TRIWULAN IV 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
TRIWULAN III 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH I SULAWESI MALUKU PAPUA

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

TRIWULAN IV 2015 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

TRIWULAN IV 2015 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

TRIWULAN I 2015 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

TRIWULAN II 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH I SULAWESI MALUKU PAPUA

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan. Triwulan I 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH I SULAWESI MALUKU PAPUA

TRIWULAN II 2015 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Selatan

TRIWULAN I 2016 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH AGUSTUS

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Barat

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI ACEH

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI LAMPUNG. Kajian Triwulanan Misi Bank Indonesia. Visi, Misi dan Nilai Strategis Bank Indonesia

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH FEBRUARI 2017

Kajian Ekonomi Regional Banten

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan IV 2015

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI 2017

Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan I 2016

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2014

TRIWULAN I 2016 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH TRIWULAN I

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan III 2015

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

6.1. Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi Keuangan Secara Tunai Transaksi Keuangan Secara Non Tunai... 74

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Tim Penulis: Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan KPw BI Provinsi Kaltara CP. dan

Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental Fundamental/Inti...

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGGARA TRIWULAN IV 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL MEI. website :

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI BENGKULU

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan II 2015

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL


Provinsi Nusa Tenggara Timur

Publikasi ini dapat diakses secara online pada :

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGGARA TRIWULAN II 2015 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGGARA FEBRUARI 2017

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI BENGKULU

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN I 2017

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGGARA TRIWULAN I 2015 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI BENGKULU

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga Kajian Ekonomi Keuangan Regional (KEKR)

Transkripsi:

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan TRIWULAN IV 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SULAWESI SELATAN

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh dengan menghubungi: Divisi Advisory dam Pengembangan Ekonomi Daerah Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan Jl. Jenderal Sudirman No. 3 Makassar 90113, Indonesia Telepon: 0411 3615188/3615189 Faksimili: 0411 3615170

KATA PENGANTAR Kata Pengantar Laporan Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) disusun dan disajikan setiap triwulan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, mencakup aspek pertumbuhan ekonomi, keuangan pemerintah, inflasi, sistem keuangan dan pengembangan akses keuangan, sistem pembayaran dan pengelolaan uang, ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat, serta prospek perekonomian ke depan. Kajian ekonomi daerah di samping bertujuan untuk memberikan masukan bagi Kantor Pusat Bank Indonesia dalam merumuskan kebijakan moneter maupun makroprudensial, juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi para stakeholders di daerah dalam membuat keputusan. Keberadaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) di daerah diharapkan dapat semakin berperan sebagai strategic partner bagi stakeholders di wilayah kerjanya. Perekonomian Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tumbuh 7,57% (yoy) sedikit melambat dibandingkan tahun 2013 sebesar 7,63% (yoy). Pencapaian pertumbuhan yang masih diatas angka nasional (5,02%; yoy) tersebut terutama bersumber dari ekspansi lapangan usaha Pertambangan dan Penggalian (11,4%; yoy) serta tingginya pertumbuhan Ekspor (11,85%; yoy). Sebaliknya, penurunan kinerja lapangan usaha Perdagangan Hotel dan Restoran, serta Bangunan (konstruksi) menjadi sumber perlambatan. Dari sisi tekanan harga, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM di penghujung tahun menyebabkan inflasi 2014 mencapai 8,61% (yoy), diatas inflasi 2013 (6,22%; yoy). Secara triwulanan, perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan IV 2014 berhasil tumbuh 7,71% (yoy), melambat dari triwulan sebelumnya (8,23%; yoy). Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, terkait dengan kenaikan harga-harga setelah penyesuaian harga BBM, antara lain menjadi penyebab perlambatan ekonomi. Namun demikian, kuatnya kinerja sektor tradeable yang tercermin pada ekspor 14,73% (yoy) berhasil menahan perlambatan ekonomi. Dari sisi sektoral, pertumbuhan bersumber dari lapangan usaha Industri pengolahan (15,20%; yoy) dan lapangan usaha Pertanian (10,40%; yoy). Sementara itu, inflasi di periode pelaporan tercatat sebesar 8,61% (yoy) lebih tinggi dari triwulan III 2014 (3,72%; yoy) yang terpengaruh oleh peningkatan harga BBM serta efek rambatnya. Dalam penyusunan laporan ini, Bank Indonesia memanfaatkan data serta informasi dari berbagai institusi baik secara langsung yaitu melalui survei dan liaison maupun dari data yang sudah tersedia. Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah berkontribusi baik berupa pemikiran maupun penyediaan data/informasi secara kontinyu, tepat waktu, dan reliable. Saran serta masukan dari para pengguna sangat kami harapkan untuk menghasilkan laporan yang lebih baik ke depan. Makassar, Februari 2015 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan Mokhammad Dadi Aryadi Direktur Eksekutif Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 iii

VISI BANK INDONESIA Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil. MISI BANK INDONESIA 1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. 2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. 3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter, dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan akses dan kepentingan nasional. 4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka melaksanakan tugas yang diamanatkan UU. NILAI-NILAI STRATEGIS Merupakan nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas:trust and Integrity Professionalism Excellence Public Interest Coordination and Teamwork. iv

DAFTAR ISI Daftar Isi KATA PENGANTAR DAFTAR ISI III V RINGKASAN EKSEKUTIF 1 TABEL INDIKATOR EKONOMI 5 1. PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 9 1.1. PERTUMBUHAN EKONOMI 10 1.2. SISI PENGELUARAN 10 1.3. SISI PENAWARAN 16 2. KEUANGAN PEMERINTAH 29 2.1. STRUKTUR ANGGARAN 30 2.2. PERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN APBD PROVINSI 30 2.3. PERKEMBANGAN REALISASI BELANJA INSTANSI VERTIKAL DI SULSEL 33 2.4. PERAN REALISASI KEUANGAN PEMERINTAH DALAM PDRB 34 3. INFLASI DAERAH 35 3.1. INFLASI KELOMPOK BARANG DAN JASA 36 3.2. INFLASI MENURUT KOTA IHK 41 3.3. DISAGREGASI INFLASI 42 3.4. KOORDINASI PENGENDALIAN INFLASI 43 4. SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN 47 4.1. KONDISI UMUM PERBANKAN 48 4.2. STABILITAS SISTEM KEUANGAN 51 4.3. PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN 53 Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 v

DAFTAR ISI 5. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG 55 5.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN 56 5.2. PENGELOLAAN UANG TUNAI 57 6. KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN 59 6.1. TENAGA KERJA 60 6.2. PENDUDUK MISKIN 61 6.3. RASIO GINI 62 6.4. NILAI TUKAR PETANI 62 7. PROSPEK PEREKONOMIAN 67 7.1. PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI 68 7.2. PROSPEK INFLASI 71 LAMPIRAN 75 DAFTAR BOKS BOKS 1.A. 24 PERUBAHAN TAHUN DASAR 2010 DAN SNA 2008 DALAM PELAPORAN PDRB TRIWULAN IV 2014 BOKS 1.B. 26 PRELIMINARY GROWTH DIAGNOSTIK SEKTOR PERIKANAN SULSEL BOKS 3.A. 45 UPAYA PENGENDALIAN INFLASI MELALUI HIGH LEVEL MEETING TPID DI KABUPATEN/KOTA SULAWESI SELATAN BOKS 4.A. 54 CASH FLOW BASED, PENERAPANNYA PADA KREDIT UMKM BOKS 6.A. 64 TIPOLOGI WILAYAHPROVINSI SULAWESI SELATAN vi

RINGKASAN EKSEKUTIF Ringkasan Eksekutif Gambaran Umum Perekonomian Sulawesi Selatan triwulan IV 2014 tumbuh melambat dibandingkan triwulan III 2014, demikian pula keseluruhan tahun 2014 terhadap tahun 2013. Pada triwulan IV 2014, ekonomi Sulawesi Selatan (Sulsel) tumbuh sebesar 7,71% (yoy), lebih rendah terhadap triwulan III 2014 (8,23%; yoy). Melambatnya kinerja perekonomian Sulsel bersumber dari penurunan produksi kategori Pertanian, Konstruksi, Perdagangan, dan Penyediaan Akomodasi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Sulsel 2014 (7,57%; yoy) tetap lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional 2014 (5,02%, yoy). Sementara itu, tekanan inflasi tercatat meningkat di triwulan laporan, sebesar 8,61% (yoy), dibandingkan dengan triwulan III 2014 (3,72%, yoy). Peningkatan tekanan inflasi terjadi pada beberapa kelompok barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi. Kondisi sistem keuangan menunjukkan indikator perbankan masih dalam tendensi yang meningkat dan tetap dalam risiko yang terjaga. Di sisi lain, transaksi non-tunai melalui sarana RTGS baik volume dan nilainya juga menunjukkan peningkatan. Tantangan perekonomian ke depan, di samping peningkatan produktivitas adalah mendorong investasi dan produksi industri berbasis sektor primer (hilirisasi). Dari stabilitas harga dan ketahanan pangan, peningkatan produksi tanaman pangan beserta infrastruktur pendukung (waduk, irigasi), serta kerjasama antar TPID untuk mengatasi gejolak harga karena ketimpangan pasokan dan permintaan kiranya perlu diperkuat. juga pola kebijakan seperti penentuan tarif batas atas angkutan dan penetapan harga eceran tertinggi untuk LPG. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Ekspor meningkat, terkait membaiknya kinerja lapangan usaha industri pengolahan. Secara triwulanan, pada triwulan IV 2014 ekonomi Sulsel tumbuh sebesar 7,71% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya (8,23%, yoy). Dari sisi permintaan, perlambatan pertumbuhan didorong oleh konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba sebagai imbas kenaikan bahan bakar minyak. Di sisi lain, ekspor mencatat akselerasi pertumbuhan sebesar 14,73% (yoy). Sementara itu, dari sisi sektoral, lapangan usaha pertanian menjadi penyumbang perlambatan pertumbuhan (10,40%; yoy). Masih tingginya pertumbuhan Sulsel, lebih disokong oleh lapangan usaha Industri pengolahan (15,20%; yoy). Perekonomian Sulawesi Selatan tahun 2014 tumbuh 7,57% (yoy) sedikit melambat dibandingkan tahun 2013 sebesar 7,63% (yoy). Dari sisi produksi, turunnya tingkat pertumbuhan berasal dari lapangan usaha sekunder seperti lapangan usaha transportasi dan lapangan usaha bangunan (konstruksi). Adapun pertumbuhan yang tinggi terjadi pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian (11,4%; yoy), diikuti dengan pengiriman ekspor yang cukup besar (11,85%; yoy). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 1

RINGKASAN EKSEKUTIF Keuangan Pemerintah Realisasi pendapatan dan belanja keuangan pemerintah hingga triwulan IV 2014 cenderung lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi pendapatan dan belanja keuangan daerah cenderung lebih baik di tahun 2014, didorong oleh optimalisasi pemungutan pajak dan penyaluran belanja. Dari sisi pendapatan, persentase realisasi pendapatan 2014 untuk APBD Provinsi setinggi tahun 2013, terutama karena optimalisasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Demikian pula, secara nominal, capaiannya lebih tinggi dari periode yang sama tahun 2013.Sementara dari sisi belanja, realisasi belanja APBD Provinsi maupun instansi vertikal di Sulsel juga menunjukkan peningkatan, terutama penyerapan belanja infrastruktur (belanja modal). Realisasi belanja APBD Provinsi mencapai 92,04%, sementara realisasi belanja instansi vertikal mencapai 91,14%. Inflasi Daerah Tekanan Inflasi Sulsel triwulan IV 2014 meningkat, disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan dampak lanjutannya. Terjadi peningkatan tekanan inflasi pada akhir tahun 2014, sebagai implikasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Peningkatan laju inflasi Sulsel pada akhir 2014 tercatat sebesar 8,61% (yoy), lebih tinggi dari triwulan III 2014 (3,72%, yoy) yang disebabkan oleh peningkatan tekanan inflasi pada beberapa kelompok barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi. Peningkatan tekanan inflasi terjadi pada kelompok barang yang terkait dengan volatile food (kelompok bahan pangan dan makanan jadi) dan administered price (perumahan dan transportasi). Secara kelembagaan, seluruh TPID di tingkat provinsi dan kabupaten/kota telah terbentuk, diiringi dengan peningkatan kegiatan koordinasi, terutama untuk mengantisipasi implikasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Sistem Keuangan dan Pengembangan Akses Keuangan Intermediasi perbankan tetap tinggi, diiringi dengan risiko masih dalam batas aman. Kinerja pembiayaan perbankan di Sulsel pada triwulan IV 2014 meningkat, diiringi dengan risiko yang tetap terkendali. Kinerja perbankan di Sulsel pada triwulan IV 2014, dari indikator utama yaitu aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit/pembiayaan yang disalurkan, memperlihatkan peningkatan yang lebih baik pada triwulan laporan. Peningkatan pertumbuhan aset bank umum terjadi pada kelompok bank pemerintah dan swasta nasional. Sementara itu, pertumbuhan DPK yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit menyebabkan kegiatan intermediasi (LDR) sedikit meningkat menjadi sebesar 126,39% dari 125,06%. Sementara itu, risiko kredit perbankan masih terjaga dengan baik yang tercermin dari Rasio nonperforming loan (NPL) yang masih berada pada level aman. Masih amannya rasio NPL juga mendukung ketahanan sektor keuangan baik pada sektor korporasi, rumah tangga. Namun demikian, perlu perhatian khusus pada kualitas kredit UMKM. Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Pada akhir tahun terjadi net inflow, kondisi yang berbeda dari periode biasanya, kemungkinan terkait tekanan harga yang kuat di akhir tahun. Perkembangan kinerja sistem pembayaran menunjukkan tendensi yang membaik pada triwulan IV 2014. Transaksi keuangan non-tunai melalui Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) menunjukkan tren pertumbuhan yang meningkat. Sejalan dengan membaiknya tendensi transaksi keuangan melalui RTGS, transaksi keuangan melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) juga mengalami peningkatan di triwulan berjalan. Faktor musiman tidak menunjukkan pengaruh terhadap pergerakan aliran uang kartal pada triwulan IV 2014. Kondisi net inflow pada akhir tahun merupakan kondisi yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang cenderung outflow di akhir tahun, yang berarti terjadi kegiatan penarikan uang yang biasanya akan terus meningkat pada 2

RINGKASAN EKSEKUTIF triwulan berjalan. Salah satu faktor penyebab kemungkinan karena tekanan harga yang tinggi terkait kenaikan harga BBM. Adapun pengelolaan uang tunai oleh Bank Indonesia dilakukan dengan melakukan layanan penukaran uang, kas keliling, remise, pemusnahan uang tidak layak edar, dan edukasi ciri-ciri keaslian mata uang. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan clean money policy. Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Tingkat pengangguran dan kesejahteraan relatif tidak berubah signifikan. Kondisi kesejahteraan belum menunjukkan perubahan signifikan. Penyerapan tenaga kerja relatif baik, terpantau dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) Sulawesi Selatan yang mencapai 5,10% (Sakernas Agustus 2014) atau relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya (Agustus 2013). Sementara tingkat kesejahteraan petani yang diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) hingga akhir 2014 terpantau melemah dari triwulan III 2014. Jumlah penduduk miskin di Sulsel hingga September 2014 menurun dibanding Maret 2014 baik di kota maupun di desa. Persentase penduduk miskin di Sulsel 9,5% atau relatif baik dibandingkan Sulampua maupun nasional. Prospek Perekonomian Pertumbuhan ekonomi Sulsel pada triwulan I 2015 diperkirakan melemah dengan tingkat inflasi yang terkendali. Perekonomian Sulsel pada triwulan I 2015 dan untuk keseluruhan tahun 2015, masing-masing diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 6,9% - 7,9% (yoy) dan 7,5% - 8,5% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Sulsel 2015, jika dibandingkan dengan ekonomi nasional, masih tetap lebih kuat. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh permintaan domestik (konsumsi dan investasi), walaupun sektor ekonomi yang terkait ekonomi global masih melemah. Di sisi lapangan usaha, peningkatan terjadi pada konstruksi, perdagangan, transportasi, informasi/komunikasi, real estate, dan jasa-jasa. Perlambatan diperkirakan akan terjadi pada lapangan usaha penyediaan akomodasi terkait kebijakan pemerintah untuk mengurangi kegiatan rapat di hotel. Tekanan harga tahun 2015 diprakirakan akan tetap terkendali, dengan besaran masuk dalam rentang target inflasi nasional. Faktor yang mendorong adalah ketersediaan bahan makanan yang relatif mencukupi, ditambah dengan tren penurunan harga minyak dunia. Namun demikian, ke depan Pemerintah Daerah perlu merespon perubahan kebijakan pemerintah di bidang energi dengan menerapkan kebijakan penentuan tarif batas atas angkutan dan penetapan harga eceran tertinggi. Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan Ke depan, untuk tetap mencapai pertumbuhan yang berkualitas, diperlukan dukungan dan sinergi dari berbagai pihak Untuk mendukung perkembangan ekonomi Sulsel yang membanggakan, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian antara lain (1) Konsistensi pembangunan infrastruktur sesuai jadwal (seperti pembangunan Pelabuhan Makassar New Port, Jalur Kereta Api Makassar-Parepare, Pembangkit Listrik, dan Waduk); (2) peningkatan industri pengolahan (hilirisasi) melalui peningkatan iklim investasi agar pada akhirnya tercipta perdagangan antar pulau yang mendorong program kemaritiman pemerintah; (3) pengendalian inflasi daerah, ditingkatkan melalui kerjasama antar TPID, dengan memperhatikan surplus dan defisit; (4) pemberdayaan Pelaku Usaha UMKM (termasuk nelayan) melalui program pendampinan yang konsisten, menerapkan alternatif pembiayaan UMKM berbasis cash flow, dan menerapkan skim asuransi usaha. 3

RINGKASAN EKSEKUTIF HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN 4

TABEL INDIKATOR EKONOMI TABEL INDIKATOR EKONOMI Tabel Indikator Ekonomi A. INFLASI DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) MAKRO Indeks Harga Konsumen I II III IV I II III IV I II III IV - Sulawesi Selatan 132.89 133.44 135.69 136.14 139.01 139.26 145.51 144.60 109.16 109.71 111.72 116.89 - Sulawesi Utara 128.11 129.75 131.57 133.73 136.86 136.16 141.73 144.59 109.39 110.28 110.90 118.61 - Gorontalo 134.65 136.07 137.85 139.32 141.62 140.95 142.53 147.46 108.24 109.32 109.62 115.26 - Papua 126.38 127.28 129.07 132.71 133.82 135.00 140.14 143.68 113.54 112.66 114.05 121.17 - Papua Barat 144.28 149.65 152.64 152.79 155.28 158.31 167.44 163.87 108.41 109.26 113.93 115.18 - Maluku 137.57 142.05 142.03 140.74 141.12 144.46 156.03 153.14 110.38 111.97 112.31 115.86 - Sulawesi Tengah 135.20 137.53 141.14 142.34 143.27 142.88 151.42 153.12 111.45 113.64 115.12 120.21 - Sulawesi Tenggara 137.27 138.93 141.02 141.15 141.41 144.15 151.32 149.50 108.00 109.77 111.72 117.67 - Sulawesi Barat 134.57 134.98 137.56 138.24 140.21 140.78 145.61 146.41 108.92 110.28 112.54 116.85 - Maluku Utara 133.20 134.73 135.68 136.87 138.49 138.68 148.77 150.25 112.16 114.28 117.01 122.30 Laju Inflasi Tahunan (%, yoy) INDIKATOR - Sulawesi Selatan 4.06 3.84 4.48 4.41 4.61 4.36 7.24 6.21 5.88 5.92 3.72 8.61 - Sulawesi Utara 0.95 3.73 5.23 6.04 6.83 4.94 7.72 8.12 5.67 6.26 4.00 9.67 - Gorontalo 5.91 5.95 5.40 5.31 5.18 3.59 3.39 5.84 5.10 5.82 3.59 6.14 - Papua 1.94 1.80 2.94 4.52 5.89 6.07 8.58 8.27 9.57 7.40 4.51 9.11 - Papua Barat 2.07 4.11 5.52 5.07 7.62 5.79 9.70 7.25 5.77 5.27 5.32 6.56 - Maluku 8.65 6.25 7.07 6.73 2.58 1.70 9.86 8.81 8.95 8.85 2.79 7.19 - Sulawesi Tengah 2.50 4.99 6.78 5.87 5.97 3.89 7.28 7.57 8.42 10.37 5.46 8.84 - Sulawesi Tenggara 5.10 4.65 2.03 5.25 3.02 3.76 7.30 5.92 5.60 4.84 1.83 8.45 - Sulawesi Barat 3.81 3.24 3.71 3.28 4.19 4.30 5.85 5.91 6.24 6.65 4.46 7.89 - Maluku Utara 4.54 4.30 3.87 3.29 3.97 2.93 9.65 9.78 8.80 9.75 5.40 9.35 PDRB Penawaran - Harga Konstan (Rp Miliar) Tahun Dasar 2000 & SNA 1993 14,142 15,057 15,545 14,974 15,304 15,995 16,828 6,936-1. Pertanian 3,787 4,095 4,321 3,329 3,831 4,059 4,491 3,765 2. Pertambangan dan Penggalian 875 1,116 1,091 1,209 1,123 1,181 1,230 1,153 3. Industri Pengolahan 1,948 1,990 2,033 2,079 2,108 2,187 2,210 2,199 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 157 159 164 168 169 173 178 181 5. Konstruksi/Bangunan 841 868 903 955 913 964 1,022 1,058 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 2,509 2,616 2,738 2,798 2,797 2,876 2,966 3,022 7. Angkutan dan Komunikasi 1,436 1,459 1,502 1,553 1,544 1,613 1,660 1,663 8. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 1,129 1,240 1,272 1,338 1,323 1,414 1,468 1,480 9. Jasa-jasa 1,460 1,514 1,522 1,544 1,494 1,529 1,604 1,636 PDRB Penawaran - Harga Konstan (Rp Miliar) Tahun Dasar 2010 & SNA 2008 55,239 58,217 62,188 58,439 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 12,293 13,015 14,950 10,826 Pertambangan dan Penggalian 3,108 3,792 4,039 3,810 Industri Pengolahan 7,648 8,213 8,631 8,941 Pengadaan Listrik, Gas 51 55 56 59 Pengadaan Air 75 77 77 73 Konstruksi 6,494 6,789 7,044 7,301 Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 7,775 8,088 8,620 7,881 Transportasi dan Pergudangan 2,072 2,105 2,193 2,272 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 765 797 806 815 Informasi dan Komunikasi 3,492 3,592 3,733 3,743 Jasa Keuangan 1,956 2,021 2,013 2,116 Real Estate 2,068 2,124 2,164 2,209 Jasa Perusahaan 245 249 252 254 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 2,510 2,550 2,653 2,686 Jasa Pendidikan 2,916 2,929 3,105 3,523 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,065 1,093 1,107 1,169 Jasa lainnya 707 728 747 761 PDRB Permintaan - Harga Konstan (Rp Miliar) *** 14,142 15,057 15,545 14,974 15,304 15,995 16,828 16,157 1. Konsumsi 9,586 9,767 9,984 10,142 10,136 10,336 10,675 10,852 35,255 37,975 38,926 41,954 2. Investasi 4,070 4,797 4,557 3,387 4,666 5,153 4,323 4,052 20,902 23,641 24,033 22,520 3. Ekspor 4,755 5,323 5,659 6,158 5,322 5,634 6,169 6,176 14,700 14,295 15,704 14,782 4. Impor 4,269 4,830 4,655 4,713 4,820 5,128 4,339 4,923 15,618 17,694 16,474 20,818 Total PDRB (Rp Miliar) Pertumbuhan PDRB (%, yoy) Nilai Ekspor (X) Luar Negeri Non-migas (US$ Juta) Volume Ekspor Luar Negeri Non-migas (Ribu Ton) Nilai Impor (M) Luar Negeri Non-migas (US$ Juta) Volume Impor Luar Negeri Non-migas (Ribu Ton) Neraca Perdagangan (X - M) Non-migas (US$ Juta) Sumber : BPS & Dirjen Bea Cukai Catatan: *) Angka sementara untuk data PDRB; data IHK menggunakan tahun dasar 2007 **) Angka sangat sementara untuk data PDRB; data IHK menggunakan tahun dasar 2012 ***) Tahun 2014 menggunakan Tahun Dasar 2010 2012* 2013* 2014** 14,142 15,057 15,545 14,974 15,304 15,995 16,828 16,157 55,239 58,217 62,188 58,439 7.90 8.06 8.70 8.88 8.21 6.23 8.26 7.90 269.15 334.64 425.37 526.60 403.02 389.29 417.56 386.19 366.41 460.02 499.05 452.63 223.29 193.78 152.34 245.36 171.92 198.44 499.94 230.41 167.44 182.55 193.36 210.19 155.07 186.72 254.70 219.18 300.72 404.72 218.82 123.23 139.10 181.87 149.05 129.39 280.95 500.79 246.48 215.54 160.04 472.75 216.69 271.11 221.11 258.82 266.39 217.59 114.08 147.92 170.67 307.42 102.30 (15.43) 198.75 262.96 227.31 278.14 350.00 323.24 5

