PERISTIWA MEI 1998 DAN IDENTITAS ORANG TIONGHOA DI JAKARTA C.Dewi Hartati Program Studi Sastra Cina Fakultas Sastra c.dewihartati@gmail.com Abstrak Identitas adalah sebuah konsep pengakuan diri berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada dirinya sehingga berdasarkan ciri-ciri tersebut ia dapat menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok tertentu. Dalam penelitian ini mencoba melihat bagaimana orang Tionghoa memaknai kembali identitasnya sebagai orang Tionghoa setelah peristiwa Mei 1998? Apakah peristiwa Mei 1998 memunculkan pertanyaan mendasar di kalangan orang Tionghoa bahwa mereka berbeda dengan kelompok lainnya sehingga mereka mendefinisikan ulang atau memaknai kembali identitas mereka. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: metode wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik pemeriksaan data. Triangulasi yang dipakai dalah triangulasi sumber yang membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Kata kunci : Identitas, Peristiwa Mei 1998, identitas ke Cinaan 1. Pendahuluan Setiap individu memerlukan identitas untuk memberi sense of belonging dan eksistensi sosial dan juga memberi rasa aman melalui belonging tersebut dengan sekelompok orang yang sama. Identitas pada dasarnya untuk menjamin keberadaan diri dengan meminjam kekuatan bersama dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Identitas bukanlah sesuatu yang bersifat baku namun ia sangat cair dan tak berbatas. Dalam antropologi kajian mengenai identitas dapat terlihat seperti yang dikemukakan oleh Fredrik Barth yang mengenalkan konsep kajian kesukubangsaan yang berfokus kepada identitas suku bangsa yang muncul dan ada dalam interaksi sosial dimana fokus kajiannya akan mengarah kepada bagaimana proses identitas/jati diri suku bangsa tersebut dibentuk, dimiliki, dan dipelihara. Kajian suatu kelompok etnis akan menyandarkan dirinya kepada kajian interaksi sosial dimana identitas suku bangsa para pelaku digunakan sebagai atribut dalam berinteraksi (Suparlan,1998;38-39). Sebagai suatu tatanan sosial, suku bangsa mempunyai ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk kelompok suku bangsa yang mana, yaitu ciri khasnya yang sifatnya kategori askripsi (categorical ascription) atau ciri khas yang mendasarkan
seseorang termasuk ke dalam kelompok suku bangsa tertentu berdasarkan dari latar belakang asal-usulnya. Dalam lingkungan yang berbeda tentunya akan menuntut penampilan yang berbeda pula karena identitas suku bangsa berkaitan dengan nilai budaya standar yang ada, sehingga pada keadaan tertentu seseorang dapat tampil dengan identitasnya tetapi di lain lingkungan atau keadaan dibutuhkan nilai standar yang berbeda pula (Barth,1980). Proses pembentukan identitas suku bangsa sebagai suatu proses perluasan atau pengecilan batas-batas suku bangsa yang dasar penilaiannya mereka buat sendiri (Horowitz,1975;118). Dengan demikian maka seseorang sebagai anggota kelompok dapat berafiliasi secara kolektif dengan identitas kelompok tertentu sesuai dengan keinginannya. Bagi Horowitz perubahan identitas suku bangsa terjadi lebih karena akibat dari modifikasi perilaku kelompok dan modifikasi untuk mempersempit atau memperlebar batas-batas suku bangsanya (Horowitz;1975;114). Identitas suku bangsa akan selalu muncul dalam bentuknya yang disusun oleh pendukungnya sendiri. Barth lebih lanjut menjelaskan dalam konteks batas-batas suku bangsa bahwa bisa saja masyarakat akan mengidentifikasikan dirinya kepada identitas yang lebih dominan jika ada dukungan dari kondisi sosial yang memungkinkan dan adanya pilihan yang berkesesuaian dengan tujuan yang ingin