BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi

KORELASI GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK BUMI CEKUNGAN ASRI BAGIAN BARAT

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kebutuhan energi terutama energi fosil yang semakin

UNIVERSITAS DIPONEGORO

KARAKTERISASI DAN KORELASI GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK DI BLOK JABUNG, SUB-CEKUNGAN JAMBI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. usia produksi hidrokarbon dari lapangan-lapangannya. Untuk itulah, sebagai tinjauan

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Geokimia Minyak & Gas Bumi

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON DAN ESTIMASI PERHITUNGAN VOLUME HIDROKARBON PADA BATUAN INDUK AKTIF, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON LAPANGAN X CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz

STUDI BATUAN INDUK HIDROKARBON DI CEKUNGAN JAWA TIMUR BAGIAN BARAT TESIS

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

KARAKTERISTIK CONTO BATUAN SERPIH MINYAK FORMASI SANGKAREWANG, DI DAERAH SAWAHLUNTO - SUMATERA BARAT, BERDASARKAN GEOKIMIA ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv. SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI...

BAB II GEOLOGI REGIONAL

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

BAB IV UNIT RESERVOIR

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta

KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU

Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Sumatera Selatan termasuk salah satu cekungan yang

HUBUNGAN ANTARA GEOKIMIA MINYAK BUMI DAN BATUAN INDUK DI SUB-CEKUNGAN ARDJUNA TENGAH, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

Bab II Kerangka Geologi

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

STUDI GEOKIMIA HUBUNGAN BATUAN INDUK CINTAMANI DAN JANTUNG DENGAN MINYAK BUMI BLOK OK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

II. GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

HALAMAN PENGESAHAN...

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya (International Energy Agency, 2004). Menurut laporan dari British

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

Transkripsi:

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM 4.1 Analisis Sampel Sampel yang dianalisis dalam studi ini berupa sampel ekstrak dari batuan sedimen dan sampel minyak (Tabel 4.1). Sampel-sampel ini diambil dari beberapa sumur eksplorasi di Cekungan Asri. Tabel 4.1 Interval sampel batuan induk dengan uji TOC dan pirolisis Rock-Eval. Nama sumur Kedalaman Sampel (kaki) Formasi Anastasia-1 10.187 10.605 Banuwati Delima-1 8.072 8.405 Banuwati Hariet-1 5.659 8.529 Talang Akar Hariet-2 8.279 12.360 Talang Akar, Banuwati Mega-1 6.022 6.420 Talang Akar, Banuwati 4.2 Evaluasi Batuan Induk Pada daerah Cekungan Asri, terdapat beberapa formasi yaitu Formasi Banuwati, Formasi Talang Akar, Formasi Batu Raja, dan beberapa formasi yang lebih muda di atasnya yaitu Gumai, Parigi dan Cisubuh. Untuk evaluasi batuan induk, dianalisis Formasi Banuwati, dan Formasi Talang Akar. Data geokimia yang digunakan berasal dari lima sumur yaitu Hariet-1, Hariet-2, Delima-1, Anastasia-1, Mega-1. Kelima sumur ini menembus formasi dalam rentang yang berbeda, begitu juga sampel untuk analisis geokimia diambil dari rentang kedalaman yang berbeda (Tabel 4.1). 4.2.1 Kandungan Karbon Organik (TOC) & Pirolisis Rock-Eval Analisis geokimia dilakukan pada sampel-sampel yang diambil dari lima sumur untuk evaluasi batuan induk. Untuk mengetahui potensi kekayaan batuan induk 36