TABEL INDIKATOR EKONOMI B. PERBANKAN (KREDIT LOKASI BANK, DPK LOKASI BANK PELAPOR) INDIKATOR 2012 2013 2014**** I II III IV I II III IV I II III IV BANK UMUM : Total Aset (Rp Miliar) 67,573 72,554 74,754 79,307 80,876 86,366 90,288 90,932 90,909 97,572 99,571 101,351 DPK - Lokasi Bank Pelapor (Rp Miliar) 45,734 48,024 49,917 53,717 52,302 53,457 57,359 60,444 58,162 61,402 64,339 66,112 Giro 7,471 7,282 7,257 7,345 7,770 8,092 9,221 7,845 7,990 9,730 9,693 7,995 Tabungan 25,004 27,206 28,545 31,466 29,321 30,068 32,076 35,007 32,446 33,168 34,828 37,428 Deposito 13,259 13,536 14,115 14,907 15,211 15,297 16,062 17,592 17,726 18,504 19,819 20,690 Kredit - Lokasi Bank (Rp Miliar) 54,585 59,035 61,090 66,221 68,371 72,937 75,014 75,388 75,874 79,336 80,463 83,560 - Modal Kerja 20,516 22,850 22,385 25,506 25,980 26,659 26,160 27,231 27,257 29,062 29,847 31,442 - Investasi 10,025 10,588 10,997 11,380 12,232 14,486 15,769 14,494 14,642 15,467 15,457 16,241 - Konsumsi 24,044 25,597 27,707 29,335 30,158 31,793 33,085 33,663 33,974 34,807 35,159 35,877 LDR 119.35% 122.93% 122.38% 123.28% 130.72% 136.44% 130.78% 124.72% 130.45% 129.21% 125.06% 126.39% Kredit - Lokasi Bank (Rp Miliar) 54,585 59,035 61,090 66,221 68,371 72,937 75,014 75,388 75,874 79,336 80,463 83,560 - Pertanian 906 1,128 1,171 1,215 1,403 1,396 1,385 1,400 1,405 1,499 1,435 1,506 - Pertambangan 312 363 375 399 447 449 444 397 377 560 537 509 - Industri pengolahan 3,468 3,904 4,008 5,250 5,335 5,579 5,631 4,186 3,918 4,210 4,283 4,747 - Listrik, Gas, dan Air 137 124 135 141 133 116 121 191 218 245 232 350 - Konstruksi 2,065 2,448 2,582 2,674 2,565 2,780 2,966 3,034 3,043 3,666 4,173 4,366 - Perdagangan 15,459 17,631 17,741 19,027 19,933 22,957 23,360 24,132 24,334 25,587 25,748 27,033 - Pengangkutan 1,744 1,730 1,794 2,321 2,631 2,763 2,864 2,923 2,960 2,950 2,951 2,820 - Jasa Dunia Usaha 2,917 3,178 3,131 3,105 3,240 3,433 3,414 3,550 3,747 3,598 3,581 3,662 - Jasa Sosial Masyarakat 1,570 1,485 1,372 1,404 1,619 1,650 1,733 1,780 1,828 1,968 2,115 2,340 - Lain-lain 26,007 27,045 28,781 30,684 31,065 31,814 33,096 33,794 34,043 35,053 35,408 36,226 Kredit UMKM - Lokasi Bank (Rp Miliar) 18,349 19,582 18,240 20,270 21,818 24,162 24,221 24,684 24,823 26,489 26,768 27,675 Kredit Mikro* (Rp Miliar) 3,533 3,939 3,628 3,672 3,994 4,211 4,412 4,499 4,648 5,114 5,297 5,883 - Modal Kerja 3,151 3,489 3,159 3,206 3,484 3,558 3,648 3,768 3,827 4,088 4,249 4,479 - Investasi 382 449 469 467 510 653 764 731 821 1,027 1,048 1,404 - Konsumsi - - - - - - - - - - - - Kredit Kecil ** (Rp Miliar) 8,932 8,933 8,433 8,938 9,290 9,819 9,877 10,037 10,123 10,329 10,885 11,035 - Modal Kerja 5,564 5,848 5,455 5,760 5,678 6,492 5,624 5,750 5,862 6,076 6,408 6,683 - Investasi 3,369 3,085 2,978 3,178 3,612 3,328 4,253 4,287 4,261 4,253 4,478 4,353 - Konsumsi - - - - - - - - - - - - Kredit Menengah *** (Rp Miliar) 5,884 6,710 6,180 7,660 8,534 10,132 9,932 10,148 10,052 11,046 10,586 10,757 - Modal Kerja 4,759 5,478 4,833 5,644 6,186 7,205 6,872 7,278 7,079 7,822 7,680 7,802 - Investasi 1,125 1,232 1,347 2,016 2,349 2,927 3,060 2,870 2,972 3,224 2,906 2,954 - Konsumsi - - - - - - - - - - - - NPL Total gross - Lokasi Bank (%) NPL UMKM gross - Lokasi Bank (%) BANK UMUM SYARIAH Total Aset (Rp Miliar) 3.05% 3.08% 2.87% 2.74% 2.94% 2.83% 2.91% 2.85% 3.14% 3.54% 3.57% 3.13% 4.12% 4.23% 4.18% 3.96% 4.25% 3.95% 4.57% 4.38% 4.87% 4.98% 5.42% 4.81% 3,377 3,689 3,977 4,524 4,802 5,085 5,420 5,576 5,586 5,580 5,619 5,906 DPK - Lokasi Bank Pelapor (Rp Miliar) 1,578 1,635 1,817 2,063 2,138 2,138 2,594 2,884 2,742 2,795 2,878 2,991 Giro 196 199 200 296 253 232 243 338 221 262 346 380 Tabungan 756 803 844 984 969 974 1,162 1,307 1,261 1,261 1,337 1,479 Deposito 626 633 773 783 916 932 1,188 1,239 1,260 1,272 1,195 1,132 Pembiayaan - Lokasi Bank (Rp Miliar) 2,759 2,953 3,076 3,502 3,870 4,157 4,265 4,374 4,453 4,869 4,926 5,141 - Modal Kerja 647 645 656 674 673 688 651 631 684 776 985 1,135 - Investasi 224 212 228 284 329 362 359 438 488 670 670 825 - Konsumsi 1,887 2,096 2,192 2,544 2,868 3,107 3,255 3,304 3,282 3,423 3,270 3,181 FDR 174.80% 180.63% 169.33% 169.77% 181.04% 194.41% 164.44% 151.65% 162.40% 174.20% 171.16% 171.91% Catatan: * (<Rp50 juta) ** (Rp50 < X < Rp500 juta) *** (Rp500 juta < X < Rp5 miliar) **** Angka sementara 6

TABEL INDIKATOR EKONOMI C. SISTEM PEMBAYARAN I II III IV I II III IV I II III IV KAS Inflow (Rp Miliar) 3,872 2,754 3,925 3,200 4,410 3,236 4,872 4,075 5,299 4,069 5,562 4,304 Uang Kertas 3,871 2,754 3,925 3,200 4,410 3,236 4,872 4,075 5,299 4,069 5,561 4,304 Uang Logam 0.15 0.13 0.02 0.05 0.03 0.08 0.08 0.10 0.14 0.04 0.23 0.01 Outflow (Rp Miliar) 1,860 3,174 3,575 3,214 1,715 2,885 5,313 4,162 2,346 3,829 5,641 4,098 Uang Kertas 1,859 3,171 3,574 3,214 1,715 2,885 5,310 4,159 2,343 3,826 5,637 4,096 Uang Logam 1.80 2.53 0.86 0.34 0.28 0.78 2.51 2.63 2.20 3.22 3.93 2.07 Pemusnahan Uang (Rp Miliar) 893 158 51 272 350 502 989 708 748 620 269 403 TRANSAKSI RTGS From / Outgoing (Rp Miliar) 11,504 15,473 15,421 19,880 14,448 17,402 18,770 20,540 15,660 21,374 22,719 25,647 To / Incoming (Rp Miliar) 29,147 37,788 34,631 40,648 32,767 36,120 37,614 41,480 27,887 33,669 38,096 41,348 From - To (Rp Miliar) 4,578 4,355 4,424 5,049 4,245 4,921 6,755 7,299 4,748 9,765 10,970 11,845 TRANSAKSI KLIRING Nominal Kliring* (Rp Miliar) 9,296 9,439 9,466 10,139 9,737 9,976 10,239 10,670 9,483 9,616 9,716 11,198 Volume Kliring* (Lembar) 281,461 283,706 285,156 294,745 284,030 285,559 280,922 290,332 260,069 266,025 260,914 280,987 Kliring Kredit Nominal Kliring Kredit (Rp Miliar) 558 569 579 605 557 576 874 1,050 675 637 675 805 Volume Kliring Kredit (Lembar) 37,461 38,646 39,105 40,567 36,457 34,774 37,895 41,130 29,191 28,625 30,355 32,940 RRH** Nominal Kliring Kredit (Rp Miliar) 9 9 9 10 9 10 15 17 11 11 11 13 RRH Nominal Kliring Kredit (Lembar) 595 613 621 644 608 580 632 663 487 477 490 515 Kliring Debet Penyerahan Nominal Kliring Debet (Rp Miliar) 8,737 8,870 8,887 9,534 9,180 9,400 9,365 9,620 8,809 8,978 9,041 10,393 Volume Kliring Debet (Lembar) 244,000 245,060 246,051 254,178 247,573 250,785 243,027 249,202 230,878 237,400 230,559 248,047 RRH Nominal Kliring Debet (Rp Miliar) 139 141 141 151 153 157 156 155 147 150 146 162 RRH Nominal Kliring Debet (Lembar) 3,873 3,890 3,906 4,035 4,126 4,180 4,050 4,019 3,848 3,957 3,719 3,876 Nominal Kliring Pengembalian (Rp Miliar) 294 305 296 292 322 352 402 325 317 387 287 343 Volume Kliring Pengembalian (Lembar) 7,013 7,732 7,412 7,623 7,549 7,531 7,092 6,659 7,114 7,119 6,765 6,008 RRH Nominal Kliring Pengembalian (Rp Miliar) 5 5 5 5 5 6 7 5 5 6 5 5 RRH Nominal Kliring Pengembalian (Lembar) 111 123 118 121 126 126 118 107 119 119 109 94 Cek/BG Kosong INDIKATOR Kliring Debet Pengembalian Nominal Kliring Cek/BG Kosong (Rp Miliar) 208 234 208 206 221 259 307 251 230 328 231 270 Volume Kliring Cek/BG Kosong (Lembar) 5,563 6,349 6,033 6,020 5,904 6,187 5,674 5,411 5,695 5,832 5,313 4,552 RRH Nominal Kliring Cek/BG Kosong (Rp Miliar) 3 4 3 3 4 4 5 4 4 5 4 4 RRH Nominal Kliring Cek/BG Kosong (Lembar) 88 101 96 96 98 103 95 87 95 97 86 71 *) Jumlah transaksi kliring kredit dan kliring debet penyerahan **) Rata-Rata harian: jumlah rata-rata transaksi setiap hari ***) Angka sementara 2012*** 2013*** 2014*** 7

TABEL INDIKATOR EKONOMI D. GRAFIK INDIKATOR Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah *) PDRB TD 2010 Pangsa Perekonomian (PDRB ADHB) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah *) menggunakan TD 2010 Pertumbuhan Ekonomi (PDRB ADHK) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumbangan Sektor Ekonomi bagi Pertumbuhan Ekonomi Sulsel Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumbangan Komponen Penggunaan bagi Pertumbuhan Ekonomi Sulsel Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Inflasi dan BI Rate Sumber: Laporan Bank, diolah Perbankan Sulsel (Ribu Orang) 8500 8400 8300 8200 8100 8000 7900 7800 7700 7600 7500 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) - Skala Kanan Jumlah Penduduk 2009 2010 2011 2012 2013 2014 10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% (Ribu Orang) 1000 950 900 850 800 750 700 % Penduduk Miskin - Skala Kanan Jumlah Penduduk Miskin 2009 2010 2011 2012 2013 2014 14% 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0% Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Pengangguran Terbuka Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Persentase Penduduk Miskin 8

1. PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Bab 1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah Pada triwulan IV 2014 ekonomi Sulsel tumbuh sebesar 7,71% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya (8,23%; yoy). Dari sisi permintaan, perlambatan pertumbuhan didorong oleh konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba sebagai imbas kenaikan bahan bakar minyak. Di sisi lain, ekspor mencatat akselerasi pertumbuhan sebesar 14,73% (yoy). Sementara itu, dari sisi sektoral, lapangan usaha pertanian merupakan penyumbang perlambatan pertumbuhan (10,40%; yoy). Masih tingginya pertumbuhan Sulsel, disokong oleh lapangan usaha Industri pengolahan (15,20%; yoy). Perekonomian Sulawesi Selatan tahun 2014 tumbuh 7,57% (yoy) sedikit melambat dibandingkan tahun 2013 sebesar 7,63% (yoy). Perlambatan ekonomi bersumber dari lapangan usaha sekunder seperti lapangan usaha perdagangan hotel dan Restoran dan lapangan usaha bangunan (konstruksi). Di sisi lain, penahan pertumbuhan yang masih relatif kuat tersebut bersumber dari ekspansi lapangan usaha pertambangan dan penggalian (11,4%; yoy) yang diikuti dengan tingginya pertumbuhan ekspor (11,85%; yoy). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 9

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sesuai pola historisnya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan IV mengalami perlambatan bila dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan pelaporan, ekonomi sulsel tumbuh sebesar 7,71% (yoy) 1 lebih rendah dibandingkan triwulan III 2014 (8,23%; yoy) 2. Pendorong menurunnya kinerja ekonomi di triwulan IV 2014, dari sisi pengeluaran, bersumber dari penurunan konsumsi. Bahkan komponen konsumsi pemerintah mengalami kontraksi sebesar -2,92% (yoy). Di sisi lain, peningkatan ekspor menjadi penahan ekonomi tidak terdeselerasi lebih lanjut. Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, kinerja ekonomi triwulan IV 2014 masih ditopang oleh lapangan usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; lapangan usaha Pertambangan dan Penggalian; lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran. Perekonomian Sulawesi Selatan (Sulsel) tahun 2014 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan (ADHK) sedikit melambat. Pada tahun 2014, PDRB Sulsel mencapai Rp 234 triliun atau tumbuh sebesar 7,57% (yoy) lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2013 yang mencapai 7,63% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Sulsel di tahun 2014 tercatat masih lebih tinggi dari angka pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat sebesar 5,02% (yoy). Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan 1.2. Sisi Pengeluaran Perlambatan kinerja ekonomi Sulsel pada triwulan IV 2014 tercermin pada beberapa komponen sisi pengeluaran. Pertumbuhan ekonomi di triwulan IV 2014 tercatat 7,71% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 8,23% (yoy). Komponen yang memperlihatkan perlambatan pertumbuhan adalah konsumsi rumah tangga dan LNPRT. Sedangkan konsumsi Pemerintah mengalami kontraksi sebesar -2,92 (yoy). Peningkatan Investasi dan perbaikan neraca perdagangan menjadi faktor penahan ekonomi Sulsel tidak terdeselerasi lebih lanjut. Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Komponen Pengeluaran (triwulanan)* Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara Untuk tahun 2014, perlambatan perekonomian Sulsel terutama didorong oleh melemahnya investasi. Investasi di tahun 2014 tercatat hanya tumbuh sebesar 1,24% (yoy) jauh lebih rendah dibandingkan 2013 yang mampu mencapai pertumbuhan sebesar 12,32% (yoy). Motor pendorong pertumbuhan di tahun 2014, yang sekaligus menjadi faktor 1 Data pertumbuhan triwulan IV 2014 menggunakan tahun dasar 2010 dan SNA 2008 2 Data pertumbuhan triwulan III 2014 menggunakan tahun dasar 2000 dan SNA 1993 10

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH penahan ekonomi tidak terdeselerasi lebih lanjut adalah komponen konsumsi. Di tahun 2014, komponen konsumsi tercatat mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan komponen di sisi permintaan lainnya yaitu sebesar 5,38% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 5,51% (yoy). Kinerja perdagangan (ekspor-impor) juga mengalami peningkatan. Dari nilai neraca perdagangan bersih diketahui bahwa terjadi peningkatan sebesar 40,22% (yoy) meskipun bila dilihat dari nominal masih mengalami defisit sebesar Rp11,12 triliun (Tabel 1.1). Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Komponen Pengeluaran (agregat) Komponen Pengeluaran PDRB 2011 2012 2013* 2014** Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga + LNPRT 6.52 6.99 6.05 6.03 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (1.a. s/d 1.l.) 6.51 6.98 5.96 5.92 2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 6.61 7.14 10.36 11.26 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (3.a. + 3.b.) 4.70 4.20 2.70 1.88 4. Pembentukan Modal Tetap Bruto (4.a. + 4.b.) 12.73 15.67 13.19 9.40 5. Perubahan Inventori -10.55 111.85 0.39-125.22 6. Ekspor -9.49-2.04 3.06 11.85 7. Impor -7.08 6.11 5.36-1.64 P D R B 8.13 8.87 7.63 7.57 Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara 1.2.1 Konsumsi Secara umum, konsumsi di triwulan IV 2014 mengalami pelemahan dibandingkan triwulan III 2014. Penurunan terbesar terjadi pada konsumsi pemerintah yang tercatat mengalami kontraksi sebesar -2,92% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya (3,89%, yoy). Konsumsi rumah tangga dan konsumsi LNPRT mengalami perlambatan di triwulan IV 2014, yang masing-masing tumbuh sebesar 5,49% (yoy) dan 4,93% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar 6,20% (yoy) dan 15,41% (yoy). Perlambatan konsumsi rumah tangga disebabkan penurunan daya beli masyarakat dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Perlambatan yang terjadi lebih dipengaruhi oleh menurunnya aktivitas konsumsi masyarakat. Kenaikan BBM jenis Premium dan Solar, secara langsung mengakibatkan penyesuaian tarif angkutan umum, dan secara tidak langsung mendorong peningkatan harga di berbagai komoditas utama. Efek langsung dan tidak langsung tersebut, mengakibatkan daya beli masyarakat semakin menurun. Perlambatan konsumsi sejalan dengan penurunan indeks keyakinan konsumen dan indeks penjualan eceran. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Makassar pada periode triwulan laporan mengalalami penurunan, namun masih berada pada level optimis (Grafik 1.2). Selanjutnya, pergerakan Indeks Penjualan Eceran, hasil Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia, menunjukkan sedikit penurunan karena terbatasnya konsumsi, terkait peningkatan harga bahan bakar kendaraan bermotor serta barang rumah tangga lainnya (Grafik 1.3). Penurunan konsumsi juga dikonfirmasi dari perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit konsumsi (Grafik 1.4). Sumber: Survei Konsumen Grafik 1.2. Indeks Keyakinan Konsumen Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 1.3. Indeks Penjualan Eceran 11

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Dari sisi komponen konsumsi pemerintah, terjadi kontraksi cukup dalam di triwulan IV 2014. Konsumsi pemerintah mencatat kontraksi sebesar -2,92% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh 3,89% (yoy). Realisasi keuangan pemerintah (APBD provinsi dan APBN) pada triwulan IV 2014 secara nominal relatif melemah dibandingkan triwulan III 2014, diperkirakan menjadi faktor penyebab menurunnya konsumsi pemerintah di periode pelaporan. Persentase penyerapan belanja pemerintah, sebenarnya cukup optimal, namun nominal realisasinya justru lebih rendah di tahun 2014, yaitu sebesar Rp19,21 trilun sementara di tahun 2013 sebesar Rp19,37 triliun. Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.4. Penyaluran Kredit Konsumsi Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.5. Giro Pemerintah Daerah 1.2.2 Investasi Investasi di triwulan IV 2014 mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya. Investasi yang tercermin dari PMTB menunjukan peningkatan pertumbuhan, yaitu dari 5,32% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 9,03% (yoy). Di sisi lain, perubahan inventori juga menunjukan perbaikan di triwulan pelaporan. Meski masih mengalami kontraksi -18,99% (yoy), kondisi perubahan inventori menunjukan perbaikan dibandingkan triwulan III 2014 (-608,99%, yoy). Peningkatan kinerja investasi bangunan di akhir tahun diperkirakan menjadi pendorong peningkatan PMTB di triwulan IV 2014. Hal ini tercermin dari indikator nilai tambah sektor bangunan yang mengalami pertumbuhan meskipun masih dalam tren melambat (Grafik 1.6). Kegiatan investasi juga didukung dengan kemudahan perizinan di kabupaten dan kota di Sulsel, antara lain Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). PTSP sudah berdiri di seluruh Kabupaten/kota se Sulsel. Selain itu, beberapa kabupaten dan kota juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai Kabupaten/Kota penyelenggara PTSP terbaik yaitu kabupaten Pinrang (tahun 2014) dan Kota Parepare (2013). Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 1.6. Nilai Tambah Sektor Bangunan Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.7. Penyaluran Kredit Investasi Peningkatan PMTB pada triwulan IV 2014 sejalan dengan meningkatnya kinerja indikator pembiayaan. Penyaluran kredit yang digunakan untuk keperluan investasi mengalami percepatan pada triwulan laporan. Tren percepatan penyaluran kredit investasi memang telah terjadi sejak triwulan III 2013 (Grafik 1.7). Di sisi lain, terdapat indikasi penurunan kinerja investasi non bangunan yang terlihat dari penurunan nilai impor barang modal pada triwulan pelaporan (Grafik 1.8). 12

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.8. Impor Barang Modal Sumber: Produsen, diolah Grafik 1.9. Perubahan Inventori Produsen Nikel Kontraksi yang terjadi pada komponen perubahan inventory, salah satunya disebabkan oleh inventory nikel. Kontraksi perubahan inventory di periode pelaporan sebesar -18,99% (yoy) lebih baik dibandingkan triwulan III 2014 (-608,99%, yoy). Posis inventory nikel, yang merupakan parameter perubahan stok, diperkirakan akan mengalami pelemahan sebesar -10,11% (yoy) lebih tinggi daripada penurunan di triwulan III 2014 (-1,11%, yoy) (Grafik 1.9). 1.2.3 Ekspor dan Impor Ekspor Sulsel di triwulan IV 2014 mengalami percepatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekspor di periode pelaporan tercatat sebesar 14,73% (yoy), lebih besar dibandingkan pertumbuhan triwulan III 2014 yang tercatat sebesar 7,62%. Peningkatan ekspor ditopang oleh peningkatan ekspor non migas. Hal ini tercermin dari peningkatan volume dan nilai ekspor nonmigas luar negeri di triwulan IV 2014 dibandingkan triwulan III 2014 (Grafik 1.10). Sementara itu, kegiatan ekspor nonmigas antardaerah mengalami perlambatan yang tercermin dari pertumbuhan volume barang yang dimuat di pelabuhan Makassar (Grafik 1.11). Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.10. Volume Ekspor Nonmigas Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Grafik 1.11. Volume Barang yang Dimuat Beberapa komoditas ekspor utama dengan orientasi penjualan luar negeri mencatat peningkatan pada triwulan IV 2014. Ekspor rumput laut, biji coklat (kakao) dan karet alam olahan tumbuh lebih tinggi dari triwulan III 2014 (Grafik 1.12). Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kinerja industri manufaktur para negara mitra dagang Sulsel yang lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya. Dari Purchasing Manager Index (PMI), Negara Jepang, Korea Selatan, dan Zona Eropa menunjukan peningkatan di triwulan IV 2014 (Grafik 1.13). 13

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.12. Pertumbuhan Volume Ekspor Komoditas Sumber: Bloomberg Grafik 1.13. Purchasing Managers Index Impor Sulsel di triwulan IV 2014 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Impor di periode pelaporan tercatat tumbuh sebesar 9,35% (yoy) lebih besar dari triwulan III 2014 (6,73%, yoy). Peningkatan impor terkonfirmasi dari peningkatan nilai impor non migas luar negeri di triwuan IV 2014 yang di rilis oleh Dirjen Bea Cukai (Grafik 1.15). Di sisi lain impor antar pulau diperkirakan mengalami penurunan, terindikasi dari penurunan bongkar muat barang dalam negeri di pelabuhan Makassar (Grafik 1.14). Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Grafik 1.14. Volume Barang yang Dibongkar Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.15. Volume Impor Nonmigas Pada triwulan IV 2014, struktur ekspor maupun impor luar negeri Sulsel relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan periode sebelumnya. Produk industri masih menjadi komoditas yang dominan dalam komposisi barang dari Sulsel yang dijual ke luar negeri yang diikuti komoditas pertanian (Grafik 1.16). Sementara itu, impor bahan baku mencatat pangsa terbesar dari total nilai impor Sulsel di triwulan laporan yang kemudian diikuti oleh impor barang modal dan barang konsumsi (Grafik 1.17). 0.55% Pangsa Triwulan IV 2014 20.45% Barang Modal: US$26.46 Juta Bahan Baku: US$102.22 Juta 79.00% Barang Konsumsi: US$0.71 Juta Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.16. Pangsa Ekspor Menurut Komoditas Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.17. Pangsa Impor Menurut Kategori 14

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Jika dilihat secara lebih rinci, nikel matte masih merupakan komoditas dengan pangsa terbesar dalam struktur ekspor, sedangkan gandum kembali menjadi komoditas impor dengan pangsa terbesar. Pada triwulan IV 2014, komoditas nikel matte mengambil pangsa sebesar 58,83% dalam struktur ekspor luar negeri Sulsel (Tabel 1.3). Selanjutnya, ganggang laut (rumput laut) dan cokelat olahan dengan pangsa terbesar yaitu masing-masing sebesar 8,66% dan 8,22%. Untuk impor luar negeri, gandum yang menjadi bahan baku terigu mengambil pangsa 23,41% pada triwulan IV 2014 dan berada pada urutan teratas dalam struktur impor. Setelah gandum, makanan ternak dan industri lainnya pangsa impor terbesar yaitu masing-masing 21,30% dan 20,31% (Tabel 1.4). Tabel 1.3. Peringkat Ekspor Menurut Komoditas Nilai Ekspor Komoditas Triwulan IV 2014 (US$ Juta) Sumber: Bea Cukai, diolah Pangsa NIKEL 266.27 58.83% GANGGANG LAUT 39.18 8.66% COKLAT OLAHAN 37.19 8.22% BIJI COKLAT 20.08 4.44% IKAN OLAHAN 15.59 3.44% UDANG SEGAR/BEKU 12.77 2.82% KAYU LAPIS 8.58 1.90% BUAH/SAYURAN OLAHAN 5.54 1.22% SAYUR-SAYURAN 5.24 1.16% IKAN LAINNYA 4.92 1.09% Tabel 1.4. Peringkat Impor Menurut Komoditas Nilai Impor Komoditas Triwulan IV 2014 (US$ Juta) Sumber: Bea Cukai, diolah Pangsa GANDUM 30.29 23.41% MAKANAN TERNAK LAINNYA 27.56 21.30% INDUSTRI LAINNYA 26.28 20.31% BESI/BAJA 8.50 6.57% KENDARAAN BERMOTOR RODA 4 DAN LEBIH 8.19 6.33% MESIN LAINNYA UNTUK INDUSTRI TERTENTU 6.17 4.77% PERALATAN SIPIL DAN KONSTRUKSI 5.18 4.01% PUPUK 5.08 3.92% BAHAN KIMIA AN ORGANIK 4.83 3.73% PRODUK KERAMIK 3.52 2.72% Neraca perdagangan Sulsel di tahun 2014 mengalami perbaikan dibandingkan tahun 2013. Membaiknya kinerja ekspor menjadi pendorong perbaikan neraca perdagangan Sulsel di triwulan pelaporan. Ekspor Sulsel tumbuh 11,85% (yoy) lebih besar dibandingkan tahun 2013 yang tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 3,06% (yoy). Dari sisi impor, terjadi kontraksi di 2014 sebesar -1,64% (yoy) dibandingkan tahun 2013 (5,36%, yoy). Akselerasi kinerja ekspor pada tahun 2014 yang dibarengi dengan deselerasi impor membuat pertumbuhan surplus perdagangan atas dasar harga konstan (ADHK) menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 (Grafik 1.18). Sumber: BPS Grafik 1.18. Neraca Perdagangan Bersih PDRB Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.19. Neraca Perdagangan Bersih Luar Negeri 15