dicapainya namun lebih kepada bagaimana identitas suku bangsa diartikulasikan oleh para anggota kelompoknya. Tidak terlepas pula dari konteks sosial yang meliputinya di mana menurutnya konteks sosial ini dibangun atas dasar suasana perkembangan politik yang terjadi di daerah tersebut Seperti halnya identitas orang Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari situasi politik Indonesia. Seperti dapat digambarkan selama masa pemerintahan kolonial Belanda yang membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga kelompok di mana menempatkan orang Tionghoa sebagai penduduk asing yang terpisah dari golongan pribumi. Masa kemerdekaan setelah 1945, di masa perode parlementer (1949-1958) dengan azas demokrasi orang Tionghoa menjadi bagian yang terintegrasi dalam bangsa. Namun dalam masa demokrasi terpimpin (1959-1965) mulai diupakan upaya integrasi yang mengarah pada asimilasi terlebih pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) jelas-jelas diterapkan prinsip asimilasi orang Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli. Pada masa kolonial, identitas etnis Tionghoa dapat diidentifikasi dalam dua konsep : totok dan peranakan. Faktor pembeda kedua konsep tersebut adalah riwayat kelahiran dan penyesuaiannya dengan kebudayaan lokal. Totok didefinisikan dalam relasinya dengan sejarah
kelahiran mereka di negara asal dan orientasi budaya dan politik terhadap negara leluhur mereka, sementara peranakan mengacu pada kelahiran di luar negara Tiongkok dan penyesuaian diri dengan konteks lokal, misalnya bahasa, agama, nasionalisme, dan sebagainya. Onghokham (2008:135) mendefinisikan totok dan peranakan dari sisi kelahirannya. Menurut Onghokham, istilah peranakan mengacu pada orangorang Tionghoa yang lahir di luar negara China dari seorang totok Totok adalah pendatang baru dari negara China dan kelahiran Cina. Onghokham menyebut istilah totok dengan istilah singkeh atau singkek. Sementara itu, totok dan peranakan menurut Suryadinata tidaklah merujuk pada asal-usul kelahiran, melainkan merujuk pada tingkat penetrasinya terhadap kebudayaan lokal. Totok tidaklah didefinisikan sebagai orang-orang yang lahir di China dan kemudian tinggal di perantauan (overseas China), namun dilihat dari sejauh mana ia masih berbahasa China dan berorientasi ke negara China. Selama masa Orde Baru, orang Tionghoa dipaksa untuk berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli. Berbagai kebijakan diambil pemerintah untuk menangani orang Tionghoa. Peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi perkembangan budaya Tionghoa di Indonesia, secara langsung/tidak langsung menyebabkan generasi muda Tionghoa tidak memahami budaya tradisinya sendiri dan kehilangan identitas etniknya. Mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, tidak mengenal tradisi Tionghoa dan tidak menunjukkan kode identitas Tionghoa pada budaya materinya. Peraturan-peraturan pemerintah tersebut antara lain adalah Kepres No.127/U/KEP/12/1996 dan Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967 yang mengharuskan etnis Tionghoa melakukan ganti nama (nama Tionghoa yang terdiri dari 3 suku kata menjadi nama Indonesia), Masa Orde Baru diakhiri dengan Peristiwa Mei 1998 dengan ditandai oleh serangkaian kerusuhan yang menimpa orang Tionghoa dan juga kaum perempuan Tionghoa. Beragam pandangan terhadap identitas kecinaan terlihat setelah peristiwa tragis 13-15 Mei 1998. Berbagai reaksi yang muncul di kalangan etnis Tionghoa terhadap peristiwa tersebut menggambarkan sikap kelompok-kelompok etnis Tionghoa dan sikap ini cenderung berkaitan dengan identitas ketionghoaan mereka. 1. 2 Perumusan Masalah Bagaimana orang Tionghoa memaknai kembali identitasnya sebagai orang Tionghoa setelah peristiwa Mei 1998? Apakah peristiwa Mei 1998 memunculkan pertanyaan mendasar di kalangan orang Tionghoa bahwa mereka berbeda dengan kelompok lainnya sehingga mereka
