BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara dan penduduknya harus didasarkan atau sesuai dengan hukum. Dengan ketentuan demikian dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan. Hukumlah yang memegang kekuasaan dan memimpin penyelenggaraan negara. Pasal 1 ayat (3) mengandung pengertian: 2 Adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik simpulan, bahwa konsepsi negara hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sesungguhnya tidak hanya berdiri secara mandiri dalam sebuah naskah penegasan, tentang dianutnya paham negara hukum. 1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Jimly Asshidiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 123-130. 1
2 Akan tetapi, menjadi keharusan bagi sebuah konstitusi dalam negara yang menganut konsepsi negara hukum, untuk mencantumkan secara tegas kriteriakriteria yang dipersyaratakan untuk berdirinya sebuah negara hukum. 3 Artinya, konsepsi negara hukum adalah salah satu jiwa konstitusi, selain jiwa paham lainnya, yang selanjutnya diderivasikan ke dalam materi muatan konstitusi. 4 Seperti mewujud di dalam sistem pemerintahan negara, sistem perwakilan, sistem kekuasaan kehakiman, dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. 5 Lalu sampai setengah abad Bangsa Indonesia merdeka dan saat ini memasuki zaman reformasi yang ditandai dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasca momentum reformasi 1998. Dengan mengamandemen UUD 1945 Indonesia diharapkan mampu mewujudkan sistem ketatanegaraan yang baru menuju Indonesia yang menghormati hak-hak rakyat sipil. Namun sejak orde lama sampai dengan orde baru. UUD 1945 dijadikan sebagai alat pelanggengan kekuasaan, terutama kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh seorang presiden. Hal ini terindikasi dengan adanya Pasal-Pasal UUD 1945 yang cenderung memberikan kekuasaan cukup besar kepada presiden. Oleh karena itu selama kurun waktu tertentu pembicaraan mengenai amandemen UUD 1945 tidak pernah secara terang-terangan muncul kepermukaan, sebab pemikiran semacam itu tidak lumrah dan dianggap hanya mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal dalam UUD 1945 terdapat asas kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya didasarkan pada UUD, dengan sistem pemerintahan 3 4 5
3 presidensil. Kedaulatan merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan, didalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara. 6 Mengenai kedaulatan rakyat diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dalam pelaksanaan kedaulatan ini didistribusikan kepada lembagalembaga negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (POLRI). 7 Dalam hal presiden sebagai kepala negara maka presiden merupakan simbol negara, dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam lintasan sejarah tentunya bangsa yang besar pasti mengalami perkembangan dan dinamisisasi. Terbukti dengan adanya sebuah tindakan yang langsung dikeluarkan oleh pemimpin negara Indonesia. Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengambil keputusan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden. 8 Tindakan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 menjadi kontroversi yang luas berkenaan dengan dasar hukum dekrit yang dituangkan 6, hlm. 95. 7 H. Marshaal, 2004, Amandemen UUD 1945 Dalam Sorotan, UMP, Palembang, hlm. 24. 8 Nesya Channgnata, Konstitusionalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Maklumat Presiden 21 Juli 2001, JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 2 Oktober 2015, FH Unri, Pekanbaru, hlm. 3.
