BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Studi Komparatif Mengenai Resiliensi Remaja Korban Sodomi di Desa X dan di Desa Y Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

I. PENDAHULUAN. kalangan remaja maupun dewasa tersebut. atau sesama pria.selain itu, seks antar sesama jenis tersebut sekarang bukan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

Resiliensi pada Remaja Wanita yang Mengalami Kekerasan Seksual. Nama : Yudha Ardhiyanto Kelas : 3 PA 01 NPM : Pembimbing : Diana Rohayati

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba.

HUBUNGAN ANTARA SUASANA KELUARGA DENGAN MINAT BELAJAR PADA REMAJA AWAL

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka. kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN. kasus seperti keluarga yang telah bercerai. Latar belakang keluarga yang bercerai

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi kecepatan perubahan hidup. Perubahan tersebut sering kali. dalam perasaan jenuh, cemas, putus asa karena tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. orang tua sejak anak lahir hingga dewasa. Terutama pada masa

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak diciptakannya manusia pertama yang dikenal dengan Adam dan

BAB II. Tinjauan Pustaka

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

MASA KANAK-KANAK AWAL. Masa ini dialami pada usia : 2 tahun 5/6 th Masa Usia Pra Sekolah : Play group atau TK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

mereka tinggal di lingkungan di mana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga yang bercerai juga. Selain itu bagi individu yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

Transkripsi:

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapngan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka (Desmita, 2013). Wolin dan Wolin (1999), menyebut resiliensi sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat dan terus memperbaiki diri. Individu yang resilien adalah individu yang tidak memunculkan simtom-simtom patologis pada situasisituasi yang cenderung negatif atau mengancam. Siebert (2005) juga menjelaskan bahwa individu yang resilien dapat mengatasi perasaan dengan baik saat ditimpa masalah bahkan sulit untuk diterima. Saat sakit dan stress individu tersebut dapat kembali dan menemukan cara untuk keluar dengan baik dari masalah yang dihadapi serta bangkit kembali setelah terjatuh dan tidak putus asa sehingga dapat menjadai lebih baik dari sebelumnya. 11

2 Menurut Grotberg (1999, dalam Desmita 2013) kualitas resiliensi tidak sama pada setiap orang, sebab kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan resiliensi seseorang tersebut. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, kompetensi vokasional, dan bahkan dengn tekanan hebat yang inheren dalam dunia sekarang seklaipun (Desmita, 2013). Remaja yang resilien dicirikan sebagai individu yang memiliki kompetensi secara sosial, dengan keterampilan-keterampilan hidup seperti: pemecahan masalah, berpikir kritis, kemampuan mengambil inisiatif, kesadaran akan tujuan dan prediksi masa depan yang positif bagi dirinya sendiri. Mereka memiliki minat-minat khusus, tujuan-tujuan yang terarah, dan motivasi untuk berprestasi di sekolah dan dalam kehidupan (Henderson & Milstein, 2003 dalam Desmita, 2013) Menurut Tugade & Frederickson (2005, dalam Swastika) setiap orang membutuhkan resiliensi, yaitu suatu kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang

3 berat, karena satu hal yang harus kita ingat bahwa hidup penuh dengan rintangan dan cobaan. Dari pendapat diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit dari permasalahan yang sedang dialaminya. 2. Sumber Pembentukan Resiliensi Menurut Grotberg (1999 dalam Desmita 2013) untuk mengatasi rintangan, anak dibentuk melalui tiga sumber resiliensi yang diberi label : a. I Have (Saya memiliki) Merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. 1) Trusting Relationships (Mempercayai Hubungan) Orangtua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengassihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutukan kasih sayang tanpa syarat dari orangtua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayng daan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terdap kurangnya kasih sayng dari orangtua.

4 2) Struktur dan Aturan di Rumah Orangtua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengarakan ank mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia pa ayang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan, dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orangtua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut. 3) Role Models Orangtua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan

5 dapat mengenalkan anak tersebut dengan aturan-aturan agama. 4) Dorongan Agar Menjadi Otonom Orang dewasa, terutama orangtua mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketka dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonom. Orang dewasa sadar akan temperamen anak, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mreka dapat mmenyesuaikan kecepatan dan tingkat temperamen untuk mendorong anak dapat otonom. 5) Akses pada Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan, dan Layanan Keamanan Ana-anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

6 b. I Am (Diri Saya) Merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh individu yang terdiri dari perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. 1) Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik Anak tersebt sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi responrespon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. 2) Mencintai, Empati, dan Altruistik Anak mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan. 3) Bangga pada Diri Sendiri Anak mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merassa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dlakukan untuk mengejar keiginanya. Anak tidak akan membiarkan orang lain meremehkan dan merendahkannya.

