BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. wilayah kerja Puskesmas Buhu yang telah melaksanakan kegiatan klinik sanitasi,

dokumen-dokumen yang mirip
SUMMARY GAMBARAN PELAKSANAAN KLINIK SANITASI DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal april tahun Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (2005) kematian balita disebabkan oleh Infeksi Saluran

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Barat). Luas wilayah Kecamatan Kabila sebesar 193,45 km 2 atau sebesar. desa Dutohe Barat dan Desa Poowo.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara administratif Desa Tabumela terletak di wilayah Kecamatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Nuangan terletak di Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tutuyan

PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA ABSTRAK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Bintauna Kecamatan Bintauna terletak kurang lebih 100 M 2 dari

Kode. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 26 April sampai 10 Mei 2013 di Kelurahan

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

BAB V PEMBAHASAN. kepadatan hunian tidak menunjukkan ada hubungan yang nyata.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat di pengaruhi oleh empat faktor utama yaitu

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

melebihi 40-70%, pencahayaan rumah secara alami atau buatan tidak dapat menerangi seluruh ruangan dan menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian cross sectional yaitu mempelajari hubungan penyakit dan

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di Puskesmas Sidomulyo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi

BAB I PENDAHULUAN. Dan untuk mengenang jasanya bakteri ini diberi nama baksil Koch,

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit

SUMMARY GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA TBC PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGIMANA KECAMATAN PAGIMANA KABUPATEN BANGGAI TAHUN 2012

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

RUMAH SEHAT. Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB I LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tikupon. b) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tomini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

OLEH: IMA PUSPITA NIM:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT COMMON COLD PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMALATE KOTA GORONTALO TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB IV METODE PENELITIAN. Berdasarkan jenisnya penelitian ini adalah penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Sebagian besar dari infeksi

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango. Wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone terdiri dari 9

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

ABSTRAK RESIKO KEJADIAN ISPA PADA PEROKOK PASIF DAN PENGGUNA KAYU BAKAR DI RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG ISPA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango


Salah satu upaya pencegahan pneumonia yang berhubungan dengan lingkungan adalah dengan menciptakan lingkungan hidup yang baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. kematian bayi, angka kesakitan bayi, status gizi dan angka harapan hidup (Depkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB dapat menyebar melalui droplet

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia, menurut WHO 9 (sembilan) juta orang penduduk dunia setiap tahunnya

Transkripsi:

41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Buhu Penelitian ini di lakukan di Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo yaitu di wilayah kerja Puskesmas Buhu yang telah melaksanakan kegiatan klinik sanitasi, dimana kegiatan ini lebih mengintegrasikan terhadap penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan seperti penyakit ISPA. Berikut ini adalah gambaran secara umum dari Puskesmas Buhu. Gambaran Geografi Puskesmas Buhu : BATAS WILAYAH : Sebelah Timur Sebelah Barat Sebelah Utara Sebelah Selatan : Wilker Puskesmas Limbar : Wilker Puskesmas Pongongaila : Kab. Gorut : Wilker Puskesmas Global Tibawa Luas Wilayah : 114,71 Km 2 Wilayah Kerja : 5 Desa (Iloponu, Buhu, Ulobua (Desa Sulit), Labanu dan Motilango) Karakteristik Wilayah : - Terdapat pegunungan - Merupakan daerah aliran sungan (DAS)

42 Gambaran Demografi wilayah kerja Puskesmas Buhu : Wilyah kerja puskesmas Buhu yaitu memiliki jumlah penduduk 11.725 jiwa. Dengan jumlah penduduk miskin Jamkesmas 5.404 jiwa Jamkesta 310 Jiwa. Dengan sarana kesehatan yang di miliki yaitu Puskesmas Induk 1 Buah, Pustu 2 Buah dan Polindes 1 buah, Poskesdes 3 Buah, Rumah Dinas 3 Buah. Untuk ketenagaan wilayah kerja puskesmas Buhu memiliki tenaga Dokter 1 orang, Perawat 6 orang, Perawat Gigi 2 orang, Bidan 5 Orang Sanitarian 2 orang Nutrisions 1 orang, Magang 6 orang dan tenaga Abdi 3 orang. Gambaran Social Budaya Sebagian besar penduduk wilayah kerja Puskesmas Buhu beragama Islam dan bekerja sebagai petani, penduduk di wilayah kerja Puskesmas Buhu sudah bersifat modern sehingga mereka mengikuti perkembangan zaman terutama adalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yaitu sudah lebih mengendalikan pengobatan medis dari pada pengobatan tradisional. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang mengunjungi Puskesmas Buhu setiap harinya. Saran transportasi antar Desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Buhu adalah dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua,roda tiga maupun roda empat. 4.1.2 Hasil Analisis Univariat Dalam penelitian ini yang menjadi subyek utama dalam penelitian yaitu masyarakat yang datang dan berobat di puskesmas dan di nyatakan oleh petugas medis sebagai penderita ISPA yang berada di wilayah kerja Puskesmas Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo dimana keseluruhan penderita ISPA yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas ini merupakan sampel penelitian dengan