4 dalam bentuk Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, dan isi dekrit yang memberlakukan pembubaran konstituante; berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945; dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung. 9 Sementara itu tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid juga mengeluarkan sebuah Maklumat atau Dekrit yang dikeluarkan pada tanggal 23 Juli tepat pukul 01.17 WIB, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan Maklumat Presiden RI yang kemudian dikenal dengan Dekrit Gus Dur. 10 Di dalam dekrit yang dibacakan salah seorang jurubicara presiden, Yahya C. Staquf, itu Gus Dur menegaskan bahwa telah terjadi krisis konstitusional yang memperparah krisis ekonomi dan penegakan hukum serta pemberantasan korupsi. Dengan segala pertimbangan itu, dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan sebagian terbesar masyarakat Indonesia, Gus Dur menegaskan bahwa sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dirinya terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa untuk memaklumkan tiga hal pokok. Pertama, membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI; kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun; dan ketiga, 9 10 Teguh Santosa, Misteri Dekrit 2001, http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/10/86159/misteri-dekrit-2001-kikiek:-gus- Dur-Tak-Mau-Bekukan-Parlemen, diakses 29 Juni 2016
5 menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu. Dekrit ini memang menurut sebagian pengamat adalah puncak dari serangkaian konflik antara Gus Dur dan lawan-lawan politiknya di parlemen. Untuk mendepak Gus Dur dari Istana, DPR menggunakan isu dana Yayasan Danatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunei. Panitia Khusus yang lebih dikenal dengan nama Pansus Buloggate pun telah dua kali memberikan memorandum yang intinya adalah peringatan kepada Gus Dur. Sementara itu pimpinan partai politik dan parlemen saat itu telah menyiapkan agenda aksi: segera setelah memorandum ketiga diberi, Sidang Istemewa untuk melucuti kekuasaan Gus Dur akan segera digelar. 11 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah pokok yang diteliti oleh penulis adalah: 1. Bagaimana kewenangan Presiden Republik Indonesia dalam mengeluarkan dekrit? 2. Bagaimana kewenangan Presiden Republik Indonesia dalam mengeluarkan dekrit sebelum dan sesudah amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945? 11
6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subjektif Penyusunan penulisan hukum ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian yang dilakukan ini adalah: a. Mengetahui kewenangan Presiden Republik Indonesia dalam mengeluarkan dekrit. b. Mengetahui penerapan kewenangan presiden dalam mengeluarkan dekrit antara sebelum dan sesudah amandemen keempat UUD 1945. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan sejauh kemampuan dan pengetahuan penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM, penulis menemukan penelitian `lain yang serupa dengan penelitian mengenai Kewenangan Presiden Republik Indonesia dalam Mengeluarkan Dekrit Presiden, yaitu sebuah tesis berjudul Legalitas Dekrit Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia karya A. Afidudin (6263/PS/MH/00) dan sebuah penelitian karya Nesya Channgnata, Konstitusionalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Maklumat Presiden 21 Juli
7 2001, JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 2 Oktober 2015, FH Unri, Pekanbaru. Namun setelah penulis mencoba menelaah tesis dan penelitian tersebut terdapat perbedaan dalam maksud dan tujuan penelitiannya. Skripsi yang dibuat oleh penulis bertujuan untuk mengetahui kewenangan Presiden Indonesia dalam mengeluaran dekrit, sementara saudara Afifudin dalam tesisnya ingin menguji legalitas dekritnya. 23 Artinya alasan penulis meneliti masalah dekrit adalah mencoba mengetahui sisi penerapan dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara di sisi yang lain penulis melihat dan mencoba memahami tesis yang dibuat oleh Afifudin lebih menguji dasar kepastian hukum dari dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Begitu pula dengan penelitian Nesya Channgnata yang menekankan penelitiannya pada kesesuaian segala aspek penyelenggaraan negara berdasarkan aturan dasar yang menjadi materi muatan konstitusi di dalam dekrit itu sendiri. 24 Namun demikian, penulis tetap menjaga keaslian penulisan hukum sesuai dengan etika dalam penulisan karya ilmiah pada umumnya dengan tidak plagiat, penjiplakan, atau tidak mengutip sumber-sumber penulisan yang ditulis para ahli ataupun orang lain dalam karya ilmiah yang mereka buat. Oleh karena itu, salah satu tujuan ataupun manfaat yang disebutkan di atas tentang kewenangan Presiden Republik Indonesia dalam mengeluarkan dekrit belum pernah dibuat 23 A. Afidudin, 2003, Legalitas Dekrit Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. ix. 24 Nesya Channgnata, Op. Cit., hlm. 1.
8 E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang hukum tata negara. Lebih khusus, penelitian ini dapat menambah referensi hukum terkait dengan Kewenangan Presiden Republik Indonesia dalam mengeluarkan dekrit. Lalu secara praktis penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi terkait pembahasan tentang praktik ketatanegaraan negara di Indonesia, khususnya dalam hal fungsi dan wewenang Presiden sebagai kepala negara yang mempunyai kewajiban melindungi negara dan bangsa dari berbagai ancaman.