7 Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 4) Otonomi dan Tanggung Jawab Anak dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Anak merasa bahwa ia bisaa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. 5) Harapan, Keyakinan, dan Kepercayaan Anak percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, npercaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. ana mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.

8 c. I Can (SayaMampu) Adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang resilien sehubungan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial dan interpersonal. 1) Berkomunikasi Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perassaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perassaan orang lain. 2) Pemecahan Masalah Anak dapat menilai suatu perasaan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan. 3) Mengelola Berbagai Perasaan dan Rangsangan Anak dapat mengenali perasaannya memberikan sebutan emosi, dan menyatakan dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan

9 untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. 4) Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. 5) Mencari Hubungan yang Dapat Dipercaya Anak dapat menemukan seseorang misalnya orangtua, saudara, teman sebaya, untuk meminta pertolongan, berbagai perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mediskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Santrock (2003, dalam Septiani, 2010) sumber resiliensi individu berasal dari dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal merupakan sumber resiliensi yang berasal dari individu itu sendiri. Adapun karakteristik dari fator internal yaitu:

10 a. Mempunyai intelektual yang baik, namun anak yang mempunyai intelektul yang tinggi belum tentu anak itu resiliensi b. Sociable: kemampuan untuk bersosialisasi dengan baik menunjukkan bahwa anak atau remaja tersebu mempunyai resiliensi yang baik. c. Self Confidence: kepercayaan diri yang baik, mengindikasikan resien yang baik pada individu. d. High Self Esteem: remaja yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mengembangkan gambaranpositif yang menyeluruh tentang dirinya. e. Memiliki talent atau bakat: kemampuan untuk mempelajari suatu keterampilan atau hal-hal yang dicapainya setelah diberi pelatihan. f. Tangguh: remaja yang tangguh akan memiliki resiliensi yang lebih baik dari pada remaja yang tidak tangguh. Sedangkan faktor eksternal itu berasal dari luar individu dan merupakan sistem pendukung yag berasal dari lingkungan individu.faktot eksternal menurut Santrock (2003, dalam Septiani, 2010) dibagi menjadi dua yaitu: 1. Keluarga dengan karakteristik a. Hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki kepedulian dan perhatian untuk membangun hubungan yang dekat dengan anak.

11 b. Pola asuh yang hangat, teratur, dan kondusif bagi perkembangan individu. c. Sosial ekonomi yang berkecukupan. d. Memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga-keluarga lain. 2. Masyarakat di sekitarnya a. Mendapatkan perhatian dari lingkungan sekolah (teman-teman dan guru). b. Aktif dalam organisasi sekolah (organisasi kesiswaan, ekstrakulikuler). c. Aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal (Remaja Masjid, Karang taruna) 4. Karakteristik Resiliensi Wolin dan Wolin (1999) menjelaskan bahwa karakteristik resiliensi adalah sebagai berikut: a. Insight. Merupakan kemampuan untuk memahami diri sendiri, orang-orang yang ada disekitar serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi tertentu. b. Kemandirian. Suatu kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli terhadap orang lain.

12 c. Hubungan. Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan d. Inisiatif. Merupakan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab dari masalah yang dihadapi atau dalam pemecahan masalah. Individu yang resilien bersifat proaktif bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. e. Kreatifitas. Merupakan kemampuan yang melibatkan pemikiran dalam berbagai pilihan, konsekuensi dan jalan lain dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seserang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. f. Humor. Suatu kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untu memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.

13 g. Moralitas. Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasai berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut aan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. B. Gay 1. Pengertian Gay Homo berasal dari istilah latin yang berarti sama. Homoseksualitas adalah istilah yang digunakan untuk suatu orientasi seksual kepada jenis kelamin yang sama. Homoseksual yang dilakukan oleh sesama pria dalam istilah umumnya disebut gay. Sedangkan, yang dilakukan oleh sesama wanita dsebut lesbi (Himawan, 2007). Sementara itu menurut Craig (1992, dalam Davison and Neale, 1996) mengatakan bahwa homoseksualitas sendiri merujuk pada individu yang memiliki ketertarikan secara seksual dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, yang dibagi menjadi dua, yaitu gay untuk pria yang tertari secara seksual dengan sesama pria, dan lesbi untuk wanita yang tertarik secara seksual dengan sesama wanita. Al-quran merekam sejarah perilaku homoseksual pertama yang dilakukan manusia, yakni kaum Nabi Luth a.s. Dalam kisah sejarah tersebut Luth kedatangan tamu yang tidak lain adalah para Malaikat Allah yang menyamar sebagai manusia hendak menggambarkan kepada beliau