mendefinisikan ulang atau memaknai kembali identitas mereka. Hal-hal semacam itulah yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini. 1.3 Tinjauan Pustaka Dalam membahas identitas kusususnya identitas orang Tionghoa di Indonesia kita dapat mengacu pada pembagian identitas menurut Wang Gungwu. Menurut Gungwu (1988:9), ada tujuh identitas etnis Tionghoa yang dapat diidentifikasi, yaitu: 1. Identitas sejarah Berkaitan dengan sejarah masa lalu orang-orang Tionghoa dan terbentuk umumnya sebelum perang dunia kedua. 2. Identitas nasionalis China Berkaitan dengan orientasi sebagian kelompok terhadap nasionalisme di China yang bangkit pada awal tahun 1900-an. Identitas ini menurut Gungwu sudah sangat tipis untuk tidak mengatakannya sudah tidak ada. 3. Identitas komunal Identitas ini bersifat jejaring kuat dan menurut Gungwu dapat dijumpai di Malaysia. Identitas ini dapat berubah menjadi identitas etnis. 4. Identitas nasional (lokal) Identitas ini berkaitan dengan identitas diri sebagai warganegara di mana mereka berada. Identitas ini umumnya dipegang oleh orang-orang yang berada di wilaya Asia Tenggara. 5. Identitas budaya Identitas ini diserap dari tradisi identitas sejarah dan merupakan identitas yang paling lentur. 6. Identitas etnis Identitas etnis pada dasarnya mengoreksi identitas budaya dalam hal orisinalitas ras dan lebih spesifik menyangkut gagasan dari tujuan politik dalam rangka mencapai legitimasi hak-hak minoritas. Konsep ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari dunia luar. 7. Identitas kelas Identitas ini sangat tergantung pada persilangan batas-batas etnis yang tumbuh sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan dalam waktu yang lama. Pada titik ini, menurut Gungwu, identitas menjadi sangat tergantung dengan keadaan, termasuk elemen di luar Tionghoa itu sendiri. Dari pembagian identitas seperti yang telah disebutkan di atas, maka penulis berupaya melihat identitas orang Tionghoa di Jakarta dan kaitannya dengan peristiwa Mei 1998. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan tentang makna identitas sebagai orang Tionghoa di Indonesia dalam kaitannya dengan Peristiwa Mei 1998. Penelitian ini menggunakan cara berpikir konstruktivisme. Konstruktivisme melihat identitas sebagai proses kreasi; diciptakan dan dinegosiasikan sesuai dengan kepentingan. 2. Masyarakat luas mendapatkan informasi terperinci mengenai kehidupan orang Tionghoa sebagai kelompok yang heterogen. Penelitian ini juga akan memperkaya bahan kepustakaan bagi studi Sastra Cina dan bahan ajar bidang kebudayaan Cina bagi institusi pendidikan terkait. 1.5 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode wawancara kepada informaninforman yaitu Ibu S, Bapak S, Ibu L, Saudara M, dan Bapak L. Selain wawancara terhadap informan, juga dilakukan studi kepustakaan ( literatur) berupa buku-buku dan juga biografi. 