43 jumlah 76 orang, dimana penderita tersebut tersebar dalam 5 Desa yaitu di Desa Motilango, Labanu, Ulobua, Buhu, dan Iloponu. Analisis univariat yang dilakukan meliputi data umum responden yaitu umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga. Untuk data sanitasi dasar meliputi tipe rumah, keadaan luas ventilasi, kamarisasi dan kepadatan hunian. Data Umum Responden 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Distribusi responden berdasarkan umur di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini : Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur No Golongan Umur Jumlah (Tahun) N % 1 19-24 3 3.9 2 25-30 29 38.2 3 31-36 15 19.7 4 37-42 6 7.9 5 43-48 14 18.4 6 49-54 5 6.6 7 55-60 4 5.3 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.1 diatas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu responden yang berumur 25-30 tahun sebanyak 29 orang atau (38.2%) pada golongan umur ini merupakan golongan umur responden terbanyak dari keseluruhan sampel yaitu sejumlah 76 responden dan untuk golongan umur yang terendah yaitu yang berumur 19-24 tahun sebanyak 3 orang atau (3.9%).

44 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini : Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Jumlah n % 1 Perempuan 51 67.1 2 Laki-laki 25 32.9 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat terlihat bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu jumlah responden perempuan terbanyak yaitu sejumlah 51 orang atau (67.1%) dari jumlah keseluran responden yaitu berjumlah 76 orang, dan kemudian untuk jumlah responden laki-laki sebanyak 25 orang atau (32.9%). 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini : Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan No Pekerjaan Jumlah n % 1 IRT 43 56.6 2 Pedagang 11 14.5 3 Petani 20 26.3 4 Wiraswasta 2 2.6 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.3 di atas terlihat jelas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu untuk jenis pekerjaan yang tertinggi adalah jenis pekerjaan Ibu Rumah

45 Tangga sebesar 43 orang atau (56.6%), dan jenis pekerjaan sebagai wiraswasta yang terendah yaitu sebanyak 2 orang atau (2.6%). 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini : Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga No Jumlah Anggota RT Jumlah n % 1 1-4 org 44 57.9 2 5-8 org 29 38.2 3 >8 org 3 3.9 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat di lihat bahwa diwilayah kerja puskesmas Buhu jumlah anggota rumah tangga yang tertinggi adalah 1-4 orang yaitu sebanyak 44 responden atau (57.9%), dan untuk jumlah anggota rumah tangga yang terendah yaitu jumlah anggota rumah tangga lebih dari 8 orang sebanyak 3 responden atau (3.9%). Data Sanitasi Dasar 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tipe Rumah Distribusi responden berdasarkan tipe rumah di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini :

46 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Menrut Tipe Rumah No Tipe Rumah Jumlah n % 1 Permanen 18 23.7 2 Semi Permanen 34 44.7 3 Non Permanen 24 31.6 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.5 di atas terlihat jelas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu jumlah tipe rumah yang terbanyak yang di huni yaitu tipe rumah non permanen sebanyak 24 rumah atau (31.6%), dan yang tipe rumah yang terendah yang dihuni yaitu tipe rumah permanen sebanyak 18 rumah atau (23.7%). 6. Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Ventilasi Distribusi responden berdasarkan keadaan luas ventilasi di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.6 di bawah ini : Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Luas Ventilasi No Ventilasi Rumah Jumlah n % 1 Memenuhi syarat 40 67.8 2 Tidak Memenuhi Syarat 19 32.2 Total (N) 59 100 Berdasarkan tabel 4.6 di atas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu keadaan ventilasi responden yang memenuhi syarat sebanyak 40 rumah atau (67.8%) sedangkan untuk ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 19 rumah atau (32.2%).