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.3. Sisi Lapangan Usaha Pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 7,71% (yoy), melambat dibandingkan triwulan III 2014. Peningkatan pertumbuhan terjadi pada lapangan usaha Industri Pengolahan 15,20% (yoy) dengan pertumbuhan paling tinggi, disusul oleh lapangan usaha Pengadaan Listrik dan Gas (15,00%; yoy), dan lapangan usaha Jasa Keuangan (11,9%; yoy). Mulai triwulan IV 2014, BPS menerapkan perubahan kategori sektor ekonomi dan tahun dasar. Semula 9 sektor menjadi 17 kategori lapangan usaha, dan semula tahun dasar 2000 menjadi tahun dasar 2010 (Tabel 1.5 dan boks 1.A). Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Ekonomi (per triwulan )* Tahun Dasar 2000 Tahun Dasar 2010 Sektor Berdasarkan Tahun Dasar 2000 Sektor Berdasarkan Tahun Dasar 2010 2014 I II III IV TOTAL 1 Pertanian A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 11.80 12.03 10.83 10.40 9.98 2 Pertambangan dan Penggalian B Pertambangan dan Penggalian 8.34 2.54-0.10 9.60 11.43 3 Industri Pengolahan C Industri Pengolahan 3.51 8.03 10.27 15.20 9.45 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 8.87 11.75 10.73 D Pengadaan Listrik, Gas 15.00 10.56 E Pengadaan Air -1.20 2.13 5 Bangunan F Konstruksi 7.98 7.40 5.75 5.10 6.14 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8.28 9.15 11.41 G Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 3.40 7.20 I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 4.80 2.14 7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.34 3.01 3.56 H Transportasi dan Pergudangan 5.60 7.77 J Informasi dan Komunikasi 6.60 5.75 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 11.23 7.38 4.57 K Jasa Keuangan 11.90 5.91 L Real Estate 9.00 7.97 9 Jasa-jasa 6.72 6.10 6.97 M,N Jasa Perusahaan 7.40 6.76 O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 0.70 1.03 P Jasa Pendidikan 3.10 4.65 Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 3.30 10.23 R,S,T,U Jasa lainnya 9.40 7.57 PDRB PRDB 8.03 7.34 8.23 7.71 7.57 Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara Pada tahun 2014, kinerja ekonomi Sulsel (7,57% yoy) masih di topang oleh akselerasi kinerja sektor primer. Sektor primer yang mengalami pertumbuhan paling tinggi adalah Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian, dimana pada triwulan pelaporan sektor ini tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 11,43% (yoy) disusul oleh Lapangan Usaha pengadaan listrik dan gas (10,56%, yoy) dan Lapangan Usaha Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (10,23%, yoy). Sementara itu, Lapangan Usaha Pertanian yang merupakan sektor penyumbang pertumbuhan terbesar di tahun 2014 tumbuh sebesar 9,98% (yoy) (Tabel 1.6). Tabel 1.6. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha Komponen Pengeluaran PDRB 2011 2012 2013 2014 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.89 4.58 4.93 9.98 Pertambangan dan Penggalian - 3.80 5.32 5.63 11.43 Industri Pengolahan 9.03 8.66 9.22 9.45 Pengadaan Listrik, Gas 10.08 16.24 8.19 10.56 Pengadaan Air 12.63 3.54 5.50 2.13 Konstruksi 6.92 9.86 10.57 6.14 Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 10.35 11.86 7.23 7.20 Transportasi dan Pergudangan 13.05 13.45 6.45 2.14 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 8.70 11.40 6.76 7.77 Informasi dan Komunikasi 11.81 20.60 14.07 5.75 Jasa Keuangan 19.78 15.88 9.28 5.91 Real Estate 11.13 10.50 8.98 7.97 Jasa Perusahaan 9.00 8.02 6.97 6.76 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 6.52 2.23 3.07 1.03 Jasa Pendidikan 10.44 7.50 7.72 4.65 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9.04 10.67 8.25 10.23 Jasa lainnya 6.69 8.11 7.14 7.57 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 8.13 8.87 7.63 7.57 Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara 16

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Bila dilihat dari andil terhadap pertumbuhan ekonomi, Lapangan Usaha pertanian masih menjadi penyumbang pertumbuhan terbesar di tahun 2014. Sektor pertanian memberikan andil pertumbuhan sebesar 2,18%, lebih tinggi dibandingkan andil di tahun 2013 yang tercatat sebesar 1,08%. Sektor lain yang memberikan andil besar dalam pertumbuhan ekonomi Sulsel tahun 2014 adalah sektor industri pengolahan (1,35%), sektor perdagangan (1,00%), sektor pertambangan dan penggalian (0,71%), dan sektor konstruksi (0,72%) (Grafik 1.20). Sumber: Badan Pusat Statistik *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Grafik 1.20. Sumbangan Pertumbuhan Menurut Lapangan Usaha 1.3.1 Lapangan Usaha Pertanian Pada triwulan IV 2014, sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan akibat ganguan produksi di subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan subsektor perikanan. Sektor pertanian tumbuh sebesar 10,40% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 10,83% (yoy). Subsektor tabama, dalam hal ini komoditas padi palawija, menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya pertumbuhan. Baru masuknya musim tanam baru menjadi pendorong turunnya produksi beras di triwulan pelaporan. Perlambatan pertumbuhan juga dialami subsektor perikanan dampak dari peningkatan intensitas hujan sepanjang periode pelaporan. Curah hujan yang terus meningkat selama periode Oktober sampai dengan Desember 2014 membuat aktivitas penangkapan ikan terkendala gelombang yang tinggi. Di samping itu, peningkatan intensitas hujan juga mengakibatkan terganggunya kegiatan budidaya ikan, terutama udang. Penurunan permintaan dari industri pengolahan udang menurun seiring dengan menurunnya permintaan dari Negara tujuan ekspor. Hal ini terkonfirmasi dari kinerja volume ekspor udang dan aneka ikan yang mengalami penurunan (Grafik 1.21 dan Grafik 1.22). Perlambatan juga terjadi pada subsektor perkebunan. Penurunan pasokan setelah lewatnya masa panen ditambah produktivitas pohon kakao yang terus menurun dan memasuki masa replacement pohon kakao mengakibatkan tambahan tekanan di subsektor perkebunan. Selain itu, harga kakao di pasar global yang terus tumbuh melambat juga menambah tekanan produksi kakao pada triwulan laporan sehingga subsektor perkebunan tidak dapat melaju lebih cepat (Grafik 1.23 dan Grafik 1.24). Penurunan produksi kakao pada akhirnya menurunkan pasokan ke Industri (saat ini daya serap Industri sekitar 80% produksi) dan ekspor. Program Dinas Perkebunan Sulsel berupa rehabilitasi, ekstensifikasi dan pembagian 1,2 juta bibit sambung pucuk diharapkan dapat menjadi sumber penguatann kembali produksi kakao Sulsel. Di sisi lain, 17

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH subsektor peternakan diindikasikan memberi sumbangan yang positif bagi sektor pertanian. Hal ini didukung oleh upaya revitalisasi dan pembenahan pabrik milik dari perusahaan peternak sapi untuk meningkatkan produksi 4. Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.21. Volume Ekspor Udang Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.22. Volume Ekspor Aneka Ikan Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.23. Volume Ekspor Biji Kakao Sumber: World Bank Grafik 1.24. Harga Internasional Kakao 1.3.2 Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian Kembali berjalannya kegiatan ekspor hasil tambang di triwulan IV 2014 mampu mendorong pertumbuhan Lapangan Usaha Pertambangan, setelah sempat mengalami kontraksi di periode sebelumnya. Pada triwulan laporan, kinerja Lapangan Usaha ini masih tumbuh 9,60% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar -5,04% (yoy). Perbaikan sektor ini diindikasikan oleh perkembangan ekspor komoditas pertambangan yang kinerjanya juga membaik pada triwulan laporan seiring harga internasional komoditas tambang yang sedikit meningkat pada periode laporan (Grafik 1.25 dan Grafik 1.26). Di samping itu, selesainya renegosiasi kontrak yang dilakukan oleh produsen nikel terbesar di Sulsel dengan pemerintah, diyakini membuat kegiatan produksi dapat berlangsung dengan lebih baik tanpa kendala operasional yang berarti. Ekspor Pertambangan gekspor - Skala Kanan Nikel Timah Seng - Skala Kanan Timah Hitam - Skala Kanan 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Ribu Ton %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV 250 200 150 100 50 0 (50) (100) (150) 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 US$/metrik ton US$/metrik ton 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 2012 2013 2014 Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.25. Volume Ekspor Pertambangan Sumber: World Bank Grafik 1.26. Harga Komoditas Tambang 4 Hasil liaison kepada perusahaan peternak sapi 18

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.3.3 Lapangan Usaha Industri Pengolahan Lapangan Usaha Industri Pengolahan kembali tumbuh lebih cepat pada triwulan IV 2014 yang didukung oleh perkembangan yang lebih baik pada industri mikro dan kecil maupun industri besar dan sedang. Sektor ini tercatat tumbuh sebesar 15,20% (yoy) pada triwulan laporan setelah sebelumnya tumbuh 10,27% (yoy). Akselerasi pada Lapangan Usaha Industri Pengolahan didorong oleh tetap membaiknya kinerja Industri Mikro dan Kecil (IMK) maupun Industri Besar dan Sedang (IBS) pada triwulan laporan (Grafik 1.27). Hal ini dipengaruhi oleh momentum perayaan Natal dan tahun baru di Sulsel yang mendorong kegiatan produksi para produsen barang industri. Namun demikian, subsektor industri pengolahan semen menunjukkan pertumbuhan positif. Realisasi pengadaan semen tumbuh sebesar 5,45% (yoy), sedikit lebih lambat dari pertumbuhan periode sebelumnya (6,77% yoy) (Grafik 1.28). Stok yang masih memadai diperkirakan juga menjadi salah satu pendorong, melambatnya permintaan semen di akhir tahun. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 1.27. Pertumbuhan Industri Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah Grafik 1.28. Realisasi Pengadaan Semen Peningkatan sektor industri pengolahan juga tercermin dari peningkatan realisasi harga jual sektor industri di triwulan IV 2014. Pada triwulan pelaporan, realisasi harga jual sektor industri pengolahan tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan perkiraan. Realisasi harga jual sektor industri mencapai 6,67%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2% (Grafik 1.30). Di sisi lain, subsektor industri kayu olahan serta makanan olahan menunjukkan perlambatan. Hal ini dikonfirmasi oleh penurunan pertumbuhan volume ekspor komoditas kayu olahan dan makanan olahan yang triwulan laporan (Grafik 1.29). Untuk industri makanan olahan, turunnya pasokan ikan dinilai menjadi faktor penyebab turunnya ekspor ikan olahan. Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik 1.29. Volume Ekspor Hasil Industri Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.30. Harga Jual Sektor Industri Pengolahan 19

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.3.4 Lapangan Usaha Listrik, Gas, dan Air Bersih (LGA) 5 Pada lapangan usahapengadaan Listrik dangas mengalami pertumbuhan sebesar 15,00% (yoy), sedangkan lapangan usaha Pengadaan Air mengalami kontraksi sebesar -1,20% (yoy). Makin luasnya jangkauan listrik di pelosok seiring perkembangan harga jual usaha sektor LGA dipercaya menjadi faktor pendorong peningkatan di sektor ini (Grafik 1.31). Hal ini diperkuat dengan meningkatnya kapasitas produksi terpakai sektor LGA dibandingkan periode sebelumnya(grafik 1.32). Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.31. Harga Jual Sektor Industri Pengolahan Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.32. Kapasitas Produksi Terpakai Sektor LGA 1.3.5 Lapangan Usaha Konstruksi Pada triwulan IV 2014, Lapangan Usaha Konstruksi kembali tumbuh searah dengan perkembangan komponen investasi. Di triwulan III 2014, sektor ini mampu bertumbuh hingga 5,75% (yoy), sementara pada triwulan laporan, sektor ini mengalami sedikit perlambatan dan tumbuh sebesar 5,10% (yoy). Pertumbuhan di sektor ini sejalan dengan akselerasi pada komponen investasi, khususnya yang dihitung dari PMTB yang percepatan pertumbuhan di triwulan laporan. Percepatan dipengaruhi oleh realisasi investasi pemerintah di akhir tahun. Indikator penjualan eceran untuk perlengkapan konstruksi serta kredit kepada sektor konstruksi juga mencatat pertumbuhan di triwulan IV 2014 (Grafik 1.33 dan Grafik 1.34). Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 1.33. Penjualan Eceran Perlengkapan Konstruksi Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.34. Kredit kepada Sektor Konstruksi 5 Berdasarkan pembagian SNA 2008 menggunakan tahun dasar 2010, perkembangan sektor LGA dapat di lihat dari lapangan usaha Pengadaan Listrik dan Gas dan lapangan usahan Pengadaan Air (Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Selatan No. 13/02/73/Th. V, 5 Februari 2015). 20

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.3.6 Lapangan Usaha Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) 6 Kategori Perdagangan Besar dan Eceran dan Reparasi Kendaraan mengalami pertumbuhan sebesar 3,40% (yoy), sedangkan kategori Penyediaan Komodasi Makan Minum tumbuh sebesar 4,80% (yoy). Secara agregat, bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor PHR di triwulan III 2014 maka terjadi perlambatan. Salah satu faktor penyebab turunnya sektor PHR adalah terbitnya Surat Edaran Mendagri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menginstruksikan kepada semua kepala daerah, mulai dari gubernur, wali kota, hingga bupati, untuk menggelar rapat di kantor masing-masing. Hal ini mengakibatkan turunnya omset hotel dari penyelenggaraan Meeting Incentive Converencing Exibition (MICE), khususnya yang diselenggarakan oleh instansi pemerintahan. Selain itu, melambatnya kinerja sektor PHR salah satunya didorong oleh penurunan kegiatan perdagangan antar daerah (Grafik 1.35). Penjualan eceran secara umum menunjukkan kondisi yang stabil. Hal tersebut tercermin dari hasil survei penjualan eceran riil untuk beberapa kelompok barang konsumsi yaitu kelompok makanan jadi, perlengkapan rumah tangga, serta suku cadang (Grafik 1.36). Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah Grafik 1.35. Volume Bongkar dan Muat Barang Sumber: Survei Penjualan Eceran Grafik 1.36. Penjualan Barang Eceran Riil Kategori Penyediaan Komodasi Makan Minum mendukung arah penurunan Lapangan Usaha PHR pada triwulan laporan seiring menurunnya penghunian kamar hotel masih cukup tinggi. Selain faktor pemberlakuan surat edaran Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, penurunan juga dirorong faktor musiman. Secara musiman, tingkat penghunian kamar hotel bergerak turun sepanjang triwulan pelaporan (Grafik 1.37). Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Makassar yang tercatat masih mengalami kontraksi di triwulan IV 2014 (Grafik 1.38). Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 1.37. Tingkat Penghunian Kamar Hotel Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 1.38. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara 6 Berdasarkan pembagian SNA 2008 menggunakan tahun dasar 2010, perkembangan sektor PHR dapat di lihat dari kategoriperdagangan Besar dan Eceran dan Reparasi Kendaraan serta kategoripenyediaan Komodasi Makan Minum (Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Selatan No. 13/02/73/Th. V, 5 Februari 2015). 21

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.3.7 Lapangan Usaha Angkutan dan Komunikasi 7 Di triwulan pelaporan, kelompok transportasi dan pergudangan tumbuh sebesar 5,6% (yoy). Sedangkan kelompok informasi dan komunikasi tumbuh sebesar 6,6% (yoy). Secara agregat, sektor angkutan dan komunikasi mengalami percepatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Percepatan yang terjadi terutama disebabkan oleh meningkatnya kinerja moda transportasi udara sesuai indikator lalu lintas penumpang penerbangan domestik maupun internasional (Grafik 1.39). Meski meningkat secara triwulanan seiring kegiatan liburan Natal dan tahun baru, peningkatan yang terjadi tidak signifikan yang dinilai dipengaruhi oleh naiknya harga tiket. Pada indikator yang lain, kredit ke sektor pengangkutan menunjukkan perlambatan pada triwulan laporan (Grafik 1.40). Sumber: Angkasa Pura Grafik 1.39. Lalu Lintas Penumpang Pesawat Udara Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.40. Kredit Sektor Pengangkutan 1.3.8 Lapangan Usaha Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 8 Di triwulan pelaporan, kategori jasa keuangan tumbuh sebesar 11,90% (yoy). Sedangkan kategori real estate tumbuh sebesar 9,0% (yoy). Secara agregat, bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di triwulan III 2014 maka terjadi akselerasi pertumbuhan di periode pelaporan. Faktor penyebab percepatan salah satunya datang dari peningkatan kinerja subsektor perbankan. Akselerasi penghimpunan DPK dan penyaluran kredit mendorong peningkatan nilai tambah bruto perbankan di Sulsel pada triwulan IV 2014 (Grafik 1.41). Peningkatan IHPR mengkonfirmasi peningkatan permintaan di kategori real estate. Hasil survey harga properti residensial menunjukan kenaikan harga yang mengindikasikan peningkatan permintaan di kategori real estate (Grafik 1.42). Peningkatan permintaan properti yang meningkat mengindikasikan permintaan masyarakat yang tetap kuat sehingga ke depan diperkirakan kegiatan pembangunan properti masih akan mengalami peningkatan pertumbuhan. Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.41. Nilai Tambah Bank Sumber: Survey Harga Properti Residensial Grafik 1.42. Indeks Harga Properti Residensial 7 Berdasarkan pembagian SNA 2008 menggunakan tahun dasar 2010, perkembangan sektor Angkutan dan Komunikasi dapat dilihat dari pendekatan kategoritransportasi dan Pergudangan dan kategoriinformasi Dan Komunikasi(Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Selatan No. 13/02/73/Th. V, 5 Februari 2015). 8 Berdasarkan pembagian SNA 2008 menggunakan tahun dasar 2010, perkembangan sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan dapat dilihat dari pendekatan kategorijasa Keuangan dan kategori Real Estate(Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Selatan No. 13/02/73/Th. V, 5 Februari 2015). 22

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1.3.9 Lapangan Usaha Jasa-jasa 9 Di triwulan pelaporan, kategori jasa perusahaan; kategori administrasi pemerintah; kategori jasa pendidikan; kategori jasa kesehatan & kegiatan social; dan kategori jasa lainnya, secara berturut-turut tumbuh sebesar 7,40% (yoy); 0,70% (yoy); 3,10% (yoy); 3,30% (yoy); dan 9,40% (yoy). Secara agregat, bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor jasajasa triwulan III 2014, maka terjadi akselerasi pertumbuhan di periode pelaporan. Faktor pendorong akselerasi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi di periode pelaporan. Ditambah pula dengan banyaknya kegiatan menjelang natal dan akhir tahun, beberapa subsektor jasa swasta mengalami peningkatan kegiatan usaha, yang terkonfirmasi oleh indikator kredit ke sektor jasa sosial masyarakat, yang tercatat mengalami percepatan pada triwulan IV 2014 (Grafik 1.43). Sumber: Laporan Bank, diolah Grafik 1.43. Kredit Sektor Jasa Sosial Masyarakat 9 Berdasarkan pembagian SNA 2008 menggunakan tahun dasar 2010, perkembangan sektor Jasa-Jasa Perusahaan dapat dilihat dari pendekatan lapanganusaha yang baru antara lain kategorijasa Perusahaan, kategoriadministrasi Pemerintah, kategorijasa Pendidikan, kategorijasa Kesehatan & Kegiatan Sosial, dan kategorijasa Lainnya(Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Selatan No. 13/02/73/Th. V, 5 Februari 2015). 23

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Boks 1.A. Perubahan Tahun Dasar 2010 dan SNA 2008 dalam Pelaporan PDRB Triwulan IV 2014 Sejak terbitnya berita resmi statistik Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) triwulan IV 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) menerapkan perubahan tahun dasar dan metodologi dalam perhitungan PDRB. Perubahan yang dilakukan adalah penggantian tahun dasar (dari tahun dasar 2000 ke 2010), serta metodologi System of National Accounts (SNA) 1993 ke SNA 2008. SNA 2008 atau Sistem Neraca Nasional (SNN) adalah rekomendasi internasional tentang bagaimana menyusun ukuran aktivitas ekonomi yang sesuai dengan standar neraca baku yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi. Rekomendasi yang dimaksud dinyatakan dalam sekumpulan konsep, definisi, klasifikasi, dan aturan neraca yang disepakati secara internasional dalam mengukur indikator tertentu seperti PDRB. Perubahan antara SNA 1993 ke SNA 2008 terlihat dari pendekatan konsep pada beberapa hal seperti perhitungan output pertanian, metode perhitungan bank komersial, proses valuasi, dan pencatatan biaya eksplorasi mineral dan pembuatan produk (Tabel 1.A.1). Implementasi SNA 2008 juga mengubah klasifikasi lapangan usaha yang sebelumnya terdiri dari 9 lapangan usaha menjadi 17 lapangan usaha (Tabel1.A.2.). Latar belakang perubahan metodologi adalah adanya pengaruh perekonomian global terhadap struktur perekonomian nasional dalam sepuluh tahun terakhir; rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengimplementasikan System of National Accounts 2008 (SNA 2008) dalam penyusunan PDB melalui kerangka Supply and Use Tables (SUT); dan menjaga konsistensi antara tiga pendekatan PDB dan memperkecil perbedaan antara PDB nasional dan PDRB. Tabel 1.A.1 Perbandingan Konsep dan Metode SNA Tabel1.A.2. Perbandingan Klasifikasi PDB menurut Lapangan Usaha 24

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Perubahan tahun dasar dari 2000 ke 2010 menimbulkan beberapa efek, diantaranya adalah perubahan nominal PDRB. Sebagai contoh, total nominal PDRB ADHK Sulsel tahun 2014 berdasarkan tahun dasar 2000 mencapai Rp 212,84 triliun sedangkan berdasarkan tahun dasar 2010 mencapai Rp 252,73 triliun atau naik 18,74%. Perubahan tahun dasar juga akan mengakibatkan perubahan indicator makro seperti rasio pajak, rasio hutang, rasio investasi dan tabungan, nilai neraca berjalan, struktur dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perubahan tahun dasar juga akan menyebabkan perubahan pada input data untuk modeling dan forecasting. Tabel1.A.3. Perbandingan Klasifikasi PDB menurut Pengeluaran Sumber : Sosialisasi Perubahan Tahun Dasar PDRB Berbasis SNA 2008 (BPS, 2014) 25

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Boks 1.B. Preliminary Growth Diagnostics Sektor Perikanan Sulsel Growth diagnostic merupakan suatu kerangka pemikiran untuk menganalisis dan merumuskan strategi pertumbuhan secara operasional maupun teoritis 10. Dengan memahami hambatan dalam perekonomian, akhirnya Pemerintah bisa mengarahkan kebijakan mana yang prioritas, efektif, dan penting. Pendekatan growth diagnostics didasari oleh tiga pertimbangan yaitu (1) strategi reformasi seharusnya memiliki target pertumbuhan yang tinggi, sehingga bisa meningkatkan standar hidup, (2) tidak ada strategi pertumbuhan yang identik untuk semua negara, (3) Pemerintah memiliki keterbatasan administratif dan alasan politis, sehingga perlu prioritas. Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sektor kemaritiman menjadi sektor yang diunggulkan. Pada Kabinet Kerja, terdapat empat agenda kemaritiman untuk periode 2015-2019 yakni; (i) pembangunan kedaulatan maritim, (ii) pengelolaan SDA & jasa, (iii) pembangunan infrastruktur, dan (iv) penguatan SDM, Iptek dan budaya maritim. Keempat agenda kemaritiman tersebut sejalan dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (13.466 pulau yang telah terdaftar dan dengan luas laut 75%) yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia. Mengingat sektor maritim cukup luas, maka cakupan kajian dibatasi kepada perikanan tangkap. Peran sektor perikanan tangkap Kawasan Timur Indonesia (KTI) cukup besar, antara lain melalui jalur ekspor. Sektor perikanan di KTI memberikan kontribusi ekspor nasional dengan rata-rata pangsa sebesar 17%. Sementara itu, sektor perikanan Provinsi Sulsel menyumbangkan 23,54% terhadap ekspor perikanan KTI secara keseluruhan, sehingga peran perikanan Sulsel terhadap nasional sekitar 4%. Di samping itu, pengembangan sektor perikanan juga menjadi sangat relevan dikarenakan, untuk membagi kutub pertumbuhan dari dominasi sektor pertambangan dan penggalian. Pengembangan industri perikanan tangkap masih menghadapi banyak tantangan. Walaupun memiliki potensi menjanjikan untuk berkembang lebih besar, pengembangan industri perikanan tangkap nasional, ditengarai menghadapi beberapa tantangan, antara lain: (i) overfishing, (ii) keterbatasan sarana infrastruktur physical dan non-physical, (iii) penguatan ketrampilan dan produktivitas tenaga kerja, (iv) pengelolaan sumber daya alam berkesinambungan, dan (v) akses pembiayaan. Identifikasi dan inventarisasi solusi perlu dilakukan untuk mengatasi tantangan di sektor perikanan tangkap. Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dianggap dilakukan identifikasi faktor-faktor pendukung (enablers) dan kebijakan reformasi struktural terkait, yang penting, efektif dan perlu disegerakan untuk meningkatkan usaha dan investasi di sektor perikanan laut dan industri pengolahan terkait yang berorientasi ekspor. KPw BI Provinsi Sulawesi Selatan berperan serta dalam rangka mencari solusi tantangan kemaritiman di Sulsel. Salah satu langkah KPw BI Sulsel adalah dengan melakukan kajian awal (preliminary study) Growth Diagnostik dengan cakupan studi Sektor Perikanan tangkap. Metode identifikasi mencari solusi melalui Forum Group Discussion (FGD) dengan stakeholders di bidang perikanan di Sulsel, untuk mengidentifikasi permasalahan dari masing-masing bidang pemerintahan, pelaku usaha, maupun perbankan. Dari hasil FGD tersebut, didapatkan 10 permasalahan utama yang dianggap penting, mendesak, dan efektif untuk atasi terlebih dahulu (Tabel 1.B.1) Tabel 1.B.1 Masalah Utama di Sektor Kemaritiman 10 Hausmann, et al (2005) 26

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Selain pemetaan masalah utama, dalam kajian awal ini dilakukan juga pemetaan wilayah (spatial) menggunakan data sekunder. Dari hasil pemetaan tersebut, didapatkan beberapa hal terkait sektor perikanan di wilayah Sulsel antara lain: Masih terjadi gap tingkat ekonomi yang cukup besar antar wilayah di Sulsel. Hal ini tercermin dari hasil pemetaan sumbangan PDRB per kabupaten se Sulsel (Gambar 1.B.1) Kabupaten Barru, Pangkajene, Maros, dan Wajo memberikan sumbangan PDRB sektor perikanan lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Sulsel (Gambar 1.B.2). Kabupaten Luwu Timur dan Bantaeng memiliki prosentase pekerja di sektor perikanan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Sulsel (Gambar 1.B.3). Kabupaten Barru dan Pinrang memiliki produktivitas (PDRB per Pekerja) yang tinggi dibandingkan kabupaten lainnya di Sulsel (Gambar 1.B.4). Kabupaten Luwu Timur memiliki rata-rata upah tenaga kerja formal di sektor perikanan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Sulsel (Gambar 1.B.5). Kota Palopo dan Kabupaten Luwu memiliki tata-rata upah tenaga kerja nonformal di sektor perikanan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Sulsel (Gambar 1.B.6). Kabupaten Luwu Timur, Banteng dan Selayar memiliki jumlah pekerja nonformal di sektor perikanan yang lebih besar dibandingkan wilayah lainnya di Sulsel (Gambar 1.B.7). Gambar 1.B.1. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan PDRB Gambar 1.B.2. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan PDRB Sektor Perikanan Gambar 1.B.3. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan Jumlah Perkerja di Sektor Perikanan Gambar 1.B.4. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan Produktivitas Pekerja di Sektor Perikanan (PDRB per Pekerja Sektor Perikanan) 27

BAB 1 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Gambar 1.B.5. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan Tingkat Upah Perkerja Formal di Sektor Perikanan. Gambar 1.B.6. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan Tingkat Upah Perkerja Non Formal di Sektor Perikanan. Hasil pemetaan tersebut dapat dijadikan referensi penentuan strategi maupun kebijakan kebijakan pengembangan sektor perikanan di Sulawesi Selatan. Sebagai contoh, pemusatan perkampungan nelayan dapat dikembangkan lebih lanjut di Kab. Luwu Timur dan Luwu Utara, karena saat ini wilayah tersebut memiliki jumlah pekerja di sektor perikanan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Selain itu diperlukan peninjauan tingkat upah di dua wilayah tersebut, karena meskipun memiliki jumlah pekerja yang tinggi di sektor namun tingkat upahnya masih sangat rendah. Gambar 1.B.7. Pemetaan Spasial Sulsel Berdasarkan Jumlah Pekerja Non Formal di Sektor Perikanan. 28

