BAB5 PENUTUP. Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tersebut. Untuk perubahan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak yang diatur dalam

Transkripsi

1 BAB5 PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat terlihat bahwa ada berbagai macam respon yang dilakukan oleh para Wajib Pajak terkait diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tersebut. Untuk perubahan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ini beragam respon muncul dari para informan. Ada informan yang merasa diuntungkan dengan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan dalam Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ini tetapi ada juga yang merasa dirugikan. Tri Jati Laksono (Staff Akuntansi dan Pajak) menyatakan bahwa : "Apabila dilihat dari konsepnya sendiri Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini cukup ringkas, Wajib Pajak tidak perlu lagi kesulitan menghitung besaran nilai pajak terhutang yang harus dibayarnya. Selain itu bagi bidang usaha jasa seperti Perusahaan tempat saya beketja ini merasa diuntungkan karena dengan dikenakannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 ini perusahaan dapat menghemat pajak sebesar 1%, bagaimana tidak, biasanya perusahaan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dan kini hanya dikenakan pajak sebesar 1% dengan dasar pengenaan pajak yang sama yaitu dari penghasilan bruto". Lain halnya dengan respon para informan pelaku usaha. Handayani (Pengusaha) 66

2 67 menyatakan bahwa "Tarif perhitungan pajak satu persen ini sangat membebani apabila pengenaan tarif tersebut didasarkan dari penghasilan bruto, sebab perusahaan terutama koperasi dan UMKM juga harus membayar honor pegawai dan biaya operasional lainnya. Omzet, seyogyanya memang bukan obyek pajak, karena didalamnya masih terkandung beban biaya usaha, dengan kata lain pengusaha yang punya omzet besar belum tentu untung besar, bisa saja dia merugi. Pertanyaannya apa mungkin pajak itu dikenakan pada usaha yang rugi?". Hal serupa juga disampaikan oleh Santoso (Pengusaha) yang menyatakan bahwa "Tarif tersebut masih belum adil terutama bagi wajib pajak yang memiliki omset kecil dalam hal ini adalah wajib pajak sektor usaha mikro. Saya merasa bahwa tarif final sebesar 1% dari omset masih terlalu tinggi dan memberatkan wajib pajak. Selain itu menurut saya terasa janggal bahwa pajak penghasilan yang notabene adalah "pajak keuntungan" itu, kenapa harus diambil dari "omzet" karena menurut saya seharusnya diambil dari "laba". Karena kebiasaan kalau kita membuat Laporan Laba/Rugi, kata "pajak" itu dicantumkan setelah laba karena besaran hitungan memang diambilkan dari laba bukan dari omzetnya". Selain itu para informan juga tidak memahami apa yang menjadi dasar ditetapkannya tarif 1% dan peredaran bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak oleh pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan pemyataan dari Nina Fathonah (Konsultan Pajak) yang menyatakan bahwa : "Besaran pajak sebesar 1% dari peredaran bruto tentunya diperoleh dari hasil penghitungan pengenaan tarif pajak dikalikan dengan besaran perkiraan prosentase penghasilan neto tertentu yang telah di

3 68 tetapkan oleh pemerintah, tetapi sayangnya, wajib pajak tidak mendapatkan penjelasan berapa besaran prosentase perkiraan penghasilan neto tersebut yang digunakan oleh pemerintah sebagai dasar penghitungan hingga diperolehnya angka besaran pajak sebesar 1% dari peredaran bruto tersebut". Bereda dengan respon informan terhadap perubahan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013, dalam hal mekanisme perhitungan dan pemungutan Pajak, para informan memberikan respon yang positif. Seluruh informan setuju bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ini memang dapat memberikan kemudahan bagi para Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, terutama bagi Para Wajib Pajak yang selama ini mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan pembukuan bagi kegiatan usaha mereka dan dapat mengurangi beban administrasi perpajakan bagi para Wajib Pajak terse but. Hal tersebut juga senada dengan pendapat Danang Prasetya Widodo (Fiskus) yang menyatakan bahwa "Dasar utama dari pemberlakuan PP46 ini supaya usaha kecil yang omsetnya di bawah 4,8 Milyar, dapat menghitung pajaknya dengan mudah, tanpa perlu bingung menghitung biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut". Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ini dapat mempermudah para Wajib Pajak dalam mendapatkan akses permodalan dari perbankan. Untuk respon terhadap kepatuhan dan transparansi dalam pembayaran pajak, para informan memberikan respon yang negatif. Hal ini dikarenakan para Wajib Pajak akan cenderung tidak patuh dan tidak transparan dalam