47 7. Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Kamarisasi Distribusi responden berdasarkan keadaan kamarisasi di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.7 di bawah ini : Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kamarisasi No Kamarisasi Rumah Jumlah n % 1 Memenuhi syarat 34 44.7 2 Tidak Memenuhi Syarat 42 55.3 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.7 di atas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu keadaan kamarisasi responden yang memenuhi syarat sebanyak 34 atau (44.7%),dan untuk keadaan kamarisasi responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 42 rumah atau (55.3%). 8. Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Penghuni Distribusi responden berdasarkan kepadatan hunian di wilayah kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.8 di bawah ini : Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kepadatan Hunian No Kepadatan Hunian Jumlah n % 1 Memenuhi syarat 31 40.8 2 Tidak Memenuhi Syarat 45 59.2 Total (N) 76 100 Berdasarkan tabel 4.8 di atas terlihat bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 31 rumah atau (40.8%) dan

48 untuk kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sebanyak 45 rumah atau (59.2%). 4.1.3 Pembahasan Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Pelaksanaan Klinik Sanitasi Dengan Kejadian Penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Buhu. Berdasarkan hasil analisis Univariat yang telah dilakukan terhadap 76 responden pembahasannya sebagai berikut: 1. Umur Di wilayah kerja puskesmas Buhu jumlah penderita ISPA pada tahun 2012 berdasarkan data yang di dapatkan tercatat bahwa golongan umur yang terbanyak sebagai penderita ISPA yaitu pada golongan umur 20-44 tahun sebanyak 371 untuk golongan umur 45 tahun sampai dengan lebih dari 70 tahun sebanyak 275 penderita. Pada tahun berjalan 2013 jumlah penderita ISPA yang tercatat dalam wilayah kerja puskesmas Buhu yaitu pada golongan umur 23-58 tahun sebanyak 76 penderita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan bahwa untuk golongan umur terbanyak sebagai responden yaitu 25-30 tahun atau (38.2%). Hal ini merupakan kelompok umur dewasa awal. Berdasarkan hasil penelitian oleh Agung, 2006 kejadian penyakit ISPA sangat erat kaitannya dengan umur, umur merupakan determinan untuk terjadinya penyakit ISPA resiko terkena penyakit ini pada usia awal muda yaitu sebesar 2.56 kali lebih besar dari pada usia dewasa lanjut ataupun lansia. Pada golongan umur ini sangat rentan untuk terkena penyakit ISPA, karena jika di lihat dari kebiasaan umumnya pada laki-laki kebiasaan mereka untuk merokok merupakan salah satu penyebab terkena

49 penyakit ISPA, sedangkan pada perempuan terpapar langsung oleh kepulan asap dapur. 2. Jenis Kelamin Berdasarkan data yang di dapat terdahulu bahwa jumlah penderita ISPA pada tahun 2012 yang terbanyak yaitu jenis kelamin perempuan sebanyak 538 penderita dan laki-laki sebanyak 412 penderita. Sedangkan untuk jumlah penderita ISPA pada tahun berjalan 2013 jenis kelamin perempuan sebanyak 55 penderita (67.1%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (32.9%). Dengan jumlah penderita ISPA yang lebih banyak perempuan Hal ini di sebabkan karena perempuan merupakan pekerja rumah tangga yang setiap harinya berada dilingkungan dapur untuk memasak dan memungkinkan selalu terpapar dengan asap, seperti yang di tegaskan dalam (Aswan, 2008) apalagi kegiatan memasak dengan menggunakan bahan bakar biomassa yang menghasilkan polutan udara yang secara langsung dapat berbahaya dari saluran pernafasan untuk kaum perempuan. 3. Pekerjaan Wilayah kerja Puskesmas Buhu sebagian besar penduduknya merupakan petani, jenis pekerjaan berkaitan erat dengan tingkat ekonomi pendapatan dari masyarakat itu sendiri, untuk itu status ekonomi juga dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang di sajikan dalam tabel distribusi frekuensi bahwa sebagian responden berjenis kelamin perempuan 51 orang (67%) dan jenis kelamin laki-laki 25 orang (33%). Mayoritas responden dengan jenis pekerjaan IRT 43 orang (56.6%), petani 20 orang (26.3%) yang