2. KEUANGAN PEMERINTAH Bab 2 Keuangan Pemerintah Persentase realisasi keuanganpemerintah relatif pada tahun 2014, lebih baik dibandingkan periode yang sama pada tahun 2013, baik itu untuk APBD Provinsi maupun belanja instansi vertikal. Dari sisi pendapatan, persentase realisasi pendapatan 2014 untuk APBD Provinsi setinggi tahun 2013, terutama karena optimalisasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Demikian pula, secara nominal, capaiannya lebih tinggi dari periode yang sama tahun 2013. Sementara dari sisi belanja, realisasi belanja APBD Provinsi maupun instansi vertikal di Sulsel juga menunjukkan peningkatan, terutama penyerapan belanja infrastruktur (belanja modal). Realisasi belanja APBD Provinsi mencapai92,04%, sementara realisasi belanja instansi vertikal mencapai 91,14%. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 29

BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH 2.1. Struktur Anggaran Keuangan Pemerintah di Sulsel terbagi atas keuangan pemerintah daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) dengan keuangan pemerintah pusat di daerah, dengan porsi terbesar adalah APBD Kabupaten/Kota. Keuangan pemerintah daerah terdiri atas APBD Provinsi Sulsel dengan seluruh APBD Kabupaten dan Kota. Sementara keuangan pemerintah pusat di daerah, merupakan anggaran instansi vertikal yang berada di Sulsel. Pada tahun 2014, jumlah anggaran belanja keuangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat di daerah, berjumlah sebesar Rp44,57 triliun (14,85% PDRB ADHB), dengan perincian APBD Provinsi sebesar Rp5,84 triliun (13,1%), APBD Kabupaten/Kota sebesar Rp22,60 trilun (50,7%), dan instansi vertikal sebesar Rp16,14 triliun (36,2%). Sementara pada tahun 2015, jumlah anggaran belanja keuangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat di daerah mencapai sekitar Rp48 triliun dengan proporsi masing-masing yaitu APBD Provinsi 12,9%, APBD Kabupaten/Kota sekitar 52,9%, dan instansi vertikal senilai 34,3%. Anggaran Instansi Vertikal 36,2% Rp16,14 triliun APBD Provinsi 13,1% Rp5,84 triliun Anggaran Instansi Vertikal 34,3% Rp16,45 triliun APBD Provinsi 12,9% Rp6,17 triliun APBD Kabupaten/Kota 50,7% Rp22,60 triliun APBD Kabupaten/Kota 52,9% Grafik 2.1. Struktur Keuangan Pemerintah di Sulsel Tahun 2014 Grafik 2.2. Struktur Keuangan Pemerintah di Sulsel Tahun 2015 Porsi anggaran APBD Kabupaten/Kota meningkat, sejalan dengan meningkatnya transfer pemerintah pusat untuk Kabupaten/Kota di Sulsel. Pada tahun 2014, pagu anggaran transfer ke Kabupaten/Kota sebesar Rp18,51 triliun. Sementara pagu anggaran transfer ke Kabupaten/Kota tahun 2015 senilai Rp20,72 triliun atau naik 11,98% dari 2014, yang terdiri dari dana bagi hasil pajak (Rp683,5 miliar), dana bagi hasil sumber daya alam(rp106,9 miliar), dana alokasi umum (Rp14,64 triliun), dana alokasi khusus (Rp1,69 triliun), lainnya (Rp3,35 triliun), dan dana desa (Rp246,4 miliar). 2.2. Perkembangan Realisasi Anggaran APBD Provinsi 2.2.1 Pendapatan 2.2.1.1. Struktur Realisasi Pendapatan Porsi realisasi pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan peningkatan nilai dan persentase terhadap total pendapatan APBD Provinsi Sulsel. Padatahun 2014, porsi dana perimbangan mengalami penurunan, sementara PAD meningkat, yang menunjukkan tingkat ketergantungan Provinsi kepada anggaran pusat semakin menurun. Porsi realisasi PAD 2014 lebih dari separuh, mencapai 55,0%. Di sisi lain juga menunjukkan, bahwa potensi pendapatan di Provinsi Sulsel meningkat melebihi pertumbuhan ekonominya. PAD secara nominal naik 18,32% (yoy) mencapai Rp3.029 miliar dari tahun 2013 (Rp2.560 miliar). Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Sulsel tahun 2014 mencapai 7,57% (yoy). 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 - Rp miliar Rp2 Rp10 Rp875 Rp10 Rp884 (15,2%) Rp933 (16,6%) (16,9%) Rp2.298 Rp1.531 Rp44 Rp2.234 (40,0%) (27,8%) (42,0%) Rp72 Rp1.104 Rp946 (35,4%) (36,9%) Rp3.029 Rp2.560 Rp1.547 Rp1.973 Rp2.199 (44,6%) (55,0%) (41,3%) (63,2%) (60,3%) Tw IV-2010 Tw IV-2011 Tw IV-2012 Tw IV-2013 Tw IV-2014 Lain-Lain Pendapatan Yang Sah Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Grafik 2.3. Proporsi Realisasi Pendapatan APBD 30

BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH 2.2.1.2. Perkembangan Realisasi Pendapatan Nominal realisasi pendapatan meningkat, dengan persentase 11 realisasi pendapatan daerah hingga triwulan IV 2014 sama dengan capaian triwulan IV 2013. Nilai realisasi anggaran pendapatan daerah hingga triwulan IV 2014 mencapai Rp5,50 triliun atau 97,39% dari total target pendapatan sebesar Rp5,65 triliun. Peningkatan terutama didorong oleh realisasi PAD, antara lain pendapatan pajak daerah sebesar Rp2,67 triliun (95,01% dari target), pendapatan retribusi daerah Rp94,6miliar (112,22% dari target), hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp74,60 miliar (100,0% dari target), dan lain-lain PAD yang sah Rp192,65 miliar (118,56% dari target). Peningkatan tersebut terutama didorong oleh masih cukup kuatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Sulsel dan upaya Pemprov Sulsel untuk terus mengoptimalkan pungutan pajak di daerah dalam rangka meningkatkan tax ratio, antara lain dengan kegiatan sosialisasi dan penerapan pajak progresif untuk kendaraan kedua dan seterusnya. Demikian pula, pencapaian retribusi daerah melebihi target yang diharapkan, antara lain realisasi penerimaan retribusi daerah atas pelayanan kesehatan (132,73%), retribusi penjualan produksi usaha daerah (107,0%), retribusi tempat rekreasi dan olah raga (101,45%), retribusi tera/ tera ulang (92,27%), retribusi pelayanan pendidikan (86,12%), retribusi pelayanan kepelabuhanan (84,03%), dan retribusi pemakaian kekayaan daerah (76,68%). NO. 1. PENDAPATAN U R A I A N Tabel 2.1. Anggaran dan Realisasi Pendapatan APBD Provinsi ANGGARAN PERUBAHAN 2013 Realisasi s/d TRIWULAN IV-2013 ANGGARAN Realisasi s/d TRIWULAN IV 2014 PERUBAHAN Nominal % REALISASI 2014 Nominal % REALISASI (Rp Miliar) 1.1. PENDAPATAN ASLI DAERAH 2.641,16 2.560,07 96,93% 3.128,86 3.029,11 96,81% 3.380,99 - Pendapatan Pajak Daerah 2.336,52 2.253,43 96,44% 2.807,47 2.667,27 95,01% 3.044,55 - Pendapatan Retribusi Daerah 69,78 60,53 86,74% 84,30 94,60 112,22% 89,85 - Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yg Dipisahkan 71,34 71,06 99,60% 74,60 74,60 100,00% 80,23 - Lain-lain PAD yang Sah 163,52 175,05 107,05% 162,50 192,65 118,56% 166,37 1.2. DANA PERIMBANGAN 2.346,01 2.297,56 97,93% 1.575,57 1.531,39 97,20% 1.530,72 - Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 310,71 268,11 86,29% 293,00 248,81 84,92% 272,35 - DAU 1.089,77 1.089,77 100,00% 1.209,60 1.209,60 100,00% 1.180,01 - DAK 64,26 64,26 100,00% 72,98 72,98 100,00% 78,36 Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya 881,27 875,41 99,34% 932,62 932,76 100,02% ANGGARAN 2015 1.3. Lain-lain Pendapatan yang Sah 9,33 9,97 106,82% 13,52 9,89 73,17% 1.258,47 JUMLAH PENDAPATAN 4.996,50 4.867,59 97,42% 5.650,58 5.503,15 97,39% 6.170,18 Keterangan: angka sementara (APBD Provinsi Sulawesi Selatan Unaudited) Sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Provinsi Sulsel Realisasi persentase dana perimbangan (DAU dan DAK) relatif relatif lebih rendah dibanding persentase realisasi tahun sebelumnya. Persentase realisasi subkomponen dana alokasi umum (DAU) yang sebesar Rp1,21 triliun (100,0%) dan dana alokasi khusus (DAK) yang sebesar Rp72,98 miliar (100,0%), sesuai dengan anggaran yang disampaikan oleh pemerintah pusat. Demikian pula transfer pemerintah pusat lainnya, juga relatif sama dengan pagu anggaran, yaitu mencapai Rp932,76 miliar (100,02%). Namun demikian, untuk dana bagi hasil (DBH) pajak dan bukan pajak dalam tren menurun, baik secara nominal maupun persentase. Persentase DBH pajak/bukan pajak tahun 2014 senilai 84,92% (Rp248,81miliar), lebih rendah dari 2013 (86,29% atau Rp268,11 miliar). 2.2.2 Belanja 2.2.2.1. Struktur Realisasi Belanja Porsi realisasi belanja modal menunjukkan peningkatan nilai dan persentase terhadap total belanja APBD Provinsi Sulsel. Padatahun 2014, porsi belanja operasional mengalami penurunan, sementara belanja modal meningkat, yang menunjukkan perhatian pemerintah Provinsi Sulsel yang terus menguat dalam pembangunan infrastruktur daerah. Porsi realisasi belanja modal 2014 mencapai 15,0%, atau sebesar Rp676,24 miliar, lebih besar dari capaian realisasi 2013 yang sebesar Rp490 miliar (12,0%). Secara tren, porsi belanja modal terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Di sisi lain porsi belanja operasional sebesar 84,9% (Rp3.822 miliar). Porsi belanja operasional meningkat signifikan pada tahun 2012 terutama karena belanja hibah naik tinggi, dari semula berkisar Rp97,12 miliar (2011) menjadi Rp1.205,71 miliar (2012). 11 Persentase realisasi menunjukkan kinerja (performance) realisasi dibandingkan dengan anggaran (perencanaan). 31

BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH 5.000 4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 - Rp miliar (44,6%) (55,0%) (41,3%) (63,2%) Rp676 Rp377 Rp490 (15,0%) (9,6%) (12,0%) Rp468 (18,4%) Rp304 (15,3%) Rp3.549 Rp3.587 Rp3.822 (90,4%) (87,9%) (84,9%) Rp2.078 Rp1.676 (84,6%) (81,6%) Tw IV-2010 Tw IV-2011 Tw IV-2012 Tw IV-2013 Tw IV-2014 Belanja Tidak Terduga Belanja Modal Belanja Operasional Grafik 2.4. Proporsi Realisasi Belanja APBD 2.2.2.2. Perkembangan Realisasi Pendapatan Persentase penyerapan belanja APBD pada triwulan IV 2014 relatif optimal, meski tidak setinggi triwulan IV 2013. Persentase realisasi anggaran belanja daerah sampai dengan akhir triwulan IV 2014 sebesar 92,04%, atau sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian pada triwulan IV 2013 yang sebesar 92,39%. Secara nominal, realisasi anggaran belanja APBD hingga akhir tahun 2014 sebesar Rp5,60 triliun lebih tinggi dibanding realisasi tahun 2013 sebesar Rp4,92 triliun atau naik Rp676,06 miliar. Realisasi belanja operasional yang bersifat rutin, secara persentase tercatat sedikit lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. Total pos belanja operasional terealisasi Rp3,82 triliun (95,06%) dengan persentase penyerapan terbesar pada belanja hibah yaitu sebesar 98,07% dan terkecil adalah belanja bunga (73,42%). Sementara untuk belanja rutin yang terdiri dari belanja pegawai dan belanja barang, persentasenya cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 96,64% atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013 (95,92%), dan 94,86%. Sementara itu, belanja modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, penyerapannya relatif membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi pos belanja modal hingga triwulan IV 2014 mencapai Rp676,24 miliar (70,80%), terutama untuk belanja peralatan dan mesin;belanja aset tetap lainnya; belanja aset lainnya; belanja jalan, irigasi, dan jaringan; serta belanja gedung dan bangunan. Belanja jalan, irigasi, dan jaringan dengan porsi yang cukup besar, tentunya memberikan dampak yang lebih baik, karena terkait pembangunan infrastruktur yang dapat berperan sebagai multiplier effect dalam pertumbuhan investasi dan ekonomi Sulsel. Pada triwulan IV 2014, transfer yang merupakan bentuk hubungan vertikal dengan kabupaten/kota, secara persentase maupun nominal, terealisasi lebih rendah dibanding triwulan IV 2013.Persentase transfer pada periode laporan terealisasi sebesar 99,78%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya 94,54%. Demikian pula secara nominal pada triwulan IV 2014 (Rp1,1 triliun) terealisasi lebih tinggi dari triwulan IV 2013 (Rp843,12 miliar). Berdasarkan perbandingan antara realisasi belanja dan pendapatan daerah pada triwulan IV 2014, masih terjadi defisit (selisih kurang) anggaran sebesar Rp97,19 miliar. Kemudian, pengeluaran pembiayaan daerah pada triwulan IV 2014, APBD Sulsel mencatatkan jumlah pembiayaan sebesar Rp288,68 miliar. 32

BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH NO. 2. BELANJA Keterangan: angka sementara (APBD Provinsi Sulawesi Selatan Unaudited) Sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Provinsi Sulsel Tabel 2.2. Anggaran dan Realisasi BelanjaAPBD Provinsi Realisasi s/d TRIWULAN IV-2013 ANGGARAN Realisasi s/d TRIWULAN IV 2014 PERUBAHAN Nominal % REALISASI 2014 Nominal % REALISASI (Rp Miliar) 2.1. BELANJA OPERASI 3.700,39 3.587,25 96,94% 4.020,51 3.821,79 95,06% 3.690,31 - Belanja Pegawai 962,03 922,78 95,92% 1.055,92 1.020,47 96,64% 1.166 - Belanja Barang 1.098,01 1.054,54 96,04% 1.379,90 1.308,99 94,86% 1.221 - Belanja Bunga 12,50 8,72 69,72% 22,00 16,15 73,42% 40 - Belanja Hibah 1.039,28 1.028,77 98,99% 969,43 950,68 98,07% 1.265 - Belanja Bantuan Keuangan 588,57 572,44 97,26% 593,25 525,49 88,58% 2.2. BELANJA MODAL 724,70 490,21 67,64% 955,10 676,24 70,80% 658,60 - Belanja Tanah 0,01-0,00% 53,60 1,06 1,99% - Belanja Peralatan & Mesin 67,91 16,29 23,99% 103,81 98,66 95,04% - Belanja Gedung dan Bangunan 42,57 3,04 7,15% 105,07 71,65 68,19% - Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 811,99 33,46 4,12% 690,57 502,93 72,83% - Belanja Aset Tetap Lainnya 1,22 0,19 15,85% 1,31 1,22 92,78% - Aset Lainnya 0,09-0,00% 0,74 0,72 96,80% 2.3. BELANJA TIDAK TERDUGA 13,14 3,70 28,19% 5,50 0,96 17,51% 20,00 JUMLAH BELANJA 4.438,23 4.081,17 91,95% 4.981,10 4.498,99 90,32% 4.368,91 TRANSFER 891,84 843,12 94,54% 1.103,82 1.101,35 99,78% 1.798,20 TOTAL BELANJA 5.330,07 4.924,28 92,39% 6.084,92 5.600,34 92,04% 6.167,11 SURPLUS / (DEFISIT) (333,57) (56,69) 16,99% (434,34) (97,19) 22,38% 3,07 3. PEMBIAYAAN U R A I A N ANGGARAN PERUBAHAN 2013 ANGGARAN 2015 3.1. PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH 335,20 149,80 44,69% 485,34 339,68 69,99% 132,93 3.2. PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH 1,63 1,13 69,33% 51,00 51,00 100,00% 136,00 JUMLAH PEMBIAYAAN 333,57 148,67 44,57% 434,34 288,68 66,46% (3,07) 2.3. Perkembangan Realisasi Belanja Instansi Vertikal di Sulsel 2.3.1 Struktur Realisasi Belanja Komponen belanja mengalami peningkatan terutama belanja barang dan belanja pegawai. Dari sisi belanja barang, selama 5 tahun terakhir, porsi belanja barang instansi vertikal di Provinsi Sulsel selalu dalam tren meningkat. Pada tahun 2010 porsinya sebesar 22,14% (Rp2,28 triliun) menjadi 29,29% (Rp4,31 triliun). Demikian pula belanja pegawai, juga dalam tren meningkat 5 tahun terakhir. Pada tahun 2010 porsinya sebesar 32,96% (Rp3,39 triliun) menjadi 36,35% (Rp5,35 triliun). Di sisi lain, porsi belanja modal relatif stabil menjadi 25,66% pada tahun 2014 (Rp3,77 triliun). 16.000 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 Rp miliar Rp189,25 Rp2.054,50 Rp2.376,74 Rp2.277,90 Rp49,70 Rp1.718,06 Rp3.961,94 Rp2.950,32 Rp1.726,93 Rp4.466,89 Rp3.246,50 Rp1.425,12 Rp4.930,15 Rp4.037,12 Rp3.390,96 Rp3.844,65 Rp4.307,82 Rp4.778,28 Rp5.346,13 Grafik 2.5. Proporsi Belanja Instansi Vertikal di Sulsel Rp1.278,55 Rp3.773,88 Rp4.308,16 Realisasibelanja 2014 untuk instansi vertikal di seluruh kabupaten/kota di Sulsel mencapai Rp14,71 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada realisasi belanja APBD untuk provinsi Sulsel yang sekitar Rp5,6 triliun. Namun demikian, anggaran instansi vertikal di Sulsel tersebut lebih rendah dibandingkan realisasibelanjaapbd 24 Kab./Kota di Sulsel. Data realisasi anggaran APBD seluruh APBD Kab/Kota sampai dengan batas waktu penulisan laporan belum tersedia, maka pendekatan realisasi anggaran instansi vertikal di seluruh Sulsel dan realisasi APBD Provinsi, diharapkan dapat mewakili kondisi keuangan pemerintah di Sulsel. Rp191,86 Rp118,13 2010 2011 2012 2013 2014 Belanja Lain Belanja Bantuan Sosial Belanja Modal Belanja Barang Belanja Pegawai 33

BAB 2 KEUANGAN PEMERINTAH 2.3.2 Perkembangan Realisasi Belanja Hingga triwulan IV 2014, persentase realisasi anggaran belanja instansi vertikal Provinsi Sulsel dan Kabupaten/Kota lebih tinggi dibanding triwulan IV 2013. Realisasi anggaran sampai dengan triwulan IV 2014 sebesar 91,14% atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan IV 2013 sebesar 89,41%. Namundemikian, secara nominal, realisasi anggaran per jenis belanja instansi vertikal di pada periode berjalan sebesar Rp14,71 triliun, lebih rendah dari triwulan IV 2013 sebesar Rp15,29 triliun. Secara nominal, realisasi anggaran per jenis belanja instansi vertikal di kab/kota masih didorong oleh belanja pegawai. Pada triwulan IV 2014, realisasi belanja pegawai instansi vertikal sebesar Rp5,35 triliun (Rp95,64%) atau lebih tinggi dibanding triwulan IV 2013 sebesar Rp4,78 triliun (95,47%). Di sisi lain, persentase realisasi belanja modal dan belanja bantuan sosial juga relatif tinggi, masing-masing 84,14% dan 98,98%. Tabel 2.3.Pagu Realisasi Anggaran Per Jenis Belanja Triwulan IVInstansi Vertikal se-sulsel Realisasi s/d Triwulan IV 2013 Realisasi s/d Triwulan IV 2014 U R A I A N Anggaran 2013 Anggaran 2014 Nominal % Realisasi Nominal % Realisasi Belanja Pegawai 5.004,90 4.778,28 95,47% 5.589,88 5.346,13 95,64% Belanja Barang 4.424,24 4.037,12 91,25% 4.769,18 4.308,16 90,33% Belanja Modal 6.047,34 4.930,15 81,53% 4.485,40 3.773,88 84,14% Belanja Bantuan Sosial 1.483,29 1.425,12 96,08% 1.291,77 1.278,55 98,98% Belanja Lain 140,31 118,13 84,19% JUMLAH BELANJA 17.100,08 15.288,80 89,41% 16.136,24 14.706,71 91,14% Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Selatan 2.4. Peran Realisasi Keuangan Pemerintah Dalam PDRB Peran realisasi komponen pendapatan pendapatan terhadap ekonomi daerah 12 pada tahun 2014 relatif menurun dibandingkan tahun sebelumnya, terutama berasal dari peranan dana perimbangan. Dana perimbangan per PDRB ADHB, rasio tahun 2014 sebesar 0,51%, lebih rendah daripada tahun 2013 sebesar 0,89%. Di sisi lain, rasio PAD terhadap PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) memperlihatkan peranan yang sedikit meningkat pada tahun 2014. Rasio PAD per PDRB ADHB pada tahun 2014 sebesar 1,01%, sedikit meningkat dibandingkan 2013 (Grafik 2.3). Pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi di Sulsel, dapat menjadi ukuran potensi pendapatan daerah yang bisa dihasilkan. Meski mengalami perlambatan dari 7,63% (yoy) pada 2013, menjadi 7,57% pada tahun 2014, ekonomi Sulawesi Selatan tersebut masih tumbuh cukup tinggi diatas nasional yaitu sebesar 5,02%. Untuk meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan APBD, dapat dilakukan antara lain melalui perluasan basis penerimaan pajak, meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya pemungutan, ataupun pemberdayaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pada tahun 2014, peran realisasi komponen belanja APBD dan instansi vertikal untuk stimulus ekonomi daerah 13 menurun. Rasio belanja modal terhadap PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB), terlihat menurun pada tahun 2014. Rasio belanja modal per PDRB ADHB tahun 2014 sebesar 1,48%, sementara tahun 2013 sebesar 2,10%. Rasio belanja operasional triwulan IV 2014 hanya sebesar 4,49%, sedikit lebih rendah dari 2013 yang sebesar 4,79%.Peran belanja operasionaldan belanja modal per PDRB ADHB ditengarai menurun sesuai dengan penurunan komponen konsumsi pemerintah dalam PDRB. 1,10 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 % 0,90 1,00 0,55 0,56 Grafik 2.6. Rasio Realisasi Pendapatan APBD Terhadap PDRB ADHB 0,98 0,96 0,89 0,99 1,01 0,51 2010 2011 2012 2013 2014 Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan 5,10 4,90 4,70 4,50 4,30 4,10 3,90 % 1,56 4,28 2,23 4,47 2,12 2,10 4,86 Grafik 2.7. Rasio Realisasi Belanja APBD Terhadap PDRB ADHB 4,79 1,48 4,49 2010 2011 2012 2013 2014 Belanja Operasi Belanja Modal % 2,50 2,30 2,10 1,90 1,70 1,50 1,30 1,10 0,90 0,70 0,50 12 Dihitung dengan rumus realisasi komponen pendapatan APBD dibagi dengan PDRB ADHB kumulatif 13 Dihitung dengan rumus realisasi komponen belanja APBD dibagi dengan PDRB ADHB kumulatif 34

3. INFLASI DAERAH Bab 3 Inflasi Daerah Laju inflasi Sulsel pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 8,61% (yoy) lebih tinggi dari triwulan III 2014 (3,72%, yoy) yang disebabkan oleh peningkatan tekanan inflasi pada beberapa kelompok barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat pasca kenaikan harga bahan bakar minnyak (BBM) yang disubsidi. Peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok barang yang terkait dengan volatile food (kelompok bahan pangan dan makanan jadi) dan administered price (perumahan dan transportasi). Secara kelembagaan, seluruh TPID di tingkat provinsi dan kabupaten/kota telah terbentuk, diiringi dengan peningkatan kegiatan koordinasi, terutama untuk mengantisipasi implikasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 35

BAB 3 INFLASI DAERAH 3.1. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa 14 Laju inflasi Sulsel pada triwulan IV 2014 tercatat lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM jenis premium dan solar yang diikuti oleh kenaikan tarif angkutan umum dan kebutuhan pokok lainnya. Inflasi di akhir tahun2014 tercatat sebesar 8,61% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat sebesar 3,72% (yoy). Faktor utama penyebab peningkatan inflasi adalah kenaikan harga BBM jenis premium dan solar sebesar Rp 2.000 per liter atau 30,77% untuk premium dan 36,36% untuk solar yang diikuti kenaikan tarif angkutan dan bahan makanan. Bila dilihat per kelompok, diketahui bahwa seluruh kelompok barang dan jasa mengalami inflasi (Tabel 3.1) dengan peningkatan terbesar ada pada kelompok bahan makanan sebesar 16,02% (yoy) dan terbesar kedua kelompok transport sebesar 10,15% (yoy). Kelompok lain yang tercatat mengalami kenaikan tekanan inflasi adalah kelompok makanan jadi dan kelompok perumahan yang masing-masing mengalami inflasi sebesar 6,21% (yoy) dan 6,87% (yoy). Tabel 3.1. Inflasi Kelompok Barang danjasa TAHUN Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transpor UMUM 2010 2011 2012 2013 2014 1 2.68 6.22 3.48 2.16 2.98 7.08 1.18 3.45 2 7.64 5.23 4.11 7.56 2.73 7.08 1.06 5.00 3 13.43 6.21 4.13 7.65 2.92 4.07 1.76 6.58 4 14.27 5.90 4.14 7.35 3.06 1.80 1.75 6.56 I 13.96 4.47 4.16 8.30 3.08 1.48 1.84 6.32 II 12.10 5.27 4.57 8.83 6.41 2.43 2.08 6.37 III 1.43 4.40 3.70 10.96 7.60 3.00 0.77 3.37 IV 0.24 4.40 3.67 8.69 7.67 2.90 0.73 2.88 I 4.04 4.49 4.18 9.57 7.53 2.94 0.57 4.06 II 4.94 4.29 3.98 6.99 4.53 2.12 0.47 3.85 III 7.81 4.97 3.41 6.51 3.18 1.37 0.63 4.48 IV 6.56 5.03 3.35 7.08 2.83 3.41 1.16 4.40 I 8.01 4.57 3.43 6.03 2.28 3.54 0.89 4.61 II 6.22 4.63 3.60 2.61 1.99 3.33 3.96 4.36 III 10.76 4.70 4.76 2.77 3.23 3.66 12.01 7.24 IV 6.97 4.47 6.06 2.36 3.71 1.39 11.58 6.22 I 4.76 5.39 6.25 3.73 3.79 1.33 10.31 5.88 II 6.15 5.38 5.96 5.65 5.22 1.38 7.91 5.92 III 1.97 5.80 6.32 4.12 5.28 1.97 0.87 3.72 IV 16.02 6.21 6.87 3.24 5.08 1.85 10.15 8.61 Sumber: Badan Pusat Statistik Sementara itu, tiga kelompok barang lainnya yaitu kelompok sandang, kelompok kesehatan dan kelompok pendidikan mengalami penurunan tekanan inflasi. Pada triwulan IV 2014, ketiga kelompok tersebut mengalami inflasi sebesar 3,24% (yoy), 5,08% (yoy) dan 1,85% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat sebesar 4,12% (yoy), 5,28% (yoy) dan 1,97% (yoy). Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.1. Perkembangan Inflasi Sulawesi Selatan 14 Terdapat 7 (tujuh) kelompok barang dan jasa dalam perhitungan inflasi 36

