BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Proses integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN yang telah berjalan sekitar satu tahun di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Selama proses perjalan integrasi tersebut, terdapat proses lain yang menjembatani tecapainya keutuhan integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN yaitu proses koordinasi dan sinkronisasi, sehingga secara keseluruhan melibatkan tiga proses yaitu Koordinasi, Integrasi dan Sinkronisasi (K.I.S). Jika dilihat dari ketiga proses tersebut upaya para implementer dalam pengintegrasian KJS keadalam JKN telah berjalan cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari sejumlah upaya pelaksanaan K.I.S yang telah dilakukan baik oleh pihak Pemerintah DKI atau Pemerintah Pusat seperti Upaya integrasi kepesertaan dan juga koordinisi lembaga pengelola yang diatur dalam MoU nomor 29 tahun 2013 dan juga penerbitkan Pergub 123 tahun 2014 tentang Kepesertaan dan Pelayanan Jaminan Kesehatan dalam mengupayakan sinkronisasi dalam bidang kepesertaan dan pelayanan. Serta penerbitan Pergub No 126 tahun 2013 dalam menangani masalah selisih pembayaran yang dialami oleh pihak rumah sakit dalam mensikronkan penarapan sistem tariff INACBGS. Selain sejumlah upaya yang dilakukan tersebut, proses integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Seperti halnya dalam proses integrasi dalam bidang kepesertaan yang didukung oleh faktor kebermanfaatan dari
kebijakan JKN bagi masyarakat miskin dan rentan miskin sehingga banyak masyarakat DKI Jakarta yang semula menggunakan pelayanan KJS dengan kesadaran penuh berpartisipasi dalam implementasi kebijakan JKN. Hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah peserta PBI Daerah dimana pada awal tahun 2014 berjumlah 835.109 jiwa bertambah menjadi 2.637.020 jiwa pada pertengahan tahun 2014. Meskipun begitu, terdapat hal yang dapat menghambat proses integrasi dalam bidang kepesertaan yaitu munculnya kebijakan baru yang serupa yang diimplementasikan rezim yang berkuasa saat ini yaitu kebijakan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dengan munculnya kebijakan ini sebagai komitmen akan janji politik dari rezim yang berkuasa, maka akan menghambat proses integrasi KJS dan JKN yang tengah berlangsung. Selain faktor komitmen rejim yang berkuasa, faktor lain yang menjadi penghambat dalam aspek kepesertaan ialah kurangnya sosialisasi terkait masalah integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN sehingga menyebabkan rendahnya pemahaman masyarakat khususnya para pengguna kartu KJS dan JKN terhadap esensi dan subtansi kebijakan. Dari aspek pelayanan sendiri, proses integrasi implemetasi kebijakan KJS dan JKN di DKI Jakarta didukung oleh ketersediaan sumber daya kesehatan yang mencukupi baik dari segi sumber daya finansial, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Selain itu, faktor lembaga implementer yang responsif dalam mengatasi masalah yang muncul dan stuktur birokrasi lembaga implementer yang tidak terlalu kaku juga merupakan faktor pendukung yang dapat mendukung proses integrasi kebijakan KJS dan JKN di DKI Jakarta dalam aspek pelayanan.
Meskipun begitu, proses integrasi dalam aspek pelayanan akan terhambat apabila dalam beberapa tahun ke depan sejumlah rumah sakit swasta di DKI Jakarta tetap tidak bersedia bekerja sama dengan BPJS karena terkendala tariff INACBGS yang dinilai merugikan kepentingan pihak rumah sakit swasta. Selain itu banyaknya pasien dari daerah perbatasan juga cenderung menambah masalah pelayanan karena tentunya akan menambah beban kerja tenaga kesehatan di DKI Jakarta serta akan memakan jatah atau kuota penggunaan fasilitas yang ada bagi masyarakat DKI Jakarta. Untuk aspek pembiayaan, integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN di DKI Jakarta sangat terbantu dengan keterlibatan pihak Pemerintah Daerah yang membantu Pemerintah pusat dalam meng-cover biaya kepesertaan PBI Daerah dan juga menyediakan dana untuk membiayai pelayanan kesehatan yang tidak ditangggung JKN-BPJS. Namun disisi lain, aspek pembiayaan dalam integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN masih terkendala masalah sistem tariff INACBGs yang dinilai merugikan kepentingan rumah sakit swasta yang berorientasi pada profit, sehingga menyebabkan minimnya partisipasi rumah sakit swasta dalam proses integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN.