14 bahwa Allah akan menimpakan azab kepada kaumnya, kaum sodom hal ini terdapat dalam QS. Al-Hijr: 61-66 (Himawan, 2007). Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (DepKes RI, 1998), homoseksual dimasukkan dalam kategori gangguan psikoseksual dan disebut sebagai orientasi seksual egodistomik, yatu identitas jenis kelamin atau preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu mengharapkan yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari pengobatan untuk mengubahnya. Artinya homoseksual dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak senang dengan orientasi seksualnya dan bermaksud mengubahnya. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulakan bahwa homoseksual adalah ketertarikan secara emosional / kasih sayang, maupu secara erotik terhadap sesama jenis, dengan atau tanpa hubungan fisik. Pada dasarnya pembahasan mengenai homoseksualitas juga mencakup fenomena kaum gay. Atas dasar tersebut, maka setiap kajian mengenai homoseksualitas dapat mencakup kajian mengenai gay. Meskipun definisi homoseksual sangat jelas di atas, namun untuk mengetahui seperti apa atau bagaimana sosok homoseksual, tidak seorang pun dapat mengidentifikasinya secara eksternal. Mereka tidak dapat diidentifikasi melalui kebiasaan-kebiasaannya atau karakteristik fisiknya, karena mereka berbeda satu sama lain, sama seperti kaum heteroseksual yang berbeda satu sama lain. Namun berdasarkan pengertian homoseksual yang telah ada, mereka dapat diidentifikasi secara internal yaitu apabila

15 ada seseorang yang memiliki ketertarikan seksual kepada sesama jenisnya, maka orang tersebut dapat dikategorikan sebagai kaum homoseksual. 2. Karakteristik Gay Kendal,1998 (dalam, Oetomo, 2001) mengidentifikasikan tiga kriteria dalam menentukan seseorang itu homoseksual, yakni sebagai berikut : a. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. b. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. c. Mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian. 3. Faktor Penyebab Homoseksual Tidak ada konsensus di kalangan ilmuwan mengenai penyebab pasti seseorang mengembangkan orientasi heteroseks, biseks, gay, atau lesbian. Banyak riset yang meneliti kemungkinan pengaruh genetis, hormon, pertumbuhan sosial, budaya pada orientasi seksual. Namun tidak ada temuan yang memungkinkan para ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh beberapa faktor tertentu. Meskipun banyak orang yang beripikir bahwa faktor alami dan poa asuh memainkan peran yang kompleks, banyak orang yang merasa tidak memilih orientasi seksual mereka.

16 Faktor-faktor penyebab Homoseksual menurut Kertbeny & Karl (2005, dalam Oetomo 2001) diantaranya adalah: a. Faktor Keluarga: Pengalaman trauma pada masa kanak-kanak dan memiliki hubungan yang renggang dengan ibu atau bapaknya. b. Faktor Lingkungan: Homoseksual bukan dibawa sejak lair, namun terbina melalui pengalaman. Seperti keadaan pada waktu bayidewasa awal. c. Faktor Biologis: Suatu keadaan dimana seorang lelaki menyukai teman sejenis yang disebabkan oleh hormon. d. Faktor Individu (pribadi): Berasal dari proses lanjutan pembelajaran sewaktu kecil. e. Faktor yang menyebabkan individu tertarik pada homoseksual: Karena keinginan hawa nafsu yang menyenangkan dan tidak dapat ditolak, harga diri tidak boleh dapat dari hubungan lain. Ketakutan terhadap lawan jenis menyebabkan respon erotic menjadi pasif f. Peran utama aktivitas seksual: Individu merasakan pengalaman homoseksual pertama terbuka, hal ini akan membuat individu meneruskan aktivitas seksualnya.

17 C. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang gay serta resiliensi sudah banyak dilakukan oleh para peneliti, terutama mahasiswa psikologi di beberapa wilayah Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Dewindra Ayu Kartika tentang Resiliensi pada Single mother Pasca Perceraian menunjukkan hasil bahwa dua subjek yang dijadikan penelitian mereka mempunyai beberapa masalah setelah perceraian dan keduanya mempunyai resiliensi yang baik sehingga kedua subjek mampu bertahan dan bangkit kembali pasca perceraiannya. Persamaan dari penelitian di atas dengan penelitian ini adalah memiliki kesamaan dalam hal meneliti resiliensi juga sama dalam hal metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif. Perbedaannya ada pada lokasi dan waktu penelitian, subjek penelitian dimana dalam penelitian ini subek adalah seorang remaja, sedangkan dalam penelitian sebelumnya subjek adalah perempuan singgle mother yang mengalami perceraian. 2. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh P. Tommy Y. S. Suyasa, Farida Wijaya tentang Resiliensi Dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja) menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi dan sikap terhadap penggunaan napza. Artinya semakin tinggi resiliensi yang dimiliki subjek, belum

