BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan perusahaan yang memberikan jasa pelayanan keuangan yang memiliki peran penting untuk meningkatkan pertumbuhan dan kestabilan perekonomian di suatu negara. Peranan perbankan sangat berarti dalam menjaga kestabilan moneter dan sebagai lalu lintas pembayaran. Banyaknya ketentuan yang mengatur sektor perbankan dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat, termasuk ketentuan yang mengatur kewajiban untuk memenuhi modal minimum sesuai dengan kondisi masing-masing bank, menjadikan sektor perbankan sebagai sektor yang highly regulated. Industri perbankan di Indonesia tidak luput dari permasalahan ketika krisis ekonomi di tahun 1997 sampai tahun 1998. Krisis ini memberikan dampak yang besar bagi perbankan di Indonesia. Perbankan saat itu kehilangan kepercayaan dari masyarakat, dan beberapa bank ditutup karena mengalami kerugian. Kondisi ini membuat Bank Indonesia terus proaktif untuk melakukan tindakan pencegahan, perbaikan dan menghindari runtuhnya sistem perbankan. Namun permasalahan perbankan Indonesia kembali terjadi di saat krisis tahun 2008 yaitu kasus Bank Century. Krisis perbankan berikutnya berawal dari ambruknya pasar sub-prime mortgage loans di Amerika Serikat tahun 2007 lalu. Dengan semakin terintegrasinya industri keuangan lintas negara, kejadian tersebut berdampak mempengaruhi kinerja industri perbankan di dunia. Beberapa Bank yang 1
terkemuka di dunia mengalami kebangkrutan, sebagian besar lainnya terpaksa ditalangi oleh pemerintah setempat dan ratusan bank di Amerika Serikat ditutup oleh otoritas perbankan. Perburukan kinerja sektor perbankan dalam kaitan sebagai intermediator sangat mempengaruhi kekayaan dari stakeholders (pemangku kepentingan) serta terbukti berdampak sistemik bagi perekonomian negara. Sejarah mencatat krisis perbankan di Indonesia tahun 1997-1998 mengakibatkan sejumlah permasalahan besar bagi Indonesia, seperti likuidasi 16 bank, 7 bank beku operasi serta 7 bank diambil alih pemerintah. Biaya rekapitalisasi (suntikan modal oleh pemerintah) kepada industri perbankan mencapai 53,6% dari produk domestik bruto pada saat itu; bantuan likuiditas Bank Indonesia kepada sejumlah bank mencapai sebesar Rp. 144,5 triliun serta tingkat non performing loans yang tinggi hingga mencapai 55%, tertinggi dibandingkan negara Asia lain yang terkena krisis (Widjanarko, 2003). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan bahwa penyebab krisis tahun 1997 yang menimpa negtaranegara di Asia termasuk Indonesia, adalah (1) mekanisme pengawasan dewan komisaris dan komite audit suatu perusahaan tidak berfungsi dengan efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham dan (2) pengelolaan perusahaan yang belum profesional (Sutedi, 2011). Selain itu Sugiarto (2009) mengungkapkan bahwa penyebab lain jatuhnya bank-bank pada krisis perbankan periode 1997-1998 adalah banyaknya pemilik bank yang ikut campur tangan dalam operasional bank sehari-hari, pemberian kredit yang tidak 2
hati-hati serta praktik bank dalam bank, sehingga kurang memperhatikan sama sekali aspek manajemen risiko, Good Corporate Governance (GCG), dan kehati-hatian. Menurut laporan World Bank pada tahun 2000, krisis ekonomi di Asia Timur disebabkan oleh kegagalan sistematik penerapan corporate governance atau tata kelola perusahaan yang berasal dari sistem kerangka hukum yang lemah, standar akuntansi dan standar audit yang tidak konsisten, praktik perbankan yang buruk, pengawasan board of director yang tidak efektif, serta kurangnya mempertimbangkan hak pemegang saham minoritas. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa akar permasalahan krusial yang terjadi di industri perbankan adalah karena praktik corporate governance yang tidak efektif. Salah satu indikator sebuah bank dapat bersaing dapat dilihat dari ukuran tingkat kesehatan bank tersebut. Dalam BASEL III dilakukan perubahan kriteria kesehatan bank sehingga di dalamnya termasuk pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini juga telah direspon oleh Bank Indonesia selaku regulator dan supervisor industri perbankan di Indonesia. Bank Indonesia memberikan definisi corporate governance sebagai suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 juncto No. 8/14/PBI/2006). Berdasarkan pertimbangan di atas dan tingginya tingkat kompleksitas serta risiko bisnis perbankan, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance 3