B. Saran Guna mencapai keberhasilan proses integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN serta meminimalisir dampak negatif yang disebabkan oleh faktor penghambat implementasi kebijakan maka setidaknya terdapat berapa saran, diantaranya yaitu: 1. Pihak Pemerintah DKI Jakarta yang notabene memiliki anggaran yang cukup berlimpah untuk alokasi Pembiayaan Pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat, dianjurkan untuk melaksanakan kembali kebijakan Top Up untuk mengurangi selisih pembiayaan rumah sakit swasta. Hal tersebut dikarenkan pihak RS swasta dalam operasionalnya tidak mendapatkan subsidi dari pihak Pemerintah sehingga memerlukan tambahan biaya yang dapat menutupi selisih pembiayaan. Dengan diberlakukannya kebijakan top up ini diharapkan partisipasi pihak RS swasta akan semakin meningkat dan berdampak pada peningkatan ketersediaan fasilitas kesehatan di DKI Jakarta. 2. Selanjutnya Pemerintah Pusat harus mengambil langkah tegas untuk memilih kebijakan dibidang Jaminan Kesehatan yang akan dilanjutkan yaitu antara JKN atau KIS. Langkah alternatif lain yang dapat dipilih ialah dengan melebur salah satu kebijakan kedalam kebijakan lain. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya di berbagai daerah dan juga demi efisiensi dan efektifitas anggaran APBN dan APBD. Setelah adanya kejelasan terkait kebijakan yang dipilih oleh Pemerintah maka langkah selanjutnya ialah Pemerintah sesegera mungkin melakukan penyeragaman baik dalam dari segi bentuk, desain serta nomenklatur kartu jaminan kesehatan yang bertujuan
untuk mengurangi keselapahaman terkait adanya perbedaan atau diskriminasi pelayanan dari setiap jenis kartu. 3. Sebagai salah satu penentu keberhasilan impelementasi kebijakan, sosialiasi kepada masyarakat terkait esensi dan substansi kebijakan perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Terutama metode sosialisasi secara langsung antara implementer garda depan kepada target sasaran, dengan begitu proses penyaluran informasi kepada target sasaran akan lebih efektif. Mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang ada, Pemerintah pusat maupun daerah dapat bekerjasama dengan pihak puskesmas di tingkat kecamatan dan kelurahan untuk melakukan sosialisasi kebijakan dan juga bekerjasama dengan para kader kesehatan, PKK dan jumantik yang lebih dekat dengan masyarakat. Selain melakukan sosialiasi secara langsung, Pemerintah juga harus dapat memanfaatkan kemajuan teknologi seperti sosialiasi melalui media elektronik dan jejaring media sosial yang saat ini sedang menjadi trend di masyarakat. Apabila caracara tersebut masih sulit untuk dilakukan maka minimal Pemerintah memberikan buku panduan atau berupa brosur yang berisi informasi terkait hak dan kewajiban peserta JKN-BPJS, masa berlaku kartu peserta, pelayanan yang ditanggung dan tidak ditanggung oleh JKN-BPJS, jenjang pelayanan, metode keluhan dan informasi penting lainnya yang terkait dengan kebijakan. 4. Mengingat sifat kebijakan yang berlaku secara nasional maka perlu adanya pemerataan kualitas dan kuantitas sumber daya di setiap daerah terutama ketersediaan sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan. Oleh karenannya baik Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan
fasilitas kesehatan yang memadai yang diejawantahkan dalam peningkatan anggaran infrasturktur kesehatan dalam APBN maupun APBD. Dalam kasus integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN di DKI Jakarta maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bebatasan dengan DKI Jakarta harus bekerjasama untuk menambah fasilitas kesehatan yang ada minimal untuk mencapai rasio yang ideal antara perbandingan jumlah penduduk dengan fasilitas kesehatan.