BAB II KAJIAN TEORETIS. Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi dimana kompetensi atau prestasi yang dicapai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI. 1. Definisi Kesalahan Menyelesaikan Soal

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

BAB I PENDAHULUAN. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain

BAB II KAJIAN TEORI. dialami oleh siswa sebagai peserta didik, untuk menentukan berhasil atau tidaknya

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Mengenai Sistem Pendidikan Perguruan Tinggi. Pendidikan tinggi dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya, masyarakat yang sejahtera memberi peluang besar bagi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

Sulit Belajar 09:39:00 AM,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan profesionalisasi dan sistem menajemen tenaga kependidikan serta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi

BAB II KAJIAN TEORITIS. belajar ini sangat penting artinya dalam kehidupan manusia, karena semua

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal. Sekolah sebagai tempat siswa untuk melaksanakan kegiatan

BAB II KAJIAN TEORI. yang dihadapi. Untuk mempertegas pengertiannya, berikut adalah berbagai pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam proses belajar disiplin belajar sangat penting dalam menunjang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. direncanakan dan dilaksanakan secara berkesinambungan baik dari materi. pembelajaran maupun jenjang pendidikannya.

BAB I PENDAHULUAN. pendeknya mengenai segala aspek organisme atau pribadi seseorang.

MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA PADA MATERI SISTEM KOORDINAT DENGAN METODE DISKUSI KELOMPOK DI KELAS VIII-B SMP NEGERI 3 SUBANG

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Pembahasan pada Bab II ini terdiri dari tinjauan pustaka, hasil penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan dapat mencetak

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting dalam memajukan harkat dan martabat suatu bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam. Tak seorang pun bisa terhindarkan dari stres.

BAB II. Landasan Teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. diberikan. Setiap anak merupakan individu yang unik, dimana masing-masing dari. menceritakan hal tersebut dengan cara yang sama.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. KAJIAN PUSTAKA. Prestasi belajar berasal dari kata prestasi dan belajar, prestasi berarti hasil

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. remaja berkembang gejala yang menghawatirkan bagi para pendidik yaitu krisis

II TINJAUAN PUSTAKA. dan harus ditempuh oleh mahasiswa dengan sungguh-sungguh, keuletan dan. ketabahan. Sudjana (1989 : 5) menyatakan bahwa :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu dalam suatu kelas sesuai dengan karakteristik tertentu (Kartini

Oleh: Deasy Wulandari K BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

KESULITAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK

BAB II KAJIAN TEORETIS. mencapai sesuatu yang dicita - citakan.. Hal ini menggambarkan bahwa seseorang

PERLU DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGAJARAN REMIDIAL

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003, h. 16), menjelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

1. PENDAHULUAN. sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kerangka Teoritis. Diagnosis kesulitan belajar adalah suatu usaha yang dilakukan

STUDI TENTANG FAKTOR- FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI IPS DI SMA NEGERI I TAPA KABUPATEN BONE BOLANGO

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proaktif (urun rembuk) dalam memecahkan masalah-masalah yang diberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun atau sejak lahir hingga berusia kurang lebih delapan (0-8) tahun.

BAB II HASIL BELAJAR DAN METODE DRILL. terpenting dalam pembelajaran. Menurut Nana Sudjana 1, definisi dari. dan psikomotorik. Dimyati dan Mudjiono, 2

BAB I PENDAHULUAN. menemukan pribadinya di dalam kedewasaan masing-masing individu secara maksimal,

CARA BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI. Aty Nurdiana

DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KESULITAN BELAJAR DI SMK NEGERI 2 GORONTALO. Jufri Idris, Wenny Hulukati, Rustam Husain ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. secara kelompok maupun secara individual. Hal ini dimaksudkan agar prestasi

BAB I PENDAHULUAN. mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar peserta didik (Syah, 2005).

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB II HASIL BELAJAR SISWA DAN METODE PEMBELAJARAN RESITASI. 1. Pengertian Metode Pembelajaran Resitasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. 1. Persepsi Siswa Tentang Keterampilan Mengajar Guru

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. kerangka pikir yang merupakan perpaduan antara variabel satu dengan variabel

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan disegala bidang demi tercapainya tujuan bangsa, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Dalam pendidikan formal dan non- formal proses belajar menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bermaksud membantu manusia untuk menumbuh kembangkan potensipotensi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam menghadapi perkembangan dan modernisasi kehidupan. Pada. ataupun dalam lingkungan nonformal (keluarga, masyarakat).