GAS GAS OIL OIL dipelajari data hasil analisis kandungan karbon organik total (TOC) yang dibandingkan dengan nilai indeks hidrogen (HI) pada sampel-sampel dari Formasi Banuwati dan Formasi Talang Akar (Lampiran V). Pada Formasi Talang Akar, berdasarkan sampel dari tiga sumur yang menembusnya, yaitu Hariet-1, Hariet-2, dan Mega-1. Lingkaran merah menunjukkan nilai TOC yang mengindikasikan potensi batuan induk. Formasi Talang Akar memiliki nilai TOC sangat bervariasi antara 0,2 hingga lebih dari 20 yang mengindikasikan karbon batubara. Nilai HI pun bervariasi dari kurang dari 10 hingga 500-an (Lampiran III). Dari plot nilai TOC dan HI (Gambar 4.1.A), diindikasikan bahwa Formasi Talang Akar memiliki variasi potensi yang kurang hingga sangat baik. Ditinjau dari nilai HI yang relatif rendah dan menunjukkan potensi membentuk gas, perlu ditinjau lagi faktor kematangan pada Formasi Talang Akar. GAS OIL & 0 Not Source Fair Good V.Good Excellent Coal Not Source Fair Good V.Good Excellent Coal 0,10 0,50 1,00 2,00 5,00 20,00 100,0 GAS OIL & 0,10 0,50 1,00 2,00 5,00 20,00 100,0 A B Gambar 4.1 Perbandingan plot TOC HI antara Formasi Talang Akar dan Formasi Banuwati. 37

Sementara itu pada 27 sampel dari Formasi Banuwati (Gambar 4.1.B), ditunjukkan kandungan TOC yang berpotensi baik hingga sangat baik. Sementara itu, kandungan HI mengindikasikan potensi material organik membentuk minyak. Dari perbandingan TOC dan HI, dapat dikatakan bahwa Formasi Banuwati merupakan formasi yang lebih potensial dibandingkan Formasi Talang Akar untuk mengandung batuan induk di daerah Cekungan Asri dengan kandungan material organik yang cukup juga kemungkinan membentuk tipe material organik yang menjadi tujuan eksplorasi hidrokarbon komersial yaitu minyak. 4.2.2 Kematangan Dalam evaluasi batuan induk juga dianalisis kematangan dari suatu batuan induk. Dilakukan analisis dengan pengeplotan nilai Tmaks (Tmax) dan indeks hidrogen (HI) untuk Formasi Talang Akar dan Formasi Banuwati. Nilai Tmaks pada Formasi Talang Akar (Gambar 4.2.A) secara umum berada di bawah 435 C yang menunjukkan keadaan belum matang (immature). Kematangan ini mempengaruhi tipe material organik yang terbentuk, sehingga ada kemungkinan apabila kematangannya cukup nilai HI akan meningkat dan grafik menunjukkan Tipe II. Formasi Banuwati (Gambar 4.2.B) memiliki nilai Tmaks di kisaran 430 C. Secara kuantitatif, ini menunjukkan kondisi material organik yang hampir matang hingga matang. Hubungan nilai Tmaks ini dengan indeks hidrogen juga menunjukkan tipe material organik (lingkaran merah) yang pada formasi ini menunjukkan kecenderungan Tipe II. Tipe II ini menunjukkan potensi membentuk minyak, sesuai dengan grafik TOC-HI pada bagian sebelumnya. 38

GAS OIL GAS OIL & GAS OIL TIPE I TIPE I TIPE II TIPE II TIPE III GAS OIL & TIPE III immature mature Late mature immature mature Late mature A B Gambar 4.2 Perbandingan plot Tmaks HI antara Formasi Talang Akar dan Formasi Banuwati. 4.3 Analisis Biomarker Dalam studi ini, biomarker yang digunakan berasal dari kromatografi gas (Gas Chromatography) berupa kromatogram alkana normal dan kromatografi gasspektometri massa (Gas Chromatography Mass Spectrometry) berupa sterana (m/z 217) dan triterpana (m/z 191). Biomarker yang dianalisis untuk evaluasi batuan induk dari Formasi Banuwati merupakan sampel ekstrak batuan induk sumur Hariet-2 pada kedalaman 12.360 kaki. Sementara untuk Formasi Talang Akar yang digunakan adalah sampel ekstrak batuan induk dari sumur Hariet-1 di interval kedalaman 11.890-11.980 kaki. 39

