TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Area Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera Utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat 96 35-98 30 BT dan 2 50-4 10 LU. Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hamper 80% kawasan memiliki kemiringan di atas 40%. TNGL membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl) (BB Taman Nasional Gunung Leuser, 2011). Kawasan restorasi, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan areal bekas perkebunan sawit PT. Putri Hijau dan PT. Rapala, yang mulai beroperasi pada tahun 1980 dan mulai membuka hutan dan di Desa Halaban, Dusun Wonosari dan Dusun HKTI. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dilapangan, tahun 1980, PT. Putri Hijau membuka lahan ±3000 Ha, dan sekitar tahun 1985 mulai menanam kelapa sawit. Ada dua tahap pembukaan lahan di PT. Putri Hijau, tahap pertama pada tahun 1980-1985 dan tahap kedua 1985-1990. Berdasarkan literatur OIC (2011) luas areal resort Sei Betung saat ini adalah ±6000 Ha (Fransisca, 2013).
Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Photo dari Google Orangutan adalah salah satu anggota famili Pongidae. Berdasarkan persamaan genetis dan biokimia, Pongidae tersebut berkembang dari leluhur yang sama selama periode waktu kurang dari sepuluh juta tahun (Meijard et all, 2001). Orangutan jantan memiliki tinggi badan 120 150 cm, sedangkan orangutan betina: 100 120 cm. Berat badan orangutan pada umumnya 50-90 kg (di alam liar) sedangkan di karantina dapat mencapai 120 kg atau lebih. Warna tubuh Orangutan kemerah-merahan hingga coklat kehitam-hitaman, janggut pada Orangutan Sumatera (jantan) berwarna merah hingga jingga. Secara fisik panjang Lengan 60 90 cm atau 2/3 (dua per tiga) dari tinggi badan. Tampilan wajah sekitar mata tidak berbulu dan mempunyai telinga yang kecil. Memiliki tubuh yang tinggi, bulu/rambut yang kusut, dan lengan yang panjang. Bentuk tangan dan kaki kecil memanjang, sesuai untuk memegang cabang-cabang pohon. Jempol tangan yang pendek sangat mendukung fungsinya yang seperti gancu untuk membuka buah. Daging di sekitar pipi orangutan jantan dewasa (cheek pad) akan berkembang mulai dari umur 8 tahun atau 15 tahun hingga umur 20 tahun. Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Keluarga : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Primata : Homonidae
Subkeluarga : Pongoninae Marga Jenis : Pongo : Pongo abelii Status Orangutan Populasi terkini diperkirakan lebih kecil dari 30.000 individu yang tersebar di dua daerah sebaran (Sumatera dan Kalimantan). Menurut perkiraan, jumlah orangutan liar yang terdapat di hutan Sumatera hanya sekitar 6.500-7.500 individu saja. Orangutan liar yang terdapat di hutan Kalimantan sekitar 12.000-13.000 individu. Ini merupakan jumlah yang tersisa dari jumlah yang ada pada 10 tahun yang lalu (30%-50% terjadi pengurangan jumlah). Dalam dekade 20 tahun ini, menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada tahun 1993 sekitar 80% habitat mereka telah hilang atau musnah. IUCN memperhitungkan bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10-20 tahun ke depan Orangutan akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan Orangutan Sumatera sebagai satwa yang terancam punah (critically endangered species). Selain itu ancaman juga datang dari kegiatan perburuan hewan, baik itu untuk diperdagangkan sebagai binatang peliharaan atau untuk dimakan dagingnya (IUCN, 2007). Habitat Orangutan dan Sarang Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa
liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan,air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat yang berbeda beda. Habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwaliar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 2010). Orangutan biasanya menggunakan pohon sebagai tempat bersarang. Jenis pohon yang biasanya digunakan untuk tempat bersarang adalah pohon pakan Orangutan itu sendiri. Pohon yang biasa digunakan sebagai tempat bersarang adalah pohon yang memiliki percabangan yang relatife rapat dengan daun yang tidak berbulu yang tersebar diseluruh cabang pohon dan yang tidak bergetah. Pohon yang kuat juga menjadi salah satu kriteria pohon yang disukai Orangutan sebagai tempat bersarang. Ketinggian pohon sarang sangatlah beragam.mulai dari 20-25 m, diameter pohon sarang 20-30 cm, bentuk tajuk bola, tinggi sarang 16-25 m (Rifai, 2013). Hutan Sekunder Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena alam ataupun antropogen sampai menjadi klimaks kembali. Sifat-sifat hutan sekunder : - Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
- Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya. - Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku. - Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Lamprecht (1986) dalam Irwanto (2006). Tahap-tahap perkembangan suksesi sekunder 1. Fase permulaan Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa yang tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul (Irwanto, 2006). 2. Fase awal Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7-25 tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang luas. Pertumbuhan tanaman dan penyerapan unsur hara yang cepat mengakibatkan terjadinya penumpukan biomasa yang sangat cepat. Dalam waktu kurang dari lima tahun, indeks permukaan daun dan tingkat produksi primer
bersih yang dimiliki hutan-hutan primer sudah dapat dicapai. Biomasa daun, akar dan kayu terakumulasi secara berturut-turut. Begitu biomasa daun dan akar berkembang penuh, maka akumulasi biomasa kayu akan meningkat secara tajam. Hanya setelah 5-10 tahun biomasa daun dan akar halus akan meningkat mencapai nilai seperti di hutan-hutan primer. Selama 20 tahun pertama, produksi primer bersih mencapai 12-15 t biomasa/ha/tahun, yang demikian melebihi yang yang dicapai oleh hutan primer yaitu 2-11 t/ha/tahun. Proses-proses biologi akan berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.ciri-ciri ini adalah permulaan dari fase ketiga (fase dewasa) (Irwanto, 2006). 3. Fase Dewasa Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka akan mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen. Secara garis besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang relatif beragam dapat dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda mereka sangat menyerupai pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi, hidup lebih lama (50-100 tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat Finegan (1992) dalam Irwanto (2006). 4. Fase Klimaks Libermann & Liebermann (1987) dalam Irwanto (2006) menyatakan bahwa pionir-pionir akhir mati satu per satu setelah sekitar 100 tahun dan berangsur-angsur digantikan oleh jenis-jenis tahan naungan yang telah tumbuh dibawah tajuk pionir-pionir akhir. Jenis-jenis ini adalah jenis-jenis pohon klimaks dari hutan primer, yang dapat menunjukkan ciri-ciri yang berbeda. Termasuk
dalam jenis-jenis ini adalah jenis-jenis kayu tropik komersil yang bernilai tinggi dan banyak jenis lainnya yang tidak (belum) memiliki nilai komersil. Fenologi Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada tumbuhan. Berlangsungnya fase fase tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara. Seperti fenologi perbungaan pada beberapa jenis anggrek agar bunganya segera mekar, harus mendapatkan stimulasi udara panas dan atau dingin, tergantung jenis anggrek tersebut. Fenologi perbungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola perbungaan dan perbuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah. Pengamatan fenologi tumbuhan yang seringkali dilakukan adalah perubahan masa vegetatif ke generatif dan panjang masa generative tumbuhan tersebut. Ini biasanya dilakukan melalui pendekatan dengan pengamatan umur bunga, pembentukan biji dan saat panen (Dwi, 2006). Penelitian Terkait - Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1872) di Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian dilakukan di Resort Sei Betung yang merupakan kawasan pelepasliaran orangutan yang
dikelola oleh Orangutan Information Centre. Data spasial Orangutan Sumatera di TNGL yang digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat digunakan sebagai data acuan penelitian lanjutan dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penerapan kebijakan bagi pengelola kawasan tersebut (Gojali, 2014). - Studi Ekologi Beringin (Ficus spp.) di TNGL Resort Sei Betung Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian dilakukan terhadap jenis tumbuhan Ficus spp. yang ada di hutan primer dan sekunder TNGL untuk mengetahui kerapatan jenis beringin, keanekaragaman jenis beringin, dominasi, pola sebaran dan indeks kesamaan jenis (Darsimah, 2014). - Analisis jenis pohon buah pakan di sekitar sarang Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di hutan primer dan hutan sekunder TNGL Resort Sei Betung sehingga didapat data-data keanekaragaman pohon buah pakan Orangutan (Widiani, 2014). - Kelimpahan jenis dan estimasi produktivitas ficus spp. Sebagai sumber pakan alami orangutan sumatera (pongo abelii) di pusat pengamatan orangutan sumatera (ppos) Taman nasional gunung leuser. Diteliti mengenai ketersediaan pakan jenis Ficus spp. yang perlu dievaluasi untuk kedepannya. Penulis melakukan penelitian menggunakan metode perhitungan produktivitas untuk mengestimasi produktivitas Ficus spp. ( Darma, Santy, 2014).