BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya berubah menggunakan sistem desentralisasi dimana pemerintah daerah diberi kebebasan hak, kewajiban dan wewenang dalam mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi memiliki dua sisi penilaian, disatu sisi desentralisasi memberikan kebebasan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya, akan tetapi disisi lain desentralisasi juga menimbulkan masalah baru dalam pelaksanannya, hal ini dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda. Sehingga yang terjadi adalah pendapatan yang dihasilkan oleh suatu daerah belum dapat memenuhi kebutuhan belanja daerah tersebut. Belanja daerah adalah semua pengeluaran yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya guna untuk memenuhi kebutuhan pelayanan yang maksimal terhadap publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Halim (2002:68) yang menyatakan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode anggaran. Secara umum, belanja daerah dalam Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu: (a) Belanja Administrasi Umum, (b) Belanja Operasi,

Pemeliharaan sarana dan Prasarana Publik, (c) Belanja Modal, (d) Belanja Transfer, dan (e) Belanja Tak Tersangka. Disini pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengalokasikan pendapatannya kedalam semua belanja daerah secara proporsional. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah daerah lebih banyak mengeluarkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan belanja daerah yang sifatnya rutin saja. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang habis hanya untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawai dan belanja rutin ini dirasa kurang dapat memberikan manfaat yang optimal. Sedangkan belanja modal tidak mendapatkan bagian anggaran yang sesuai dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Padahal belanja modal dirasa memiliki manfaat yang lebih baik untuk kepentingan publik dimasa mendatang. Hal ini menimbulkan permasalahan baru karena pemerintah daerah dianggap tidak dapat mengalokasikan Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara proporsional. Saat ini kondisi Belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pemerintah daerah di Indonesia kurang diperhatikan, Seharusnya pemerintah daerah lebih memperhatikan bagian yang dialokasikan kepada belanja modal. Jika pemerintah daerah ingin memberikan kualitas layanan publik yang baik, maka perlu adanya manfaat yang dirasakan oleh publik dimasa mendatang dengan cara membuat program-program yang memiliki manfaat dalam jangka panjang seperti pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, pembelian mobil ambulan dll. Rendahnya belanja modal dapat mempengaruhi kinerja berbagai badan pemerintah. Belanja modal

merupakan faktor penting dalam meningkatkan perekonomian, sehingga perlu adanya campur tangan layanan dari pemerintah mencakup rendahnya tingkat pencairan anggaran. Mardiasmo (2010) mengatakan bahwa anggaran sektor publik terutama sektor pemerintah sangat penting karena: (1) Anggaran salah satu alat yang penting bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, untuk menjamin kesinambungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. (2) Untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. (3) Adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang akan tetapi sumber daya yang ada terbatas. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hal ini bertujuan untuk menambah aset tetap yang dimiliki. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Dengan terpenuhinya fasilitas publik maka masyarakat merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan. Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan untuk hal- hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Oleh karena itu, penerimaan pemerintah daerah seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Semakin

tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Mardiasmo, 2002). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang Kemudian direvisi Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Jadi Undang-Undang tersebut memberikan penegasan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dan kebebasan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber dari pendapatan asli daerah berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pajak dan retribusi daerah merupakan 2 sumber pendapatan asli daerah yang terbesar. Peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik. Tetapi yang terjadi adalah upaya peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan

hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya. Pendapatan asli daerah setiap daerah berbeda-beda. Daerah yang memiliki kemajuan dalam bidang industri dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah cenderung memiliki pendapatan asli daerah jauh lebih besar dibanding daerah lainnya, begitu juga sebaliknya. Karena itu terjadi ketimpangan pendapatan asli daerah. Disatu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki pendapatan asli daerah yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena pendapatan asli daerah yang dimiliki sangat rendah, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal pemerintah berupaya dengan cara mengalokasikan dana yang bersumber dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan dan Keuangan Pusat dan Daerah, membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang ini menegaskan bahwa pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan menstranfer dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan tersebut bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah.

