3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2008 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 8). Kepulauan Seribu merupakan gugus pulau-pulau yang terletak di perairan bagian utara kota Jakarta dan masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Kepulauan Seribu dinyatakan bahwa persentase tutupan dan jumlah jenis karang keras yang dijumpai meningkat dengan meningkatnya jarak dari daratan Jakarta maupun dari daratan Pulau Jawa (dalam hal ini wilayah Jakarta dan Banten) (Moll and Suharsono 1986, DeVantier et al. 1998, Giyanto et al. 2006). Adanya peningkatan persentase tutupan dan jumlah jenis karang keras ini berkaitan dengan tingkat kecerahan perairan (tingkat penetrasi cahaya) dimana semakin ke arah utara, tingkat penetrasi cahayanya semakin bagus (Moll and Suharsono 1986, DeVantier et al. 1998, Giyanto et al. 2006). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka penelitian dilakukan di sepuluh pulau di Kepulauan Seribu mulai dari Pulau Tikus yang berada di bagian selatan hingga ke Pulau Hantu Kecil yang berada di bagian utara. Pulau Hantu Kecil disebut juga sebagai Pulau Pantara Kecil untuk menghilangkan kesan angker pada kata Hantu. Pemilihan lokasi penelitian yang dimulai dari Pulau Tikus dilakukan dengan pertimbangan kejernihan perairan, dimana jarak pandang (visibility) di dalam air lebih dari 5 m. Pada penggunaan fotografi, kejernihan perairan sangat menentukan kualitas gambar yang dihasilkan karena kualitas gambar yang bagus dan jelas akan lebih mudah untuk dianalisis. Urutan lengkap ke sepuluh pulau yang menjadi lokasi penelitian, mulai dari bagian selatan hingga ke utara adalah sebagai berikut: 1. Pulau Tikus, 2. Pulau Tidung, 3. Pulau Air, 4. Pulau Semak Daun, 5. Pulau Kotok Besar,
26 6. Pulau Panjang, 7. Pulau Belanda, 8. Pulau Putri, 9. Pulau Jukung, dan 10. Pulau Pantara Kecil (Hantu Kecil). Posisi koordinat lintang dan bujur stasiun penelitian di masing-masing lokasi pulau disajikan pada Lampiran 2. Dalam hal ini, pemberian kode Stasiun dilakukan berdasarkan urutan pelaksanaan penelitian di lapangan. Gambar 8 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Jakarta
27 3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan dan peralatan penelitian yang digunakan selama pengambilan data di lapangan antara lain: - perahu, - GPS (Global Positioning System), - peralatan selam SCUBA, - pita berukuran (roll meter) dengan ketelitian hingga 1 cm (Gambar 9), - kamera digital bawah air (underwater camera) atau kamera digital biasa yang diberi pelindung (casing) agar tahan terhadap rembesan air laut. - tongkat yang terbuat dari pipa paralon dengan panjang 60 cm. - alas tulis (slate) dan pensil, - kertas untuk menulis di bawah air (underwater paper). 3.3 Metode Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dengan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan pada bagian sebelumnya, maka metode penilaian kondisi terumbu karang yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Transek Sabuk atau Belt Transect (BT) 2. Transek Garis Intersep atau Line Intercept Transect (LIT) 3. Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat garis transek dengan menggunakan pita berskala (Gambar 9) sepanjang 70 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang masih umum dijumpai, yaitu pada kedalaman antara 3-5 m (Gambar 10). Untuk keseragaman, garis transek ditarik sedemikian rupa sehingga posisi daratan berada pada sisi sebelah kiri garis transek. Pada setiap garis transek tadi, dilakukan pengambilan data untuk ketiga metode (BT, LIT dan UPT). Posisi koordinat (bujur dan lintang) setiap lokasi penelitian dicatat menggunakan alat GPS.
28 Gambar 9 Pita berskala (roll meter) Gambar 10 Pita berskala (roll meter) sepanjang 70 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman sekitar 3-5 m 3.3.1 Penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk Pada penarikan sampel menggunakan metode Transek Sabuk (BT) ini, data diambil dengan mencatat setiap biota dan substrat yang berada dalam rentang jarak 1 m sebelah kiri dan 1 m sebelah kanan garis transek. Semua jenis karang keras yang berada dalam area transek sabuk (luas area = 2 m x 70 m) dicatat panjang maksimum (P) dan lebar maksimum (L) dengan ketelitian hingga 1 cm (Gambar 11). Pencatatan nama jenis karang keras mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c. Untuk jenis karang keras yang tidak bisa diidentifikasi langsung selama pengamatan dilakukan, diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Gambar 12 merupakan ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk (BT).
29 Gambar 11 Ilustrasi pengukuran panjang dan lebar maksimum dari koloni karang keras Gambar 12 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk (BT) 3.3.1 Penarikan sampel dengan metode Transek Garis Intersep Pada penarikan sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode Transek Garis Intersep atau LIT (English et al. 1997) ini, pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat semua biota dan substrat yang berada tepat di bawah garis transek dengan ketelitian hingga 1 cm. Pencatatan kategori biota dan substrat berdasarkan English et al. (1997) (Lampiran 1). Khusus untuk karang keras juga dicatat nama jenisnya mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c). Untuk karang keras yang tidak bisa diidentifikasi nama jenisnya di lapangan, maka diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Gambar 13 merupakan ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Intersept Garis (LIT).
