1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada jalan nafas dan paru yang diakibatkan partikel atau gas tertentu. Inflamasi kronik menyebabkan perubahan struktur dan penyempitan jalan nafas. Proses inflamasi juga merusak struktur parenkim paru sehingga menyebabkan lepasnya ikatan alveoli dengan jalan nafas kecil dan turunnya elastisitas jaringan paru (GOLD, 2011). Penyakit paru obstruktif kronik adalah salah satu penyebab mortalitas tertinggi di seluruh dunia. Jumlah kasus PPOK menempati urutan ke-6 pada tahun 1990 dan diperkirakan akan menjadi urutan ke-3 pada tahun 2020. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah perokok dan usia harapan hidup (GOLD, 2011). Kasus PPOK merupakan penyebab kunjungan rawat jalan terbanyak (76,3%) sekaligus penyebab kematian tertinggi (53,8%), dibandingkan penyakit paru lain di Amerika Serikat (NHLBI, 2009). Beban akibat PPOK di Asia jauh lebih besar daripada di negara barat. Besarnya beban ini disebabkan karena bebasnya penggunaan tembakau dan meningkatnya polusi akibat industrialisasi (Tan, 2008). Pada tahun 2004, sekitar 34,5% penduduk Indonesia merokok dan 28,4% diantaranya merokok tiap hari (Pradoyo et al., 2005). Pada PPOK ringan, penderita biasanya tidak sadar terdapat kelainan fungsi paru, meski kadang sudah muncul gejala batuk disertai dahak. Penderita mulai mengalami perburukan airway pada PPOK sedang. Gejala sesak nafas, khususnya 1
2 pada saat aktivitas, biasanya membuat penderita memeriksakan diri. Pada PPOK berat, penderita semakin sering sesak nafas dengan intensitas yang juga memberat. Penderita mengalami penurunan kapasitas fisik, peningkatan fatigue, dan peningkatan frekuensi eksaserbasi. Kesemuanya akan menurunkan kualitas hidup penderita (GOLD, 2009). Penderita PPOK sering mengalami penurunan berat badan yang disebabkan atrofi otot skeletal. Massa otot yang tersisa juga mengalami disfungsi. Inflamasi sistemik dan stres oksidatif diperkirakan berkontribusi dalam patogenesis abnormalitas ini. Kedua hal tersebut memicu apoptosis. Apoptosis pada sel multinukleus, seperti sel otot, lebih sering menimbulkan atrofi otot dibandingkan kematian sel (Agusti, 2007). Pasien PPOK juga mengalami hipoksia kronis. Kondisi ini menyebabkan kerusakan akibat stres oksidatif pada tingkat molekuler, yang ditandai dengan peningkatan kadar lipid peroksidase dan protein teroksidasi. Kerusakan ini akan menurunkan performa dan ketahanan otot pada jangka pendek, dan akan menyebabkan disfungsi otot skeletal pada pada jangka panjang (Koechlin et al., 2005). Kombinasi keduanya menyebabkan penurunan kapasitas fisik dan kualitas hidup penderita PPOK (Agusti, 2007). Erdostein merupakan agen mukolitik yang digunakan sebagai ekspektoran pada terapi simptomatik pada keadaan stabil atau eksaserbasi akut pada bronkitis kronik. Obat ini mampu menurunkan viskositas sputum, menghambat adhesi bakteri serta memiliki efek sebagai antioksidan (Dechant, 1996). Erdostein mempunyai efek proteksi terhadap berbagai macam kerusakan jaringan yang ditimbulkan akibat stres oksidatif. Erdostein menghambat radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya proses inflamasi (Moretti & Marchioni, 2007). Efek tersebut diharapkan dapat