2. Hasil dan Pembahasan Informan pertama, Ibu S yang lahir tahun 1943 menjadi orang Tionghoa di Indonesia berawal dari ayahnya yang pada tahun 1958 menolak menjadi warga negara RRT dan memilih menjadi warga negara Indonesia. Ibu S adalah seorang Muslim sejak kecil dan pada 2006 menjadi seorang Hajjah. Satu lagi ingatan yang tidak terhapus ibu S yaitu peristiwa Mei 1989. Bisnisnya mengalami kerusakan besar dan kerugian berlarut-larut. Peristiwa Mei 1989 membuatnya berpikir kembali tentang dirinya sebagai etnis Tionghoa yang rasa-rasanya tidak klop dengan pandangan streotip tentang orang Tonghoa. Ia juga berkata bangga sebagai orang Tionghoa karena ia mengkaitkan peristiwa Mei 98 sebagai masa reformasi. Setelah reformasi dapat dengan bebas mengungkapkan berbagai macam hal seperti akulturasi budaya Cina dan Indonesia. Baginya peristiwa Mei 98 adalah tanda dimulainya reformasi yang menandakan kebebasan bagi orang Tionghoa. Informan kedua, Ibu L, pedagang menunjukkan peristiwa Mei 98 tidak ada kaitannnya dengan identitas. Ia melihatnya sebagai peristiwa kriminal biasa karena ada penjarahan di manamana. Peristiwa 98 baginya sebagai suatu peristiwa kriminal yang tidak berpengaruh pada jati dirinya. Bagi Ibu L hidup adalah perjuangan dan ia harus berjuang dan bekerja demi keluarganya. Meskipun ia telah selesai menyekolahkan anak-anaknya, namun ia tetap semangat bekerja dan mengatakan ini semuanya akan diteruskan oleh anaknya. Berbicara dengan Ibu L
meskipun ia bernama Tionghoa, ia sama sekali tidak dapat berbahasa Mandarin, tidak menjalankan tradisi budaya Cina. Hidupnya sejak kecil sudah susah dan merupakan sosok yang menampilkan kelompok Tionghoa yang jauh dari streotip seperti kaya ataupun eksklusif. Baginya menjadi orang Tionghoa sama saja dengan yang lainnya walaupun ia sering mendapat perlakuan diskrimanasi tetapi karena ia memiliki prinsip yang kuat dalam berjuang semuanya dapat diatasinya. Dalam wawancaranya menunjukkan ibu L sering mendapat perlakuan diskriminasi. Informan ketiga, Bapak S menunjukkan Identitas Tionghoa jelas karena pengakuan diri sendiri juga orang lain. Bapak ini mengaku sebagai orang Tionghoa. Rasa kebanggaan berbangsa dan nasionalis ditunjukkan dengan menyatakan tokoh yang dikaguminya adalah Bung Karno. Ia mengatakan menjadi Tionghoa bukan berarti tidak nasionalis. Ketika ditanyakan tentang peristiwa Mei 98 dan hubungannya dengan identitas orang Cina, ia mengatakan kalau banyak orang Cina yang menjadi korban dan banyak yang pergi keluar meninggalkan Indonesia. Bapak S mengatakan banyak orang Tionghoa yang nasionalis, ia bercerita ketika zaman penjajahan Belanda banyak orang Tionghoa Kalimantan yang berjuang melawan Belanda. Baginya peristiwa Mei 98 adalah peristiwa politis karena peristiwa itu terjadi tidak ada tentara, militer, polisi yang seharusnya ada mengamankan. Pak S mengatakan kalau bersentuhan langsung dengan peristiwa Mei 98 pastinya ada trauma sementara bagi orang Cina yang tidak bersentuhan lebih rasional. Ia juga mengatakan orang Cina tidak seragam, saat ini susah untuk mengelompokkan orang Cina, kalau dulu katanya masih bisa mengelompokkan. Pak S sendiri mengatakan masing-masing orang Cina punya perhitungan masing-masing tergantung kepentingannya misalnya profesi apa atau kelompok nasionalis. Pak S mengatakan orang Cina banyak yang nasionalis contohnya orang Cina di Kalimantan yang berjuang melawan Belanda, contoh Lim Hun Hian tokoh Cina di Kalimantan yang berjuang melawan Belanda. Pak S juga bercerita dalam Sumpah Pemuda ada lima orang Tionghoa, salah satunya anak dari Oey Tiong Hiam. Tempat merumuskan naskah proklamasi oleh PPKI adalah rumah orang Tionghoa di rengas Dengklok. Lebih lanjut Pak S mengatakan manusia pada dasarnya mempunyai jati diri legal dan etnis. Jati diri legal berpandangan ke depan dan jati diri etnis orientasinya pada masa lampau. Jadi orang Tionghoa itu hanya merupakan identitas masa lampaunya saja semua adalah orang Indonesia. Orang tidak mau dikatakan orang Cina jangankan orang Tionghoa yang di Indonesia, orang Hongkong dan Taiwan saja juga tidak mau disebut sebagai orang Cina.