4.3.1 Batuan Induk Analisis biomarker untuk batuan induk dari Formasi Talang Akar dan Formasi Banuwati.dilakukan pada sejumlah sampel yang berasal dari sumur Hariet-1, Hariet-2, dan Delima-1 (Tabel 4.2). Sumur Hariet- 1 Hariet- 2 Delima -1 Tabel 4.2 Sampel batuan induk yang digunakan untuk analisis biomarker. Kedalaman (kaki) Formasi Pr/nC- 17 Ph/nC- 18 Pr/Ph CPI GC 7.158 Talang Akar 0,77 0,21 2,95 1,11 v - 10.400 Talang Akar 1,57 0,22 4,58 1,46 v - 10.367 Talang Akar 2,66 0,32 6,42 1,45 v - 11.980 Talang Akar 0,82 0,29 2,81 1,1 v v 11.826 Banuwati 0,6 0,27 2,5 1 v - 12.360 Banuwati 0,63 0,28 2,28 1,05 v v 8.182 Banuwati 2,38 1,35 0,31 1,1 v - 8.246 Banuwati 3,37 1,93 0,5 1,07 v - 8.273 Banuwati 3,18 1,51 0,41 1,07 v - 8.360 Banuwati 0,81 0,42 0,27 1,24 v - 8.405 Banuwati 0,9 0,43 0,27 1,25 v - 4.3.1.1 Formasi Talang Akar Dari biomarker berupa alkana normal, sterana, dan triterpana, dapat dianalisis asal material organik, lingkungan pengendapan, dan beberapa parameter lain yang dapat digunakan untuk melakukan korelasi. GC MS Keterangan: Sampel yang diuji dengan metode GC & GCMS Pada sampel ekstrak batuan induk dari interval kedalaman 11.890-11.980 kaki yang merupakan bagian dari Anggota Zelda Bawah, dilakukan GC dan GCMS. Biomarker alkana normal sampel ini (Gambar 4.3) memiliki puncak pada C15, 17 dan 19 yang mengindikasikan dominasi asal material organik alga dengan lingkungan pengendapan marin atau lakustrin. Nilai perbandingan pristana dan fitana adalah 2,81 yang tidak terlalu baik untuk dijadikan indikator lingkungan pengendapan, namun berasosiasi dengan lingkungan oksik. 40

Gambar 4.3 Alkana normal batuan induk Formasi Talang Akar. Pengeplotan C27, C28, C29 sterana sampel pada diagram segitiga menunjukkan lingkungan pengendapan lakustrin dangkal (Gambar 4.4). Hal ini sesuai dengan analisis geologi pada bab sebelumnya yang mengindikasikan bahwa Anggota Zelda Bawah diendapkan pada lingkungan lakustrin dangkal. Selain C27, C28, C29 sterana, dari biomarker sterana dapat diketahui adanya diasterana yang tinggi. Ini mengindikasikan batuan induk dengan mineralogi lempung yang tinggi. Sementara itu dari biomarker triterpana, pola trisiklik mengindikasikan asal material organik campuran dengan alga yang cenderung mendekati pola alga lakustrin (Gambar 4.5). Selain pola trisiklik, dapat terlihat kemunculan oleanana pada pentasiklik yang menjadi ciri khas material organik dari tumbuhan tinggi yang berusia Tersier. Penciri lain lingkungan pengendapan pada pentasiklik triterpana adalah gamaserana. Kehadiran gamaserana, dapat mendukung analisis lingkungan pengendapan lakustrin sekaligus korelasi triterpana sampel batuan dan sampel minyak. 41

Gambar 4.4 Plot distribusi C27, C28, C29 sterana dari batuan induk. Gambar 4.5 Triterpana batuan induk Formasi Talang Akar 42

