97 BAB 5 PENUTUP A. KESIMPULAN PENELITIAN Studi ini memiliki hipotesa awal bahwa arena yang cukup esensial dalam mendeliberasikan ide-ide mengenai perlindungan terhadap hak publik adalah ruang publik, yaitu ruang yang dapat mewadahi kepentingan publik untuk menyampaikan dan menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah (negara). Ruang publik ini dirasa mampu menjadi sebuah arena non formal para warga negara termasuk para pekerja seni untuk dapat berkomunikasi dengan pemerintah. Karena pada esensinya, ruang publik merupakan ruang demokrasi bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap jalannya suatu pemerintahan. Artinya bahwa ruang publik tersebut berasal dari publik, oleh kepentingan publik, dan untuk kepentingan publik itu sendiri tanpa campur tangan dari pihak tertentu termasuk kepentingan individu dan pemerintah. Semua warga negara berhak atas ruang publik tidak terkecuali para pekerja seni. Para pekerja seni memiliki jalan tersendiri untuk memanfaatkan ruang pu blik sebagai media deliberasi. Mereka memanfaatkan tembok jalanan, galeri ruang terbuka, taman kota, dan ruang publik lainnya untuk berdeliberasi. Para pekerja seni dalam tulisan ini tergabung dalam komunitas seni Taring Padi yang merupakan komunitas seni kerakyatan kota Yogyakarta yang berdiri sejak akhir tahun 1998. Komunitas ini terbentuk karena keprihatinan para anggotanya dalam melihat situasi sosial-politik
98 bangsa yang tidak menentu serta menitikberatkan kebudayaan yang diciptakan oleh rakyat yang berperan penting dalam mewujudkan demokratisasi. Dalam upaya pemanfaatan ruang publik untuk media deliberasi, Taring Padi tidak serta merta mementingkan urusan mereka sendiri karena mereka sadar bahwa ruang publik adalah milik semua warga negara dan semua warga negara memiliki hak yang sama terhadap ruang publik. Maka dari itu komunitas Taring Padi ini selalu melibatkan rakyat dalam usahanya mendeliberasikan ide-ide perlindungan hak publik melalui ruang yang dinamakan ruang publik. Dalam mendeliberasikan ide-ide perlindungan hak publik, Taring Padi melihat ruang publik sebagai suatu sarana yang memungkinkan masyarakat khususnya kelas menengah bawah untuk dapat menyampaikan keluh kesahnya kepada pemerintah. Arena deliberasi berupa ruang publik ini juga tim bul dikarenakan m inimnya akses masyarakat kelas menengah bawah untuk menyampaikan dan mengutarakan pendapat atau ide mengenai perlindungan hak publik. Hal inilah yang memicu para pekerja seni bersama dengan masyarakat untuk menyampaikan ide-ide terhadap perlindungan hak publik kedalam ruang publik. Dan selain itu, melalui karya seni, Taring Padi mencoba menggalang pemahaman rakyat untuk melawan ketidakadilan, membangun komunitas yang sadar lingkungan, sadar atas masalah sosial, politik, dan budaya, serta mengajak masyarakat aktif dan berani menyuarakan pendapat tentang kinerja pemerintah dan pengalaman hidup bermasyarakat. Sehingga ruang publik yang diisi oleh semangat perlawanan melalui karya seni diharapkan dapat menjadikan
99 masyarakat sadar akan pentingnya semua elemen negara dalam membanbgun bangsa yang maju. Upaya untuk mendeliberasikan hak publik melalui ruang publik yang diciptakan sendiri oleh Taring Padi ini tidak selalu berjalan mulus. Berbagai tantangan dijumpai oleh komunitas Taring Padi dalam upaya mereka menggunakan ruang publik sebagai arena deliberasi hak publik. Karenanya Taring Padi bersiasat dalam menerapkan strategi-strategi dalam menjalanakan visi misi kesenian mereka untuk mendeliberasikan hak-hak publik. Pertama, diskusi sebagai proses utama dalam berkarya. Sebelum memulai proses berkarya, diskusi selalu dilakukan oleh Taring Padi. Dalam diskusi inilah terjadi proses deliberasi untuk membahas isu sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat yang nantinya akan diangkat menjadi sebuah karya seni. Selain itu, diskusi dilakukan untuk menentukan teknik serta media apa yang nantinya akan digunakan. Diskusi ini juga dilakukan sebagai ajang berkumpul serta tukar pendapat anggota Taring Padi, biasanya pada setiap hari Senin para anggota Taring Padi selalu berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah sosial-politik yang sedang hangat. Selain diskusi dengan sesama anggota Taring Padi, Taring Padi juga sering menggelar acara diskusi dengan masyarakat, hal ini dikarenakan komunitas atau kelompok pro-demokrasi yang selama ini bergerak bersama rakyat terancam keberadaanya lewat intim idasi yang dilakukan oleh kelompok sipil yang didekengi oleh tentara dan elit politik dan hal ini berakibat pada terhambatnya perkembangan
