I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuna wicara adalah suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi)

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. berkomunikasi lisan dalam lingkungan. Gangguan wicara atau tuna wicara adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem mastikasi merupakan unit fungsional dalam pengunyahan yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asupan makanan pada bayi setelah lahir adalah ASI (Roesli, 2005). WHO

HUBUNGAN RAHANG PADA PEMBUATAN GIGI- TIRUAN SEBAGIAN LEPASAN

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. retak), infeksi pada gigi, kecelakaan, penyakit periodontal dan masih banyak

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Definisi lansia menurut UU nomor 13 tahun 1998 pasal 1 ayat (2) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rumit pada tubuh manusia. Sendi ini dapat melakukan 2 gerakan, yaitu gerakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ortodontik (Shaw, 1981). Tujuan perawatan ortodontik menurut Graber (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai masalah karies dan gingivitis dengan skor DMF-T sebesar

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gigi merupakan salah satu komponen penting dalam rongga mulut. Gigi

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan pembicara dan pendengar (Finn, 2003). Cameron dan Widmer (2008)

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. beberapa komponen penting, yaitu sendi temporomandibula, otot

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Makanan yang pertama kali dikonsumsi bayi adalah Air Susu Ibu (ASI).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. empat tipe, yaitu atrisi, abrasi, erosi, dan abfraksi. Keempat tipe tersebut memiliki

Perawatan ortodonti Optimal * Hasil terbaik * Waktu singkat * Biaya murah * Biologis, psikologis Penting waktu perawatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Fenomena yang sering ditemukan di Kedokteran Gigi Anak (KGA) pada anak

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah anak yang mengalami gangguan fisik atau biasa disebut tuna daksa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA WAJAH ADENOID YANG DISEBABKAN OLEH HIPERTROPI JARINGAN ADENOID

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut memiliki peran yang penting bagi fungsi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehilangan gigi menyebabkan pengaruh psikologis, resorpsi tulang

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan, dan perbaikan dari keharmonisan dental dan wajah. 1 Perawatan

II. ORTODONSI INTERSEPTIF

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. KELAINAN DENTOFASIAL

BIONATOR Dikembangkan oleh Wilhelm Balters (1950-an). Populer di Amerika Serikat tahun

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. celah di antara kedua sisi kanan dan kiri dari bibir. Kadang kala malah lebih luas,

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

DETEKSI DINI KETIDAKSEIMBANGAN OTOT OROFASIAL PADA ANAK. Risti Saptarini Primarti * Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi dan struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya.

BAB III METODE PENELITIAN. cekat dan cetakan saat pemakaian retainer. 2. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan Rumus Federer sesuai dengan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi pada posisi ideal dan seimbang dengan tulang basalnya. Perawatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penting dalam perawatan prostodontik khususnya bagi pasien yang telah

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk maloklusi primer yang timbul pada gigi-geligi yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995)

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

Penetapan Gigit pada Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB I PENDAHULUAN. makanan secara mekanis yang terjadi di rongga mulut dengan tujuan akhir proses ini

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. humor. Apapun emosi yang terkandung didalamnya, senyum memiliki peran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM KOMBINASI MAKALAH

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memberikan estetik wajah yang kurang baik (Wong, dkk., 2008). Prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN. ekstraoral. Perubahan pada intraoral antara lain resorbsi prosesus alveolaris

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuna wicara adalah suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suara dari bicara normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan. Gangguan wicara atau tuna wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi bicara, dan/atau kelancaran berbicara. Tuna wicara dapat disebabkan karena gangguan pada saraf, seperti penyakit cerebral palsy, dan terutama karena gangguan pendengaran, baik sejak lahir (congenital) atau didapat kemudian (aqcuired) (Harvey et al, 1995; Muljono dan Sudjadi, 1994). Gangguan pada organ pendengaran berpengaruh pada keseimbangan tubuh sehingga secara fisik anak tuna wicara cenderung memiliki cara berjalan yang agak kaku dan cenderung membungkuk. Penelitian Avasthi (2011) di India tentang pola pertumbuhan pada anak tuna wicara menunjukkan bahwa pertumbuhan anak tuna wicara dibawah anak normal serta cenderung memiliki tonus otot yang lebih lemah dan tulang yang lebih rapuh dibanding anak normal. Ditinjau dari aspek psikologi, anak tuna wicara umumnya memiliki kebiasaan menunduk karena mewaspadai adanya hambatan saat berjalan dan/atau rasa rendah diri dalam pergaulan. Dalam upaya untuk dapat mendengar dengan lebih jelas, umumnya anak tuna wicara memiringkan kepalanya mendekati sumber suara (Suparno, 2001). 1