BAB 3 INFLASI DAERAH 3.1.1 Kelompok Bahan Makanan Pada triwulan IV 2014, inflasi di kelompok bahan makanan mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan inflasi terjadi dari 1,97% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 16,02% (yoy) pada triwulan III 2014 (Grafik 3.2). Peningkatan tingkat inflasi terutama didorong oleh penyesuaian harga yang dilakukan para pedagang terhadap kenaikan harga BBM. Selain itu, faktor musiman dimana beberapa sentra bumbu-bumbuan baru memasuki musim tanam baru juga menjadi salah satu penyebab peningkatan inflasi di kelompok bahan makanan. Keadaan stok yang terbatas ini, ditengarai dimanfaatkan untuk mencari untung dengan meningkatkan harga. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.2. Inflasi Kelompok Bahan Makanan Fakor cuaca menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan tekanan inflasi. Intensitas hujan terus meningkat sepanjang akhir tahun 2014 dan diperkirakan akan mencapai puncak pada bulan Januari-Februari 2015. Peningkatan intensitas hujan ini mengakibatkan peningkatan gelombang laut yang berakibat pada terganggunya aktifitas melaut yang dilakukan oleh para nelayan. Intensitas hujan yang tinggi juga bepengaruh pada produktifitas ikan budidaya. Terganggunya ph air kolam budidaya mengakibatkan ikan yang di budidayakan tidak tumbuh secara optimal. Pengaruh cuaca terhadap inflasi komoditas perikanan terkonfirmasi dari inflasi beberapa komoditas hasil laut sepanjang triwulan IV 2014 seperti ikan bandeng (bolu), ikan cakalang, ikan laying, ikan teri, ikan tongkol, dan udang basah. Selain itu, faktor cuaca juga berpengaruh negatif terhadap harga sayur-sayuran. Beberapa jenis tanaman hortikultura tidak tumbuh secara optimal ditingkat curah hujan yang tinggi. Hal ini terkonfirmasi dari SPH dimana terjadi peningkatan harga bayam, kacang panjang, kangkung, dan sawi hijau di triwulan IV 2014. Komoditas daging-dagingan menjadi menjadi salah satu penahan inflasi tidak terakselerasi lebih lanjut. Dari hasil SPH diketahui bahwa daging ayam ras dan daging sapi mengalami deflasi di triwulan IV 2014. Daging ayam ras mengalami deflasi sebesar -0,99% (yoy) melanjutkan tren penurunan sepanjang tahun 2014. Daging sapi juga kembali mengalami deflasi sebesar -1,02% (yoy) setelah di triwulan III 2014 juga mengalami deflasi sebesar -2,48% (yoy). 3.1.2 Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami dibandingkan triwulan sebelumnya. Kelompok ini mencatat laju inflasi tahunan sebesar 6,21% (yoy) pada triwulan laporan (Grafik 3.3). Pada triwulan sebelumnya, inflasi yang tercatat adalah 5,80% (yoy). Peningkatan permintaan diakhir tahun seiring dengan tereselengaranya beberapa kegiatan seperti Natal dan Tahun Baru menjadi penyebab peningkatan tekanan inflasi di periode perlaporan. Tingginya ekspektasi kenaikan harga dari konsumen dan pedagang juga menjadi salah satu faktor tingginya inflasi di triwulan IV 2014. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.3. Inflasi Kelompok Makanan Jadi Peningkatan laju inflasi terjadi di seluruh subkelompok, baik subkelompok makanan jadi, sub kelompok minuman yang tidak beralkohol maupun subkelompok tembakau dan minuman beralkohol. Peningkatan laju inflasi terbesar terjadi pada subkelompok makanan jadi yang pada periode ini mengalami inflasi sebesar 7,88% (yoy), sedangkan sub kelompok minuman yang tidak beralkohol dan subkelompok tembakau dan minuman beralkohol mengalami inflasi sebesar 2,49% (yoy) dan 5,28% (yoy). Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh tingginya permintaan di akhir tahun menjelang natal dan 37

BAB 3 INFLASI DAERAH tahun baru. Selain itu, inflasi yang terjadi hampir diseluruh komoditas bahan makanan makanan dinilai menjadi salah satu pendorong inflasi tahunan di subkelompok makanan jadi. 3.1.3 Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar Pada triwulan IV 2014, laju inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar meningkat dibandingkan triwulan III 2014. Laju inflasi tercatat sebesar 6,87% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (6,32%, yoy) (Grafik 3.4). Naiknya laju inflasi tahunan didiorong terutama oleh subkelompok bahan bakar, penerangan, dan air yang meningkat dari 9,24% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 16,18% (yoy) di periode pelaporan seiring dengan kenaikan harga BBM jenis Premium dan Solar pada bulan November 2014. Tiga subkelompok lainnya yaitu subkelompok biaya tempat tinggal, subkelompok perlengkapan rumah tangga dan subkelompok penyelenggaraan rumah tangga mengalami penurunan tekanan inflasi. Tercatat pada periode pelaporan ketiga subkelompok ini secara berturut-turut mengalami inflasi sebesar 3,71% (yoy), 5,12% (yoy), dan 6,56% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan III 2014 yang secara berturut-turut ketiganya mengalami inflasi sebesar 4,48% (yoy), 6,95% (yoy), dan 7,00% (yoy). Peningkatan harga properti (Grafik 3.5) menjadi salah satu faktor penyebab inflasi tahunan subkelompok biaya tempat tinggal. Seperti yang telah disebutkan di atas, implementasi kebijakan oleh pemerintah yang menaikkan BBM jenis Premium dan Solar akhir November 2014 menjadi penyebab utama kenaikan tingkat inflasi. Kedua jenis bahan bakar ini naik sebesar Rp 2.000 per liter atau 30,77% untuk premium dan 36,36% untuk solar. Bila mengacu pada bobot per komoditas, kenaikan harga premium sebesar Rp 2.000 per liter memberikan andil inflasi sebesar 1,15% sedangkan kenaikan harga Solar memberikan andil inflasi sebesar 0,01%. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.4. Inflasi Kelompok Perumahan, Air, Gas, dan Bahan Bakar Sumber: Survei Harga Properti Residensial Grafik 3.5. Indeks Harga Properti Residensial Dari sisi harga aset, yang dicerminkan oleh harga properti, menunjukkan masih adanya kenaikan harga. Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) menunjukkan kenaikan harga jual rumah tinggal di pasar perdana triwulan I 2015 meningkat 2,55% (qtq), lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2014 (2,16%). Peningkatan tertinggi terjadi pada rumah tipe menengah sebesar 6,33%. Faktor utama penyebab kenaikan harga berasal dari kenaikan harga bahan bangunan dan upah pekerja, diikuti kenaikan suku bunga kredit dan pajak. Sejalan dengan perkembangan harga properti di pasar perdana, hasil penilaian harga properti pasar sekunder juga meningkat, yang diindikasikan pada kenaikan harga tanah dan harga rumah masing-masing 3,76% dan 3,48%. Peningkatan harga rumah pasar sekunder antara lain karena perkembangan infrastruktur yang baik. 3.1.4 Kelompok Sandang Inflasi kelompok sandang menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV2014, inflasi tercatat sebesar 3,24% (yoy) menurun dibandingkan inflasi di triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,17% (yoy) (Grafik 3.6). Penurunan laju inflasi terjadi diseluruh subkelompok. Penurunan terbesar terjadi pada subkelompok sandang laki-laki sebesar -1,54% atau dari dari 6,47% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 4,93% (yoy) di periode pelaporan. Subkelompok lain yang mengalami penurunan diatas 1% adalah subkelompok barang pribadi dan sandang yang mengalami penurunan sebesar -1,03% atau dari 1,33% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 0,30% (yoy) di periode pelaporan. Sementara itu, inflasi 38

BAB 3 INFLASI DAERAH di dua subkelompok lainnya yaitu subkelompok sandang wanita dan subkelompok sandang anak-anak pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 3,05% (yoy) dan 5,48% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,67% (yoy) dan 5,52% (yoy). Selain akibat penurunan permintaan, penurunan harga emas juga menjadi faktor penyebab menurunnya tekanan inflasi di kelompok sandang. Pada triwulan IV 2015, harga emas dunia kembali menunjukan penurunan melanjutkan tren sepanjang tahun 2014. Tercatat pada triwulan IV 2014 rata-rata harga emas dunia mencapai 1,199.48 USD/troy oz turun sebesar 5,56% (qtq) dibandingkan periode sebelumnya. Penurunan harga emas dunia tersebut mengakibatkan penurunan harga emas perhiasan yang merupakan salah satu komditas yang diperhitungkan pada inflasi kelompok sandang. Dari hasil SPH, harga emas perhiasan di triwulan IV 2014 tercatat mengalami deflasi sebesar -3,08% (yoy). Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.6 Inflasi Kelompok Sandang Sumber: World Bank Grafik 3.7. Perubahan Harga Emas Internasional 3.1.5 Kelompok Kesehatan Inflasi kelompok kesehatan kembali mengalami penurunan pada triwulan IV 2014. Pada triwulan laporan, kelompok ini mencatat inflasi sebesar 5,08% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan III 2014 yang mencapai 5,28% (yoy). Sumber utama penurunan tersebut berasal dari penurunan tekanan inflasi pada subkelompok jasa kesehatan, subkelompok jasa perawatan jasmani dan subkelompok perawatan jasmani dan kosmetika. Pada triwulan laporan, ketiga kelompok tersebut secara berturut-turut mengalami inflasi sebsar 2,07% (yoy), 5,59% (yoy) dan 7,60% (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang secara berturut-turut mengalami inflasi sebsar 3,11% (yoy), 7,19% (yoy) dan 8,11% (yoy). Penurunan tekanan inflasi pada subkelompok obat-obatan menjadi faktor penahan inflasi tidak deselerasi lebih lanjut. Pada triwulan pelaporan, inflasi subkelompok obat-obatan tercatat sebesar 3,77% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 3,25% (yoy). Penurunan permintaan dan mulai stabilnya nilai tukar rupiah terhadap USD menjadi faktor utama penyebab penurunan tekanan inflasi di kelompok kesehatan. Permintaan akan layanan kesehatan serta produk kosmetika menurun pasca musim perayaan hari besar keagamaan di triwulan sebelumnya. Selain itu itu, dampak penyesuaian harga produk impor seiring mulai stabilnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap uang dollar Amerika Serikat (US$). Hal ini dinilai membuat harga komoditas berbagai jenis obat maupun produk perawatan jasmani yang lainnya ikut mengalami penyesuaian (imported inflation). 3.1.6 Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga Kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga mengalami penurunan tekanan inflasi pada triwulan IV 2014. Pada triwulan laporan, inflasi kelompok ini tercatat sebesar 1,85% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang mencapai 1,97%(yoy) (Grafik 3.9). Turunnya laju inflasi tersebut didorong oleh penurunan inflasi di subkelompok pendidikan subkelompok rekreasi dan subkelompok olahraga. Di triwulan pelaporan, ketiga subkelompok tersebut tercatat mengalami inflasi sebesar 2,53% (yoy), 0,43% (yoy) dan 1,67% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat mencapai 2,70% (yoy), 0,54% (yoy) dan 2,72% (yoy). Di sisi lain, inflasi subkelompok kursus/pelatihan mengalami inflasi yang sama dengan triwulan sebelumnya. Subkelompok perlengkapan/peralatan pendidikan menjadi satu-satunya 39

BAB 3 INFLASI DAERAH subkelompok yang mengalami peningkatan inflasi, dari 2,12% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 2,15% (yoy) di triwulan IV 2014. Faktor musiman ditengarai menjadi salah satu penyebab menurunnya permintaan di kelompok ini. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.8. Inflasi Kelompok Kesehatan Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.9. Inflasi Kelompok Pendidikan 3.1.7 Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan Pada triwulan IV 2014, tekanan inflasi kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan mengalami kenaikan signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Laju inflasi tercatat sebesar 10,15% (yoy), naik tajam dari 0,87% (yoy) pada triwulan III 2014 (Grafik 3.10). Subkelompok transport menjadi penyumbang peningkatan inflasi terbesar. Inflasi pada subkelompok ini mengalami inflasi sebesar 14,61% (yoy) setelah di triwulan sebelumnya inflasi pada subkelompok ini hanya tercatat sebesar 1,21% (yoy). Subkelompok lain yang mencatatkan peningkatan inflasi adalah subkelompok sarana dan penunjang transport dan subkelompok jasa keuangan. Pada triwulan pelaporan masing-masing subkelompok tercatat mengalami inflasi sebesar 0,81% (yoy) dan 8,92% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat sebesar 2,15% (yoy) dan 0% (yoy). Sementara itu, subkelompok komunikasi danpengiriman mengalami penurunan inflasi di triwulan pelaporan dari 0,09% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 0,04% (yoy). Penyesuaian tarif angkutan umum menjadi faktor utama penyebab tingginya inflasi kelompok transpor, komunikasi dan keuangan di triwulan IV 2014. Penyesuaian tarif angkutan umum dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Selatan pada bulan Desember 2014 menindaklanjuti kenaikan BBM jenis Premium dan Solar yang terjadi di bulan sebelumnya. Tarif angkutan dalam kota mengalami kenaikan sebesar 25%, yaitu dari Rp. 4.000 menjadi Rp. 5.000. Sedangkan tarif angkutan luar kota mengalami kenaikan sebesar 42,86% yaitu dari Rp. 49.000 menjadi Rp. 70.000. Inflasi pada kelompok ini tertahan oleh penurunan harga komponen alat transportasi. Hal ini diindikasikan oleh perlambatan pertumbuhan harga karet pada triwulan laporan (Grafik 3.11). Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.10. Inflasi Kelompok Transpor Sumber: World Bank Grafik 3.11. Perubahan Harga Karet Internasional 40

BAB 3 INFLASI DAERAH 3.2. Inflasi Menurut Kota IHK 15 Pada triwulan IV 2014, peningkatan tekanan inflasi Sulsel didorong oleh peningkatan inflasi di seluruh kota IHK di Sulawesi Selatan (Watampone, Makassar Palopo, Parepare, dan Bulukumba). InflasiWatampone, Makassar, Palopo, Parepare, dan Bulukumba pada triwulan III 2014, secara berurutan tercatat sebesar 8,22% (yoy);8,51% (yoy);8,59% (yoy);9,38% (yoy) dan 9,45% (yoy). Pada triwulan sebelumnya, laju inflasi di tiga kota IHK tersebut tercatat sebesar 4,55% (yoy), 3,57% (yoy), 4,03% (yoy), 3,04% (yoy) dan 7,30% (yoy)(tabel 3.2). Tabel 3.2. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Kota Kota 2012 2013 I II III IV I II III IV I II III IV 2014 Watampone 5.69 4.42 3.94 3.65 2.90 3.28 6.72 6.86 7.86 8.14 4.55 8.22 Makassar 4.10 3.91 4.61 4.57 4.76 4.54 7.41 6.24 5.46 5.38 3.57 8.51 Palopo 4.27 3.99 4.15 4.11 4.34 3.03 5.33 5.25 6.22 7.36 4.03 8.95 Parepare 2.00 2.54 3.78 3.49 4.67 4.49 7.41 6.31 5.58 5.57 3.04 9.38 Bulukumba 13.94 14.10 7.30 9.45 Sulawasi Selatan 4.06 3.85 4.48 4.40 4.61 4.36 7.24 6.22 5.88 5.92 3.72 8.61 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.12. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Kota Kenaikan harga BBM jenis Premium dan Solar serta efek lanjutannya pada kenaikan harga komoditas lainnya menjadi faktor utama penyebab tingginya inflasi di seluruh kota pada periode pelaporan. Selain itu, faktor musiman dimana sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim hujan juga menjadi salah satu penyebab peningkatan tekanan inflasi. Bila dilihat dari sumbangan inflasi, Kota Makassar menjadi penyumbang penurunan terbesar diantara kota IHK di Sulsel, dimana pada periode pelaporan tercatat sebesar 6,57% meningkat dari periode sebelumnya yang tercatat sebesar 4,20%. Empat kota penyumbang inflasi lainnya yaitu Watampone, Palopo, Parepare dan Bulukumba memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,47%, 0,57%, 0,66%, dan 0.26% lebih tinggi dari sumbangan inflasi di triwulan III 2014 yaitu sebesar 0,26%, 0,26%, 0,66% dan 0,26% (Tabel 3.2). Kota Tabel 3.3. Sumbangan Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Kota 2012 2013 2014 I II III IV I II III IV I II III IV Watampone 0.20% 0.19% 0.22% 0.22% 0.23% 0.22% 0.36% 0.31% 0.45% 0.47% 0.26% 0.47% Makassar 3.42% 3.24% 3.77% 3.71% 3.88% 3.68% 6.10% 5.25% 4.27% 4.20% 2.79% 6.65% Palopo 0.22% 0.21% 0.25% 0.24% 0.25% 0.24% 0.40% 0.34% 0.40% 0.47% 0.26% 0.57% Parepare 0.22% 0.21% 0.24% 0.24% 0.24% 0.23% 0.39% 0.33% 0.39% 0.39% 0.21% 0.66% Bulukumba 0.38% 0.39% 0.20% 0.26% Sulawasi Selatan 4.06% 3.85% 4.48% 4.40% 4.61% 4.36% 7.24% 6.22% 5.88% 5.92% 3.72% 8.61% Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 15 Mulai Januari 2014, inflasi Sulawesi Selatan dihitung dari agregasi lima kabupaten/kota yaitu Makassar, Palopo, Parepare, Watampone (Bone), dan Bulukumba 41

BAB 3 INFLASI DAERAH 3.3. Disagregasi Inflasi 16 Meningkatnya tekanan inflasi di Sulsel pada triwulan IV 2014 terutama didorong oleh komponen administered prices danvolatile food. Komponen administered prices menjadi faktor terbesar yang mendorong peningkatan tingkat inflasi pada periode laporan ini. Tercatat pada triwulan IV 2014 laju inflasi dari komponen administered pricessebesar 16,44% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 4,39% (yoy). Meningkatnya inflasi administreted pricesterkait dengan kenaikan harga BBM jenis Premium dan Solar di bulan November 2014. Kenaikan harga BBM ini berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang tercermin dari kenaikan inflasi komponen Volatile Food. Inflasi komponen volatile food di triwulan IV 2014 mencapai 16,88% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 1,72% (yoy). Selain efek rambat dari kenaikan BBM, kenaikan di komponen volatile food juga di akibatkan oleh faktor cuaca. Meningkatnya intensitas hujan di penghujung tahun 2014 berakibat pada terganggunya pasokan sejumlah jenis ikan dan sayuran. Gelombang tinggi akibat curah hujan yang tinggi, selain mengakibatkan nelayan enggan untuk melaut, juga mengakibatkan terganggunya distribusi barang melalui jalur laut. Hal ini tercermin dari hasil SPH, yang menunjukan kenaikan harga dihampir seluruh komoditas yang menjadi objek survei. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 3.13. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Komponen Disagregasi Pada inflasi inti (core inflation), peningkatan juga terjadi dalam level yang rendah. Tercatat pada triwulan IV 2014, inflasi pada komponen intimengalami peningkatan dari 4,12% (yoy) menjadi 4,15% (yoy). Inflasi pada komponen core inflation dipengaruhi oleh masih kuatnya permintaan pada beberapa subkelompok seperti subkelompok kesehatan, pendidikan, dan makanan jadi. Turunnya harga emas perhiasan menjadi faktor penahan inflasi kelompok sandang yang pada gilirannya meredam laju inflasi inti sehingga tidak terakselerasi lebih lanjut. 16 Analisis disagregasi membagi inflasi menjadi inflasi inti (core inflation) dan inflasi noninti (volatile food dan administered prices). Hal ini dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental. 42

BAB 3 INFLASI DAERAH 3.4. Koordinasi Pengendalian Inflasi Perkembangan koordinasi pengendalian inflasi di Sulsel kembali menunjukkan perkembangan yang lebih baik lagi dari sisi kelembagaan yang ditunjukkan oleh telah berdirinya TPID di seluruh kabupaten/kota. Dengan peresmian TPID Kabupaten Gowa pada tanggal 21 Oktober 2014, maka saat ini TPID telah ada di 24 kabupaten/kota di seluruh Sulawesi Selatan (Tabel 3.4). Dengan telah berdirinya TPID di seluruh kabupaten/kota maka diharapkan kedepannya koordinasi dan proses pengendalian inflasi dapat berjalan lebih baik. NO TPID 1 Provinsi Sulawesi Selatan Tabel 3.4. TPID Setingkat Kabupaten/Kota NOMOR SURAT KEPUTUSAN 3956 / XII / 2009 diperbaharui dengan SK No. 238 / II / 2014 TANGGAL 09-Des-09 03-Feb-14 2 Kota Palopo 457 / III / 2011 01-Mar-11 Sampel IHK 3 Kabupaten Bone 228 / 2011 06-Jul-11 Sampel IHK 4 Kota Pare-Pare 18 / 2012 17-Jan-12 Sampel IHK 5 Kota Makassar 510.05 / 356 / KEP / II / 2012 14-Feb-12 Sampel IHK 6 Kabupaten Pangkep 374 / VII / 2013 01-Jul-13-7 Kabupaten Tana Toraja 179 / VII / 2013 02-Jul-13-8 Kabupaten Soppeng 332 / IX / 2013 04-Sep-13-9 Kabupaten Maros 560 / KPTS / 500 / IX / 2013 09-Sep-13-10 Kabupaten Sinjai 627 / 2013 09-Sep-13-11 Kabupaten Bulukumba 1046 / X / 2013 07-Okt-13 Sampel IHK 12 Kabupaten Bantaeng 500 / 621 / XII / 2013 13-Des-13-13 Kabupaten Enrekang 673 / KEP / XII / 2013 31-Des-13-14 Kabupaten Luwu Timur 04 / I / 2014 02-Jan-14-15 Kabupaten Takalar 47 / 2014 15-Jan-14-16 Kabupaten Barru 171 / ADM.EKO / I / 2014 29-Jan-14-17 Kabupaten Toraja Utara 107 / II / 2014 08-Feb-14-18 Kabupaten Luwu No.191/III/2014 18-Mar-14-19 Kabupaten Wajo 279 / 2014 20-Mar-14-20 Kabupaten Luwu Utara 188.4.45/188/III/2014 20-Mar-14-21 Kabupaten Jeneponto 87 / 2014 28-Apr-14-22 Kabupaten Sidenreng Rappang 200/IV/2014 28-Apr-14-23 Kabupaten Kepulauan Selayar 198 / V / 2014 14-Mei-14-24 Kabupaten Pinrang 050/291/2014 23-Jun-14-25 Kabupaten Gowa 409/X/2014 21-Okt-14 - KET - Pada 20 Januari 2015,telah dilaksanakan High Level Meeting (HLM) TPID Provinsi Sulsel dan Kabupaten/Kota se Sulsel di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan. Agenda HLM tersebut adalah Evaluasi Inflasi Sulsel 2014, Pengutan Koordinasi dan Program 2015, Strategi dan Kebijakan Daerah dalam menyikapi pola kebijakan pemerintah di bidang energi (BBM dan LPG), Prospek perkembangan produksi dan harga pangan dan Hal-hal lain yang dinggap perlu terkait pengendalian inflasi di kawasan Sulawesi Selatan. HLM tersebut dipimpin langsung oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Dr.H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH dan dihadiri oleh seluruh anggota TPID Provinsi dan TPID Kabupaten/Kota se Sulsel dengan total peserta mencapai 160 orang. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Inflasi pada tahun 2014 lebih banyak dipengaruhi oleh faktor psikologi publik atau ekspektasi terutama disebabkan oleh kenaikan harga BBM sehingga mendorong inflasi yang cukup tinggi di bulan November dan Desember 2014. 2. Kabupaten/Kota akan segera melakukan High Level Meeting (HLM) TPID di masing-masing daerahnya untuk menentukan program dan menetapkan kebijakan dalam pengendalian harga. 3. FKPD/MUSPIDA akan membuat surat edaran kepada Polsek/Polres untuk turun membantu TPID. 43

BAB 3 INFLASI DAERAH 4. FKPD/MUSPIDA akan diperbantukan sepenuhnya dalam menurunkan inflasi dan tarif angkutan serta membantu transportasi dan infrastruktur yang menghambat distribusi. 5. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian dan Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan akan membentuk desk bekerjasama dengan TPID dan melakukan pemantauan harga, pasokan dan distribusi serta melaporkannnya secara mingguan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. 6. Wakil Gubernur Sulawesi Selatan bersama dengan FKPD/Muspida akan turun langsung kedaerah dan melaksanakan pemantauan serta rapat koordinasi High Level Meeting (HLM) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Kunjungan ke lapangan dan HLM TPID level Kabupaten/Kota akan diawali di Kabupaten Bulukumba (Kabupaten penyumbang inflasi terbesar di Sulsel tahun 2014) yang direncanakan tanggal 27 Januari 2015. 7. Pemprov akan melakukan patokan harga terendah/tertinggi untuk LPG 3 kg maupun tarif angkutan kota dan akan ditandatangai hari ini juga (20 Januari 2015). 8. Pedoman inflasi Sulsel adalah 4%, dimana sasaran inflasi akan diarahkan pada level tersebut, sehingga apabila terjadi peningkatan maka akan dilakukan upaya untuk menurunkan pada level 4%. Kabupate/Kota diharapkan untuk dapat melakukan penetapan sasaran inflasi masing-masing daerahnya sehingga inflasi dapat diarahkan pada level yang ditetapkan. 9. Dinas Perindustrian dan instansi terkait akan menyusun standard operational procedure (SOP) pengendalian harga sehingga kepolisian dapat dimungkinkan turun tangan melakukan tindakan tegas kepada pelaku usaha yang nakal (seperti menimbun, memainkan harga, dll). 10. Pemerintah Daerah dan TPID agar siap melakukan operasi pasar sewaktu-waktu apabila dibutuhkan, terutama terkait dengan harga dan ketersediaan LPG, BBM, dan komiditas lainnya. 11. BPS diharapkan untuk melakukan quick survey pada minggu depan untuk memantau pergerakan harga dan melaporkannya kepada Gubernur Sulawesi Selatan. 44