atau KNKG memandang perlu untuk mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia (Indonesian Banking Sector Code) sebagai pelengkap dan bagian tak terpisahkan dari Pedoman Umum GCG. Perbankan dalam pedoman ini meliputi bank umum dan BPR yang dijalankan secara konvensional maupun syariah. Pada tahun 2006, KNKG menerbitkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat di Indonesia dan menjadi bagian dari upaya penegakan good governance yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah. Solomon (2007) mendefinisikan Corporate Governance sebagai suatu sistem check and balances, baik secara internal dan eksternal ke perusahaan. Sistem ini yang memberikan keyakinan bahwa perusahaan bertanggung jawab kepada seluruh stakeholders serta secara sosial bertanggung jawab di dalam bertindak di dalam cakupan seluruh aktivitas bisnisnya. Warsono dkk (2010) berpendapat bahwa kesuksesan penerapan corporate governance sebagai sebuah sistem akan berlandas pada prinsip-prinsip yang seharusnya dianut dan para partisipan yang terlibat dalam penerapannya. Kelima prinsip dasar terdiri dari transparency, accountability & responsibility, responsiveness, independency dan fairness. Kelompok partisipan terdiri dari : (1) board of directors; (2) board of executives; (3) board of commissioners; (4) auditors; dan (5) stakeholders. Seiring dengan berkembangnya sistem corporate governance di Indonesia, kesadaran penerapan oleh perusahaan di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh McKinsey & Company pada tahun 2000, 4
yang melibatkan investor di Asia, Eropa dan Amerika terhadap lima negara di Asia. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa Indonesia menduduki peringkat terakhir dalam pelaksanaan good corporate governance. Setali tiga uang bahwa survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terlihat dalam tabel 1.1 menunjukkan hasil survei bahwa tata kelola di Indonesia menduduki paling buruk dibandingkan negara-negara di Asia lainnya. Tabel 1.1 Skor Peringkat Good Corporate Governance di Asia 2013 No Negara Skor 1 Singapura 0,67 2 Jepang 1,90 3 Hongkong 2,64 4 Taiwan 5,46 5 Malaysia 5,59 6 Filipina 6,10 7 Thailand 6,57 8 Korea Selatan 6,90 9 China 7,00 10 Vietnam 7,75 11 Indonesia 8,50 Ket: Makin tinggi skor, makin buruk Good Corporate Governace Sumber: PERC (2013) Laporan penilaian corporate governance yang dibuat oleh Asian Corporate Governance Association pada tahun 2014 juga menunjukkan hasil yang sama yaitu Indonesia menduduki peringkat terburuk untuk skor corporate governance dibawah Filipina. Dalam laporan tersebut dicantumkan pula bahwa OJK berperan besar dalam membuat beberapa perubahan dan kemajuan dalam peraturan audit. Saat ini, perkembangan industri perbankan di Indonesia bertumbuh sangat pesat dan memiliki tingkat kompetitif yang tinggi. BPR sebagai salah satu jenis 5
bank yang dikenal melayani golongan mikro, kecil dan menengah juga menunjukkan eksistensinya. Pada tabel 2 dapat dilihat makin banyak masyarakat yang menggunakan jasa BPR hal ini dilihat dari peningkatan jumlah nasabah dan jumlah kredit yang diberikan. Salah satu BPR yang dapat bertahan di tengah persaingan dunia perbankan adalah PT. BPR Sukawati Pancakanti atau akrab disebut dengan BPR Kanti. BPR Kanti pada awal tahun 2016 ini berhasil mendapatkan penghargaan The Best Performing Micro Finance Company of The Year. Selain itu sejak tahun 2013 selalu menjadi BPR Terpilih dari ajang BPR Award Indonesia. Pada tahun 2015 BPR Kanti menduduki peringkat BPR terbesar kelima di Bali dengan total aset mencapai Rp 230 milyar serta berhasil menyalurkan kredit ke masyarakat hingga Rp 202 milyar, dimana jumlah tersebut lebih tinggi dari jumlah rata-rata kredit yang diberikan di Bali. Tahun Tabel 1.2 Perkembangan BPR di Indonesia Periode 2010-2014 Jumlah BPR Sumber: Bank Indonesia (2015) Jumlah Nasabah (rekening) Kredit yang Diberikan (Rupiah) 2010 1.706 11.459.442 33.844.259.282 2011 1.669 12.338.065 41.099.515.666 2012 1.653 12.585.965 49.818.402.968 2013 1.634 12.932.844 59.182.806.166 2014 1.643 13.476.328 68.309.411.885 Pentingnya memperkuat good corporate governance (GCG) pada perusahaan menjadi hal yang krusial dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada awal tahun 2016 ini. Ada beberapa langkah strategis yang 6