Menurut Pipin dan Jubaedah (2005:108) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dalam pengalokasiannya yang merupakan tujuan utama dari dana alokasi umum adalah untuk menekankan pada aspek pemerataan kemampuan keuangan daerah dalam mendanai kebutuhan daerahnya dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) dalam Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah pusat. Menurut Pipin dan Jubaedah (2005:107) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan khusus adalah (1) Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan dikawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan dikawasan terpencil, serta saluran irigasi. (2) Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar daerah akan memperoleh dana perimbangan, tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan sejauh mana instrument atau sistem pengelolaan keuangan daerah mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab (Darise, 2008). Pelaksanaan pemerintahan yang bertanggung jawab dan transparan akan mewujudkan terciptanya good governance. Menurut World Bank dalam Mardiasmo (2010:18), good governance merupakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, dan menjalankan disiplin anggaran. Pengalokasian dana investasi merupakan suatu aktivitas pendanaan, dimana pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah digunakan untuk membiayai sejumlah kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan dalam jangka panjang. Salah satu bentuk pengalokasian dana investasi dalam sistem pemerintahan adalah belanja modal. Di Negara Indonesia ini terbagi menjadi beberapa pulau, suku, ras, budaya, adat istiadat, dll. Dan didalam pulau-pulau tersebut terdapat beberapa daerah-daerah kabupaten dan kota yang masing-masing memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda, sehinga berpengaruh pada seberapa besarnya pendapatan ataupun pengeluaran yang terjadi pada daerah tersebut.

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dipulau Jawa yang memiliki sumber daya yang melimpah dan memiliki potensi untuk menghasilkan pendapatan asli daerah yang signifikan. Sehingga diperkirakan Jawa Timur memiliki kemampuan kemandirian yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan daerahnya. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sejauh ini ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat dirasa masih cukup tinggi, dan tidak menutup kemungkinan Jawa Timur juga masih memiliki ketergantungan pada pemerintah pusat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah data yang akan diteliti adalah laporan realisasi APBD tahun 2012 sampai 2015 dari seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Pemilihan periode waktu tersebut karena dengan menggunakan data 4 tahun terakhir dari penyusunan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dan akurat untuk kondisi belanja modal saat ini. Provinsi Jawa Timur dipilih karena dirasa memiliki mobilitas tinggi dalam hal belanja modal dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk memperkuat dan mengembangkan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Populasi yang diteliti dalam penelitian ini yaitu mengambil populasi Laporan Realisasi APBD, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini memperbarui periode pengambilan populasi pengamatan yaitu pada tahun 2012 sampai dengan 2015. Penelitian ini berusaha ingin mengetahui apakah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

berpengaruh terhadap Belanja Modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur selama periode 2012-2015. Oleh karena itu judul penelitian ini adalah Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Belanja Modal. Penelitian ini dilakukan atas dasar adanya research gap, dan untuk memberikan hasil atas variabel-variabel apa saja yang dapat mempengaruhi pengalokasian belanja modal. Dengan lebih memperinci variabel penelitian sebelumnya yaitu variabel dana perimbangan menjadi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), disertai dengan penggunaan data terbaru, peneliti ingin mengetahui apakah variabel tersebut akan berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan apakah hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya atau bahkan memberikan hasil yang baru. 1.2 Rumusan Masalah Dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, pemerintah pusat memberikan hak, kebebasan, dan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangga daerahnya sendiri termasuk dalam hal penerimaan pendapatan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah dan juga dalam hal pengeluaran pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat tidak serta merta melepaskan pemerintah daerah begitu saja. Akan tetapi, pemerintah pusat masih memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa dana perimbangan. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan penuh untuk menggunakan dana perimbangan tersebut. Tetapi, kewenangan tersebut memiliki timbal balik

berupa daerah harus mampu menggunakan dana perimbangan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pelayanan publik. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berpengaruh Terhadap Belanja Modal? 2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) Berpengaruh Terhadap Belanja Modal? 3. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) Berpengaruh Terhadap Belanja Modal? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk menguji Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Belanja Modal, yang akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut: 1. Tujuan penelitian ini untuk menguji apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berpengaruh signifikan Terhadap Belanja Modal. 2. Tujuan penelitian ini untuk menguji apakah Dana Alokasi Umum (DAU) Berpengaruh signifikan Terhadap Belanja Modal. 3. Tujuan penelitian ini untuk menguji apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) Berpengaruh signifikan Terhadap Belanja Modal.

1.4 Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian diatas maka diharapkan penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Kontribusi praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan inormasi yang positif bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengelola Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. 2. Kontribusi teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Serta dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan menjadi bahan masukan bagi penulis berikutnya dengan kajian yang lebih mendalam terhadap permasalahan yang ada. 3. Kontribusi kebijakan Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam menentukan kebijakan dimasa mendatang yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Tetapi agar permasalahan tidak melebar sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam penelitian maka peneliti memberikan batasanbatasan dalam penelitiannya. Jadi ruang lingkup dari penelitian ini berfokus pada menganalisis, menguji dan membuktikan Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur selama periode 2012 sampai dengan 2015.