50 dimaksud dengan petani disini yaitu petani kebun yang mayoritasnya menanami jagung dan juga buah yaitu pepaya dan pisang, sedangkan yang bekerja sebagai pedagang 11 orang (14.5%) dan sebagai wiraswasta sebanyak 2 orang (2.6%). Dengan jenis pekerjaan IRT yang terbanyak responden penderita ISPA hal ini di karenakan kaum ibu ataupun perempuan merupakan pekerja semua urusan rumah tangga, mereka sering terpapar oleh asap dari kegiatan mereka ketika memasak, berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan hampir sebagian rumah letak dapurnya tidak memiliki lubang tempat keluarnya asap dari hasil kegiatan memasak, sehingga asap-asap yang di hasilkan menyebar keruangan lainnya yang dapat membahayakan kesehatan bagi penghuni dalam rumah utamanya pada saluran pernafasan. (Aswan, 2008) menyatakan bahwa Bila letak dapur yang sering di pergunakan oleh ibu rumah tangga dalam kegiatan memasak tidak memenuhi syarat maka dapat terjadi akumulasi polutan dalam ruangan dapur dan penyebaran polutan tersebut ke ruangan lainnya dalam rumah sehingga menimbulkan paparan bagi penghuni rumah. Polutan udara tersebut mengandung beberapa zat yang bersifat merusak sistem pertahanan saluran pernapasan sehingga memperbesar risiko bagi penghuninya untuk menderita ISPA. 4. Jumlah Anggota Rumah Tangga Wilayah kerja puskesmas Buhu memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit, jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah melebihi dari besarnya rasio ruangan rumah. Berdasarkan hasil penelitian bahwa jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah sebagian besar yaitu terdiri dari 1-4 orang dengan jumlah 44 responden (57.9%), sedangkan jumlah anggota

51 rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dengan jumlah 5-8 orang sebanyak 29 responden atau (38.2%), kemudian jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dengan jumlah lebih dari 8 orang sebanyak 3 responden atau (3.9%) dimana masing-masing terdiri dari 9,10 sampai dengan 11 orang dalam satu rumah dalam hal ini jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah jika sudah lebih dari 3 atau 4 orang maka tingkat kepadatan hunian sudah tidak memenuhi syarat kesehatan, karena anggota rumah tangga lainnya sudah tidak memeliki ruang gerak lagi, dan juga dapat berpotensi besar dalam menularkan penyakit terhadap anggota rumah lainnya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa rumah yang memiliki tingkat kepadatan hunian yang lebih dalam satu rumah mereka terdiri dari 2-3 rumah tangga yang juga di dalamnya terdapat bayi dan juga balita, Jumlah anggota rumah tangga yang melebihi dari standar kesehatan sama dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Dari hasil penelitian yang telah di lakukan bahwa jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah tidak memenuhi sayarat memungkikan terjadinya kejadian penyakit ISPA. Penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian Dela Oktaviani (2010) bahwa tingkat kepadatan hunian dan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah kemungkinan besar terkena kejadian penyakit ISPA. Jika dalam satu rumah memiliki tinggkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dan apabila terdapat bayi ataupun balita hal ini memungkinkan bayi dan balita tersebut rentan terkena penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan di sekitarnya.

52 5. Tipe Rumah Di Wilayah kerja Puskesmas Buhu tipe rumah yang dihuni oleh masyarakat yaitu tipe rumah permanen, semi permanen dan non permanen, hampir sebagian besar merupakan tipe rumah semi permanen dan non permanen, namum setelah adanya pelaksanaan kegaiatan dari puskesmas yaitu Klinik Sanitasi jumlah rumah yang memenuhi syarat kesehatan mulai meningkat meskipun hanya sampai beberapa rumah dengan semi permanen. Berdasarkan data yang di dapatkan bahwa dari jumlah rumah yang ada di wilayah kerja puskesmas ini yaitu 2224 rumah, rumah yang sudah memenuhi syarat kesehatan sebanyak 1136 rumah atau (51%), hal ini menunjukan peningkatan jumlah tipe rumah yang sudah memenuhi syarat kesehatan sebagai rumah sehat sederhana. Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan tipe rumah yang dihuni oleh penderita ISPA di wilayah kerja puskesmas Buhu dengan adanya pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi bahwa yang menghuni rumah yang layak huni dengan tipe permanen sebanyak 18 responden atau (23.7%) dimana jenis kelamin perempuan yang menghuni tipe rumah permanen sebanyak 13 responden atau (25.5%) dan laki-laki sebanyak 5 responden atau (20.0%). Dalam hal ini tipe permanen dengan melihat keadaan jendela dan ventilasi mereka hanya ditutupi dengan potongan-potongan bambu dan juga keadaan ventilasi mereka ditutupi dengan kardus bekas maupun triplek, dengan keadaan yang seperti ini tidak memungkinkan terjadinya pertukaran udara dalam rumah yang dapat membebaskan oksigen untuk masuk ke dalam rumah.

