KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133
PROSIDING Workshop Nasional 2006 134
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan adanya penebangan ramin secara illegal, eksploitasi yang berlebihan, konversi hutan menjadi penggunaan lahan lain, kebakaran hutan, dan sebagainya. 2. Sampai dengan saat ini, terdapat 5 provinsi yang menghasilkan ramin cukup besar, yaitu Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ramin di hutan alam di 5 provinsi tersebut bervariasi, dengan potensi seluruhnya sekitar 15 juta m 3 atau 11,3 % dari potensi hasil survey 1983 (yaitu sekitar 131 juta m 3 ). Hal ini berarti dalam 20 tahun ramin mengalami penurunan sekitar 90%, dengan kehilangan habitat sekitar 53%. 3. Penelitian-penelitian ramin yang menyangkut pertumbuhan dan kebutuhan cahaya menunjukkan bahwa pada bibit umur sampai 6 bulan, ramin tumbuh baik pada tempat-tempat yang terbuka. Sedangkan setelah berumur lebih dari 6 bulan memerlukan intensitas cahaya sedang. Di hutan alam yang rusak menunjukkan bahwa kehadiran anakan ramin sangat jarang. 4. Dalam kondisi sekarang sebenarnya sangat sulit menentukan kelayakan ramin untuk diperdagangkan. Hal ini karena tidak adanya data dasar ramin yang lengkap. Sampai dengan saat ini data riap dan produksi ramin sifatnya temporer. 5. Sistem silvikultur TPTI jika dilaksanakan secara konsisten masih dapat menjamin pengelolaan hutan rawa gambut secara berkelanjutan. 6. Rehabilitasi hutan rawa gambut pada kawasan hutan produksi ex HPH yang masih memiliki jenis-jenis komersial sebagai sumber benih dapat diterapkan sistem silvikultur TPTII dengan modifikasi jenis yang dikembangkan (terutama ramin yang menjadi pioritas), kegiatan persiapan lahan dan pembangunan sarana dan prasarana (terutama transportasi masih relevan dengan jalan rel bukan dengan pembuatan saluran). 135
PROSIDING Workshop Nasional 2006 7. Kebijakan pemanfaatan ramin adalah kebijakan terintegrasi. Tujuannya adalah untuk mendorong pemanfaatan ramin yang menguntungkan, berkeadilan dan tidak membahayakan daya dukung sosial dan ekologi. 8. Sampai dengan saat ini kemajuan yang telah dicapai dalam kebijakan pemanfaatan ramin antara lain: - sistem sertifikasi sudah siap; - pengakuan pasar sudah ada: - sistem verifikasi - legalitas sudah dikembangkan dengan memperhatikan kredibilitas, keadilan, dsbnya. 9. Beberapa kendala yang dijumpai dalam kebijakan pemanfaatan ramin antara lain: - egosektoral - adanya pendapat yang menyatakan bahwa hutan masih dijadikan bantalan ekonomi ketika terjadi krisis ekonomi - masih banyak pemburu rente yang mempengaruhi pembuat kebijakan - orientasi jangka pendek pengambil kebijakan - adanya desentralisasi dan otonomi daerah yang berlebihan. REKOMENDASI 1. Konversi hutan rawa gambut menjadi penggunaan lahan lain harus dihindari. Untuk itu diperlukan inventarisasi yang akurat tentang potensi dan distribusi ramin di lapangan, agar pengelolaan dan konservasi ramin dapat ditingkatkan. Disamping itu diperlukan aturan-aturan khusus untuk menjamin kelestarian ramin dan habitatnya, disamping peningkatan kontrol terhadap area konservasi. 2. Review informasi tentang ramin secara menyeluruh sangat diperlukan untuk membantu pelestarian ramin 3. Perlu pengaktifan kembali terhadap HPH-HPH yang sudah tidak aktif, agar illegal logging dapat berkurang. Alternatif ini dapat dilakukan dalam bentuk : - mengembalikan ke negara dan dikelola oleh HPH lain; atau - dimanfaatkan sebagai common resources (dikelola oleh komuniti). - Dalam rangka melestarikan ramin, diperlukan regenerasi buatan khususnya di areal bekas tebangan melalui rehabilitasi/penanaman/ pengayaan. Dalam upaya ini, perlakuan-perlakuan terutama yang menyangkut kebutuhan cahaya terhadap pertumbuhan ramin sangat diperlukan. 136