I. PENDAHULUAN. Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan pembelajaran merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh orang tua ( Nurbiyati, 2005 ). dengan cara yang tidak disukai dan menyakitkan.

2015 PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN MINAT BELAJAR MAHASISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR

I. PENDAHULUAN. informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menyelenggarakan pendidikan selalu di hadapkan dengan berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Disekolah terjadi suatu bentuk interaksi antara guru. H.C. Witherington (1952:43) mengemukakan tentang

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. kegiatan yang paling pokok, ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari akademik dan non akademik. Pendidikan. matematika merupakan salah satu pendidikan akademik.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap aspek kehidupan selalu berkaitan erat dengan masalah belajar.

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari tiga ciri utama yaitu derajat kesehatan, pendidikan dan. bertumbuh dan berkembang (Narendra, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang perlu mendapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sanggup menghadapi tantangan zaman yang akan datang. Udiono,Tri;2007

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

I. PENDAHULUAN. suatu wadah yang disebut sebagai lenbaga pendidikan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SMP dan MTs

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KESULITAN BELAJAR PADA SISWA SMP NEGERI 5 KOTA JAMBI

II. TINJAUAN PUSTAKA. perubahan tingkah laku pada diri sendiri berkat pengalaman dan latihan.

DESKRIPSI KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL-SOAL GEOMETRI TRANSFORMASI

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Pengertian Kesulitan Belajar Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi dimana kompetensi atau prestasi yang dicapai tidak sesuai dengan kriteria standar yang telah ditetapkan, baik berbentuk sikap, pengetahuan maupun keterampilan. Kesulitan belajar terdiri dari dua kata, yaitu kesulitan dan belajar, sebelum dikemukan makna kesulitan belajar perlu dijelaskan pengertian belajar dan kesulitan itu sendiri. Seperti diungkapkan Faculty (dalam Ahmadi, 2009: 258) bahwa: Belajar adalah usaha melatih daya-daya itu agar berkembang, sehingga kita dapat berpikir, mengingat dan sebagainya. Sedangkan menurut Slameto (daam Djamarah, 2008:13) bahwa: Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Berdasarkan pengertian tersebut maka seseorang dikatakan telah belajar apabila pada dirinya terjadi perubahan tertentu, dengan kata lain, belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku pada diri seseorang melalui suatu proses tertentu, namun tidak semua perubahan tingkah laku itu disebabkan oleh hasil belajar, tetapi juga disebabkan oleh proses alamiah atau keadaan sementara pada diri seseorang. Sedangkan kesulitan berarti kesukaran, kesusahan, keadaan atau sesuatu yang sulit. Kesulitan merupakan suatu kondisi yang memperlihatkan ciri-ciri hambatan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan sehingga diperlukan usaha yang lebih baik untuk mengatasi gangguan tersebut. Berikut ini beberapa definisi mengenai kesulitan belajar yang dijelaskan dalam kurikulum pendidikan nasional.

1. Hammill (dalam Subini, 2011:14) Kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang nyata dalam aktifitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau dalam berhitung. Gangguan tersebutberupa gangguan instrinsik yang diduga karena adanya disfungsi system saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak menjadi factor penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang ada. 2. ACCALD (Association Committee For Children and Adult Learning Disabilities) (dalam Subini, 2011:14) Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan bahasa verbal atau nonverbal. 3. NJCLD (National Joint Committee Of Learning Disabilities) (dalam Subini, 2011:14) Kesulitan belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis kesulitan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi ini bukan karena kecatatan fisik atau mental bukan juga karena pengaruh factor lingkungan, melainkan karena faktor kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat mempersepsi dan melakukan pemrosesan informasi terhadap objek yang diinderainya.