53 Penderita yang menghuni rumah dengan tipe semi permanen sebanyak 34 responden atau (44.7%), untuk jenis kelamin perempuan yang menghuni tipe rumah semi permanen sebanyak 24 responden atau (47.1%) dan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 responden atau (40.0%). Kondisi rumah seperti ini hampir sebagian memiliki tingkat kepadatan hunian yang banyak tidak sebanding dengan ukuran rumah yang mereka huni dan juga kondisi lingkungan rumah yang sangat memprihatinkan yang memicu timbulnya penyakit akibat lingkungan mereka sendiri. Kemudian penderita yang menghuni rumah tipe non permanen sebanyak 24 responden atau (31.6%) untuk jenis kelamin perempuan yang menghuni tipe rumah non permanen sebanyak 14 responden atau (27.5%) dan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 responden atau (40.0%). Untuk kondisi tipe rumah non permanen ini hampir sebagian besar adalah memiliki jumlah anggota rumah tangga yang lebih dari 4 orang yang tinggal dalam satu rumah, selain itu juga keadaan kamarisasi yang terbatas tidak cukup untuk jumlah anggota rumah tangga yang tinggal di dalamnya. Dalam hal ini dengan tingkat kepadatan hunian pada tipe rumah non permanen ini merupakan rumah bantuan layak huni pada masyarakat miskin dan bukan merupakan bagian dari kegiatan tindak lanjut dari klinik sanitasi. Jumlah anggota rumah tangga yang tinggal di dalamnya melebihi ukuran kapasitas rumah yang sudah tidak sesuai sehingga kejadian penyakit ISPA akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil wawancara pada saat penelitian bahwa setelah melakukan wawancara dengan petugas sanitasi di puskesmas untuk perbaikan kondisi lingkungan rumah sekitar mereka, hanya beberapa dari mereka tidak

54 melaksanakan saran dari petugas sanitasi dengan alasan bahwa keadaan lingkungan mereka sudah seperti itu dan tidak ada yang harus diperbaiki. Namun beberapa masyarakat yang melaksanakan saran dari petugas sanitasi, kondisi sanitasi dasar khususnya kondisi perumahan mereka mulai membaik meskipun dengan adanya perubahan yang sedikit. Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Suriana (2006) bahwa jumlah rumah sehat mulai meningkat dengan adanya kegiatan Klinik Sanitasi yang di adakan di puskesmas. Hal ini dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang kurang mampu dalam meningkatkan kesehatannya yang di lihat dari sarana sanitasi dasar perumahannya. Untuk itu dalam pelaksanaan klinik sanitasi di puskesmas ini dapat membantu memecahkan masalah penyakit yang berbasis lingkungan. Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya. 6. Luas Ventilasi Venilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dan bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus

55 menerus, Bakteri yang dibawa oleh udara akan selalu mengalir. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah sehingga kejadian ISPA akan semakin berkurang. Untuk keberadaan ventilasi rumah yang dihuni oleh penderita ISPA diwilayah kerja Puskesmas Buhu bahwa rumah yang memiliki ventilasi sebanyak 59 rumah atau (78%) dan rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sebanyak 17 rumah atau (22%), dalam hal ini rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sebagian besar rumah tipe non permanen, hanya langsung jendela tanpa dibuat ventilasi, adapun ventilasi yang ada hanya berbentuk lingkaran dengan diameter 10-15cm, sehingga udara dan cahaya matahari tidak bisa masuk secara optimal ke dalam rumah berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Oktaviani (2010) bahwa rumah yang tidak memiliki ventilasi berpeluang lebih besar untuk terkena penyakit ISPA, sedangkan berdasarkann hasil penelitian yang di lakukan oleh Agung Sukamawa (2006) bahwa ventilasi merupakan determinan dari kejadian penyakit ISPA, apalagi pada anak balita yang menempati rumah tanpa ventilasi besar resikonya untuk terjadinya penyakit ISPA. dalam hal ini rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sebagian besar rumah tipe non permanen, hanya langsung jendela tanpa dibuat ventilasi, adapun ventilasi yang ada hanya berbentuk lingkaran dengan diameter 10-15cm, sehingga udara dan cahaya matahari tidak bisa masuk secara optimal ke dalam rumah ( Notoatmodjo, 2003). Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah sehingga kejadian ISPA akan semakin berkurang. Sedangkan ventilasi yang tidak baik

56 dapat menyebabkan kelembaban tinggi dan membahayakan kesehatan sehingga kejadian ISPA akan semakin bertambah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan Untuk rumah dengan keadaan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 40 rumah atau (67.8%) dimana keadaan luas ventilasi yang memenuhi syarat dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 25 responden atau (65.8%) dan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden atau (71.4%). Rumah yang memiliki ventilasi baik atau memenuhi syarat dapat melancarkan proses pertukaran udara yang masuk ke dalam rumah,namun dalam hal ini keadaan ventilasi mereka di tutupi dengan menggunakan kardus, tripleks maupun kertas karton maka udara tidak dapat masuk dan tidak terjadi pertukaran udara dalam rumah, sehingga potensi penularan penyakit sangat besar. Dan untuk rumah yang memiliki keadaan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sejumlah 19 rumah atau (32.2%) Dimana penderita ISPA jenis kelamin perempuan yang di lihat dari keadaan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 13 responden atau (34.2%) sedangkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 responden atau (28.6%). Dari hasil penelitian bahwa rumah yang memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan terdapat penderita ISPA yang selama 2 bulan terakhir 3 kali berturut-turut datang berobat ke puskesmas dengan hasil diagnosa dokter yang sama. Setelah petugas sanitasi datang ke rumah penderita ternyata kondisi rumah non permanen dan tidak memiliki ventilasi. Sehingga menyebabkan tidak adanya pertukaran udara maupun cahaya yang bisa masuk langsung ke dalam rumah.

57 Penderita tidak melaksanakan saran yang di berikan oleh petugas sanitasi setelah konsultasi di ruangan klinik sanitasi pada pemeriksaan sebelumnya. Secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan rollmeter. Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah. Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Oktaviani (2009) bahwa ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat tingkat kejadian penyakit ISPA akan lebih besar di bandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Aswan (2008) yaitu kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kemungkinan besar terkena kejadian ISPA. Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat lebih banyak yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat. Untuk itu keadaan ventilasi rumah sangatlah perlu di perhatikan, karena dengan kondisi ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan memungkinkan kondisi dalam rumah terbebas dari bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit. 7. Kamarisasi Keberadaan kamarisasi dalam satu rumah sangatlah diperlukan hal ini guna untuk mengisolasi penderita ISPA dalam ruangan tertentu sehingga membatasi kontak antara penderita dengan penghuni rumah lainnya dan membatasi sebaran kuman di udara dalam rumah. Bila kamarisasi rumah tidak memenuhi syarat dan

58 ada penderita ISPA dalam rumah, maka kemungkinan kontak penderita dengan penghuni lainnya tidak dibatasi dan kuman dapat tersebar bebas di udara ke bagian rumah lainnya sehingga menimbulkan risiko yang lebih besar bagi penghuni lainnya untuk tertular penyakit. Luas ruang tidur minimal 8 m 2, dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali dibawah umur 5 tahun (Kusnoputranto, 2002). Di wilayah kerja puskesmas Buhu berdasarkan hasil penelitian bahwa keadaan kamarisasi dalam rumah penderita sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sejumlah 42 rumah atau (55.3%) di mana untuk jenis kelamin perempuan yan di lihat dari keadaan kamarisasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 28 responden atau (54.9%) sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 14 responden atau (56.0%). Dengan ukuran kamar yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni yang menempati kamar tersebut, selain itu pula terdapat bayi maupun balita dalam penghuni kamar. Untuk rumah yang memiliki kamar yang memenuhi syarat kesehatan yaitu sejumlah 34 rumah atau (44.7%) dimana untuk jenis kelamin perempuan yang di lihat dari keadaan kamarisasi yang memenuhi syarat sebanyak 23 responden atau (45.1%) sedankan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 responden atau (44.0%), dalam hal ini rumah yang memiliki kamarisasi yang memenuhi syarat sebagian hanya dihuni oleh 1-2 orang dengan rasio perbandingan luas kamar. Kamarisasi dengan tingkat kepadatan hunian kamar yang lebih dari dua orang memudahkan untuk terjadinya penularan penyakit. Seperti pada penelitian yang di lakukan oleh Dewi (2012) bahwa kamarisasi yang tidak memenuhi syarat rasio ruangan kamar tidur dengan jumlah penghuni yang menempati kamar tersebut