4. Pengukuran dan pemantauan pertumbuhan serta pola regenerasi ramin dalam kurun waktu yang panjang sangat penting untuk menduga produktivitas dan ketersediaan anakan. 5. Rehabilitasi hutan rawa gambut pada kawasan hutan produksi terdegradasi dengan THPB secara intensif, menggunakan jenis asing dan dengan pembuatan saluran drainase sebaiknya dihindari. Jika THPB akan diterapkan, maka perlu dibuat mosaik dalam petak-petak kecil dikombinasikan antara kawasan hutan alam dan hutan tanaman, dengan prioritas jenis asli. 6. Hutan rawa gambut yang merupakan habitat ramin, saat ini banyak mengalami kerusakan. Oleh karena itu, penanaman ramin baik secara in-situ maupun ex-situ sangat diperlukan. 7. Untuk melaksanakan kebijakan pemanfaatan ramin yang terintegrasi diperlukan prasyarat-prasarat, antara lain: - pengakuan terhadap keberadaan pihak ke tiga independen, baik untuk sertifikasi, verifikasi, legalitas maupun monitoring secara umum; - kerjasama antar lembaga; - analisis yang menyeluruh tentang potensi ramin terutama analisis tentang supply dan demand; - target-target ekonomi yang masuk akal. 137
PROSIDING Workshop Nasional 2006 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KEDUA KESIMPULAN 1. Hutan ramin campuran tumbuh pada tipe rawa gambut obrogen oligotropik yang miskin hara. 2. Permudaan alam ramin pada hutan bekas tebangan (3,5,10,15, dan 20 tahun sesudah tebang) terus menurun akibat persaingan cahaya dengan jenis-jenis intoleran. Untuk itu perlu dilakukan tindakan pembebasan vertikal terutama pada tingkat pancang dan tiang. 3. Pengayaan tanaman ramin seyogianya dilakukan pada areal gambut dengan kedalaman 200 sampai 400 cm. 4. Sistem TPTI cocok untuk pengelolaan hutan rawa gambut (Ramin) dengan rotasi tebang 40 th, limit diameter tebangan 40 cm dengan pohon inti 20 39 cm. Dengan asumsi riap diameter 0.5 cm/th maka pohon inti (Ø 20 cm) akan menjadi > 40 cm dan siap tebang pada rotasi berikutnya. 5. Ancaman kelestarian tegakan ramin semakin meningkat karena pembalakan yang berlebihan dan maraknya illegal logging serta meningkatnya alih fungsi kawasan HRG, terutama setelah era reformasi dan desentralisasi. Sekalipun sudah ada moratorium penebangan dan perdagangan kayu ramin serta telah masuknya ramin ke Appendix III dan II CITES, penebangan ramin (illegal) masih terus berlangsung. Semua upaya ini ternyata belum mampu mengendalikan illegal logging dan perambahan hutan di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahya penegakan hukum. Akibatnya produksi kayu ramin menurun tajam dari 1 1,5 juta m 3 /tahun pada tahun 70-an menjadi hanya 8.000 m 3 pada tahun 2003. 6. Upaya penyelamatan ramin lainnya yang telah diambil pemerintah adalah pengaturan pembalakan melalui TPTI, sertifikasi pengelolaan hutan alam secara lestari, penetapan standar sistem silvikultur pada hutan alam tanah kering dan/atau hutan alam tanah basah/rawa dan pengembangan teknik budidaya ramin. 7. Konservasi ramin dapat dilakukan melalui penanaman in-situ dan exsitu. In-situ konservasi dapat dilakukan pada habitat ramin yang masih ada, sementara ex-situ konservasi dapat dilakukan pada HRG sekunder. 138
REKOMENDASI Untuk menyelamatkan tegakan ramin yang masih ada dan mencegah kerusakan HRG leboh lanjut, maka perlu: 1. Memacu penerapan sistem pengelolaan hutan alam lestari. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi ulang HRG yang masih baik dan layak dikelola secara ekologi dan ekonomi. Selanjutnya unit pengelolaan hutan lestari bisa diperbanyak dan dimantapkan melalui penerapan kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) secara benar. 2. Menetapkan beberapa kawasan HRG yang masih baik untuk sumber benih/bibit ramin yang tersebar pada berbagai wilayah (minimum pada empat propinsi dimana HRG berada). 3. Melakukan rehabilitasi kawasan HRG sekunder dan kawasan pelestarian yang rusak serta mencegah berlanjutnya alih fungsi lahan HRG. 4. Menerapkan sistem silvikultur TPTI secara benar. 5. Menerapkan moratorium penebangan ramin di lapangan dengan mengaktualisasikan penegakan hukum. 6. Melakukan kegiatan konservasi ramin, baik secara in-situ maupun exsitu. 7. Melakukan penelitian tentang budidaya ramin berikut habitatnya yang masih diperlukan seperti mekanisme penyerapan hara dan penggunaan mikoriza. 8. Mengembangkan/membudidayakan jenis-jenis pohon substitusi kayu ramin seperti karet, jelutung, pulai, pinus, agatis, dan perupuk. 9. Menindak lanjuti hasil workshop dengan menyampaikan rumusan ini ke Kepala Badan Litbang dan Menteri Kehutanan serta eselon I terkait (Baplan, PHKA, BPK dan RLPS). 139
PROSIDING Workshop Nasional 2006 140