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah yang memiliki gangguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup pamahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, membaca, menulis, mengeja, atau menghitung. Kesulitan belajar yang didefenisikan oleh The United States Office of Education (USOE) yang dikutip oleh Abdurrahman (2003:06) menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ajaran atau tulisan. Burton (dalam Subini, 2011:15) menjelaskan bahwa siswa diduga mengalami kesulitan belajar apabila tidak dapat mencapai ukuran tingkat keberhasilan belajar dalam waktu tertentu. Sedangkan menurut Sabri (dalam Subini, 2011:15) menjelaskan kesulitan belajar identik dengan kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran di sekolah. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar merupakan beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. 2.2 Gejala-gejala Kesulitan/Masalah/Hambatan Belajar Untuk menentukan seseorang anak mengalami kesulitan belajar haruslah melalui prosedur dan teknik tertentu. Sebagai seorang guru/guru pembimbing haruslah dapat mengetahui gejala gejala tersebut merupakan hal yang penting dalam rangka melacak dan mengatasi gejala kesulitan yang dimaksud. Marilah kita telaah ciri-ciri tingkah laku seseorang yang mengalami gejala kesulitan belajar menurut Djamarah (2008:246), yakni: 1. Hasil belajar yang rendah, yakni nilai rata-rata yang dicapai berada dibawah nilai rata-rata kelompoknya, atau nilai rata-rata yang dicapai di bawah (tidak sesuai) potensi yang dimilikinya.

2. Hasil belajar tidak seimbang dengan usaha atau jerih payah yang telah dilakukan. Segala usaha telah dilakukan, tetapi hasil yang dicapai selalu rendah. 3. Lambat dalam mengerjakan tugas-tugas kegiatan belajar. Ia selalu tertinggal dari temantemannya dalam menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan jatah waktu yang tersedia. Misalnya pada umumnya rata-rata siswa dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 40 menit, maka siswa yang mengalami kesulitan memerlukan waktu yang lebih lama/banyak, karena dengan waktu yang telah disediakan tidak cukup. 4. Sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, menantang, berpura pura, dusta, dan sebagainya. 5. Tingkah laku yang berkelainan seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu teman baik di dalam kelas maupun di luar kelas, tidak mau memperhatikan (Acuh tak acuh), guru yang sedang menyampaikan pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau bekerja sama dan sebagainya. 6. Gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung, pemarah, mudah tersinggung, kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Sebagai contoh dalam menghadapi nilai rendah hasil ujian tengah semester, ia tidak menunjukan rasa sedih atau kecewa maupun perasaan menyesal. 2.3 Kriteria Kesulitan Belajar Menurut Hulukati (2012:58) kriteria kesulitan belajar terdiri atas: 1. Tujuan Pendidikan Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen yang penting, karena tujuan pendidikan memberikan arah proses kegiatan pendidikan.

Tujuan pendidikan yang masih umum (tujuan pendidikan nasional) dikhususkan menurut lembaga pendidikan menjadi tujuan institusional, yaitu tujuan yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan. Tujuan institusional dikhususkan menjadi tujuan kurikuler, yaitu tujuan yang harus dicapai oleh bidang studi tertentu. Sedangkan tujuan yang harus dicapai oleh setiap proses belajar mengajar disebut tujuan instruksional. Kegiatan pendidikan secara khusus kegiatan belajar mengajar ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Berdasarkan kriteria ini, yang diperkirakan mengalami kesulitan berlahar adalah mereka yang tidak dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jadi mereka yang mengalami kesulitan belajar di SMA diperkirakan tidak dapat mencapai tujuan institusional SMA. Mereka yang mengalami kesulitan belajar dalam bidang studi Ekonomi diperkirakan tidak dapat mencapai tujuan kurikuler Ekonomi dan mereka yang mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar, diperkirakan tidak dapat mencapai tujuan instruksional. Namun, kiranya perlu diingat bahwa yang mengalami kesulitan belajar seperti yang dikemukakan di atas itu jangan dianggap gagal total. Masalah-masalah tersebut masih dapat diatasi dengan berbagai macam cara, sehingga akhirnya akan mendapatkan kesuksesan. Sekarang timbul suatu pertanyaan, bagaimana cara menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tersebut? Sebelum proses belajar dimulai hendaknya tujuan telah dirumuskan secara jelas dan operasional, baik dalam tujuan kurikuler maupun dalam tujuan instruksional. Hasil belajar yang dicapai merupakan ukuran tingkat pencapaian tujuan tersebut. Sebagai patokan biasanya digunakan nilai batas lulus. Di sekolah dasar dan sekolah menengah biasanya nilai batas lulus adalah 60. Sedangkan di perguruan tinggi sangat beraneka ragam, sesuai dengan jenis mata kuliah yang diberikan.