59 lebih dari 2 orang maka beresiko besar untuk terkena penyakit ISPA. Studi terhadap kondisi rumah menunjukan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan hunian penghuni kamar per meter persegi. Luas kamar yang kecil dengan jumlah penghuni kamar yang banyak akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui droplet atau kontak langsung. Selain itu pada hasil penelitian yang di lakukan bahwa di wilayah kerja puskesmas buhu rumah responden ada juga kamar yang tidak di pakai oleh penghuni rumah karena mereka lebih suka tidur diruangan yang lebih luas dari pada kamar mereka seperti pada ruang keluarga atau ruangan tempat biasa menonton tv. Hasil penelitian yang telah di lakukan bahwa penderita yang telah berkonsultasi dengan petugas sanitasi ada beberapa yang melaksanakan saran dari petugas sanitasi, yaitu mereka meminimalisir kontak langsung dengan anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam rumah tersebut dengan mengisolasi diri sendiri di dalam kamar, namun ada juga dengan kondisi kamar yang seadanya mereka tidur bersama sampai lebih dari 3 orang termasuk balita, dengan alasan karena tidak ada lagi ruangan yang bisa dipergunakan umtuk tidur, sehingga peluang penularan penyakit semakin besar dengan kondisi yan seperti itu. Selain itu dengan kondisi kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi syarat, ada beberapa dari mereka hanya memperbaiki pencahayaan yang masuk dalam rumah ataupun kamar dengan cara menggunakan ventilasi dan juga jendela guna terjadinya pertukaran udara dalam ruangan sehingga dapat membunuh bakteri patogen yang ada di dalamrumah.

60 8. Kepadatan Hunian Wilayah kerja puskesmas Buhu memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit, jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah melebihi dari besarnya rasio ruangan rumah. Berdasarkan data yang di peroleh bahwa hampir sebagian besar jumlah anggota rumah yang tinggal dalam satu rumah lebih dari 4 orang bahkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu ada dalam 1 rumah jumlah anggota yang tinggal dalam rumah tersebut sebanyak 11 orang yang terdiridari 2 KK yang termasuk tinggal di dalamnya yaitu bayi dan juga balita. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Ruangan yang sempit akan membuat nafas sesak dan mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga yang lain. Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO 2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah. Untuk tingkat kepadatan hunian sebaiknya harus disesuaikan dengan syarat kesehatan yaitu dengan melihat rasio ruangan dengan jumlah penghuni yang tinggal di dalam rumah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di

61 wilayah kerja puskesmas buhu bahwa rumah yang tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sebanyak 45 rumah atau (59.2%) di mana untuk jenis kelamin perempuan sebanyak 34 responden atau (66.7%) dan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 responden atau (44.0%). Sedangkan untuk rumah yang tingkat kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 31 rumah atau (40.8%) dimana terdiri dari jenis kelamin perempuan yang di lihat dari tingkat kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 17 responden atau (33.3%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 14 responden atau (56.0%). Tingkat kepadatan hunian baik dalam ruangan rumah maupun kepadatan hunian kamar sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan, hal itu di sebabkan karena adanya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah terlalu banyak. Hal ini terlihat jelas bahwa jumlah anggota rumah yang tinggal dalam satu rumah sudah tidak sesuai dengan rasio ruangan. Secara spesifik, kepadatan penghuni meningkatkan risiko infeksi karena meningkatnya jumlah orang yang potensial tertular. Akibatnya, anak-anak yang tinggal di tempat yang padat penghuni menderita infeksi lebih sering dan bahkan lebih. Berdasarkan hasil penelitian oleh Aswan (2008) bahwa tingkat kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat beresiko terkena penyakit ISPA. Rumah yang padat penghuni lebih banyak yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah tidak padat penghuni. Pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi di puskesmas tentunya dapat membantu permasalahan sanitasi dasar yang ada di wilayah kerjanya, namun keberhasilan