4 69 melaporkan omset mereka. Mereka akan cenderung untuk meminimalisir omset yang mereka laporkan agar dapat memperkecil jumlah pembayaran pajak yang harus mereka bayar. Hal tersebut didukung oleh pemyataan dari Danang Prasetya Widodo (Fiskus) yang menyatakan bahwa "pelaksanaan PP 46 di lapangan sampai saat ini masih jauh dari harapan yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal Pajak. Terdapat berbagai kendala dan penolakan yang datang dari Wajib Pajak. Masih sangat banyak Wajib Pajak yang belum melaksanakan kewajiban perpajakan terkait PP 46 ini dengan benar. Dalam prakteknya masih sangat banyak Wajib Pajak yang tidak melaporkan omsetnya sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga mengakibatkan masih minimnya penerimaan di bidang sektor PPh Final". Sehingga berdasarkan respon dan pendapat dari para informan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 untuk mengedukasi para Wajib Pajak untuk patuh dan transparan dalam membayar pajak akan sulit tercapai dikarenakan masih adanya penolakan dari Wajib Pajak dan masih banyaknya jumlah Wajib Pajak yang dinilai tidak patuh dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Begitu pula dalam hal dimensi keadilan, para informan juga memberikan respon yang negatif. Para informan merasa bahwa Peraturan Pemerintah Nom or 46 tahun 2013 ini tidak adil dan sangat memberatkan bagi para Wajib Pajak karena tidak mecerminkan asas kemampuan membayar dari Wajib Pajak itu sendiri. Selain itu seluruh biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai

5 70 pengurang penghasilan. Sehingga pembayaran pajak tersebut akan menjadi tambahan biaya bagi Wajib Pajak. Hal tersebut sesuai dengan pemyataan dari Tri Jati Laksono (Staff Ace & Pajak), yang menyatakan bahwa '"kita tidak dapat mengakui biaya secara fiskal, karena pajak ini tergolong jenis pajak final, artinya dalam kondisi rugi ataupun untung kita tetap membayar pajak. Jadi karena PPh Final tersebut dihitung langsung dari peredaran bruto maka pemajakan tersebut tidak sesuai dengan konsep keadilan dalam pemajakan. karena besar kecilnya penghasilan neto Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan usaha tidak akan mempengaruhi besarnya pajak yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung terhadap peredaran bruto. Bahkan di dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh final ini Wajib Pajak orang pribadi dan atau badan usaha tetap harus membayar pajak. Sehingga Secara tidak langsung keadaan ini berakibat pada membengkaknya biaya perusahaan dan pada akhimya membuat perusahaan kalah bersaing dan menutup usahanya. Selain itu tidak adanya unsur keadilan dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini juga akan terlihat apabila di bandingkan antara Wajb Pajak dengan omset diatas 4,8 Milyar dengan Wajib Pajak dengan omset dibawah 4,8 Milyar. Santoso (Pengusaha) menyatakan Bahwa '"bagi Wajib Pajak, baik Wajib Pajak badan maupun Wajib Pajak orang pribadi, yang peredaran brutonya melebihi Rp 4,8 milyar/tahun, apabila dalam suatu tahun pajak menderita kerugian, tidak akan terkena pajak, bahkan kerugiannya dapat dikompensasikan maksimal selama lima tahun ke depan. Sedangkan bagi wajib pajak, baik wajib pajak badan maupun wajib

