatan perekonomian di Indonesia. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syariefuddin Hasan, mengatakan jumlah usaha UMKM di Indonesia mencapai sekitar 56,5 juta. Jumlah tersebut meningkat dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusi koperasi dan UMKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah 56% (www.depkop.go.id, 2013). Namun, meningkatnya jumlah UMKM tidak diiringi dengan meningkatnya penerimaan pajak dari sektor UMKM. Menurut Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syariefuddin Hasan, kontribusi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah terhadap penerimaan nasional sangat besar karena mencapai 56,5%. Akan tetapi, kontribusinya terhadap penerimaan pajak sangat kecil, sebesar 0,5%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 24.096.816 unit, namun yang terdaftar memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya sebesar 217.248 unit. Untuk itu, diperlukan upaya meningkatkan tax compliance UMKM (www.depkop.go.id, 2013). Untuk itu, pemerintah memutar otak mencari cara bagaimana sektor UMKM yang terus berkembang pesat dan mendominasi perekonomian di Indonesia dapat turut serta memberikan kontribusinya untuk negara. Oleh karena itu, pemungutan pajak menjadi alternatif yang dipilih oleh pemerintah. Menurut Undang- 1
2 Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 angka 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat. Pada awal bulan Juli tahun lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juli 2013, pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan baru di bidang perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Memiliki Peredaran Tertentu yang berlaku efektif tanggal 1 Juli 2013 dengan tarif sebesar 1% dari jumlah keseluruhan peredaran bruto atau omzet. Walaupun dalam Peraturan PemerintahNomor 46 Tahun 2013 tersebut UMKM tidak disebutkan secara gamblang, namun penyebutan Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak secara tidak langsung menyinggung para pelaku UMKM. Dengan adanya pemungutan pajak dengan tarif 1%, pemerintah menyatakan bahwa ini sebagai bukti keberpihakan pemerintah terhadap pelaku UMKM. Karena dengan adanya pajak ini maka akan mendorong pelaku UMKM untuk melakukan pembukuan dengan baik dan benar, sebab pemungutan pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini berdasarkan omzet tahun pajak sebelumnya. Sehingga secara tidak langsung akan menuntut pelaku UMKM untuk melakukan pencatatan atau pembukuan yang baik karena nantinya akan digunakan sebagai dasar pengenaan pajaknya. Suhairi dan Wahdini (2006);
3 Raharjo dan Ali (1993); Benjamin (1990); Muntoro (1990) dalam Mutiara Mutiah et al. (2011: 2) menyatakan bahwa beberapa penelitian tentang praktek akuntansi keuangan pada UMKM menunjukkan bahwa masih rendah dan memiliki banyak kelemahan. Di lain pihak, pemberlakuan pajak 1% ini dinilai akan semakin membebani pelaku UMKM karena dinilai tak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Apalagi jika pelaku UMKM tersebut mengalami kerugian, mau tidak mau mereka tetap wajib membayar pajaknya karena pada peraturan ini yang menjadi dasar perhitungan adalah omzet bukan keuntungan yang diperoleh. Hal ini seperti yang diutarakan oleh perajin batik asal Sragen, Jawa Tengah, Rohman Nugroho yang mengeluhkan kebijakan pemerintah memungut pajak sebesar 1% bagi pelaku UMKM yang dikutip melalui situs www.detik.com, sebagai berikut: "Kita keberatan dengan penarikan pajak 1% dari omzet. Itu memang kebijakan tapi 1% terlalu besar, harus dilihat dari keuntungan berapa bukan omzet, kan margin kita belum tentu segede itu," kata Nugroho saat ditemui detikfinance di Pameran Produk Dalam Negeri 2013, di JCC Senayan, Minggu (22/9/2013). Selain itu, pajak dengan tarif 1% ini dinilai akan membebani pelaku UMKM dalam hal pengadministrasian oleh Wajib Pajak UMKM itu sendiri. Sehingga hal ini juga akan membebani pemerintah, khususnya pegawai pajak atau fiskus, dalam hal memberikan sosialisasi. Karena tidak semua Wajib Pajak UMKM paham akan pengimplementasian administrasi perpajakan yang baik dan benar, seperti yang telah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa Wajib Pajak
4 UMKM sudah mengetahui substansi pajak, namun belum sampai pada tahap pengimplementasiannya dengan benar (Mutiah et al., 2011). Dengan berbagai permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 akan menjadi suatu isu baru yang patut untuk diteliti lebih lanjut terkait pelaksanannya sebelum dan sesudah adanya peraturan ini berlaku dikalangan pelaku UMKM. Pelaksanaan yang dimaksud adalah terkait dengan kesadaran pelaku UMKM itu sendiri akan kepatuhan pajaknya dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 Juli 2013. Selain menggunakan pedekatan kesadaran, penelitian ini juga menggunakan pendekatan keadilan untuk melihat lebih jauh asas keadilan atas diberlakukannya peraturan ini menurut pihak pelaku UMKM sebagai pembayar pajak. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul Kepatuhan Pajak dengan Pendekatan Kesadaran dan Keadilan (Studi Kasus pada Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Surabaya). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut ini: Bagaimana kepatuhan pajak dengan menggunakan pendekatan kesadaran dan keadilan?
5 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui bagaimana kesadaran Wajib Pajak UMKM terhadap penerapan PP No. 46 Tahun 2013. 2. Untuk mengetahui bagaimana keadilan yang dirasakan Wajib Pajak UMKM yang menggunakan PP No. 46 Tahun 2013 dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Kontribusi teoritis a. Sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai kepatuhan pajak dengan menggunakan pendekatan kesadaran dan keadilan yang merupakan studi pada Wajib Pajak usaha mikro, kecil, dan menengah di Surabaya. b. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti lain yang mempunyai ide atau tema yang sama dengan penelitian ini. 2. Kontribusi praktis a. Sebagai sarana penerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama bangku kuliah yang disandingkan dengan fenomena yang sedang terjadi saat ini. b. Sebagai bahan masukan untuk pelaku UMKM yang diteliti agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai peraturan yang berlaku.
6 3. Kotribusi kebijakan a. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah sebagai pihak regulator yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 apakah sudah dilaksanakan dengan baik dan benar oleh Wajib Pajak yang menjadi subjek pajaknya khususnya pelaku UMKM. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada pelaku UMKM dibidang dagang dan/atau jasa di wilayah Surabaya dan sekitarnya yang berbentuk badan usaha, seperti Perseroan Terbatas (PT) atau Perseroan Komanditer (CV). Dengan menggunakan pendekatan kesadaran dan keadilan, maka akan diperoleh sejauh mana pemahaman Wajib Pajak yang menjadi subjek pajak Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 khususnya pelaku UMKM dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.