3 menanggulangi proses patologis pada PPOK yang menyebabkan penurunan kapasitas fisik dan kualitas hidup penderita. The St George s Respiratory Questionnaire (SGRQ) merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup terkait respirasi yang telah divalidasi untuk pasien PPOK. Kuesioner ini terdiri dari 76 pertanyaan dan 3 komponen skor, yang menilai berat ringannya gejala, keterbatasan aktivitas, serta dampak sosial dan emosional dari PPOK. Semakin tinggi skor SGRQ maka akan semakin rendah kualitas hidup (Weatherall et al., 2009). Gangguan aktivitas fisik dapat dinilai dengan tes berjalan. Salah satu tes yang dapat digunakan adalah 6 minute walk test (6MWT) (GOLD, 2011). Tes 6MWT mudah dilakukan dan lebih dapat menggambarkan aktivitas harian dibandingkan tes jalan yang lain. Berjalan adalah aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari oleh semua penderita PPOK, tetapi terganggu pada penyakit yang berat. Tes ini dapat mengevaluasi fungsi global dari semua sistem tubuh selama aktivitas fisik (ATS, 2002). B. Pertanyaan Penelitian Apakah pemberian erdostein 2 x 300 mg selama 30 hari pada pasien PPOK stabil dapat meningkatkan jarak tempuh 6MWT lebih besar daripada plasebo? Apakah pemberian erdostein 2 x 300 mg selama 30 hari pada pasien PPOK stabil dapat menurunkan skor SGRQ lebih besar daripada plasebo? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian erdostein 300 mg, 2 kali sehari selama 30 hari terhadap perbaikan kapasitas fisik dengan menilai
4 peningkatan jarak tempuh 6MWT dan perbaikan kualitas hidup dengan menilai penurunan skor SGRQ pada pasien PPOK stabil dibandingkan dengan plasebo. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, dapat mengetahui perbedaan pengobatan dengan penambahan erdostein pada terapi standar pada PPOK stabil, yang memiliki aktivitas mukolitik, antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi dibandingkan dengan hanya terapi standar saja yaitu pemberian bronkodilator. 2. Bagi pasien dengan PPOK, dapat mendapatkan perbaikan kapasitas fisik dengan melihat peningkatan jarak tempuh 6MWT dan peningkatan kualitas hidup dengan mengevaluasi penurunan skor SGRQ. 3. Bagi institusi, dapat memberikan masukan bagi penyusunan prosedur terapi PPOK, dalam hal ini kombinasi erdostein dengan terapi standar PPOK. 4. Bagi ilmu pengetahuan, dapat memberikan alternatif terapi pengobatan erdostein pada pasien PPOK, tidak hanya pada kondisi paru saja tetapi juga ekstra paru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian lanjutan berikutnya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan telaah literatur yang dilakukan oleh penulis, belum ada penelitian mengenai pengaruh pemberian erdostein terhadap kapasitas fisik dan kualitas hidup pada penderita PPOK stabil yang dilaksanakan di Indonesia. Daftar penelitian yang digunakan penulis sebagai acuan dalam penelitian ini dicantumkan pada tabel 1. Tabel 1. Penelitian sebelumnya mengenai terapi erdostein Peneliti/Metode Judul Hasil Crisafulli et al., 2007 Open label clinical trial Subjek: 30 pasien dengan bronkhiektasis Effectiveness of Erdosteine in Elderly Patients with Bronchiectasis and Hypersecretion: a 15-day, Prospective, Parallel, Open-Label, Pilot Study Penambahan terapi erdostein disamping fisioterapi rutin meningkatkan memperbaiki gejala klinis sesak dan batuk, serta
5 Cazzola et al., 2009 Meta-analisis Subjek: 15 RCT dengan 1046 data individu Yunus et al., 2007 The Therapeutic Efficacy of Erdosteine in the Treatment of Chronic Obstructive Bronchitis: A Meta-analysis of Individual Patient Data Peran Erdosteine dalam Mengurangi Kebutuhan akan Bronkodilator Selama Episode Eksaserbasi Akut pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik parameter fungsi paru (FEV 1 dan FVC). Erdostein menurunkan gejala klinis, yang dinilai dengan Global Efficacy Index (GEI) secara signifikan dibanding dengan pembanding, plasebo atau mukolitik lain. Kelompok erdosteine membutuhkan lebih sedikit bronkodilator dibandingkan dengan kelompok plasebo (p<0,001). Kelompok erdosteine menunjukkan perbaikan klinis yang lebih tinggi (61,9%) dibandingkan kelompok plasebo (46,7%), dengan perbaikan purulensi dan viskositas sputum yang sedikit lebih baik pada kelompok erdosteine.