dapat dilaksanakan oleh BPR untuk menciptakan hasil maksimal dan menambah nilai perusahaannya, salah satunya yakni melalui implementasi GCG. Perusahaan yang melaksanakan corporate governance dengan baik akan lebih tahan menghadapi gejolak ekonomi, selain itu implementasi GCG diyakini akan semakin menambah nilai perusahaan BPR karena pengelolaannya telah teruji melalui pengelolaan secara transparan, profesional, efektif dan selalu memberikan upaya terbaik bagi stakeholders. Praktik GCG dapat meningkatkan nilai (value) perusahaan dengan meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusankeputusan yang menguntungkan diri sendiri dan umumnya dapat meningkatkan kepercayaan investor (Newell & Wilson, 2002). Saat ini terdapat beberapa model peratingan CG yang ada di Indonesia, diantaranya: Bank Indonesia, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Akhir tahun 2009 Center for Good Corporate Governance Universitas Gadjah Mada (CGCG UGM) menerbitkan konsep dan model peratingan CG yang diharapkan bersifat universal dalam rangka mendukung konvergensi model CG secara internasional. Pertanyaan-pertanyaan dalam model peratingan ini terdiri dari pertanyaan diskrit sehingga memungkinkan penilaian dan peratingan dilakukan secara mandiri (self assessment) maupun penilaian oleh pihak ketiga (third party assessment). 7
1.2 Rumusan Masalah Pertumbuhan perekonomian global yang mengalami perlambatan menyebabkan tekanan bagi perekonomian di Indonesia terutama pada industri perbankan. Guna menjaga kestabilan perekonomian negara dan mencegah terjadinya krisis perbankan hendaknya setiap perusahaan perbankan menerapkan sistem GCG secara efektif. Implementasi GCG dipercaya dapat meningkatkan nilai perusahaan, mengurangi risiko, dan meningkatkan kepercayaan investor ataupun nasabah. Oleh sebab itu implementasi GCG perlu dilakukan untuk sustainability BPR Kanti dalam jangka panjang. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana implementasi Good Corporate Governance pada PT. BPR Sukawati Pancakanti dengan menggunakan Model Peratingan CGCG UGM?. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur corporate governance di PT. BPR Pancakanti Sukawati dengan menggunakan model peratingan CGCG UGM serta merekomendasi penerapan corporate governance di PT. BPR Sukawati Pancakanti. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi: 1. Bagi akademisi, penelitian ini akan bermanfaat sebagai sebuah sumbangsih pengetahuan tentang sebuah metode untuk mengukur penerapan good coorporate governance pada suatu perusahaan. 8
Kemudian penelitian serupa dengan penelitian ini dapat menjadi jembatan bagi pengembangan teori atau bahkan menjadi teori pembanding bagi teori-teori yang nantinya akan muncul berkenaan dengan metode pengukuran penerapan good coorporate governance di waktu-waktu mendatang. 2. Bagi perusahaan dan stakeholders: perusahaan dapat mengevaluasi dan menindaklanjuti agar penerapan good corporate governance dapat berfungsi lebih baik di masa datang. Serta memberi informasi kepada para pemangku kepentingan tentang kualitas penerapan good corporate governance yang dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk memprediksi kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuannya. 3. Bagi regulator, terutama pembuat undang-undang, penelitian ini bermanfaat untuk melihat celah dan masalah regulasi yang membuat pelaku usaha dan/atau manajemen perusahaan dalam ketaatan atas pelaksanaan regulasi, seperti pada ketaatan dan ketepatan pembuatan laporan keuangan, hal-hal yang membuat pelaku usaha dan manajemen perusahaan menjadi taat atau tidak atas regulasi yang ada untuk kemudian dapat memformulasikan regulasi selanjutnya yang dapat lebih meningkatkan kualitas good coorporate governance yang diterapkan dalam dunia usaha serta perusahaan. 4. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini berguna untuk sebuah pembelajaran bagaimana good corporate governance mempengaruhi kepercayaan konsumen kepada perusahaan yang nantinya akan 9
mempengaruhi iklim dunia usaha. Penelitian ini juga menggambarkan kepada masyarakat umum bahwa untuk mengukur pelaksanaan good cooporate governance dalam suatu perusahaan tidak didasarkan pada pengamatan dan perhitungan yang bias, namun ada satu metode yang tersusun dan sistematis untuk mengukur pelaksanaan good coorporate governance pada perusahaan tersebut. 5. Bagi rater atau pihak pelaksana rating, semakin banyaknya penelitian jenis ini dengan sendirinya akan mengembangkan instrumen yang digunakan untuk mengkaji bagaimana mengukur secara lebih akurat pelaksanaan good coorporate governance dalam suatu perusahaan di masa-masa yang akan datang. 10