100 tradisi budaya kerakyatan dan demokrasi. Komunitas Taring Padi sadar bahwa meningkatnya kekerasaan sipil mengharuskan mereka melihat peran pekerjaan mereka untuk meredam perasaan curiga atau menetralkan konflik sipil dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam pekerjaan budayanya. Kedua, kerja kolektif. Bekerja secara kolektif telah menjadi satu ciri khas dari komunitas Taring Padi dan telah menjadi akar dari tumbuhnya komunitas ini. Sejalan dengan visi dan misi Taring Padi yang mengesampingkan ide individu dan mengutamakan ide bersama. Ketrampilan teknik realis dan kemampuan visual para anggota Taring Padi memang tidak sama kuat, namun hal ini mereka atasi dengan cara kerja kolektif, menggambar bersama, saling belajar, dan juga saling memotivasi untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan. Tradisi kerja kolektif ini juga membangun disiplin, sinergi, dan pengorganisasian kerja. Aktivitas seni rupa Taring Padi dibagi dalam dua kecendurungan, yaitu yang bersifat praksis yang dipraktekkan bersama masyarakat langsung dengan perluasan wacana seni kerakyatan dan kecendurungan untuk menciptakan sebuah karya secara individual. Praksis disini adalah aktivitas antara seniman dan kom unitas masyarakat yang mempergunakan media seni rupa. Aktivitas ini bertujuan untuk membangun kesadaran baru masyarakat akan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, sehingga dalam konteks kerja kolektif ini, Taring Padi selalu berupaya untuk melibatkan masyarakat sekitar. Pada tradisi kerja kolektif ini juga memunculkan satu ciri khas dari Taring Padi yaitu karya yang bersifat realis. Taring Padi menggunakan ekspresi realisme dalam semangat perlawanan untuk menggugat pemerintah. Hal menarik lainnya
101 adalah pendekatan ekspresi visual yang dominan dalam karya -karya Taring Padi. M ereka sadar akan pentingnya kekuatan komposisi dalam karya dua dimensi. Karyakarya mereka menampakan pengetahuan atas prinsip penggunaan perspektif dan penyejajaran yang efektif. Ketiga, reproduksi ide perlindungan hak publik. Reproduksi ide mengenai perlindungan hak publik muncul karena adanya proses diskusi dan kerja kolektif seperti yang telah disebutkan diatas. Dengan diskusi dan kerja kolektif, ide ataupun gagasan dibidang kesenian dan kebudayaan tak bisa ditum pas dengan pembantaian, pemenjaraan, pembuangan dalam bentuk apapun. Menurut Taring Padi, seni rupa bukanlah suatu cara untuk mencari kepuasan individual semata. Dengan keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan setiap karya Taring Padi ini berarti pilihan dan hak individual untuk menciptakan sebuah karya dipentingkan dan tidak mendoktrinisa si rakyat dengan simbol dan slogan individu Taring Padi itu sendiri. Keempat, musik Taring Padi sebagai instrumen penyadaran. Tidak melulu hanya soal seni rupa, Taring Padi mencoba melebarkan sayapnya dalam berkesenian tentunya dalam seni kerakyataan dengan cara membuat grup musik bernama Dendang Kampungan. Sejak semula, berdirinya grup musik ini sangat memahami arti dari sebuah lirik dalam sebuah lagu yang dapat mendukung gerakan kebudayaan. Dengan demikian bahwa musik yang mereka usung adalah musik yang m endahulukan penggunaan lirik yang sesuai dengan visi dan misi Taring Padi. Hal ini tidak lepas dari perkembangan bangsa yang semakin maju dan dimulainya era demokrasi. Komunitas radikal harus mengikuti perkembangan zaman agar dapat terus eksis dalam perjuangan mereka membela hak-hak rakyat. Maka dari itu terbentuklah grup
102 musik Taring Padi yang bernama Dendang Kampungan. Musik Taring Padi ini selalu memanfaatkan ruang publik sebagai panggung orasi lirik-lirik perjuangan rakyat dan hal ini akan terasa lebih intim serta penyampaian pesan melalui lirik dirasa bisa lebih mengena. Kelima, omah buku Taring Padi. Taring Padi membangun perpustakaan yang dinamakan Omah Buku Taring Padi. Selain sebagai sarana untuk pendidikan, perpustakaan ini juga biasa dijadikan pusat kegiatan warga seperti mendidik warga lokal agar mengerti hidup lestari yang tidak merusak lingkungan dengan kegiatan seperti membangun tempat kompos, rumah pohon dari bambu, dan membentuk sistem daur ulang. Pada hari besar kemerdekaan Indonesia, Taring Padi juga selalu mengadakan kegiatan untuk anak-anak yang bepusat di Omah Buku Taring Padi. B. IMPLIKASI TEORI Konsep ruang publik secara detail banyak dibicarakan oleh Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere. Dalam karya tersebut dibahas dua tema pokok, yang pertama adalah asal mula ruang publik kelas menengah( borjuis), yang muncul di Jerman, Perancis, dan Inggris pada awal abad ke 18 dan yang kedua adalah analisis terhadap perubahan struktural ruang publik di jaman modern lebih tepatnya pada abad 19. Hal ini di tandai oleh bangkitnya kapitalisme industri kebudayaan, dan makin kuatnya posisi organisasi-organisasi ekonomi serta kelompok bisnis besar yang mempengaruhi kehidupan ruang publik.
103 Taring Padi hadir sebagai komunitas yang mencoba memanfaatkan ruang publik sebagai arena untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang nantinya dari komunikasi tersebut terbentuk ide-ide yang akan disuarakan dalam ruang publik. Dengan diperluas dan diperlebarnya ruang-ruang komunikasi, maka publik akan memiliki lebih banyak kesempatan dalam menyampaikan aspirasis sosial maupun politik secara kritis. Hal ini berimplikasi terhadap penerimaan publik terhadap opini yang terbentuk dari hasil diskusi yang kritis rasional tersebut. Rasionalisasi dalam hal ini adalah penyampaian aspirasi masyarakat bukan sekedar penentuan tujuan rasional atas dasar pertimbangan rasional, melainkan juga menuntut keterlibatan publik secara luas dalam pengambilan keputusan. Artinya, opini yang terbentuk melalui diskusi kritis rasional yang nantinya dituangkan dalam bentuk opini, benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan konsep Habermas dalam bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas membedakan dua jenis ruang publik dari prespektif intervensi kekuasaan yang mungkin ada didalam ruang publik. Yang pertama, adalah ruang publik yang tidak di kooptasi kekuasaan, yakni ruang publik yang tumbuh dari dunia -kehidupan dan ruang publik yang dikooptasi kekuasaan. Taring Padi terbentuk melalui ruang publik yang tidak dikooptasi oleh kekuasaan karena Taring Padi tumbuh berdasarkan kondisi sosial, politik, dan budaya yang ada pada saat itu dan Taring Padi hadir dari publik itu sendiri. Dalam bukunya Between Facts and Norms Habermas menyatakan bahwa ruang publik ditempatkan sebagai elemen dari bangunan teoritis yang komprehensif tentang
104 demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif merupakan varian demokrasi yang memfokuskan dirinya pada isu legitimasi politik. Model demokrasi ini merupak an arus balik dari demokrasi klasik-ortodoks yang memahami ideal demokrasi melulu dalam kerangka kepentingan warga negara melalui sarana konvensional seperti voting dan lembaga perwakilan. Pada Habermas, arena untuk berpartisipasi di dalam deliberasi tersebut adalah ruang publik. Kini ruang publik tidak lagi dipandang secara konkretistis, historis, dan partikular. Seperti halnya komunitas Taring Padi yang mencoba memanfaatkan ruang publik sebagai arena deliberasi, dalam hal ini Habermas memberikan pengakuan terhadap pluralitas ruang publik. Pengakuan ini muncul dari refleksi atas kondisi empiris masyarakat m odern kontemporer yang semakin kompleks dan plural. Setiap komunitas dan kelompok dapat membentuk ruang publiknya sendiri. Pemahaman ini juga berdasarkan konsep Habermas tentang politik informal. Politik informal merupakan jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan sudut pandang yang di dalamnya berlangsung diskursus yang bersifat spontan dan bebas. Melalui diskursus tersebut individu membentuk identitas mereka secara deliberatif dan terutama melancarkan opini tentang isu-isu publik seperti yang dilakukan oleh Taring Padi. Taring Padi menjadi jaringan politik informal dalam peranannya terhadap pendeliberasian opini-opini publik. Jaringan politik inform al ini tidak terinstitusionalisasikan dan tidak didesain untuk mengambil keputusan, melainkan mengambil peranan sebagai pelaku diskursus dan komunikasi yang disebut proses pembentukan opini individual dan kehendak.
105 Deliberasi yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi selalu mengangkat isu-isu sosial, politik, dan budaya. Dampak sosial, politik, dan budaya selalu berimbas pada apa yang dinamakan hak. Maka dari itu komunitas ini hadir dalam balutan seni kerakyatan progresif yang berjuang bersama rakyat untuk memperjuangkan hak-hak kerakyatan. Secara istilah dan pengertian, human rights menyangkut perlindungan terhadap manusia dari penindasan dari manusia lainnya, negara, ataupun organisasi lainnya. Sedangkan dalam pengertian basic rights, hal tersebut terkait dengan perlindungan seorang warga negara atau penduduk dari penindasan oleh negara. Sedangkan secara konsep, hak asasi manusia dimaksudkan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Kehadiran komunitas Taring Padi ini diharapkan dapat menciptakan komunikasi secara visual dengan lebih estetis pada masyarakatnya guna melindungi hak-hak publik melalui pesan-pesan yang terkandung di dalamnya melalui kesenian.