BAB 3 INFLASI DAERAH Boks 3.A. Upaya Pengendalian Inflasi Melalui High Level Meeting (HLM) TPID di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan Mengawali tahun 2015, upaya pengendalian inflasi dilakukan melalui peningkatan koordinasi antar TPID se-sulsel. Supaya lebih terarah, koordinasi dilakukan pada level pimpinan (high level) yang melibatkan Gubernur dan Walikota/Bupati. High Level Meeting (HLM) TPID Provinsi Sulsel dilaksanakan pada awal tahun dalam mengendalikan inflasi tahun 2015. Tepat pada pada hari Selasa, 20 Januari 2015 di Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, seluruh pemangku kebijakan hadir untuk membahas langkah-langkah antisipatif yang akan dilakukan untuk mengendalikan inflasi ke depan. Dalam kesempatan HLM TPID se-sulsel, Gubernur Sulsel mengarahkan agar TPID Kabupaten/Kota segera mengintensifkan koordinasi dan terus memantau pergerakan harga. Dalam pertemuan ini, Bank Indonesia menyampaikan rekomendasi dalam upaya mengawal inflasi antara lain (i) koordinasi dan kerjasama antar TPID di Sulsel yang semakin ditingkatkan dalam menjaga kelancaran distribusi pangan, (ii) respon yang tepat terhadap kebijakan energi pemerintah pusat, (iii) menjaga ketersediaan beras khususnya Raskin, dan (iv) melakukan program diversifikasi pangan. Menanggapi masukan dari Bank Indonesia dan seluruh peserta HLM TPID, Gubernur Sulsel memberikan arahan antara lain agar Bupati/Walikota turun langsung ke lapangan dalam upaya memantau harga dan pasokan komoditas strategis setiap minggu, membentuk desk monitoring, dan setiap Kabupaten/Kota segera melakukan HLM TPID, dengan tujuan untuk menentukan program dan menetapkan kebijakan dalam pengendalian harga. Gambar 3.A.1. HLM TPID Provinsi Sulawesi Selatan Dalam rentang waktu yang singkat, segera beberapa kabupaten/kota menindaklanjuti arahan Gubernunur Sulsel. TPID Bulukumba merupakan kabupaten yang pertama kali mengawali HLM TPID di tingkat Kabupaten/Kota di Sulsel, pada tanggal 27 Januari 2015, karena memiliki inflasi tertinggi di Sulsel pada tahun 2014. Wakil Gubernur Sulsel, H. Agus Arifin Nu mang, MS, menegaskan kembali mengenai peningkatan dan penguatan kerjasama antar TPID maupun antar daerah (Kabupaten/Kota) di seluruh daerah se-sulsel dalam menjaga kelancaran distribusi pangan dan diversifikasi pangan. Sejalan dengan itu, pemerintah telah membuat kebijakan yaitu pembangunan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang didanai dari APBN sebesar ± Rp60 miliar. Keberadaan TPI tersebut nantinya akan dilengkapi dengan stasiun pengisian BBM, cold storage, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Adanya TPI ini diharapkan dapat mengurangi volatilitas harga komoditas perikanan. Dukungan dari pemerintah daerah dalam stabilitas harga terlihat dari kebijakan Bupati dalam membuat Gerakan Menanam Cabai di Bulukumba dengan slogan tiada halaman rumah tanpa cabai. 45

BAB 3 INFLASI DAERAH Gambar 3.A.2. HLM TPID Kabupaten Bulukumba Lebih lanjut, TPID Kota Palopo merupakan TPID yang menyelenggarakan HLM. HLM TPID Palopo terselenggara pada tanggal 30 Januari 2015. Kota Palopo juga termasuk salah satu kota yang inflasinya (8,95%) berada diatas inflasi Sulsel (8,61%) dan inflasi nasional (8,36%). Oleh karena itu, kesadaran pemerintah daerah untuk menjaga stabilitas harga sangat penting, terutama dalam hal sisi pasokan (supply side shocks). Ke depan, Pemerintah Kota Palopo menyiapkan langkahlangkah strategis dalam rangka pengendalian harga, seperti pendataan ulang masyarakat miskin, penurunan ongkos angkutan antar kota, memantau setiap hari tingkat harga barang di Pusat Niaga Palopo (PNP), pembagian Box atau kotak penyimpan ikan yang mana akan menambah ketahanan kesegaran ikan, pengadaan 1.000 kandang ayam, dan pembagian bibit cabai. Semangat stabilisasi harga ini menular ke pemerintah daerah lainnya, sehingga komitmen Gubernur Sulsel inflasi yang rendah, dalam kisaran 4%, diharapkan akan tercapai di seluruh Kabupaten/Kota se-sulsel. 46

4. SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN Bab 4 Sistem Keuangan dan Pengembangan Akses Keuangan Kinerja perbankan di Sulsel pada triwulan IV 2014 memperlihatkan peningkatan, tercermin dari kinerja semua indikator utama (aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit/pembiayaan yang disalurkan). Peningkatan asset bank umum terjadi pada kelompok bank pemerintah dan swasta nasional. Sementara itu, pertumbuhan DPK yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit menyebabkan kegiatan intermediasi (LDR) sedikit meningkat menjadi sebesar 126,39% dari 125,06%. Risiko kredit perbankan masih terjaga dengan baik yang tercermin dari Rasio nonperforming loan (NPL) yang masih berada pada level aman. Masih amannya rasio NPL juga mendukung ketahanan sektor keuangan baik pada sektor korporasi, rumah tangga. Namun demikian, perlu perhatian khusus pada kualitas kredit UMKM. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 47

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN 4.1. Kondisi Umum Perbankan 17 4.1.1 Perkembangan Kelembagaan Dari sisi kelembagaan, pada triwulan IV 2014, jumlah bank umum di Sulsel bertambah satu bank dari triwulan sebelumnya menjadi sebanyak 48 bank.jumlah BPR tercatat masih tetap sama seperti periode sebelumnya yaitu sebanyak 29 BPR. Untuk bank syariahterdapat penambahan jumlah kantor cabang (KC) sebanyak 1, sementara kantor cabang pembantu (KCP), kantor kas (KK) maupun kantor fungsional (KF) tidak berubah (Tabel 4.1). Namun terdapat penurunan yang signifikan pada jumlah kantor dari 980 menjadi 972 karena terdapat 8 kantor unit syariah yang tutup sesuai kebijakan dari pihak bank. Tabel 4.1. Perkembangan Kelembagaan Bank Umum dan BPR RINCIAN 2011 2012 2013 2014* I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Bank Umum (Konv. + Syariah) 36 37 38 40 41 41 41 41 42 44 45 46 46 47 47 48 Konvensional 31 32 32 34 35 35 35 35 36 38 39 40 40 41 41 41 UUS 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 7 7 7 Syariah 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 Jumlah Kantor* 689 724 812 844 848 895 925 936 940 950 959 971 974 979 980 972 BPR 27 27 27 27 27 27 28 28 28 29 29 29 29 29 29 29 *) Termasuk Kanwil, KP, KC, KCP, BRI Unit, KK, KF (data sementara) Sumber : Laporan Bank Umum 4.1.2 Aset Perbankan Total aset bank umum pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Aset perbankan tercatat tumbuh sebesar 11,46% (yoy) atau menjadi Rp101,35 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2013 yang tumbuh sebesar 10,28% (yoy) (Tabel 4.2). Peningkatan aset perbankan pada periode laporan disebabkan oleh meningkatnya aset pada semua kelompok bank terutama pada bank pemerintah dan swasta nasional disusul bank asing dan campuran masing-masing dari 9,76% (yoy), 11,16% (yoy), 3,98% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi sebesar 10,72% (yoy), 12,68% (yoy) dan 0,77% (yoy) pada triwulan laporan. Tabel 4.2. Aset Bank Umum Menurut Kelompok Bank Pertumbuhan (%, yoy) Nominal (Rp Miliar) Aset Menurut Kelompok Bank 2013 2014 2013 2014 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Total Aset 19.69 19.04 20.78 14.66 12.41 12.97 10.28 11.46 80,876 86,366 90,288 90,932 90,909 97,572 99,571 101,350 Bank Pemerintah 17.84 17.14 19.37 11.54 8.97 11.72 9.76 10.72 48,337 51,537 53,300 52,533 52,670 57,579 58,500 58,165 Bank Swasta Nasional 22.81 22.38 23.30 19.18 17.82 14.87 11.16 12.68 31,919 34,293 36,341 37,682 37,606 39,391 40,398 42,462 Bank Asing dan Bank Campuran 9.85 (0.02) 2.89 21.38 2.01 12.12 3.98 0.77 621 537 647 717 633 602 673 723 Sumber : Laporan Bank Umum 4.1.3 Intermediasi Perbankan Dana Pihak Ketiga (DPK) jenis deposito, giro dan tabungan yang dihimpun oleh bank umum pada triwulan IV 2014 melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Dana yang dihimpun mencapai Rp66,11 triliun atau tumbuh sebesar 9,38% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 12,17% (yoy) (Tabel 4.3). Perlambatan pertumbuhan DPK disebabkan oleh menurunnya kinerja seluruh komponen simpanan yaitu deposito, giro dan tabungan. Deposito tumbuh melambat dari 23,39% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 17,61% (yoy), giro tumbuh melambat dari 5,11% (yoy) menjadi hanya 1,89% (yoy) sedangkan tabungan tumbuh melambat dari 8,58% (yoy) menjadi 6,92% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan DPK dipengaruhi oleh realisasi penyerapan anggaran pemerintah daerah pada akhir tahun dalam pembiayaan proyek dan pembangunan daerah. Selain itu, perlambatan DPK 17 Dimulai dengan publikasi pada triwulan I 2014, asesmen perkembangan indikator perbankan menggunakan data lokasi bank untuk kredit yang disalurkan serta menggunakan data lokasi bank pelapor untuk DPK yang dihimpun 48

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN sesuai dengan indeks penghasilan saat ini terjadi perlambatan dari 150,83 pada triwulan III 2014 menjadi 144,17 pada triwulan IV 2014 meskipun berada pada kondisi optimis. Secara tahunan 2014, pertumbuhan DPK sebesar 9,38% adalah jauh melambat dibandingkan pertumbuhan 2013 sebesar 12,52%. Kondisi ekonomi global yang masih belum cerah yang berdampak kepada perekonomian domestik membuat pertumbuhan ekonomi nasional 2014 ikut melambat (5,02%) yang tercermin juga pada pendapatan masyarakat Kredit yang disalurkan perbankan pada triwulan IV mencatat peningkatan pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya, dan akselerasi terjadi pada semua jenis kredit. Kredit tercatat tumbuh sebesar 10,84% (yoy) menjadi Rp83,56 triliun setelah tumbuh 7,26% (yoy) pada triwulan III 2014. Peningkatan ini didorong oleh tingginya penyaluran kredit untuk modal kerja dan investasi serta konsumsi (Tabel 4.3). Secara sektoral, penyaluran kredit juga tumbuh meningkat pada sebagian besar sektor terutama pada sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, dan jasa sosial masyarakat yang tumbuh lebih cepat dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara sektor LGA dan jasa dunia usaha mengalami perlambatan dan sektor pengangkutan mengalami penurunan sebesar -3,52% (yoy) (Tabel 4.4). Secara tahunan 2014, pertumbuhan kredit sebesar 10,84% adalah lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 2013 sebesar 13,84%. Searah dengan kebijakan moneter untuk pengetatan likuiditas, pertumbuhan kredit sektor perbankan diarahkan pada kisaran 15-17% secara nasional. Loan to Deposit Ratio (LDR), sebagai indikator intermediasi perbankan tercatat sedikit meningkat dari triwulan sebelumnya. LDR menjadi 126,39% pada triwulan IV 2014, lebih tinggi dari triwulan III 2014 yang tercatat sebesar 125,06% (Tabel 4.3). Dengan pertumbuhan kredit yang meningkat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan DPK maka LDR Sulsel masih diatas 100. Penyaluran kredit sesuai sektornya, seperti periode sebelumnya masih didominasi oleh sektor perdagangan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi dan sektor jasa dunia usaha. Sebaran pangsa kredit sektoral tersebut juga tercermin pada struktur sektor ekonomi dominan di PDRB Meningkatnya kinerja penyaluran kredit diikuti dengan risiko kredit yang tetap terkendali. Ditinjau dari sisi manajemen risiko, kondisi perbankan Sulsel pada triwulan IV 2014 masih menunjukkan kinerja yang baik. Hal ini tercermin dari rasio nonperforming loan (NPL) bank umum yang masih terjaga pada level aman (di bawah 5%), yaitu sebesar 3,13%. Angka ini tercatat mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,57% (Tabel 4.3). NPL yang sedikit membaik tersebut antara lain mencerminkan prinsip kehati-hatian yang dijalankan oleh Perbankan mengingat kondisi perekonomian daerah yang justru melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Tabel 4.3. Penghimpunan Dana dan Penyaluran Kredit Bank Umum Pertumbuhan (%, yoy) Nominal (Rp Miliar) Komponen 2013 2014 2013 2014 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV DPK 14.36 11.31 14.91 12.52 11.20 14.86 12.17 9.38 52,302 53,457 57,359 60,444 58,162 61,402 64,339 66,112 a. Giro 4.00 11.13 27.07 6.82 2.83 20.24 5.11 1.89 7,770 8,092 9,221 7,845 7,990 9,730 9,693 7,994 b. Tabungan 17.27 10.52 12.37 11.25 10.66 10.31 8.58 6.92 29,321 30,068 32,076 35,007 32,446 33,168 34,828 37,428 c. Deposito 14.72 13.01 13.79 18.01 16.53 20.97 23.39 17.61 15,211 15,297 16,062 17,592 17,726 18,504 19,819 20,689 Kredit 25.25 23.55 22.79 13.84 10.97 8.77 7.26 10.84 68,371 72,937 75,014 75,388 75,874 79,336 80,463 83,560 a. Modal Kerja 26.63 16.67 16.86 6.76 4.92 9.01 14.09 15.46 25,980 26,659 26,160 27,231 27,257 29,062 29,847 31,442 b. Investasi 22.01 36.81 43.39 27.36 19.70 6.77 (1.98) 12.04 12,232 14,486 15,769 14,494 14,642 15,467 15,457 16,240 c. Konsumsi 25.43 24.21 19.41 14.76 12.65 9.48 6.27 6.58 30,158 31,793 33,085 33,663 33,974 34,807 35,159 35,877 LDR (%) 130.72 136.44 130.78 124.72 130.45 129.21 125.06 126.39 NPLs Gross (%) 2.94 2.83 2.91 2.85 3.14 3.54 3.57 3.13 Sumber : Laporan Bank Umum 49

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN Sumber : Laporan Bank Umum 4.1.4 Bank Syariah Tabel 4.4. Kredit Bank Umum Menurut Sektor Ekonomi Pertumbuhan (%, yoy) Komponen 2013 2014 2013 Nominal (Rp Miliar) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kredit 25.25 23.55 22.79 13.84 10.97 8.77 7.26 10.84 68,371 72,937 75,014 75,388 75,874 79,336 80,463 83,560 Pertanian 54.83 23.84 18.27 15.20 0.18 7.37 3.59 7.60 1,403 1,396 1,385 1,400 1,405 1,499 1,435 1,506 Pertambangan 43.43 23.79 18.29 (0.70) (15.62) 24.84 21.10 28.39 447 449 444 397 377 560 537 509 Industri Pengolahan 53.82 42.92 40.51 (20.26) (26.55) (24.54) (23.94) 13.41 5,335 5,579 5,631 4,186 3,918 4,210 4,283 4,747 Listrik, Gas, Air (2.83) (6.75) (10.02) 35.05 63.77 111.80 91.49 83.27 133 116 121 191 218 245 232 350 Konstruksi 24.20 13.54 14.85 13.44 18.62 31.89 40.69 43.92 2,565 2,780 2,966 3,034 3,043 3,666 4,173 4,366 Perdagangan 28.94 30.21 31.67 26.83 22.08 11.45 10.23 12.02 19,933 22,957 23,360 24,132 24,334 25,587 25,748 27,033 Pengangkutan 50.88 59.70 59.68 25.96 12.48 6.76 3.02 (3.52) 2,631 2,763 2,864 2,923 2,960 2,950 2,951 2,820 Jasa Dunia Usaha 11.07 8.05 9.04 14.32 15.65 4.79 4.88 3.17 3,240 3,433 3,414 3,550 3,747 3,598 3,581 3,662 Jasa Sosial Masyarakat 3.11 11.08 26.31 26.84 12.94 19.27 22.03 31.42 1,619 1,650 1,733 1,780 1,828 1,968 2,115 2,340 Lain-lain 19.45 17.63 14.99 10.14 9.58 10.18 6.99 7.19 31,065 31,814 33,096 33,794 34,043 35,053 35,408 36,226 Total aset perbankan syariah pada triwulan IV 2014 tumbuh lebih tinggi dari capaian di triwulan sebelumnya. Aset perbankan syariah tercatat tumbuh sebesar 5,92% menjadi Rp5,90 triliun, lebih tinggi dari pertumbuhan di triwulan III 2014 yang tumbuh sebesar 3,68% (Tabel 4.5). Peningkatan pertumbuhan aset perbankan syariah pada periode triwulan laporan terutama didorong oleh meningkatnya pertumbuhan aset dari bank pemerintah maupun bank swasta nasional dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pangsa aset bank syariah terhadap total aset menunjukkan peningkatan dari triwulan sebelumnya sebesar 5,64% (triwulan III 2014) menjadi 5,83% pada triwulan IV 2014. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah yang semakin meningkat. 2014 Tabel 4.5. Perkembangan Indikator Bank Umum Syariah Pertumbuhan (%, yoy) Komponen 2013 2014 2013 Nominal (Rp Miliar) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Aset 42.22 37.86 36.26 23.26 16.31 9.72 3.68 5.92 4,802 5,085 5,420 5,576 5,586 5,580 5,619 5,906 Bank Pemerintah 55.66 27.91 28.78 20.35 15.27 9.78 6.81 9.93 913 958 1,033 1,045 1,052 1,051 1,103 1,149 Bank Swasta Nasional 39.40 40.39 38.14 23.95 16.55 9.71 2.94 4.99 3,890 4,128 4,387 4,531 4,534 4,529 4,516 4,758 DPK 35.46 30.77 42.76 39.80 28.28 30.73 10.96 3.70 2,138 2,138 2,594 2,884 2,742 2,795 2,878 2,991 a. Giro 29.19 16.82 21.33 14.22 (12.64) 12.69 42.14 12.31 253 232 243 338 221 262 346 380 b. Tabungan 28.09 21.23 37.71 32.91 30.17 29.51 15.06 13.13 969 974 1,162 1,307 1,261 1,261 1,337 1,479 c. Deposito 46.32 47.26 53.83 58.10 37.60 36.51 0.56 (8.60) 916 932 1,188 1,239 1,260 1,272 1,195 1,132 Pembiayaan 40.30 40.75 38.64 24.87 15.07 17.14 15.49 17.55 3,870 4,157 4,265 4,374 4,453 4,869 4,926 5,141 FDR (%) 181.04 194.41 164.44 151.65 162.40 174.20 171.16 171.91 NPF Gross (%) 1.73 1.81 1.56 1.42 1.65 2.97 3.27 2.74 2014 Sumber : Laporan Bank Umum Kinerja indikator perbankan syariah Sulsel pada triwulan IV 2014 menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terutama dilihat dari indikator pertumbuhan pembiayaan dan DPK yang positif. Pertumbuhan pembiayaan tercatat meningkat sebesar 17,55% (yoy) dari triwulan sebelumnya bernilai 15,49% (yoy). Penghimpunan dana tumbuh positif sebesar 3,7% (yoy) walaupun melambat dari triwulan sebelumnya yaitu 10,96% (yoy). Financing to Deposit Ratio (FDR) tercatat masih tinggi sebesar 171,91% yang menunjukkan masih belum berimbangnya penghimpunan DPK dibandingkan pembiayaan seiring minat masyarakat untuk mengambil pembiayaan dari perbankan syariah yang lebih tinggi dibandingkan menyimpan dananya di perbankan syariah. Sementara itu, kualitas pembiayaan tetap terjaga pada level aman, tercermin dari non performing financing (NPF) sebesar 2,74% pada triwulan laporan yang membaik dibandingkan triwulan sebelumnya (3,27%). 50

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN 4.1.5 Bank Perkreditan Rakyat Di triwulan IV 2014, kinerja BPR (termasuk BPR Syariah) tetap tumbuh dengan cukup baik meski terdapat indikator yang menunjukkan perlambatan. Fungsi intermediasi BPR masih sangat tinggi namun sedikit menurun dibanding triwulan sebelumnya, tercermin dari menurunnya rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) dari triwulan III 2014 sebesar163,12% menjadi 150,76% pada triwulan IV 2014. Menurunnya rasio LDR ditopang oleh peningkatan pertumbuhan DPK dari 34,69% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 35,81% (yoy). Sementara pada sisi penyaluran dana, kredit BPR mengalami kontraksi dari 16,31% (yoy) menjadi 6,08% (yoy) pada triwulan laporan (Grafik 4.1 dan Grafik 4.2). Adapun aset BPR mengalami peningkatan sebesar 4.06% (yoy)menjadi 14,99% (yoy) pada triwulan IV 2014. 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 Rp Miliar Aset gaset - Skala Kanan %, yoy 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1,200 1,000 800 600 400 200 Rp Miliar DPK Kredit LDR - Skala Kanan % 250 200 150 100 50 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV (10) 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 0 2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.1. Perkembangan Aset BPR Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.2. Perkembangan Intermediasi BPR 4.2. Stabilitas Sistem Keuangan 4.2.1 Ketahanan Sektor Korporasi Daerah Di triwulan IV 2014, penyaluran kredit korporasi masih didominasi oleh sektor perdagangan. Sektor perdagangan memiliki pangsa terbesar dalam struktur kredit kepada korporasi yang tercatat sebesar Rp19,81 triliun (kredit produktif non-umkm). Sementara, kredit korporasi pada sektor primer yaitu i sektor pertanian dan sektor pertambangan porsinya masih rendah. (Grafik 4.3). Faktor risiko dari sektor primer sering disebut sebagai alasan sektor perbankan terkait rendahnya alokasi kredit tersebut. Dari sisi pertumbuhan, penyaluran kredit kepada sektor korporasi mengalami perlambatan di triwulan IV 2014. Melambatnya pertumbuhan kredit korporasi didorong oleh menurunnya kinerja sektor pertanian dan pertambangan. Sementara kredit sektor perdagangan dan industri pengolahan tumbuh sedikit lebih baik pada triwulan IV 2014 (Grafik 4.4). Pangsa Triwulan IV 2014 Pertanian (0.6%) Pertambangan (1.4%) Industri (15.9%) Perdagangan (50.7%) 300 250 200 150 100 50 0-50 -100 Total - Skala Kanan Pertanian %, yoy Pertambangan Industri %, yoy Perdagangan I II III IV I II III IV I II III IV 60 50 40 30 20 10 0 Lainnya (31.4%) 2012 2013 2014 Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.3. Pangsa Kredit Menurut Sektor Korporasi Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.4. Pertumbuhan Kredit Korporasi Pertumbuhan total kredit korporasi tercatat sebesar 16,55% (yoy), lebih tinggi dari triwulan III 2014 (4,01%, yoy). Faktor pendorong kredit terutama pada sektor industri yang mengalami akselerasi dari kontraksi sebesar -34,33% pada triwulan III 2014 menjadi tumbuh sebesar 18,40% pada triwulan IV. Sedangkan kontraksi pada sektor pertanian sedikit mengalami perbaikan yaitu dari -32,89% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi -32,44% (yoy). Kredit pada sektor 51

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN pertambangan dan perdagangan kembali mengalami perlambatan dari 25,04% (yoy) dan 9,08% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 11,92% (yoy) dan 8,57% (yoy) pada triwulan IV 2014. Perlambatan juga terjadi pada sektor lainnya seperti konstruksi, pengangkutan dan jasa sosial masyarakat. Sementara sektor LGA, industri pengolahan dan jasa dunia usaha tumbuh lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya. 4.2.2 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah Kredit mutiguna dan kredit pemilikan rumah (KPR) masih menjadi pangsa yang terbesar dalam struktur kredit rumah tangga pada triwulan IV 2014. Dari total kedit yang disalurkan kepada rumah tangga sebesar Rp35,87 triliun, kredit multiguna dan KPR memiliki pangsa mencapai lebih dari 30%, disusul kredit kendaraan bermotor (KKB) dan terakhir kredit rumah tangga lainnya (termasuk di dalamnya adalah kredit untuk perlengkapan/peralatan rumah tangga maupun kebutuhan rumah tangga lainnya) yang memiliki pangsa terkecil (Grafik 4.6). Adapun kredit lain-lain merupakan kredit bukan lapangan usaha serta kredit yang belum diklasifikasikan secara jelas. 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Total Industri Perdagangan Pertanian - Skala Kanan % Pertambangan - Skala Kanan % I II III IV I II III IV I II III IV 2012 2013 2014 50 40 30 20 10 0-10 Pangsa Triwulan IV2014 Kredit Pemilikan Rumah, KPR (34.9%) Kredit Kendaraan Bermotor, KKB (11.5%) Kredit Multiguna (39.3%) Kredit Rumah Tangga Lainnya (2.0%) Kredit Lain-lain (12.2%) Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.5. NPL Kredit Korporasi Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.6. Pangsa Jenis Kredit Rumah Tangga Penyaluran kredit kepada sektor rumah tangga mencatat perlambatan kinerja pada triwulan IV 2014. Total kredit yang pada triwulan sebelumnya tumbuh 6,97% (yoy) sedikit turun menjadi 6,16% (yoy). Penurunan signifikan terjadi di kredit rumah tangga lainnya dan kredit lain-lain dari 37,66% (yoy) dan -7,86% (yoy) menjadi -22,28% (yoy) dan -44,91% (yoy). KPR, KKB, kredit multiguna mengalami peningkatan yaitu masing-masing 7,37% (yoy), 27,71% (yoy) dan 8,13% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 10,57% (yoy), 36,32% (yoy) dan 33,75% (yoy) pada triwulan IV 2014 (Grafik 4.7). Total KPR KKB RT Lainnya Multiguna Total KPR KKB RT Lainnya Multiguna 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 % I II III IV I II III IV I II III IV 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 % I II III IV I II III IV I II III IV 2012 2013 2014 2012 2013 2014 Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.7. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.8. NPL Kredit Rumah Tangga Kualitas kredit ke sektor rumah tangga tetap terjaga pada tingkat yang aman. Seluruh jenis kredit rumah tangga memiliki NPL di bawah batas aman 5%. Rasio NPL tercatat sedikit menurun dari 1,88% menjadi 1,72% pada triwulan laporan. KPR yang mencatat angka NPL tertinggi tetap memiliki rasio yang masih aman sebesar 3,30%. Berdasarkan kondisi ini, dapat dikatakan bahwa ketahanan sektor rumah tangga Sulsel masih cukup baik hingga triwulan III 2014 (Grafik 4.8). 52