62 dari kegiatan ini harusnya ada peran aktif dari petugas sanitasi yang ada di puskesmas. Jika tercipta kerja sama antara penderita ataupun klien/masyarakat dengan petugas sanitasi yang ada maka pelaksanaan klinik sanitasi akan berhasil utamanya dalam pemecahan masalah sanitasi dasar yang buruk ataupun lingkungan yang tidak sehat. Kondisi yang seperti itu merupakan target capaian keberhasilan dari pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi, namum di lihat dari hasil observasi dan penelitian berdasarkan wawancara yang telah di lakukan di wilayah kerja puskesmas buhu bahwa pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi belum sepenuhnya memenuhi kriteria keberhasilan, hal ini di sebabkan karena kunjungan pasien penderita penyakit berbasisis linkungan salah satunya ISPA meningkat keruang klinik berdasarkan rujukan petugas medis, kunjungan petugas sanitarian ke lapangan ataupun kegiatan tindak lanjut dari ruang klinik sanitasi ke penderita atau klien/masyarakat menurun atau jarang di lakukan, penyakit berbasis lingkungan seperti ISPA masih tetap menjadi urutan pertama dalam 10 penyakit menonjol di wilayah kerja puskesmas ini. Berdasarkan hasil wawancara yang telah di lakukan pada saat penelitian di lakukan bahwa penderita ISPA yang telah di rujuk keruang klinik sanitasi setelah di wawancarai oleh sanitarian tentang permasalahan kesehatan lingkungan yang di hadapai sanitarian membuat janji untuk melakukan kunjungan rumah sebagai tindak lanjut dari kegiatan di ruang klinik sanitasi, namun tidak ada kunjungan dari sanitarian. Hal itu di sebabkan karena ada beberapa dari pasien tidak mau untuk di lakukan kunjungan rumah dengan berbagai macam alasan dan juga di sebabkan oleh akses jalan menuju rumah penderita sangat sulit dengan melihat

63 kondisi wilayahnya serta transportasi yang sulit menuju ke tempat yang menjadi sasaran kunjungan petugas sanitasi. Selain itu pula masih terbatasnya petugas sanitasi yang ada di wilayah kerja puskesmas yaitu hanya terdiri dari 2 orang sehingga menyebabkan terbatasnya jangkauan petugas sanitasi untuk mebina semua desa yang ada di wilayah kerja puskesmas karena luas wilayahnya, dan masih terbatasnya dana untuk kerperluan kegiatan klinik sanitasi. Pelaksanaan klinik sanitasi ini masih sangat perlu untuk mendapat perhataian dari dinas terkait guna mengatasi permasalahan sanitasi dasar serta kondisi kesehatan lingkungan yang buruk. Namun dari beberapa permasalahan yang ada, kegiatan ini belum terlalu menjadi prioritas utama di puskesmas, karena hanya di sesuaikan dengan kondisi yang ada. Dari hasil penelitian keseluruhan di dapatkan 6 rumah responden yang di lihat dari keadaan luas ventilasi, kamarisasi serta kepadatan hunian semuanya memenuhi syarat, namun salah satu anggota rumah tangga yang tinggal dalam rumah tersebut merupakan penderita ISPA, hal ini dikarena ISPA merupakan kelompok penyakit yang di sebabkan oleh Virus dan juga bakteri, meskipun bakteri juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi Virus. Kemudian di tularkan melalui udara yang berbentuk aerosol yang terhirup oleh orang tersebut ataupun kontak langsung tangan dengan sekret yang terinfeksi dan kemudian menyentuh hidung atau mata. Semua jenis infeksi ini dapat mengaktifkan respon imun dan juga inflamasi sehingga dapat terjadi pembengkakan pada jaringan yang terinfeksi oleh virus tersebut, reaksi inflamasi dapat menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan

64 ISPA. Yaitu hidung tersumbat, sputum berlebihan, pilek, sakit kepala, demam ringan dapat terjadi akibat reaksi inflamasi tersebut. Penyakit ISPA merupakan infeksi minor yang di peroleh dimasyarakat yang di sebabkan oleh virus, ISPA juga dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi penderita berusia lanjut atau penderita yang sangat muda. Untuk itu selain melihat kondisi rumah yang tidak yang memenuhi syarat kesehatan ataupun kondisi rumah yang memenuhi syarat, kondisi kesehatan pribadi pun harus di perhatikan,karena jika keadaan sistem imun seseorang tidak stabil maka kemungkinan besar tubuh kita mudah terserang oleh penyakit utamanya penyakit yang di sebabkan oleh virus yang di timbulkan dari keadaan lingkungan yang tidak sehat.