Bersama dengan sampel-sampel lain yang diambil dari kedalaman yang lebih dangkal, dilakukan analisis lingkungan pengendapan Formasi Talang Akar secara kuantitatif berdasarkan nilai pristana/fitana, fitana/nc18 dan pristana/nc17. Pengeplotan pada diagram perbandingan rasio fitana/nc18 dan pristana/nc17 menunjukkan indikasi asal material organik campuran dan mengarah ke lingkungan darat rawa (peat swamp) (Gambar 4.6). Hal ini sesuai pula dengan persebaran plot sampel-sampel pada diagram perbandingan pristana/fitana dan pristana/nc17 yang menunjukkan bahwa batuan induk Talang Akar terdiri material organik tumbuhan tinggi yang lebih dominan (Gambar 4.7). Hal ini mendukung analisis geologi mengenai Formasi Talang Akar Anggota Zelda Bawah yang menunjukkan lingkungan lakustrin dangkal yang mendangkal hingga lingkungan fluvial pada Anggota Zelda Tengah. Batuan Formasi Talang Akar Batuan Formasi Banuwati Sampel dengan data GCMS Gambar 4.6 Diagram rasio Ph/nC18 dan Pr/nC17 batuan induk. 43

Batuan Formasi Talang Akar Batuan Formasi Banuwati Sampel dengan data GCMS Gambar 4.7 Diagram rasio Pr/Ph dan Pr/nC17 batuan induk. Adanya perbedaan lingkungan pengendapan dari sampel-sampel ini sesuai dengan sejarah geologi Cekungan Asri saat diendapkannya Formasi Talang Akar. Formasi Talang Akar pertama diendapkan pada lingkungan lakustrin dangkal yang terus mendangkal hingga lingkungan pengendapan fluvial. Oleh karena itu sampel yang berasal dari interval paling dalam menunjukkan lingkungan pengendapan lakustrin dangkal dan semakin mendangkal hingga menunjukkan lingkungan pengendapan terestrial. Kematangan pada Formasi Talang Akar dapat ditinjau dari beberapa parameter. Biomarker alkana sampel-sampel menunjukkan Carbon Preference Index (CPI) yang berkisar antara 1,1-1,46. Terdapatnya nilai CPI lebih dari 1,2 mengindikasikan kondisi yang belum matang. Selain CPI, perbandingan Tm/Ts pada triterpana bernilai kurang lebih sama dengan 1,0. Ini menunjukkan kondisi belum matang-hampir matang. 44

4.3.1.2 Formasi Banuwati Analisis biomarker dari Formasi Banuwati diwakili oleh sampel dari kedalaman 12.360 kaki yang diuji melalui proses GC dan GCMS, juga beberapa hasil GC sampel ekstrak batuan induk lain. Untuk menentukan lingkungan pengendapan, dapat ditinjau komposisi C15, 17, 19 pada alkana normal dibandingkan dengan C27, 29, 31 (Gambar 4.8). Komposisi C15, 17, 19 dan C27, 29, 31 membuat dua puncak dan tidak ada dominasi antara keduanya (bimodal n-alkane distribution). Ini mengindikasikan bahwa asal material organik merupakan campuran dari alga dan tumbuhan tinggi dengan lingkungan pengendapan akuatik tidak jauh dari pantai yang mendapatkan suplai sedimen terigen yang cukup. Waples dan Curiale (1999) menjelaskan bahwa karakteristik ini khas mencirikan hidrokarbon yang berasal dari lingkungan delta atau lakustrin, khususnya Indonesia. Walaupun dapat dikatakan bahwa keduanya memiliki karakter yang relatif sama, namun pada kedalaman 11.826 kaki, terlihat bahwa C15, 17, 19 (penciri asal material organik alga) lebih dominan sementara pada kedalaman 12.360 kaki, C27, 29, 31 (sebagai penciri asal material organik terestrial) lebih dominan. Analisis ini sesuai dengan sejarah geologi Formasi Banuwati yang terdiri dari fasies lakustrin transgresif dalam yang diendapkan di atas fasies dataran aluvial dan sungai teranyam (Sukanto dkk., 1998). Lingkungan pengendapan juga dapat diketahui dari C27, C28, C29 sterana yang diplotkan pada diagram segitiga (Gambar 4.4). Dari hasil pengeplotan, C27, C28, C29 sterana dari sampel batuan induk ini menunjukkan lingkungan lakustrin dalam. Pola trisiklik pada biomarker triterpana dari sampel ini juga mengindikasikan asal material organik campuran dengan antara alga dan terrestrial. Alga pada campuran ini memiliki pola yang cenderung mirip pola trisiklik alga lakustrin (Gambar 4.9). 45