6 71 pajak orang pribadi yang peredaran brutonya tidak melebihi Rp 4,8 milyar/tahun serta tidak termasuk yang dikecualikan, apabila dalam suatu tahun pajak menderita kerugian, tetap dikenakan pajak sebesar I% dari peredaran brutonya. Jadi berdasarkan beberapa alasan diataslah yang menyebabkan mengapa para Wajib Pajak menilai bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut dianggap tidak adil bagi mereka. Namun Hal tersebut tidak sejalan dengan pendapat dari Danang Prasetya Widodo (Fiskus) yang menyatakan bahwa "PP46 ini terbit diikuti dengan naiknya batasan omset Wajib Pajak yang wajib dikukuhkan menjadi PKP, dari sebesar Rp menjadi Rp ,-. Sehingga WP yang sudah dikenakan tarif 1 %, tidak akan dibebani dengan kewajiban untuk PKP dan menerbitkan Faktur Pajak. Hal ini menurut saya, pemerintah memperhatikan dengan benar azas keadilan dalam membuat suatu peraturan". Menanggapi pendapat para informan diatas, Nina Fathonah (Konsultan Pajak) juga memberikan pendapat bahwa "agar pengenaan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dapat berjalan dengan baik, maka sebaiknya dibuat cluster dengan tarif yang disesuaikan dengan jenis usahanya, sehingga mereka berharap dengan taat aturan mereka tetap "hidup" dan menjalankan kegiatan usahanya,. Sehingga dengan demikian penerimaan pajak tetap berjalan lancar dan tidak membebani kegiatan usaha Wajib Pajak dan hal tersebut justru dapat mengangkat UMKM menjadi lebih maju.

7 Saran Berdasarkan respon dan pendapat dari para informan tersebut, akan terasa bijak apabila pemerintah dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pengkajian ulang terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ini, terutama dalam hal jenis dan kriteria Wajib Pajak yang menjadi sasaran dari Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013 ini. Hal ini dimaksudkan agar peraturan tersebut dapat lebih diterima dan dipatuhi oleh para Wajib Pajak. Dengan diterima dan dipatuhinya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ini oleh para Wajib Pajak diharapkan Wajib Pajak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan sukarela dan tanpa rasa paksaan, sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Sehingga dengan meningkatnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak maka diharapkan akan mengurangi jumlah Wajib Pajak nakal yang melaporkan omsetnya tidak sesuai keadaan yang sebenarnya, dan tidak ada lagi omset yang disembunyikan oleh wajib pajak guna memperkecil jumlah pembayaran pajaknya. Sehingga hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap tercapainya target penerimaan pajak nasional dan juga diikuti dengan peningkatan Tax Ratio di Indonesia. Bagi Wajib Pajak sendiri dihimbau untuk dapat terus meningkatkan kedisiplinan dan kepatuhan serta terus mendukung pemerintah untuk meningkatkan penerimaan Negara dari sektor perpajakan melalui partisipasi aktif membayar pajak dan meningkatkan pengetahuan dibidang perpajakan.

8 73 Selain itu, Wajib Pajak diharapkan jujur dalam hal pelaporan jumlah peredaran usaha sesuai dengan kondisi yang sebenamya karena telah diberikan kepercayaan penuh untuk menentukan jumlah peredaran usaha. Hal ini diperlukan karena pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang terbesar yang digunakan untuk membiayai pembangunan bangsa dan Negara. 5.3 Implikasi Penelitian Keputusan pemerintah untuk memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto T ertentu menimbulkan implikasi bagi para pihak yang terkait dengan kegiatan pemungutan pajak di Indonesia. Berbagai macam respon yang ditunjukan oleh para informan terkait dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini. Satu hal yang harus diingat bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar di Indonesia, dimana melalui hasil pemungutan pajak itulah yang digunakan untuk membiayai semua pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Harus disadari bawa melaui pajak ini lah semua masyarakat diberikan kesempatan untuk turut berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Sehingga dalam hal ini partisipasi dan peran aktif dari seluruh masyarakat sangat dibutuhkan.

9 74 Direkorat Jenderal Pajak memiliki tugas yang sangat berat dalam rangka mengamankan jumlah penerimaan pajak dalam APBN. Ditengah target penerimaan pajak yang terus meningkat dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah, maka pemerintah dirasa perlu untuk melakukan reformasi secara komprehensif di bidang perpajakan. Karena tanpa rencana dan strategi yang tepat, dikhawatirkan rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak tersebut akan berakibat pada tidak tercapainya target penerimaan pajak nasional sehingga akan mempengaruhi stabilitas keuangan negara. 5.4 Keterbatasan Penelitian Pelaksanaan maupun basil dari penelitian memiliki beberpa keterbatasan yaitu, penelitian ini hanya sebuah upaya untuk memahami pendapat dan respon dari para informan terhadap diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini sesuai dengan profesi dan posisi dari masing - masing informan dan tidak mengungkap lebih lanjut dan secara rinci tentang bagaimana strategi yang akan mereka lakukan dalam merespon Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini.