BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Citra politik pemerintah, aktor politik, lembaga Negara maupun organisasi tertentu pada dasarnya bersifat dinamis. Dapat berubah sewaktuwaktu dengan adanya proses pencitraan. Citra politik tersebut dapat di bangun oleh pemerintah, aktor politik, lembaga Negara maupun organisasi melalui aktifitas yang mereka lakukan dalam kaitannya dengan publik. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa media juga berperan besar dalam pembentukan citra politik tersebut. Tidak jarang pula media dijadikan sebagai suatu alat bagi pemerintah untuk menjangkau publik, dan membangun citra positif. Akan tetapi seiring dengan berkembangnya media baru, media dewasa ini tidak lagi hanya terbatas pada mereka (media) yang dikontrol oleh pemerintah. Sebagaimana halnya meme, yang dalam hal ini berperan sebagai media komunikasi politik yang menyampaikan pesan-pesan politik terkait citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian disampaikan dan disebarluaskan kepada publik melalui platform layaknya internet dan sosial media. Citra yang dimaksudkan disini adalah citra politik yang dibentuk oleh pihak-pihak diluar insider (tokoh, partai politik, spin doctor, atau lembaga itu sendiri). Jadi citra tersebut dihasilkan dari pengamatan dan opini yang terbentuk atas realitas terkait DPR yang dituangkan kembali dalam bentuk informasi untuk kemudian disalurkan kepada publik melalui meme politik. Meme politik dengan perannya sebagai media komunikasi politik yang menggambarkan citra politik melalui pesan-pesan yang terkandung di dalamnya itulah yang kemudian menjadi fokus dalam penelitian terkait citra politik DPR dalam meme politik di sosial media ini, dimana meme yang kemudian dijadikan sebagai objek penelitian adalah sembilan meme politik terkait DPR yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy di sosial media 156
instagram, yang dianalisis dengan menggunakan metode penelitian semiotika dari Roland Barthes untuk kemudian menghasilkan pemaknaan atas pesan-pesan terkait citra yang dilihat berdasarkan unsur-unsur pembentukan citra menurut Eric Louw yakni identitas, kepercayaan dan ideologi. Tiga meme yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah meme yang ditampilkan pada masa peralihan masa jabatan (di akhir jabatan DPR periode 2009-2014) dan enam meme lainnya adalah meme yang ditampilkan pada masa awal jabatan DPR terpilih periode 2014-2019. Hasil analisis yang kemudian dihasilkan dari pemaknaan atas pesan-pesan (visual) yang terdapat pada sembilan meme politik tersebut menjelaskan bahwa meme yang ditampilkan pada masa peralihan masa jabatan (di akhir jabatan DPR periode 2009-2014) lebih tampak sebagai bentuk kekecewaan khalayak atas kinerja DPR yang dianggap belum cukup memuaskan selama beberapa tahun terakhir. Sedangkan enam meme lainnya yang ditampilkan pada masa awal jabatan DPR terpilih periode 2014-2019 tampak sebagai pembuktian bahwa DPR masih belum dapat melangkah jauh dari stigma negatif yang melekat pada lembaga selama ini. Citra yang dilihat dari bagaimana identitas, kepercayaan, dan ideologi atas diri mereka pun semakin memperkuat hal tersebut. Analisis terkait identitas DPR menjelaskan bahwa lembaga DPR masih identik dengan kasus korupsi yang banyak menjerat anggotanya, sebagaimana halnya identitas DPR pada periode-periode sebelumnya yang juga lekat dengan prilaku korup anggotanya. Identitas DPR sebagai wakil rakyat pun dianggap semakin memudar karena DPR sebagai Dewan Perwakilan Rakyat dianggap masih belum dapat mendengar dan merespon aspirasi maupun tuntutan rakyat dengan baik. Hasil analisis kepercayaan publik terhadap DPR yang ditampilkan dalam meme politik pun menunjukkan tentang rendahnya tingkat 157
kepercayaan publik kepada DPR tentang kemampuan mereka dalam menjalankan sistem dengan sebaik-baiknya dan menghasilkan kebijakan yang mensejahterakan rakyat. Banyak hal yang sejatinya dapat berpengaruh pada turunnya kepercayaan publik kepada DPR diantaranya adalah sikap dan kinerja dari anggota DPR yang tampak mengecewakan. Sikap dan kinerja dari anggota dewan tersebut juga seringkali menjadi bahan berita dan sorotan publik sehingga alih-alih menjadi wakil rakyat yang diidamkan, anggota DPR malah dianggap sebagai seorang selebritis di panggung politik. Konflik internal yang terjadi (sebagaimana halnya perang dingin yang terjadi antar DPR dan KPK) pun menjadi cerminan dari kurangnya soliditas dan integrasi antar lembaga yang berujung pada menurunnya respect dan atau kepercayaan publik pada lembaga Negara. Kondisi politik yang kerap diwarnai dengan konflik dan masalah internal antar lembaga Negara, ditenggarai akan berpengaruh pada kepercayaan publik, pada kemampuan lembaga tersebut dalam menyelesaikan masalah publik. Berkaitan dengan ideologi, hasil analisis yang kemudian didapat adalah pemahaman tentang bagaimana DPR yang dianggap baik dan DPR yang dianggap buruk, dimana ideologi dalam hal ini menjadi salah satu tolak ukur dalam menentukan baik buruknya citra DPR. Dari pemaknaan tanda visual dan analisis yang dilakukan terhadapnya, didapatkan pemahaman terkait ideologi yang berusaha ditampilkan oleh meme politik dalam akun @demo_krazy di sosial media instagram yakni bahwa DPR sebagai wakil rakyat harus memiliki profesionalitas kerja dan kredibilitas yang tinggi, selain itu wakil rakyat juga harus memiliki kompetensi dan pengetahuan yang luas serta moralitas yang tinggi. Ideologi tersebut pada dasarnya tampak dari kritik yang ditujukan kepada DPR melalui meme politik, dimana kritik yang ditujukan kepada DPR tersebut berkaitan dengan kurangnya profesionalitas kerja DPR, rendahnya kredibilitas yang dimiliki, minimnya pengetahuan, kompetensi yang dianggap masih kurang serta moralitas yang dianggap belum cukup baik. 158
Analisis terkait unsur-unsur pembentuk citra politik tersebut pada akhirnya menghasilkan pemahaman bahwa DPR memiliki citra negatif yang muncul bukan hanya karena apa yang mereka tampilkan sekarang, namun juga karena bagaimana mereka tampak di masa lalu dan konsep negatif tentang lembaga DPR itu sendiri yang telah tertanam dalam pemikiran khalayak. Citra negatif lembaga perwakilan rakyat tampaknya masih sulit untuk diubah meskipun terjadi perubahan pada struktur dan kepemimpinan lembaga, dimana citra negatif yang melekat pada DPR tersebut menimbulkan kewaspadaan publik dalam mengamati setiap hal yang berkenaan dengan lembaga perwakilan rakyat, hingga sekecil apapun kesalahan yang menyangkut DPR rentan menimbulkan respon negatif dari publik. 5.2. Saran Anonimitas meme politik serta kebebasan dalam berpendapat di internet dan sosial media memang semakin membuka peluang bagi setiap individu masyarakat untuk terlibat dan berkontribusi secara aktif dalam mengawasi laju pemerintahan. Lancarnya arus informasi, dan keterbukaan yang ditawarkan pun semakin memudahkan individu tersebut untuk menyalurkan aspirasi (baik opini, kritik, maupun saran yang ditujukan kepada penguasa), dan berperan aktif sebagai warga Negara. Namun kebebasan yang dimiliki dan keterbukaan yang ditawarkan pun hendaknya disikapi dengan bijaksana dan dimanfaatkan oleh publik dengan sebaikbaiknya tanpa melanggar etika atau undang-undang ITE yang berlaku. Aspirasi publik yang ditampilkan melalui meme politik di sosial media pun hendaknya menjadi cerminan bagi DPR untuk menata dan mengoreksi diri. Citra politik yang melekat pada lembaga tersebut pada dasarnya dapat menggambarkan tentang bagaimana publik menilai DPR pada masa sekarang dan harapan publik untuk DPR yang lebih baik kedepannya. Oleh karena itu citra DPR yang ditampilkan dalam meme politik tersebut 159
setidaknya dapat digunakan sebagai acuan dalam memperbaiki kekurangankekurangan yang dimiliki, memperbaiki sistem, serta sebagai acuan bagi DPR untuk menjadi lembaga perwakilan rakyat yang benar-benar diakui dan sesuai dengan harapan rakyat. Penelitian yang kemudian membahas tentang hal tersebut (meme politik dalam kaitannya dengan penggambaran citra) dapat terbilang masih cukup jarang, karena fenomena meme internet dalam ranah politik pun tergolong masih baru. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian-penelitian sejenis yang mengali dari sudut pandang yang berbeda untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru terkait meme politik tersebut. Selain itu, penelitian yang menganalisis makna tanda yang bergantung pada interpretasi dan didasari oleh pengalaman, budaya dan pengetahuan peneliti, seringkali bersifat subjektif, karena itu perlu adanya penelitian-penelitian sejenis untuk mengurangi subjektivitas yang mungkin atau dapat terjadi. 160