Seperti pada sampel batuan induk Formasi Talang Akar, pada biomarker triterpana dari sampel batuan induk Formasi Banuwati terlihat adanya oleanana. Oleanana mencirikan asal material organik berusia Tersier. Selain oleanana, hadir pula gamaserana yang menguatkan indikasi lingkungan pengendapan lakustrin. Gambar 4.8 Alkana normal batuan induk Formasi Banuwati. 46

Kematangan pada Formasi Banuwati dapat ditinjau dari beberapa parameter. Biomarker alkana sampel-sampel menunjukkan CPI yang berkisar antara 1-1,20. Nilai CPI yang mendekati 1 dan tidak lebih dari 1,2 ini mengindikasikan kondisi yang matang. Selain CPI, perbandingan Tm/Ts pada triterpana menunjukkan nilai lebih dari 1,0. Ini mungkin disebabkan oleh material organik yang sudah melewati puncak pembentukan minyak (matang). Gambar 4.9 Triterpana batuan induk Formasi Banuwati. 4.3.2 Korelasi Batuan Induk dan Minyak Bumi Tujuan dari penelitian ini adalah mengkorelasikan properti geokimia petroleum dari batuan induk dan minyak bumi yang ada pada bagian barat Cekungan Asri dan secara sederhana menganalisis migrasinya. 47

Terdapat beberapa sumur dari beberapa lapangan yang diteliti sampel minyaknya. Namun demikian tidak semua sumur memiliki sampel yang dianalisis GCMS secara lengkap. Sampel-sampel minyak yang dianalisis tertera pada Tabel 4.3. Sumur Tabel 4.3 Sampel minyak yang digunakan untuk analisis biomarker. Kedalaman (kaki) Pr/nC- 17 Ph/nC- 18 Pr/Ph CPI GC GCMS Hariet-2 0 0,31 0,13 2,85 1,03 v v Aryani-1 3971 0,27 0,12 2,73 1,07 v v Aryani-2 4026,1 0,7 0,8 0,67 1,09 v - Chesy-1 3900 0,4 0,14 3,07 1,04 v v Hana-1 3320 0,59 0,22 2,79 1,04 v v Intan-1 3220-3240 0,56 0,21 2,78 1,09 v v Intan-4 3005 0,77 0,55 1,26 1,00 v - Intan-5 2855 0,57 0,34 1,6 1,05 v - 2880 0,59 0,33 2,6 1,03 v - Intan-8 3362 1,03 0,38 2,95 1,07 v - Intan-B1 2920 0,82 0,39 1,83 1,13 v - Intan-B4 2758,58 0,73 0,26 2,28 1,08 v - Widuri-1 3715-3730 0,66 0,3 2,15 1,06 v v 0 0,68 0,31 2,18 1,08 v - Keterangan: Sampel yang diuji dengan metode GC & GCMS Sampel minyak dari sumur Hariet-2 merupakan sampel minyak dari sumur yang diuji pula sampel batuan induknya. Untuk minyak dari sumur-sumur di bagian barat, terdapat lima sampel minyak yang memiliki data hasil GCMS yang lengkap yaitu Aryani-1, Hana-1, Chesy-1, dan Intan-1, dan Widuri-1. Sebagai acuan korelasi, biomarker alkana normal pertama kali akan ditinjau selimut yang merepresentasikan puncaknya. Terlihat bahwa biomarker sampelsampel minyak memiliki karakter yang sama dengan batuan induk pada formasi Banuwati, yaitu memiliki dua puncak yang tidak terlalu dominan (Gambar 4.10). Telah disebutkan bahwa ini mengindikasikan hidrokarbon dengan asal material 48