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN 4.3. Pengembangan Akses Keuangan Penyaluran kredit bagi UMKM pada triwulan IV 2014 tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 12,11% (yoy) pada triwulan laporan setelah sebelumnya sebesar 10,52% (yoy). Pangsa kredit UMKM (produktif) terhadap total kredit adalah 33,12% atau sebesar Rp27,67 triliun. Dari nilai tersebut, sekitar 69% merupakan kredit UMKM yang digunakan untuk modal kerja sedangkan sisanya digunakan untuk investasi (Grafik 4.10). Angka NPL kredit UMKM membaik pada triwulan IV 2014 sebesar 4,81% setelah pada triwulan sebelumnya melewati batas aman (5%) yaitu sebesar 5,42% (Grafik 4.9). Peningkatan kualitas kredit UMKM didorong oleh penurunan NPL pada hampir semua sektor terutama sektor pertambangan, pertanian, industri pengolahan, konstruksi, pertanian, perdagangan dan pengangkutan. UMKM padar sektor konstruksi mencatat NPL tertinggi pada periode laporan. Upaya pengembangan akses keuangan memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, KPw BI Provinsi Sulsel terus mencoba melakukan kegiatan edukasi keuangan yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai produk dan jasa keuangan yang dimaksud serta untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pada umumnya untuk mulai menabung. Pada Oktober 2014, telah dilakukan kegiatan edukasi keuangan dan Gerakan Indonesia Menabung kepada petani di Kabupaten Pinrang. Selain itu pada tanggal 17-19 November 2014 telah dilakukan pelatihan kewirausahaan di Kota Palopo yang diikuti oleh 60 UMKM terpilih. Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung perkembangan sektor perdagangan, mengembangkan wirausaha mandiri di sektor riil dan UMKM melalui penguatan pembiayaan inklusif dan inovatif. 6 5 4 3 2 1 0 NPLs UMKM Pertumbuhan Kredit UMKM - Skala Kanan % %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV 35 30 25 20 15 10 5 0 Total Kredit Non-UMKM 67% Total Kredit UMKM Produktif + Konsumtif 33% Pangsa Kredit UMKM Modal Kerja Investasi 31% 69% 2012 2013 2014 Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.9. Pertumbuhan dan NPL Kredit UMKM Sumber : Laporan Bank Umum Grafik 4.10. Pangsa Kredit UMKM 53

BAB 4 SISTEM KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN Boks 4.A. Cash Flow Based, Penerapannya Pada Kredit UMKM Keberhasilan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan dan peran pemerintah dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMKM. Berbagai skim Kredit/pembiayaan UMKM diluncurkan oleh pemerintah dikaitkan dengan tugas dan program pembangunan ekonomi pada sektor-sektor usaha tertentu, misalnya ketahanan pangan, peternakan dan perkebunan. Peran pemerintah dalam skim-skim kredit UMKM ini adalah pada sisi penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga skim kredit dimaksud, sementara dana kredit/pembiayaan seluruhnya (100%) berasal dari bank-bank yang ditunjuk pemerintah sebagai bank pelaksana. Selain itu pemerintah berperan dalam penyiapan UMKM agar dapat dibiayai dengan skim dimaksud, menetapkan kebijakan dan prioritas usaha yang akan menerima kredit, melakukan pembinaan dan pendampingan selama masa kredit, dan memfasilitasi hubungan antara UMKM dengan pihak lain. Pada saat ini, beberapa perbankan menggunakan metode pembayaran angsuran menggunakan basis cash flow dalam membantu pelaku UMKM. Penerapan cash flow diharapkan sesuai dengan arus penerimaan UMKM (dalam hal ini sektor pertanian, peternakan, dan perikanan) yang tidak rutin tiap bulannya atau sesuai dengan musim panen. Gambar 4.A.1 menunjukkan siklus penerapan cash flow dari peminjam dan pemberi pinjaman. Pada saat tidak dalam musim panen, peminjam hanya membayar bunga pinjaman. Sementara jika musim panen tiba, peminjam akan membayar pengembalian dan bunga kepada pemberi pinjaman. Gambar 4.A.1 Cash Flow Based Cash Flow Based merupakan aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas dalam sebuah perusahaan pada setiap periode. Aliran kas memiliki fungsi sederhana yaitu (1) fungsi likuiditas dimana dana yang tersedia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dapat dicairkan dalam waktu singkat; (2) fungsi anti inflasi adalah dana yang disimpan digunakan untuk menghindari resiko penurunan daya beli di masa datang dan dapat dicairkan dalam waktu singkat; (3) pertumbuhan modal dimana dana diperuntukkan untuk meningkatkan/mengembangkan kekayaan dalam jangka waktu panjang. Kegunaan dan Keterbatasan Cash Flow Based. Kegunaan dalam menyusun cash flow yaitu: (1) dapat digunakan untuk menaksir kebutuhan dana untuk masa yang akan datang dan memperkirakan jangka waktu pengembalian kredit baik jumlah maupun bunga pinjaman; (2) untuk kreditur, dapat melihat kemampuan perusahaan dalam membayar kredit. Sedangkan keterbatasan cash flow antara lain: (1) komposisi penerimaan dan pengeluaran yang dimasukkan bersifat tunai; (2) hanya terfokus pada pembayaran pinjaman untuk kelancaran cash flow sementara melupakan komponen lainnya seperti investasi dan simpanan; (3) kendala perbankan dalam penerapan case flow based rata-rata berupa kesulitan memilih debitur yang layak yang sering kali terkait dengan keterbatasan pengetahuan account officer dalam sektor pertanian dan perikanan 54

5. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG Bab 5 Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Perkembangan kinerja sistem pembayaran menunjukkan tendensi yang membaik pada triwulan IV 2014. Transaksi keuangan non-tunai melalui Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) menunjukkan tren pertumbuhan yang meningkat. Sejalan dengan membaiknya tendensi transaksi keuangan melalui RTGS, transaksi keuangan melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) juga mengalami peningkatan di triwulan berjalan. Faktor musiman tidak menunjukkan pengaruh terhadap pergerakan aliran uang kartal pada triwulan IV 2014. Kondisi net inflow di Sulsel mengindikasikan adanya penurunan konsumsi masyarakat, akibat kenaikan harga BBM. Terjadi tren yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang cenderung outflow di akhir tahun, yang berarti terjadi kegiatan penarikan uang yang biasanya akan terus meningkat pada triwulan berjalan. Adapun pengelolaan uang tunai oleh Bank Indonesia dilakukan dengan melakukan layanan penukaran uang, kas keliling, remise, pemusnahan uang tidak layak edar, dan edukasi ciri-ciri keaslian mata uang. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan clean money policy. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 55

BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG 5.1. Perkembangan Sistem Pembayaran 5.1.1 Perkembangan Transaksi RTGS Pada triwulan IV 2014, transaksi non-tunai melalui sarana RTGS melanjutkan tren pertumbuhan yang meningkat. Secara total, nilai transaksi BI-RTGS Sulsel di triwulan IV 2014 sebesar Rp78,90 triliun atau tumbuh hingga 13,83% (yoy), sedikit lebih tinggi jika dibandingkan triwulan III 2014 sebesar Rp71,79 triliun yang mencatat pertumbuhan 13,69% (yoy). Transaksi BI-RTGS pada periode laporan masih didominasi aliran transaksi yang masuk (to/incoming) ke perbankan Sulsel dengan nilai Rp41,37 triliun, lebih tinggi dari aliran transaksi yang keluar (from/outgoing) dari perbankan Sulsel yang tercatat sebesar Rp25,66 triliun maupun dari aliran transaksi antarbank yang ada di Sulsel (from-to) sebesar Rp11,87 triliun. Pertumbuhan aliran transaksi RTGS baik yang masuk ke Sulsel, yang keluar dari Sulsel, serta antara bank-bank di Sulsel menunjukkan perlambatan pada triwulan laporan. Transaksi RTGS dari perbankan di Sulsel kepada perbankan di luar Sulsel mengalami ekspansi tipis pada triwulan IV 2014 yaitu dari 21,04% (yoy) menjadi 24,93% (yoy) (Grafik 5.1). Transaksi RTGS yang masuk ke perbankan Sulsel dari perbankan di luar Sulsel mengalami kontraksi pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar -0,27% (yoy) setelah sebelumnya tercatat tumbuh sebesar 1,28% (yoy) (Grafik 5.2). Sementara itu, transaksi dari perbankan di Sulsel kepada perbankan yang juga berada di Sulsel mengalami stagnasi dalam kisaran 62% (yoy) (Grafik 5.3). 30 25 20 15 10 5 0 RTGS From Rp Triliun %, yoy grtgs From - Skala Kanan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 30 25 20 15 10 5 0 (5) (10) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 RTGS To grtgs To - Skala Kanan Rp Triliun %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 50 40 30 20 10 0 (10) (20) 2011 2012 2013 2014 2011 2012 2013 2014 Grafik 5.1. Transaksi RTGS From/Outgoing (dari Bank di Sulsel) Grafik 5.2. Transaksi RTGS To/Incoming (ke Bank di Sulsel) 14 12 10 8 6 4 2 0 Rp Triliun RTGS From-To grtgs From-To - Skala Kanan %, yoy 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) 6 5 4 3 2 1 0 Rp Triliun Inflow ginflow - Skala Kanan %, yoy 300 250 200 150 100 50 0 (50) (100) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2011 2012 2013 2014 2011 2012 2013 2014 Grafik 5.3. Transaksi RTGS From-To (antarbank di Sulsel) Grafik 5.4. Aliran Uang Kartal Inflow 5.1.2 Perkembangan Transaksi Kliring Transaksi non-tunai melalui sarana kliring yaitu kliring debet penyerahan serta kliring kredit mengalami peningkatan pada triwulan IV 2014. Pertumbuhan total nilai kliring pada triwulan laporan menunjukkan peningkatan. Nilai kliring pada triwulan laporan mengalami peningkatan sebesar 5,0% (yoy) setelah triwulan sebelumnya mengalami penurunan sebesar -5,11% (yoy). Peningkatan ini terindikasi dari meningkatnya rata-rata perputaran harian transaksi kliring pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan rata-rata perputaran harian tersebut terjadi baik secara nominal maupun volume lembar transaksi (Tabel 5.1). Sementara itu, secara nominal, penolakan 56

BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG warkat (Cek/Bilyet Giro atau BG) menunjukkan peningkatan pada triwulan IV 2014 yaitu dari 2,56% menjadi 2,60%. Hal ini sejalan dengan peningkatan dari sisi rasio penolakan jumlah warkat yaitu dari 2,30% menjadi 1,84%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai transaksi yang warkatnya ditolak pada triwulan IV 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. URAIAN Tabel 5.1. Perputaran Kliring dan Cek/BG Kosong Perputaran Kliring dan cek/bg Kosong I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Total Perputaran Kliring Kredit dan Kliring Debet Penyerahan - Nominal (triliun 8,17 8,04 8,60 9,32 9,30 9,44 9,47 10,14 9,74 9,98 10,24 10,67 9,48 9,62 9,72 11,20 - Lembar (ribuan) 265 271 276 283 281 284 285 295 284 286 281 290 260 266 261 281 Rata-rata Harian Total Perputaran Kliring Kredit dan Debet Penyerahan - Nominal (triliun 0,13 0,13 0,14 0,15 0,15 0,15 0,15 0,16 0,16 0,17 0,17 0,17 0,16 0,16 0,16 0,18 - Lembar (ribuan) 4,27 4,37 4,45 4,57 4,47 4,50 4,53 4,68 4,73 4,76 4,68 4,68 4,33 4,43 4,21 4,53 Nisbah Rata-rata Penolakan Cek/BG Kosong (terhadap Kliring Debet Penyerahan) 2011 2012 2013 2014 - Nominal (%) 2,55 2,20 2,63 2,27 2,38 2,63 2,34 2,16 2,41 2,75 3,28 2,60 2,61 3,66 2,56 2,60 - Lembar (%) 2,38 2,66 2,80 2,52 2,28 2,59 2,45 2,37 2,38 2,47 2,33 2,17 2,47 2,46 2,30 1,84 5.2. Pengelolaan Uang Tunai 5.2.1 Perkembangan Aliran Uang Kartal Pada triwulan IV 2014, perkembangan aliran uang kartal di Sulsel menunjukkan net inflow sebesar Rp1,21 triliun. Aliran uang masuk (inflow) tercatat sebesar Rp5,08 triliun pada triwulan laporan, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp2,77 triliun (Grafik 5.4). Selanjutnya, aliran uang yang keluar (outflow) dari Bank Indonesia mengalami penurunan dari Rp5,58 triliun pada triwulan III 2014 menjadi Rp3,87 triliun pada triwulan laporan (Grafik 5.5). 6 5 4 3 2 1 0 Rp Triliun Outflow goutflow - Skala Kanan %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 400 350 300 250 200 150 100 50 0 (50) 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 (1,0) (2,0) (3,0) (4,0) Rp Triliun I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2011 2012 2013 2014 2011 2012 2013 2014 Grafik 5.5. Aliran Uang Kartal Outflow Grafik 5.6. Selisih Inflow dan Outflow 5.2.2 Penyediaan Uang Layak Edar Bank Indonesia secara kontinu terus berupaya untuk menjaga ketersediaan uang layak edar (ULE) di masyarakat. Dalam rangka penerapan clean money policy, di samping membuka layanan penukaran uang terpusat di gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia, telah dilakukan juga kas keliling yang menjangkau seluruh wilayah di Sulselbar, bahkan hingga wilayah terpencil yang cukup sulit dijangkau. Berdasarkan administrasi kegiatan yang ada, pada pertengahan Oktober 2014, kegiatan kas keliling dilakukan di kabupaten Rantepo, Enrekang, Sidrap, dan kota Pare-Pare. Selanjutnya, pada akhir Oktober 2014 kas keliling dibuka di kabupaten Sinjai, Bone, dan Soppeng. Di samping itu, kegiatan remise ke luar dari Sulsel juga ditempuh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan dalam melakukan distribusi uang ke daerah lain. Selama periode triwulan IV 2014, telah dilakukan sebanyak 6 (enam) kali kegiatan remise ke daerah lain di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yaitu, Ambon (6 November serta 12 Desember), Kendari (3 November serta 20 Desember), dan ke Kupang (22 Oktober serta 9 Desember). Bank Indonesia 57

BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG juga melakukan kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE). Kegiatan pemusnahan UTLE pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp0,40 triliun, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar Rp0,27 triliun (Grafik 5.7). 5.2.3 Perkembangan Temuan Uang Palsu Pecahan besar masih mendominasi peredaran uang palsu yang ditemukan sebanyak 459 lembar pada triwulan IV 2014. Pecahan uang palsu yang paling banyak ditemukan pada triwulan laporan adalah pecahan Rp50.000 (71,46%), diikuti Rp100.000 (27,67%), Rp20.000 (0,44%), Rp10.000 (0,22%) dan Rp5.000 (0,22%) (Grafik 5.8). Sebagai upaya untuk mengantisipasi peredaran uang palsu sekaligus memberikan edukasi bagi masyarakat mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan juga telah melakukan kegiatan sosialisasi dengan materi dimaksud hingga ke pelosok daerah. Rp Triliun Nominal UTLE gutle - Skala Kanan 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2011 2012 2013 2014* Grafik 5.7. Pemusnahan Uang Tidak Layak Edar %, yoy 2.000 1.500 1.000 500 0 (500) 71% 1% Pecahan 100.000 28% Grafik 5.8. Temuan Uang Palsu Pecahan 50.000 Pecahan Lainnya 58

6. KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Bab 6 Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Selatan mencapai 5,10% (Sakernas Agustus 2014) atau relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya (Agustus 2013). Kemudian, tingkat kesejahteraan petani yang diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) hingga akhir 2014 terpantau melemah dari triwulan III 2014. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Sulsel hingga September 2014 menurun dibanding Maret 2014 baik di kota maupun di desa. Persentase penduduk miskin di Sulsel relatif lebih baik (9,5%), dibandingkan Sulampua maupun nasional. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 59

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN 6.1. Tenaga Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) disulsel mencapai 5,10% (Sakernas Agustus 2014) atau stabil dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,10% (Agustus 2013). Secara nominal jumlah pengangguran terbuka Sulsel naik dari 176,91 ribu orang per Agustus 2013 menjadi 188,76 ribu orang per Agustus 2014 (Tabel 6.1). Namun demikian, karena jumlah angkatan kerja juga meningkat pada Agustus 2014 yang mencapai 3.715,80 ribu orang dari 3.468,19 ribu orang pada Agustus 2013 atau naik 247,60 ribu orang. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Sulsel yang tergolong tinggi telah mengakibatkan terjadinya perubahan pola penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian, industri, sektor perdagangan, dan sektor jasa berhasil menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Secara sektoral, penyerapan tenaga kerja pada sektor primer (sektor pertanian) lebih tinggi hampir 50 ribu pekerja dibandingkan tahun 2013, yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas sektor pertanian. Secara pangsa, sektor pertanian masih memegang peranan penting karena menyerap 41,80% dari tenaga kerja produktif di Sulsel pada Agustus 2014, meskipun secara persentase menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sektor industri mengalami kenaikan penyerapan 6 (enam) ribu pekerja atau sebesar 2,89% (yoy) menjadi 202 ribu orang di bulan Agustus 2014. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami kenaikan sebesar 70 ribu pekerja atau sebesar 11,58% (yoy) menjadi sekitar 673,73 ribu orang. Kenaikan tertinggi dicatat oleh sektor jasa yaitu sebesar 105 ribu pekerja atau sebesar 19,90% (yoy) menjadi sekitar 703,90 ribu orang (Tabel 6.2). Tabel 6.1. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Kegiatan Utama KEGIATAN UTAMA Agustus Agustus 2013 2014 Angkatan Kerja 3.468.192 3.715.801 a. Bekerja 3.291.280 3.527.036 b. Tidak Bekerja (Pengangguran Terbuka) 176.912 188.765 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 60,5% 62,0% Tingkat Pengangguran Terbuka 5,1% 5,1% Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sulsel tercatat meningkat karena kenaikan jumlah angkatan kerja yang bekerja lebih tinggi dari kenaikan jumlah penduduk usia kerja. TPAK naik dari 60,50% pada Agustus 2013 menjadi 62,00% pada Agustus 2014. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2014 mencapai 3,72 juta orang, lebih tinggi daripada periode setahun sebelumnya sejumlah 3,47 juta orang (Tabel 6.1). Secara sektoral, ditengarai peningkatan TPAK terjadi karena peningkatan angkatan kerja di sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, jasa dan sektor lainnya. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia untuk ketersediaan lapangan kerja, juga menunjukkan rata-rata pertumbuhan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Saat Ini (IKLK) meningkat sebesar 7,96%. Peningkatan tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang turun sebesar -2,34% (yoy). Sementara itu, Indeks Penghasilan Saat Ini Dibanding 6 Bulan Lalu (IPD6) juga meningkat dibandingkan periode sebelumnya (Grafik 6.2). Pertumbuhan IPD6 naik sebesar 6,85% (yoy) lebih besar dibandingkan penurunan triwulan sebelumnya (-2,13%, yoy). 160 140 120 100 80 60 40 20 0 IKLK gindeks - Skala Kanan Indeks %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 35 30 25 20 15 10 5 0-5 -10-15 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 IPD6 gindeks - Skala Kanan Indeks %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 40 30 20 10 0-10 -20-30 Sumber: Survei Konsumen, diolah Grafik 6.1. Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Saat Ini Sumber: Survei Konsumen, diolah Grafik 6.2. Indeks Penghasilan Saat Ini 60

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Tabel 6.2. Persentase Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Agustus 2013 Agustus 2014 Kategori Jumlah Pangsa Pertumbuhan Jumlah Pangsa Pertumbuhan Pertanian 1,428,151 43.40% 1.23% 1,474,491 41.80% 3.24% Industri 196,332 6.00% -13.48% 202,003 5.70% 2.89% Perdagangan 603,804 18.30% -12.07% 673,726 19.10% 11.58% Jasa 598,976 18.20% -4.40% 703,903 19.90% 17.52% Lainnya 463,998 14.10% 1.32% 472,913 13.40% 1.92% Jumlah 3,291,261 100.00% -27.40% 3,527,036 99.90% 37.15% 6.2. Penduduk Miskin 18 Jumlah penduduk miskin di Sulsel hingga September 2014 menurun dibanding Maret 2014, yang terjadi baik di kota maupun di desa. Jumlah penduduk miskin di Sulsel mengalami penurunan menjadi 806,35 ribu pada September 2014, dari 864,3ribu per Maret 2014, atau turun sebesar -7,56% (yoy). Persentase tersebut turun seiring dengan berkurangnya jumlah penduduk miskin di kota maupun di desa. Jumlah penduduk miskin kota mengalami penurunan sebesar -3,82% (yoy) menjadi 154,4 ribu orang (Grafik 6.3). Hal yang sama juga dialami oleh penduduk pedesaan yang mengalami penurunan sebesar -6,45% (yoy), menjadi 651,95 ribu orang (Grafik 6.3). Penduduk miskin di pedesaan menyumbang 80,85% dari total penduduk miskin yang ada, sedangkan sisanya sebesar 19,15% disumbang oleh penduduk kota. ribu orang 1000 900 10,3% 10,3% 10,3% 10,3% 800 10,1% 700 600 930.3 9,8% 500 880.9 696,9 701,81 400 696,6 9,5% 9,5% 300 672,3 200 639,7 651,95 100 0 152.8 150.8 129,2 133,6 148,0 160,5 162,49 154,40 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12 Mar-13 Sep-13 Mar-14 Sep-14 Desa Kota % Total Penduduk Miskin - kanan Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.3. Jumlah Penduduk Miskin Sulawesi Selatan 10,4% 10,2% 10,0% 9,8% 9,6% 9,4% 9,2% 9,0% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 7,4 8,3 9,5 12,1 12,8 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.4. Persentase Jumlah Penduduk Miskin Sulampua Menurut Provinsi September 2014 13,6 17,4 18,4 26,3 27,8 Malut Sulut Sulsel Sulbar Sultra Sulteng Gor MalukuIrjabar Papua Desa Kota % Total Penddk Miskin - kanan 30 25 20 15 10 5 0 Pertumbuhan garis kemiskinan pada September 2014 baik di kota maupun di desa mengalami perlambatan di bandingkan dengan Maret 2014. Perlambatan tersebut sejalan dengan perlambatan inflasi pada September 2014 menjadi sebesar 3,72% (yoy) dari yang sebelumnya sebesar 5,88% (yoy) pada Maret 2014. Turunnya inflasi didorong oleh pelemahan tekanan inflasi kelompok bahan makanan, kelompok transpor, serta kelompok pendidikan. Pelemahan tekanan inflasi kelompok bahan makanan terjadi pada komponen volatile food yang didukung membaiknya kondisi cuaca hingga akhir triwulan III 2014 sehingga aktivitas penangkapan ikan juga ikut membaik. Namun demikian, kondisi kemiskinan di atas belum mencerminkan dampak setelah kenaikan harga bahan bakar minyak pada November 2014, sehingga mendorong inflasi pada akhir 2014 meningkat menjadi 8,61% (yoy). 18 BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. 61

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Tabel 6.3. Garis Kemiskinan Sulsel Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bln) Pertumbuhan YoY Inflasi YoY Sep-12 Mar-13 Sep-13 Mar-14 Sep-14 Sep-13 Mar-14 Sep-14 Sep-13 Kota 215.790 221.892 235.488 240.276 246.416 9,13% 8,29% 4,64% 7,24% 5,88% 3,72% Desa 183.959 192.161 207.023 211.271 219.109 12,54% 9,94% 5,84% Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Persentase jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan relatif cukup rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain se- Sulampua. Jumlah penduduk miskin Sulawesi Selatan berada pada urutan ketiga terendah (9,5%) setelah Provinsi Maluku Utara (7,4%) dan Sulawesi Utara (8,3%) (Grafik 6.4). Urutan Provinsi Maluku Utara dan Sulawesi Utara tersebut juga tidak mengalami perubahan dibandingkan kondisi pada Maret 2014. Sedangkan persentase jumlah penduduk miskin tertinggi di Sulampua tercatat sebesar 27,8% dan masih terdapat di Provinsi Papua. Mar- 14 Sep-14 6.3. Rasio Gini 19 Gini ratio Provinsi Sulawesi Selatan cenderung meningkat dan lebih tinggi dari provinsi lain di Sulampua. Nilai gini ratio selama empat tahun terakhir (2010 sampai dengan 2013) cenderung terus membesar yang menunjukkan ketimpangan pendapatan penduduk yang semakin besar (Tabel 6.4). Pada 2012, gini ratio Sulsel masih sama dengan nasional yakni 0,41. Namun demikian, pada 2013, gini ratio Sulsel justru meningkat menjadi 0,43 atau lebih tinggi daripada nasional (0,41).Dibandingkan provinsi lain di Sulampua, nilai gini ratio Sulawesi Selatan termasuk tinggi. Angka gini ratio tertinggi terjadi di Gorontalo (0,44) dan Papua (0,44) yang terjadi selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Setelah dua provinsi tersebut, berlanjut nilai gini ratio terbesar kedua (0,43) adalah Provinsi Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Sementara itu, nilai gini ratio terendah (0,32) terjadi di Provinsi Maluku Utara dan nilainya lebih baik daripada tahun 2012. Tabel 6.4. Nilai Gini Ratio Provinsi 2010 2011 2012 2013 Gorontalo 0,43 0,46 0,44 0,44 Papua 0,41 0,42 0,44 0,44 Sulawesi Selatan 0,40 0,41 0,41 0,43 Sulawesi Tenggara 0,42 0,41 0,40 0,43 Papua Barat 0,38 0,40 0,43 0,43 Sulawesi Utara 0,37 0,39 0,43 0,42 Sulawesi Tengah 0,37 0,38 0,40 0,41 Maluku 0,33 0,41 0,38 0,37 Sulawesi Barat 0,36 0,34 0,31 0,35 Maluku Utara 0,34 0,33 0,34 0,32 Indonesia 0,38 0,41 0,41 0,41 Sumber: Booklet Indikator Kersejahteraan Rakyat, BPS, Agustus 2013 6.4. Nilai Tukar Petani 20 Indikator kesejahteraan sektor unggulan (pertanian) relatif melemah, tercermin dari turunnya pertumbuhan Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.ntp Sulsel pada triwulan IV 2014 menurun menjadi sebesar 104,17 lebih rendah dibandingkan NTP pada triwulan sebelumnya (105,16) (Grafik 6.5). Penurunan NTP tersebut didorong oleh kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga 19 Angka koefisien gini adalah ukuran kemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Angka koefisien gini terletak antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nol mencerminkan kemerataan sempurna dan satu menggambarkan ketidakmeraaan sempurna. 20 NTP merupakan keseimbangan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan yang dibayar petani (Ib). 62