18 tentu semakin negatif sikap subjek terhadap penggunaan napza, ataupun sebaliknya. Persamaan dari penelitian di atas dengan penelitian ini adalah memiliki kesamaan dalam hal meneliti resiliensi, dan juga sama dalam hal subjek yang digunakan yaitu remaja. Namun meskipun sama-sama menggunakan remaja dalam penelitiannya dalam penelitian ini peneliti lebih fokus pada remaja dengan identitas seksualnya adalah seorang gay. Perbedaan lainnya juga ada pada lokasi dan waktu penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya juga berbeda. 3. Lalu penelitian yang dilakukan oleh Cantika Yeniar Pasudewi tentang Resiliensi Pada Remaja Binaan Bapas Ditinjau Dari Coping Stress menyatakan hasil bahwa resiliensi pada remaja binaan Bapas tidak dapat dibedakan berdasarkan jenis coping. Resiliensi pada sebagian besar remaja binaan Bapas berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 82,76%. Sisanya 17,24% pada kategori tinggi dan tidak ada yang berada pada kategori rendah. Persamaan dari penelitian di atas dengan penelitian ini adalah memiliki kesamaan dalam hal meneliti resiliensi dan subjek yang masih remaja. Namun meskipun sama-sama menggunakan remaja

19 dalam penelitiannya dalam penelitian ini peneliti lebih fokus pada remaja dengan identitas seksualnya adalah seorang gay. Perbedaan lainnya juga ada pada lokasi dan waktu penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya juga berbeda. 4. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ivadhias Swastika tentang Resiliensi Pada Remaja yang Mengalami Broken Home menyatakan hasil bahwa subjek memiliki resiliensi baik,hal ini dapat dilihat melalui kemampuan subjek untuk meregulasi emosi, mengendalikan impulsimpuls negatif yang muncul, seorang individu yang optimis, mampu berempati, memiliki harapan dan keyakinan yang kuat untuk bangkit, memiliki efikasi diri yang baik, serta aspek-aspek positif dalam hidupnya meningkat. Hal ini juga didukung oleh faktor-faktor dari dalam diri dan dari luar diri subjek yang mempengaruhi subjek untuk menjadi seorang yang resilien. Persamaan dari penelitian di atas dengan penelitian ini adalah memiliki kesamaan dalam hal meneliti resiliensi dan subjek yang masih remaja. Perbedaan lainnya juga ada pada lokasi dan waktu penelitian. Meskipun sama-sama menggunakan remaja dalam penelitiannya dalam penelitian ini peneliti lebih fokus pada remaja dengan identitas seksualnya adalah seorang gay.

20 D. Kerangka Konseptual Craig (1992, dalam Davison and Neale, 1996) mengatakan bahwa homoseksualitas sendiri merujuk pada individu yang memiliki ketertarikan secara seksual dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, yang dibagi menjadi dua, yaitu gay untuk pria yang tertari secara seksual dengan sesama pria, dan lesbi untuk wanita yang tertarik secara seksual dengan sesama wanita. Faktor-faktor penyebab Homoseksual menurut Kertbeny & Karl (2005, dalam Oetomo 2001)) diantaranya adalah: a. Faktor Keluarga: Pengalaman trauma pada masa kanak-kanak dan memiliki hubungan yang renggang dengan ibu atau bapaknya. b. Faktor Lingkungan: Homoseksual bukan dibawa sejak lahir, namun terbina melalui pengalaman. Seperti keadaan pada waktu bayi-dewasa awal. c. Faktor Biologis: Suatu keadaan dimana seorang lelaki menyukai teman sejenis yang disebabkan oleh hormon. d. Faktor Individu (pribadi): Berasal dari proses lanjutan pembelajaran sewaktu kecil. e. Faktor yang menyebabkan individu tertarik pada homoseksual: Karena keinginan hawa nafsu yang menyenangkan dan tidak dapat ditolak, harga diri tidak boleh dapat dari hubungan lain. Ketakutan terhadap lawan jenis menyebabkan respon erotic menjadi pasif

21 f. Peran utama aktivitas seksual: Individu merasakan pengalaman homoseksual pertama terbuka, hal ini akan membuat individu meneruskan aktivitas seksualnya. Menurut Grotberg (1995, dalam Desmita, 2013) untuk mengatasi rintangan, anak dibentuk melalui tiga sumber resiliensi yang diberi label : a. I Have (Saya memiliki), merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. b. I Am (Diri Saya), merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh individu yang terdiri dari perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. c. I Can (SayaMampu), adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang resilien sehubungan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial dan interpersonal.

22 Gambar 1.1 Kerangka Teoritik Latar Belakang Menjadi Gay Faktor Keluarga Faktor Lingkungan Faktor Biologis Terinfeksi Hiv/Aids Sumber Resiliensi Mantan Gay I Have I Am I Can