Berbicara dengan bapak S menunjukkan rasa nasionalisme dan bangga akan Indonesia juga ditunjukkan oleh orang Tionghoa. Informan keempat, saudari M. Peristiwa Mei 98 diperoleh dari cerita orang tuanya yang mengatakan peristiwa tersebut adalah kerusuhan etnis di mana orang Tionghoa menjadi korban selain itu ia juga memperoleh cerita dari buku-buku dan novel. Pada waktu peristiwa itu ia masih bersekolah di SMP. Pengetahuannya tentang peristiwa Mei selain ada ingatan masa kecilnya yang mengingat peristiwa tersebut tidak berarti karena ia mengingat pada saat peristiwa tersebut dia masih masuk sekolah, barulah setelah dewasa ia mendapat cerita dari orang tuanya. Ia sendiri juga mengatakan ingin tahu tentang peristiwa tersebut dan ia membaca buku atau novel tentang peristiwa tersebut. Informan kelima, Bapak L. Identitas Tionghoa karena ia mengaku sebagai orang Tionghoa. Ia menyukai musik, lagu-lagu Mandarin dan film Mandarin. Ia berprofesi sebagai pedagang. Ia dilahirkan pada tahun 1968, di mana setelah tahun 1966 tidak ada lagi sekolah berbahasa Mandarin. Ia meskipun tidak berbahasa Mandarin namun istilah kekerabatan dalam bahasa Hokkian dapat dipahaminya dengan jelas, demikian juga dengan upacara atau ritual dan tradisi budaya Cina. Identitas etnis Tionghoa baginya sangat penting karena ia memiliki lambang keluarga berupa lempengan logam yang berasal dari kakek yang harus diteruskan. 3. Kesimpulan Dari hasil penelitian di lapangan ternyata tidak sepenuhnya ada kaitan antara peristiwa Mei 98 dengan identitas Tionghoa sehingga pertanyaan atau permasalahan awal yang telah ditetapkan dalam penelitian menjadi kurang relevan. Peristiwa Mei 98 harus dilihat sebagai tanda dimulainya masa reformasi sehingga dari kasus ibu S terlihat ibu S lebih nyaman dan dengan leluasa menunjukkan kebanggaan sebagai orang Tionghoa. Reformasi membuat orang Tionghoa lebih leluasa dan nyaman menunjukkan identitas Tionghoa. Kelas sosial berpengaruh dalam pemaknaan identitas. Dari hasil wawancara dapat terlihat seseorang apakah dia pedagang, pedagang kecil dan besar, atau orang yang aktif dalam berbagai organisasi berbeda menanggapi peristiwa Mei 98. Tingkat Pendidikan, tingkat pendidikan tinggi dan yang tidak terlalu memiliki pendidikan juga memaknai peristiwa 98 secara berbeda. Usia, bagi yang pada peristiwa Mei 98 masih kanak-kanak atau remaja memiliki pandangan ganda, di mana ia sendiri melihatnya sebagai suatu kejadian kriminal namun dari cerita orang tuanya lebih
menekankan pada peristiwa yang ditujukan pada orang Tionghoa. Media : film-film Mandarin yang dialihsuarakan, lagu Mandarin berperan dalam pembentukan identitas etnis Tionghoa. Film-film seperti legend of condor heroes sangat digemari meskipun telah dialihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi film favorit bagi sebagian besar anak muda Tionghoa seperti bapak L. Identitas adaalah sesuatu yang sangat penting. Orang bertindak selalu menggunakan identitas baik identitas pribadi maupun identitas etnis. Orang dianggap sebagai orang Tionghoa karena dia sendiri mengaku sebagai orang Tionghoa dan orang lain pun mengakui dan menganggapnya sebagaimana hal tersebut. Sebelum peristiwa Mei 98, semua informan mengaku kalau mereka adalah orang Tionghoa meskipun beberapa