organik campuran alga dan tumbuhan tinggi, dan mencirikan lingkungan pengendapan lakustrin, khas Indonesia (Waples dan Curiale, 1999). Gambar 4.10 Alkana normal beberapa sampel minyak. Sama dengan batuan induk, sterana pada minyak digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan dengan diagram C27, 28, 29. Terlihat dari distribusi 49

sampel-sampel minyak yang mengindikasikan lingkungan pengendapan lakustrin dalam, korelatif terhadap sampel biomarker batuan induk dari Formasi Banuwati (Gambar 4.11). Gambar 4.11 Plot distribusi C27, C28, C29 sterana dari batuan induk dan minyak. Secara kualitatif sterana setiap sampel minyak yang ditinjau, memiliki diasterana yang tinggi. Sesuai dengan sterana dari sampel batuan induk baik dari Formasi Talang Akar maupun Formasi Banuwati. Ini menunjukkan batuan induk yang menghasilkan minyak-minyak tersebut berasal dari lingkungan dengan mineralogi lempung yang melimpah. Untuk mengkorelasi ditinjau pula pola trisiklik dari tiap biomarker triterpana sampel minyak yang direpresentasikan oleh sampel minyak dari sumur Chesy-1 (Gambar 4.12). Secara umum trisiklik sampel minyak mengindikasikan asal material organik campuran antara terrestrial dan alga, lebih cenderung kepada 50

alga. Ini sesuai dengan pola trisiklik triterpana sampel batuan induk baik dari Formasi Talang Akar maupun Formasi Banuwati. Gambar 4.12 Triterpana sampel minyak dari sumur Chesy-1, dianggap dapat merepresentasikan seluruh sampel minyak. Selain pola trisiklik, pada pentasiklik dari triterpana sampel-sampel minyak terdapat pula oleanana dan gamaserana. Ini merupakan suatu ciri yang menunjukkan bahwa sampel minyak dan batuan induk, baik Formasi Talang Akar maupun Formasi Banuwati berkorelasi dan berasal dari material organik berumur lebih tua dari Kapur (Tersier). Selain secara kualitatif, data biomarker Alkana sampel-sampel minyak lain yang didapatkan dari proses GC tersedia cukup untuk melakukan korelasi antara melalui pengeplotan pada diagram rasio pristana/fitana dengan pristana/nc17 dan fitana/nc18. Dapat terlihat bahwa secara umum sampel batuan induk dari Formasi Talang Akar mengindikasikan asal material organik campuran dengan dominasi tumbuhan tinggi. Batuan Induk dari Formasi Banuwati juga mengindikasikan asal material 51

organik campuran dengan lingkungan pengendapan transisi. Sementara itu persebaran plot sampel minyak menunjukkan bahwa minyak-minyak di bagian barat Cekungan Asri memiliki hubungan genetik, berasal dari material organik campuran dengan lingkungan transisi (Gambar 4.13). Seluruh analisis biomarker baik kualitatif maupun kuantitatif menunjukkan bahwa minyak yang ada di bagian barat berkorelasi positif dengan batuan induk dari Formasi Banuwati, dan Formasi Talang Akar bagian bawah dengan lingkungan pengendapan lakustrin dalam hingga lakustrin dangkal. Namun demikian karakteristik minyak di bagian barat lebih identik dengan batuan induk Formasi Banuwati. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Formasi Banuwati merupakan penghasil hidrokarbon utama dan dipengaruhi oleh hidrokarbon dari Formasi Talang Akar Bawah. Batuan Formasi Talang Akar Batuan Formasi Banuwati Minyak Gambar 4.13 Diagram rasio Pr/Ph dan Pr/nC17 batuan induk dan minyak. 52