2 Hubungan antara head posture dan morfologi kraniofasial telah dijelaskan oleh Bjork (1960), dan kemudian dilanjutkan oleh Solow dan Siersbaek-Nielsen (1992). Head posture akan mempengaruhi posisi lidah dan posisi postural mandibula. Ketika mulut terbuka pada proses berbicara diperlukan posisi postural yang berubah dari mandibula atau disebut posisi postural adaptif yaitu dengan mandibula diturunkan dan jarak antar oklusal yang meningkat. Akibat posisi postural ini, pada gerak menutupnya mandibula bergerak langsung dari posisi postural ke posisi intercuspal. Gerakan yang terjadi tergantung pada posisi postural adaptif (Foster, 1997; Proffit et al., 2007). Posisi postural adaptif secara umum adalah sebesar 2-4 mm saat posisi tersebut terjadi dapat memicu tumbuh kembang dentokraniofasial aspek vertikal (Harper, 2000). Pada anak tuna wicara terjadi perubahan postur kepala yang tidak sesuai dengan natural head position (NHP). Anak tuna wicara memiliki kecenderungan menundukkan dan memiringkan kepalanya sehingga head posture berada dalam keadaan fleksi (menunduk). Dalam penelitian Ucar et al (2004) dijelaskan bahwa ketika head posture berada dalam keadaan ekstensi maka posisi lidah menurun dan terdapat jarak antar lidah dan palatum sehingga terjadi posisi postural adaptif dari mandibula. Perubahan postur kepala menjadi mendongak (ekstensi) menyebabkan jarak antar oklusal meningkat dan tidak ada kontak oklusi. Hal ini memicu gigi posterior ekstrusi dan berdampak pada peningkatan tinggi wajah anterior (Alphianti, 2011). Berdasarkan penelitian Ucar et al (2004) ketika terjadi keadaan fleksi yang menyebabkan posisi lidah terangkat dan jarak antar lidah dan palatum mengecil, akan berpengaruh pada tinggi wajah anterior.

3 Teori Moss (1969) mengatakan bahwa pertumbuhan tulang selalu merespon hubungan fungsional yang ditimbulkan oleh kerja sama antara jaringan lunak dengan tulang yang disebut dengan teori matriks fungsional. Hal ini berarti bahwa tulang tidak mengatur kecepatan dan arah pertumbuhannya sendiri. Matrik fungsional jaringan lunak merupakan pengatur utama proses pertumbuhan skeletal. Matriks fungsional pada pertumbuhan dentokraniofasial berupa tiga fungsi normal, yaitu fungsi bernafas, mengunyah, dan bicara. Apabila terdapat kelainan pada salah satu fungsi tersebut maka pertumbuhan dentokraniofasial akan terganggu (Graber, 1972). Pada anak tuna wicara terjadi penurunan fungsi otot bicara sehingga menurut teori matriks fungsional akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dentokraniofasial. Pada anak usia 4 tahun kalimat mereka hampir lengkap, dan setahun kemudian kalimatnya sudah lengkap. Diperkirakan bahwa rata-rata anak yang berusia 3-4 tahun menggunakan 15.000 kata setiap hari atau dalam setahunnya menggunakan kira-kira 5,5 juta kata. Pada anak tuna wicara, ketika keadaan normal pergerakan rahang dalam berbicara tidak terpenuhi, maka diduga pada usia sekitar 4 tahun akan mulai nampak gangguan pertumbuhan dentokraniofasial pada arah vertikal (Soedjatmiko, 2001).

4 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan ukuran dentokraniofasial arah vertikal antara anak tuna wicara dengan anak normal? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai anak tuna wicara masih sangat terbatas. Sebelumnya telah dilakukan penelitian pada anak tuna wicara untuk melihat tumbuh kembang fisik secara umum (Singh dan Singh, 2007). Dalam kaitannya dengan dunia kedokteran gigi anak, Jain, et al (2008) melakukan penelitian di India mengenai keadaan gigi geligi (DMFt) sehubungan dengan kebutuhan perawatan pada anak tuna wicara. Sejauh pengetahuan peneliti hingga saat ini belum pernah ada penelitian tentang ukuran dentokraniofasial arah vertikal pada anak tuna wicara. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh keadaan tuna wicara terhadap ukuran dentokraniofasial arah vertikal. 2. Tujuan khusus

5 Mengetahui perbandingan ukuran dentokraniofasial arah vertikal antara anak tuna wicara dengan anak normal. E. Manfaat Penelitian 1. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan a. Dapat memberikan informasi mengenai ukuran dentokraniofasial arah vertikal pada anak tuna wicara dan anak normal b. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut 2. Untuk masyarakat Dapat memberikan informasi tentang pengaruh keadaan tuna wicara terhadap penyimpangan dentokraniofasial arah vertikal