30 Gambar 13 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Garis Intersep (LIT) 3.3.3 Penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air Penarikan sampel dengan menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (UPT) dilakukan dengan melakukan pemotretan bawah air menggunakan kamera digital bawah air atau kamera digital biasa yang dilengkapi dengan pelindung (casing) untuk pemakaian bawah air sehingga tahan terhadap rembesan air laut. Pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat, pemotretan dilakukan di setiap rentang jarak 1 m sepanjang garis transek 70 m yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk menjaga keteraturan jarak pemotretan yang sejauh 60 cm dari substrat tersebut maka digunakan tongkat yang terbuat dari pipa paralon yang berukuran panjang 60 cm sebagai alat bantu. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek (bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai Frame 1 (Gambar 14a), dilanjutkan dengan pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang lebih jauh dengan daratan) sebagai Frame 2 (Gambar 14b), dan seterusnya sehingga untuk panjang transek 70 m diperoleh 70 buah frame ( Frame 1 sampai dengan Frame 70 ). Jadi untuk frame dengan nomor ganjil (1, 3, 5,...,69) diambil pada bagian sebelah kiri garis transek (Gambar 14a), sedangkan untuk frame dengan nomor genap (2, 4, 6,...,70) diambil pada bagian sebelah kanan garis transek (Gambar 14b). Untuk mudahnya, metode pengambilan data seperti ini disebut sebagai metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect). Gambar 15 merupakan ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air. Kotak-kotak yang bernomor pada Gambar 15 itu menunjukkan nomor framenya, sekaligus menunjukkan pada meter keberapa foto tersebut diambil pada garis transek. Untuk karang keras yang berukuran kecil atau tempatnya agak tersembunyi sehingga diduga akan sulit untuk
31 diidentifikasi dari foto, dapat dilakukan pemotretan kembali dengan jarak yang lebih dekat sebagai foto bantu untuk mengidentifikasi nama jenisnya. Identifikasi langsung di bawah air juga dapat dilakukan dengan mencatat nama beserta nomor framenya pada kertas khusus bawah air untuk mempermudah saat menganalisis foto. Jika masih dirasakan sulit, maka diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Jadi, penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya fotofoto tersebut masih perlu dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data yang kuantitatif. Gambar 14 Pengambilan foto di lapangan dengan metode UPT; (a) Posisi pita berskala pada Frame 1 dan frame bernomer ganjil (b) Posisi pita berskala pada Frame 20 dan frame bernomer genap Gambar 15 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air (UPT) 3.4 Analisis Data Dari data yang dikumpulkan dengan ketiga metode (LIT, BT dan UPT) seperti yang diuraikan sebelumnya dapat dihitung nilai frekuensi kehadiran dan persentase tutupan dari kelompok karang keras hidup. Selain itu juga dapat
32 dihitung nilai keanekaragaman karang keras, seperti jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon =H (Smith 1990, Huston 1995, Zar 1996, Clarke and Warwick 2001) dan indeks kemerataan Pielou=J (Zar 1996, Clarke and Warwick 2001). Indeks keanekaragaman Shannon yang kadang disebut juga sebagai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener atau indeks Shannon-Weaver (Zar 1996), dihitung menggunakan rumus: kk HH = pp ii. ln pp ii ii=1 dengan p i = n i /N ; n i = frekuensi kehadiran jenis i N = total frekuensi kehadiran semua jenis sedangkan indeks kemerataan (J ) dihitung menggunakan rumus: JJ = HH HH mmmmmm dengan H' max = ln S ; S = jumlah jenis Berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh tersebut kemudian dilakukan beberapa analisis data statistik baik yang bersifat grafis maupun statistik inferensi seperti uji statistik yang disesuaikan dengan rancangan penelitiannya. Macam analisis data statistik yang digunakan pada setiap analisis data akan disinggung lebih spesifik di setiap bagian analisis data pada bab-bab berikutnya. Untuk analisis data dilakukan menggunakan beberapa piranti lunak (software) komputer seperti Microsoft Office Excel, Minitab, Primer dan CPCe. Sebelum dilakukan uji statistik, bila perlu data ditransformasikan terlebih dahulu agar memenuhi asumsi berdistribusi normal (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996). Analisis pendahuluan menggunakan metode transformasi Box- Cox (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996) diterapkan pada data untuk menyelidiki transformasi yang sesuai sebelum dilakukan analisis lanjutan. Untuk data berupa persentase, sebelum dilakukan uji statistik data ditransformasi
33 ke bentuk transformasi arcsin akar pangkat dua atau p =arcsin p (Sokal and Rohlf 1995, Zar 1996). Selain itu dilakukan pula analisis MDS (Multi Dimensional Scaling) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi masing-masing perlakuan dengan menggunakan piranti lunak Primer v5 (Clarke and Gorley 2001). Clarke (1993) menganalogikan rekonstruksi peta dunia sebagai penerapan dari MDS, dimana lokasi 39 kota besar di dunia yang dihasilkan dari analisis MDS dapat digambarkan dengan hampir sempurna berdasarkan jarak antara setiap pasangan kota tersebut. Pada analisis MDS dapat diketahui besarnya nilai Stress yang merupakan ukuran kesesuaian (goodness of fit) dari setiap posisi antar titik (perlakuan) yang digambarkan oleh Gambar 2-dimensi. Nilai stress > 0,3 menunjukkan bahwa titik-titik pada Gambar 2-dimensi yang dihasilkan dari analisis MDS diplot secara asal (arbitrary), sehingga titik-titik tersebut tidak menggambarkan posisi antar titik yang sebenarnya. Nilai stress < 0,1 menunjukkan bahwa Gambar 2- dimensi yang dihasilkan sudah baik untuk menggambarkan posisi antar titik. Meskipun begitu, nilai stress < 0,2 juga masih dianggap berguna untuk melihat posisi antar titik (Clarke and Warwick 2001).