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN maupun keperluan produksi pertanian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan indeks harga hasil produksi pertanian. Meskipun Indeks yang Diterima Petani naik sebesar 6,91% (yoy) dari sebesar 118,22 pada triwulan III 2013 menjadi sebesar 120,4 pada triwulan IV 2014 (Grafik 6.7), namun Indeks yang Dibayar Petani pada triwulan IV 2014 juga tumbuh tinggi sebesar 6,54% dari 112,42 pada triwulan III 2013 menjadi 114,33 pada triwulan IV 2014 (Grafik 6.6). 120 115 110 Nilai Tukar Petani g.indeks - sisi kanan yoy 12% 10% 8% 6% 120 115 110 Indeks yang Dibayar Petani g.indeks - sisi kanan yoy 12% 10% 8% 6% 105 4% 105 4% 100 95 2% 0% -2% 100 95 2% 0% -2% 90 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV -4% 90 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV -4% 2011 2012 2013 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.5. Perkembangan Rata-rata Nilai Tukar Petani 2011 2012 2013 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6.6. Perkembangan Rata-rata Indeks yang Dibayar Petani Peningkatan harga komoditas pangan(inflasi) tidak selalu diikuti perbaikan nilai tukar petani. Keterkaitan (korelasi) antara inflasi dan nilai tukar petani justru negatif (bertolak belakang) (Grafik 6.8). Bahkan pada periode tahun 2012 hingga 2014, negatif dari korelasi tersebut semakin besar, mencapai -0,672 dibandingkan periode tahun 2009-2011. Gap antara kenaikan inflasi dan perbaikan NTP semakin meningkat, pada saat terjadi peningkatan harga pangan seperti terjadi pada Januari 2009 (kenaikan harga cabe merah, daging ayam ras, dan bawang merah) dan Juni 2010 (kenaikan harga beras dan cabe merah). Demikian pula saat kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi di Juli 2013 dan November 2014, gap antara inflasi dan perkembangan NTP semakin besar. 120 115 110 105 100 95 90 Indeks yang Diterima Petani g.indeks - sisi kanan yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0% -2% -4% 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0% -2% -4% yoy Korelasi 2009-2011 = -0,377 Korelasi 2012-2014 = -0,672 123456789101121234567891011212345678910112123456789101121234567891011212345678910112 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2011 2012 2013 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 6.7. Perkembangan Rata-rata Indeks yang Diterima Petani Inflasi Nilai Tukar Petani Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 6.8. Perkembangan Rata-rata Indeks yang Diterima Petani 63

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Boks 6.A. Tipologi WilayahProvinsi Sulawesi Selatan 21 Seiring pemekaran wilayah, selama 10 tahun terakhir, jumlah desa semakin meningkat.berdasarkan hasil pendataan Potensi Desa(Podes) 2014, pada bulan April 2014 di Sulawesi Selatan tercatat 3.030 wilayah administrasi setingkat desa yang terdiri dari 2.240desa, 783 kelurahan dan 7 UPT. Podes juga mencatat sebanyak 306 kecamatan dan 24 kabupaten/kota.dari 3030 desa/kelurahan di Sulawesi selatan terdapat 531 desa/kelurahan (17,52%) yang berbatasan dengan tepi laut dan yang berbatasan dengan bukan tepi laut sebanyak 2499 desa/kelurahan (82,48%). Grafik 6.A.1 Perkembangan Jumlah Desa di Provinsi Sulawesi Selatan Indeks Kesulitan Geografis (IKG) Desa untuk Sulsel masih relatif tinggi yang menunjukkan kesulitan geografis yang masih besar. IKG terendah sebesar 14,44 yang terdapat di Desa Bawalipu (Kabupaten Luwu Timur) dan IKG tertinggi sebesar 80,11 yang terdapat di Desa Lembang Bau Selatan (Kabupaten Tana Toraja). Nilai tengah IKG secara provinsi sebesar 36,95, lebih rendah dari nilai tengah IKG secara nasional (40,91). Nilai IKG Provinsi terendah berada di Provinsi D.I. Yogyakarta (27,73) dan tertinggi berada di Papua (76,33). Tabel 6.A.1.IKG Desa Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 2014 Kabupaten/Kota dan Provinsi IKG Desa Terendah Nilai Tengah Tertinggi Kepulauan Selayar 20,10 39,48 62,34 Bulukumba 17,96 32,61 64,27 Bantaeng 27,56 32,31 47,42 Jeneponto 21,02 31,95 45,24 Takalar 21,56 33,32 51,76 Gowa 16,46 33,06 63,55 Sinjai 20,76 30,11 49,66 Maros 20,19 36,07 68,05 Pangkajene Kepulauan 24,26 39,71 79,88 Barru 19,66 30,26 52,12 Bone 20,36 40,77 70,11 Soppeng 21,77 30,29 42,51 Wajo 21,43 37,84 53,73 Sidenreng Rappang 16,83 31,60 58,65 Pinrang 19,58 34,66 67,15 Enrekang 22,05 37,52 60,28 Luwu 21,33 40,88 79,75 Tana Toraja 27,32 50,94 80,11 Luwu Utara 20,58 40,24 71,00 Luwu Timur 14,44 37,11 60,50 Toraja Utara 22,98 46,88 73,01 Makassar - - - Parepare - - - Palopo - - - Sulawesi Selatan 14,44 36,95 80,11 Sumber : Podes 2014, BPS 21 Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 (Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Sulsel No. 16/02/73/Th. I, 16 Februari 2015). Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun, yaitu tahun 2008, 2011, dan 2014 64

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Keberadaan infrastruktur di Sulsel relatif cukup baik, dari ketersediaan sekolah, sarana kesehatan, pasar, listrik, dan jalan. Pembangunan wilayah desa bisa diarahkan ke desa yang relatif masih minim sarana infrastruktur. Dari hasil Podes 2014 tercatat sebagai berikut: 1. Dari sisi sarana pendidikan. Hanya 3,33 persen (101 desa/kelurahan) yang tidak ada SD/MI, semua kecamatan telah mempunyai SMP/MTs, dan terdapat 282 kecamatan (92,16 persen) yang mempunyai SMU/SMK/MA, atau ada 7,84 persen wilayah kecamatan di Sulawesi Selatan yang belum mempunyai SMU/SMK/MA. 2. Dari sisi sarana kesehatan. Semua wilayah kecamatan di Sulsel (100 persen) telah mempunyai Puskesmas/Puskesmas Pembantu. 3. Dari sarana pasar. Terdapat sebanyak 922 desa/kelurahan (30,43 persen) sudah terdapat pasar, baik pasar dengan bangunan maupun pasar tanpa bangunanataumasih terdapat 2108 desa/kelurahan (69,57 persen) yang tidak mempunyai pasar, baik pasar dengan bangunan maupun pasar tanpa bangunan. 4. Dari sisi sarana listrik. Tercatat sebanyak 3028 desa/kelurahan (99,93 persen) telah terdapat keluarga pengguna listrik (PLN dan non PLN) dan hanya 2 desa (0,07 persen) keberadaan keluarga tidak menggunakan listrik PLN dan non PLN. Terkait keberadaan penerangan jalan utama di desa/kelurahan, sebanyak 865 desa/kelurahan (28,55 persen) masih belum tersedia penerangan jalan pada jalan utama desa/kelurahan. 5. Dari sisi sarana jalan. Terdapat sebanyak 2983 desa/kelurahan menggunakan sarana transportasi darat, dimana 2686 desa/kelurahan (90,04 persen) sudah tersedia jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4 atau lebih sepanjang tahun. Artinya masih terdapat 297 desa/kelurahan (9,96 persen) yang lalulintasnya masih bergantung pada kondisi jalan dan cuaca. 65

BAB 6 KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN 66

7. PROSPEK PEREKONOMIAN Bab 7 Prospek Perekonomian Perekonomian Sulsel pada triwulan I 2015 dan untuk keseluruhan tahun 2015, masing-masing diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 6,9% - 7,9% (yoy) dan 7,5% - 8,5% (yoy). Jika dibandingkan dengan ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi Sulsel 2014 tetap lebih baik. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh permintaan domestik (konsumsi dan investasi), sementara yang terkait ekonomi global masih melemah. Di sisi lapangan usaha, peningkatan terjadi pada konstruksi, perdagangan, transportasi, informasi/komunikasi, real estate, dan jasa-jasa. Sementara itu, terjadi perlambatan pada lapangan usaha penyediaan akomodasi. Tekanan harga akhir tahun 2015 diprakirakan akan tetap terkendali, dengan besaran masuk dalam rentang target inflasi nasional. Faktor yang mendorong adalah ketersediaan bahan makanan yang relatif mencukupi, ditambah dengan tren penurunan harga minyak dunia. Namun demikian, ke depan Pemerintah Daerah perlu mengatur kebijakan harga misalnya melalui penetapan batas atas-bawah atau harga eceran tertinggi. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2014 67

2012 Q1 2012 Q2 2012 Q3 2012 Q4 2013 Q1 2013 Q2 2013 Q3 2013 Q4 2014 Q1 2014 Q2 2014 Q3 2014 Q4 2015 Q1 2015 Q2 2015 Q3 2015 Q4 BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN 7.1. Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sulsel di triwulan I 2015 diperkirakan akan didorong oleh aktivitas komponen konsumsi dan investasi. Pertumbuhan ekonomi Sulsel pada triwulan I 2015 diperkirakan dalam arah stabil hingga melambat dalam kisaran 6,9% - 7,9% (yoy). Dari sisi permintaan, permintaan konsumsi rumah tangga tetap baik, yang terpantau dari optimisme ekspektasi konsumen dan pedagang (hasil survei penjualan eceran), serta peningkatan upah minimum regional (UMR). Investasi meningkat, didorong oleh investasi yang dibiayai pemerintah yang diperkirakan meningkat. Dari sisi lapangan usaha, peningkatan di tahun 2015 akan terjadi pada lapangan usaha konstruksi, perdagangan, transportasi, informasi/komunikasi, real estate, dan jasa-jasa. Dengan mempertimbangkan kondisi domestik dan global, ekonomi Sulsel keseluruhan tahun 2014 diperkirakan cenderung stabil pada kisaran 7,5% - 8,5% (yoy), dibandingkan pertumbuhan tahun 2014 (7,57%, yoy). Pertumbuhan ekonomi 2015, diperkirakan diwarnai dengan perlambatan negara permintaan mitra dagang Sulsel dan tren perlambatan ekonomi dunia, yang menyebabkan pelemahan ekspor. Ekonomi global membaik, namun tidak secepat prakiraan sebelumnya. Perbaikan berasal dari ekonomi negara maju (Amerika Serikan dan Kawasan Eropa), sementara ekonomi negara berkembang (Asia dan ASEAN) melambat. Sementara, dari sisi lokal,kategori utama yang diperkirakan menopang pertumbuhan antara lain pertambangan, konstruksi, perdagangan besar/eceran, transportasi, penyediaan akomodasi, informasi/komunikasi, real estate, dan jasa-jasa. Peningkatan beberapa sektor tersebut terkait beroperasinya tambahan smelter dan kegiatan pendukungnya, mulai beroperasinya hotel di Makassar, serta pembangunan infrastruktur transportasi dan distribusi. 10 %, yoy 9 8 7 6 5 4 2012: 7,61% 2013: 8,37% 2014: 7,57% 2015: 7,5% - 8,5% Grafik 7.1. Perkembangan PDRB Sulsel dan Proyeksinya 7.1.1 Prospek Sisi Pengeluaran Komponen sisi konsumsi triwulan I 2015 cenderung tetap kuat dibandingkan triwulan IV 2014. Komponen permintaan lokal yang berasal dari komponen konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah, cenderung tetap kuat. Pendorong peningkatan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2015 adalah ekspektasi konsumen yang tetap terjaga, seiring turunnya harga minyak dunia, yang berimplikasi pada penurunan harga bahan bakar minyak (BBM). Hasil survei BPS menunjukkan ekspektasi masyarakat untuk melakukan pembelian barang tahan lama cenderung meningkat (indeks masih lebih tinggi dari 100). Selain itu, indeks hasil penjualan Survei Penjualan Eceran yang dilakukan Bank Indonesia Sulsel juga masih tetap tinggi (naik 5,22% (yoy)). Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan juga akan cenderung meningkat, seiring optimalisasi penyerapan anggaran oleh Pemerintah daerah maupun instansi vertikal di Sulsel. Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2015, konsumsi tetap baik, terutama untuk konsumsi rumah tangga dan pemerintah. 68

Sumber : BPS BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN 120 118 116 114 112 110 108 106 104 102 100 105,5 108,1 111,8 110,1 111,1 110,1 110,7 108,19 107,68 I II III IV I II III IV Ip 102 101 100 99 98 97 96 95 indeks %, yoy I II III IV I II III IV I II III IV IP 10 5 0-5 -10-15 -20 2013 2014 2015 Indeks Tendensi Konsumen Perkiraan Pendapatan RT Rencana pembelian barang durable 2012 2013 2014 2015 Indeks Penjualan g.indeks Penjualan - sisi kanan Sumber: Badan Pusat Statistik p) Perkiraan BPS Grafik 7.2. Indeks Tendensi Konsumen Sumber: Survei Penjualan Eceran BI P) Ekspektasi Pedagang Grafik 7.3. Indeks Penjualan Eceran 100% 90% 89,8% 86,4% 86,4% 80% 70% 60% 50% 52,1% 49,6% 52,8% 40% 30% 30,9% 29,5% 32,4% 20% 10% 10,8% 10,0% 11,7% 0% I II III IV I II III IV I II III IV 2012 2013 2014 Sumber: Kanwil Perbendaharaan Negara Sulsel dan Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Sulsel (Realisasi s.d. Desember 2014) Grafik 7.4. Persentase Realisasi Pagu Anggaran Pemerintah Pusat di Daerah Komponen investasi Sulsel diprakirakan masih akan meningkat pada triwulan I 2015 dan keseluruhan 2015. Keberlanjutan proyek-proyek yang bersifat multiyears masih menjadi penopang pertumbuhan investasi Sulsel. Beberapa proyek besar yang akan berlangsung antara lain pembangunan industri pengolahan/pemurnian (smelter) tambang/mineral dan dukungan daya listriknya, proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Jeneponto (PLTU, 2x100 MW), kelanjutan proyek pembangunan 31 hotel dengan tambahan kapasitas mencapai 5.125 kamar di Makassar, Pembangunan Stadion Barombong dengan 40.000 tempat duduk, pembangunan pusat belanja terintegrasi, dan pembangunan infrastruktur (kereta api dan pertanian). Selain itu, ada beberapa tambahan proyek infrastruktur, sebagai kompensasi subsidi bahan bakar minyak, antara lain perluasan rencana pembangunan Pelabuhan oleh Pelindo IV mendapat tambahan dana Rp2T (perluasan Makassar New Port dari rencana semula 250 Ha menjadi 500 Ha), yang masih menunggu izin Kementerian perhubungan; pembangunan KA. Makassar - Parepare, dilanjutkan Parepare Mamuju; penambahan rencana pembangunan jalan tol. Kinerja perdagangan eksternal (ekspor dan impor) diprakirakan melemah, seiring produksi yang terbatasdan perlambatan ekonomi negara mitra dagang. Produksi kategori primer (pertanian dan pertambangan) diperkirakan akan melemah, didorong insentif yang kurang karena tren pelemahan harga internasional komoditas mentah (ikan-ikanan, kakao, dan nikel). Di sisi lain, negara-negara tujuan ekspor utama Sulsel antara lain adalah Jepang dan Tiongkok menunjukkan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang cenderung lebih rendah dibandingkan proyeksi semaula. Menurut proyeksi World Economic Outlook (IMF) (Tabel 7.1), perkembangan perekonomian tahun 2015 untuk Jepang dan Tiongkok masing-masing tumbuh 0,6% dan 6,8% (proyeksi Januari 2015), terkoreksi ke bawah dibandingkan proyeksi Oktober 2014 (masing-masing 0,8% dan 7,1%). 69

BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN Tabel 7.1. Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara WEO (IMF) WEO (IMF) Pertumbuhan Ekonomi Oktober 2014 Januari 2015 (%, yoy) 2013 2014p 2015p 2013 2014p 2015p Amerika Serikat 2,2 2,2 3,1 2,2 2,4 3,6 Kawasan Eropa -0,4 0,8 1,3-0,5 0,8 1,5 Kawasan Asia 7.1.2 7.1.3 7.1.4 7.1.5 7.1.6 7.1.7 Tiongkok 7,7 7,4 7,1 7,8 7,4 6,8 Jepang 1,5 0,9 0,8 1,6 0,1 0,6 Kawasan ASEAN* 5,2 4,7 5,4 5,2 4,5 5,2 Output Dunia 3,3 3,3 3,8 3,3 3,3 3,5 *) Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam p) Proyeksi Keterangan: Lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya Sama dengan perkiraan sebelumnya Lebih rendah dari perkiraan sebelumnya Pada tahun 2015, indeks harga internasional komoditas utama (nikel dan kakao) dalam tren melambat. Harga nikel dan kakao yang trennya terus menurun, masing-masing tumbuh sebesar 11,8% (yoy) dan 4,4% (yoy), hingga Januari 2015. Melemahnya harga nikel, karena berkurangnya permintaan dari Tiongkok yang merupakan konsumen separuh pasokan logam seluruh dunia. Sementara penurunan harga kakao terkait pasokan yang relatif baik sepanjang 2015. Harga bijibijian sepanjang 2015 menurun sekitar 5%, lebih rendah dari tahun 2014 yang turun 4,5%. 30.000 $/mt Nickel g.nikel - sisi kanan yoy 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan 2011 2012 2013 2014 2015 Sumber: World Bank Grafik 7.5. Perkembangan Harga Internasional Nikel 40% 30% 20% 10% 0% -10% -20% -30% -40% 4 USD/kg yoy 40% 3,5 30% 3 20% 2,5 10% 2 0% 1,5-10% 1-20% 0,5-30% 0-40% I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Jan 2011 2012 2013 2014 2015 Harga Internasional Coklat g.harga Internasional Coklat - sisi kanan Sumber: World Bank Grafik 7.6. Perkembangan Harga Internasional Coklat Sementara itu, perdagangan dalam negeri (antarpulau) diperkirakan lebih tinggi seiring membaiknya fasilitas dan pelayanan antar pulau. Infrastruktur yang semakin membaik akan mendukung perhubungan antar pulau 22 dan memudahkan lalu lintas pengiriman barang antarpulau yang saat ini menggunakan truk 23 dan fasilitas kapal ro-ro. Namun demikian faktor yang membatasi adalah, kategori di sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan), diperkirakan akan melemah. 7.1.8 Prospek Sisi Lapangan usaha Pada triwulan I 2015, kategori lapangan usaha primer dan tersier cenderung melambat, faktor pendorong peningkatan hanya berasal dari kategori lapangan usaha sekunder. Lapangan usaha primer, yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan cenderung melambat, sehingga mendorong penurunan ekspor. Demikian pula dengan perkembangan lapangan usaha tersier, yang melemah karena berkurangnya aktivitas pengiriman sektor tradable. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Sulsel triwulan I 2015 akan berkisar 6,9%-7,9% (yoy), sementara tahun 2015 (7,5% - 8,5%, yoy). Lapangan usaha pertanian, terutama tanaman bahan makanan, diprakirakan akan melambat pada triwulan I 2014. Curah hujan yang cenderung menengah hingga tinggi, diperkirakan memengaruhi produksi sektor pertanian. Dari sisi 22 Penambahan dermaga peti kemas, serta mulai beroperasinya lintas penyeberangan Pelabuhan Paciran, Jawa Timur dengan Pelabuhan Garongkong di Kabupaten Barru. 23Pengiriman barang untuk pengiriman dalam partai kecil,dengan metode tersebut mengurangi biaya bongkar muat barang. 70

BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN subsektor perkebunan, luas area panen yang terbatas menjadi faktor kendala di saat tren harga kakao yang masih cenderung menurun. Lapangan usaha pertambangan diprakirakan akan tumbuh melambat, seiring tren penurunan harga nikel. Sektor pertambangan di Sulsel terutama berupa produk nikel. Dari sisi harga internasional nikel, hingga Januari 2015, harga nikel melambat 11,8% (yoy) hingga level harga USD 15.539,4 per metric ton. Lapangan usaha industri pengolahan diprakirakan akan melambat pada triwulan I 2015. Selain dari faktor musiman (awal tahun), industri pengolahan biji nikel di Sulsel 24 diperkirakan masih memiliki stok, terlebih permintaan dari negara mitra dagang melemah, seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Jepang dan Tiongkok. Sementara itu, dua industri semen 25 di Sulsel dan Asosiasi Semen Indonesia (ASI) 26 memperkirakan peningkatan target produksi lebih rendah dari taget tahun 2014. Lapangan usaha perdagangan besar/eceran kategori diprakirakan masih akan tumbuh meningkat pada triwulan I 2015. Kegiatan perdagangan diperkirakan relatif meningkat, sesuai dengan hasil survei penjualan eceran yang dilakukan Bank Indonesia. Indeks penjualan eceran pada triwulan I 2015 meningkat 5,22% (yoy) menjadi 100,93 dari triwulan IV 2014 (100,74). Lapangan usaha penyediaan akomodasi diperkirakan melambat seiring kebijakan untuk menahan kegiatan di hotel bagi pegawai negeri sipil. Larangan 27 untuk melakukan kegiatan dinas dan penyelenggaraan di hotel untuk pegawai negeri sipil, yang diterapkan pada triwulan IV 2014, masih memengaruhi tingkat okupansi hotel, terutama dengan kategori bintang dua ke bawah. Hasil liaison menyatakan bahwa permintaan ruang pertemuan dan kamar yang biasanya mulai masuk pada awal tahun, pada awal tahun 2015 relatif masih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan sedikit melambat, sebagaimana ekspektasi pelaku perbankan. Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia triwulan IV 2014, memperkirakan perlambatan pertumbuhan kredit triwulan I 2015, seiring masih rendahnya kebutuhan pembiayaan dari nasabah. Sementara keseluruhan tahun 2015, kredit akan sebesar 15,7% (yoy) lebih tinggi dari realisasi tahun 2014 (November 2014 sebesar 11,9%) 28. Perlambatan sektor keuangan tahun 2014 sesuai perkiraan Bank Indonesia, untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global dan domestik, sehingga Bank Indonesia 29 pun hanya memperkirakan pertumbuhan kredit/dpk nasional tahun 2015 berkisar antara 15% - 17% (yoy) sebagaimana dari tahun 2014. 7.2. Prospek Inflasi Laju inflasi triwulan I 2015 secara umum diperkirakan melambat dalam rentang 7,4% - 8,4% (yoy), dibandingkan triwulan IV-2014 sebesar 8,61%; yoy dengan asumsi harga bakar minyak dalam tren stabil atau turun. Tekanan inflasi yang relatif mereda berasal dari komponen volatile food dan administered prices, demikian pula inflasi inti cenderung stabil. Relatif stabilnya inflasi karena pasokan bahan makanan cukup dan distribusi yang lancar. Bank Indonesia bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) se-sulsel senantiasa akan mencermati risiko kenaikan inflasi terkait harga BBM, elpiji, dan tarif listrik yang secara bertahap mulai dilepas menuju harga keekonomiannya. Berbagai langkah koordinasi akan dilakukan untuk meminimalisasi dampak kenaikan harga BBM baik dampak langsung maupun dampak tidak langsung (ekspektasi harga serta tarif angkutan). Kegiatan untuk menjaga ketersediaan barang dan kelancaran distribusi terus dilakukan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Sulsel maupun TPID di tingkat kabupaten/kota. Pada Januari 2015, Gubernur Sulsel telah memimpin high level meeting yang melibatkan kepala daerah kabupaten/kota beserta TPID nya serta instansi terkait untuk melakukan evaluasi serta arahan program kerja tahun 2015 terkait pengendalian harga di Sulsel. Pemerintah Provinsi Sulsel berkomitmen untuk mencapai tingkat inflasi 2015 sekitar 4%. Seiring dengan upaya tersebut, realisasi bulan Januari 2015, terjadi deflasi sebesar -0,17% (mtm) atau inflasi 7,23% (yoy). Penurunan tekan inflasi tersebut dipengaruhi oleh penurunan tingkat konsumsi, penurunan harga bahan bakar minyak 24 Produksi sudah mencapai 78% dalam bentuk nikel matte. Bahkan biji nikel (ore) dari provinsi lain masih potensial dapat menjadi tambahan produksi industri pengolahan biji nikel di Sulsel, karena industri pemurnian logam di Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) masih memiliki potensi yang besar untuk ditingkatkan. Potensi biji nikel Sulampua yang masih dapat diolah sekitar 64 juta ton. 25 Dua industri tersebut meningkatkan kapasitas produksi tahun 2014, sehingga masing-masing akan meningkatkan penjualannya sebesar 33,30% (yoy) dan 42,60% (yoy). 26 Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mengatakan pertumbuhan penjualan maupun permintaan di dalam negeri dipatok antara 5% - 6% sampai penghujung 2015. 27Surat Edaran Mendagri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,menginstruksikan kepada semua kepala daerah, mulai dari gubernur, wali kota, hingga bupati, untuk menggelar rapat di kantor masing-masing. 28 Statistik Perbankan Indonesia Triwulan IV 2014 29 Sambutan akhir tahun Gubernur Bank Indonesia, Pertemuan Tahunan Perbankan, 14 November 2013 71

Inflasi Tahunan BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN (BBM) jenis Premium dan Solar, pasokan bahan makanan cukup, dan distribusi yang lancar. Dari sisi disagregasi inflasi, tekanan inflasi yang relatif mereda berasal dari komponen volatile food dan administered prices, sementara inflasi inti cenderung stabil. 10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% Nasional Sasaran Inflasi 2011: 5% + 1 Sulsel 2011: 2,87% Nasional 2011: 3,79% Sulsel Sasaran Inflasi 2012: 4,5% + 1 Sulsel 2012: 4,41% Nasional 2012: 4,30% Sasaran Inflasi 2013: 4,5% + 1 Sulsel 2013: 6,22% Nasional 2013: 8,38% Sasaran Inflasi 2014: 4,5% + 1 Sulsel 2014: 8,61% Nasional 2014: 8,36% Sasaran Inflasi 2015: 4% + 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1. 12 2011 2012 2013 2014 2015 Grafik 7.7. Perkembangan Laju Inflasi Sulsel dan Proyeksinya Tekanan inflasi volatile food diperkirakan cenderung turun didukung oleh pasokan yang mencukupi. Dari sisi stok, kecukupan beras akan tersedia untuk 14 bulan ke depan. Selain itu, koordinasi antara pemda dengan angkatan darat terkait penanaman sayur, diperkirakan akan meningkatkan pasokan sayur ke depan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah faktor cuaca (curah hujan tinggi) khususnya pada Januari dan Februari, yang dikhawatirkan dapat mengganggu produksi pangan yang sedang dalam masa musim tanam. Januari 2015 Februari 2015 Maret 2015 Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Grafik 7.8. Prakiraan Curah Hujan Sulawesi Selatan Inflasi administered prices triwulan I tahun 2015 diperkirakan terkoreksi ke bawah. Tren harga minyak masih menurun, dan berdasarkan informasi Pertamina dan PLN, komponen terbesar dalam penetapan premium, solar, dan elpiji adalah harga minyak dunia. Namun demikian, apabila tidak diikuti kebijakan di daerah terkait penetapan harga angkutan dan Harga Eceran Tertinggi (HET), dikhawatirkan meningkatkan tekanan inflasi (second round effect). Inflasi komponen core inflation diperkirakan stabil, didorong oleh ekspektasi konsumen dan pedagang yang cenderung moderat. Ekspektasi konsumen terhadap harga 3 bulan yang akan datang melambat, yang tercermin dari hasil Survei Konsumen (SK) (Grafik 7.9), indeksnya relatif moderat menjadi 180,8 di triwulan I 2015 dan 178,0di triwulan II 2015, dari triwulan IV 2014 sebelumnya (183,7). Demikian pula, indeks ekspektasi pedagang terhadap harga 3 (tiga) bulan yang akan datang relatif stabil (Grafik 7.10), menjadi 100,15 di triwulan I 2015 dan 99,96 di triwulan II 2015, dibandingkan dari triwulan IV 2014 (100,1). Selain itu, harga emas diperkirakan masih menurun seiring outlook perekonomian AS yang semakin baik. 72