Batuan induk Formasi Talang Akar Batuan induk Formasi Banuwati Minyak Gambar 4.14 Diagram rasio Ph/nC18 dan Pr/nC17 batuan induk dan minyak. Hasil analisis geokimia secara umum sesuai dengan analisis geologi berdasarkan stratigrafi daerah Cekungan Asri yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Ini juga didukung dengan studi paleogeografi oleh YPF Repsol dan Colorado School of Mines (Gambar 4.15) yang menunjukkan bahwa pada saat diendapkan Formasi Banuwati yang dapat dikatakan setara dengan saat diendapkannya Formasi Talang Akar Anggota Zelda Bawah (yang secara selaras diendapkan di atasnya), lokasi sumur Hariet-1 berada pada titik lokasi dengan lingkungan pengendapan lakustrin dangkal, sementara lokasi sumur Hariet-2 berada pada titik lokasi dengan lingkungan pengendapan lakustrin dalam. 53

Hariet-1 Hariet-2 Gambar 4.15 Paleogeografi Cekungan Asri (Sukanto dkk., 1995). 4.4 Migrasi Korelasi positif secara geokimia petroleum maupun secara geologi merupakan bukti adanya migrasi hidrokarbon ke bagian barat Cekungan Asri. Berdasarkan kurva sejarah pembebanan dari sumur Hariet-2 (Gambar 4.16), dapat diperkirakan bahwa memasuki fasa utama pembentukan minyak pada 7,5 juta tahun lalu di kedalaman sekitar 10.200 kaki. Dapat diperkirakan batas saat batuan induk terekspulsi kemudian bermigrasi. Untuk menganalisis jalur migrasi digunakan data seismik yang dihorizontalkan pada top Formasi Parigi yang berumur NN10, yang diperkirakan merupakan masa migrasi puncak (peak migration) pada Miosen akhir (Sukanto dkk., 1998). Data ini dapat merepresentasikan kondisi geologi pada saat migrasi terjadi. 54

Umur (juta tahun yang lalu) Gambar 4.16 Kurva sejarah pembebanan sumur Hariet-2 (Sukanto dkk., 1998). Migrasi ke bagian barat Cekungan Asri diperkirakan terjadi hanya secara lateral karena kandungan serpih yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan migrasi secara vertikal (akibat tertahan oleh lapisan serpih). Migrasi lateral pada Zelda bagian bawah mengarah ke bagian barat yang lebih dangkal. Hidrokarbon dapat mencapai Zelda Tengah melalui sesar-sesar yang memotong Formasi Talang Akar ataupun ketika lapisan Zelda Bawah habis setelah makin menipis pada bagian yang onlap. Setelah mencapai Zelda Tengah yang kaya akan lapisan-lapisan tebal batupasir, hidrokarbon dapat bermigrasi secara vertikal tanpa tertahan lapisan serpih. Migrasi secara vertikal juga dapat terjadi melalui sesar-sesar yang ada. Sesampainya di Zelda Atas dan Gita yang juga terdiri dari perselingan batupasir dan serpih dengan ketebalan serpih yang lebih signifikan dibandingkan pada 55

anggota Zelda Tengah, migrasi berlanjut kembali secara lateral. Pada Anggota Zelda atas dan Gita inilah minyak dapat terakumulasi pada perangkap struktur maupun kombinasi keduanya. Migrasi tidak dapat menerus ke atas karena tertahan oleh batuan penutup (seal) yaitu shale laut dangkal pada Gita Atas. Migrasi ke Cekungan Asri bagian barat secara sederhana dimodelkan pada Gambar 4.17 dan Gambar 4.18. 56

BARAT Gambar 4.17 Sketsa migrasi pada penampang Z-X saat Formasi Parigi diendapkan. 57

BARAT Gambar 4.18 Sketsa migrasi pada penampang Y-X saat Formasi Parigi diendapkan. 58