di antara mereka tidak dapat berbahasa Mandarin, setidaknya mereka mengaku Tionghoa karena nama, identitas etnis yang digunakan, atau orang lain yang selalu menganggapnya sebagai orang Tionghoa. Peristiwa Mei 98 bagi orang Tionghoa kurang dapat dijelaskan bila dilihat dari kaitannya dengan identitas, namun peristiwa Mei 98 dimaknai oleh semua informan sebagai tanda dimulainya masa reformasi yang memberi kebebasan bagi orang Tionghoa untuk menyebut dirinya sebagai orang Tionghoa, menjalankan budaya dan tradisinya. Dari hasil wawancara, ternyata tidak sepenuhnya ada kaitan antara peristiwa Mei 98 dengan identitas Tionghoa sehingga pertanyaan atau permasalahan awal yang telah ditetapkan dalam penelitian menjadi kurang relevan. Peristiwa Mei 98 harus dilihat sebagai tanda dimulainya masa reformasi sehingga dari kasus ibu S terlihat ibu S lebih nyaman dan dengan leluasa menunjukkan kebanggaan sebagai orang Tionghoa. Reformasi membuat orang Tionghoa lebih leluasa dan nyaman menunjukkan identitas Tionghoa. Kelas sosial berpengaruh dalam pemaknaan identitas. Dari hasil wawancara dapat terlihat seseorang apakah dia pedagang, pedagang kecil dan besar, atau orang yang aktif dalam berbagai organisasi berbeda menanggapi peristiwa Mei 98. Tingkat Pendidikan, tingkat pendidikan tinggi dan yang tidak terlalu memiliki pendidikan juga memaknai peristiwa 98 secara berbeda. Usia, bagi yang pada peristiwa Mei 98 masih kanak-kanak atau remaja memiliki pandangan ganda, di mana ia sendiri melihatnya sebagai suatu kejadian kriminal namun dari cerita orang tuanya lebih menekankan pada peristiwa yang ditujukan pada orang Tionghoa. Media : film-film Mandarin yang dialihsuarakan, lagu Mandarin berperan dalam pembentukan identitas etnis Tionghoa. Film-film seperti legend of condor heroes sangat digemari meskipun telah dialihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi film favorit bagi sebagian besar anak muda Tionghoa seperti
bapak L Faktor pembeda yang penting untuk mengidentifikasi identitas etnis Tionghoa dapat terlihat dari Bahasa, perbedaan pengalaman, sejarah, atau pendidikan. Daftar Pustaka Antropologi Indonesia, Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology, Th.XXVII No. 71 Mei-Agustus 2003 Anggraeni, Dewi Mereka Bilang Aky China, Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa, 2010, Bentang Pustaka Barth, Fredrik terjm. Kelompok Etnik dan Batasannya, UI Press, 1988 Dawis Aimee, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, 2010, PT Gramedia Pustaka Utama Murray L.Wax and Rosalie H. Wax Fieldwork and the Research Process M. Hammersley dan P. Atkinson Research Design Problems, Cases and Samples, Ethnography: Principles in Practice Onghokham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina (Sejarah Etnis Cina di Indonesia). Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Suparlan, Parsudi Hubungan antar Sukubangsa Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2004 Suryadinata, Leo Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta : Graffiti Press, 1984 Wibowo (ed) Harga yang harus dibayar, Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000 Wibowo dan Thung Julan (ed) Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, Jakarta, PT Kompas Media Nusantara