Apabila nilai seseorang dibandingkan dengan kriteria/patokan di atas, maka patokannya sering di sebut patokan yang mutlak, di mana patokan itu kita tetapkan dahulu sebelum proses belajar mengajar dimulai. Patokan mutlak ini bertitik tolak dari presentasi jawaban yang benar. Sebagai contoh tujuan kurikuler bidang studi matematika kelas I SD adalah Diharapkan pada akhir tahun ajaran semua murid telah dapat mengejarkan dengan menambah dan mengurangi bilangan 0 20 secara tepat. Berdasarkan tujuan tersebut, dibuat sejumlah soal untuk tes akhir sebanyak 50 buah. Murid yang menjawab benar kurang dari 30 soal dianggap sebagai mengalami kesulitan belajar. Jawaban benar 30 soal merupakan 60 % dari 50 soal yang disediakan. Jika menggunakan skala 0 100 (C scale), mereka yang memperoleh nilai dari kurang dari 60 atau nilai 60 kebawah diidentifikasi sebagai murid yang dianggap mengalami kesulitan belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat nilai setiap siswa baik pada bidang studi tertentu atau pada semua bidang studi. Misalnya dalam suatu kelas muridnya sebanyak 40 orang, dan mendapat nilai 6 ke atas sebanyak 32 orang. Ini berarti sebanyak 8 orang mendapat nilai dianggap sebagai murid yang mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian guru dapat bertindak lebih jauh, yakni menganalisa sebuah jawaban dari 8 orang tersebut atau dapat juga mencari latar belakang penyebabnya. Apabila skor yang diperoleh masih merupakan skor mentah, maka terlebih dahulu harus diolah dahulu, yakni mencari nilai rata-ratanya (mean) dan standar deviasinya (SD). Mereka yang mendapat nilai 0, 25 SD di atas nilai rata-rata dianggap tidak mengalami kesulitan belajar, tetapi bagi mereka yang memperoleh nilai kurang dari 0,25 SD dikelompokkan dalam murid murid yang dianggap mengalami kesulitan belajar. Sebagai ilustrasi, peserta ulangan sebanyak 40 murid, diperoleh nilai rata rata 64 dan standar deviasi 12, maka bila 0,25 SD di atas mean sebagai nilai

batas lulus, skor mentahnya sebagai nilai batas lulus adalah sebagai berikut: 64 + 0,25 x 12 = 67. Dengan demikian murid yang memperoleh nilai 67 ke atas tidak mengalami kesulitan belajar, sedangkan bagi mereka yang memperoleh nilai 66 ke bawah sebagai mengalami kesulitan belajar. Di samping kriteria tersebut masih ada kriteria lain lagi, misalnya jumlah satuan kredit semester (SKS) dan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang dicapai pada periode tertentu. Sebagai contoh adalah seorang mahasiswa telah menyelesaikan kuliah 4 semester, jumlah SKS yang dicapai 28 dengan demikian ia tentu mengalami kesulitan belajar. Contoh lain adalah mahasiswa telah menyelesaikan 4 semester dengan IPK 1, ini juga sudah menunjukan adanya kesulitan belajar. Berdasarkan kriteria di atas, maka sebagai tenaga pengajar akan dengan cepat dan mudah menandai dan menentukan siapa-siapa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar dan memerlukan bantuan. 2. Kedudukan dalam Kelompok Kedudukan seseorang dalam kelompoknya merupakan ukuran dalam pencapaian hasil belajar. Misalkan saja seorang mahasiswa mendapat nilai 8 dalam mata kuliah tertentu. Apa arti dari nilai 8 tersebut? Memang nilai 8 merupakan nilai yang baik nampaknya, tetapi kenyataan belum tentu demikian. Apabila dalam kelasnya nilai rata-rata yang dicapai oleh kelas adalah 9, maka nilai 8 tersebut masih tergolong rendah (karena di bawah nilai rata rata). Contoh lain lagi adalah nilai 6 yang dicapai oleh seorang mahasiswa. Dalam kelompoknya nilai rata-rata kelas adalah 5,5 dengan demikian nilai 6 sudah merupakan nilai yang cukup tinggi apabila dilihat dari kedudukan kelompok.

Dari 2 contoh tersebut dapat dibandingkan kalau nilai-nilai 8 dan 6 dilihat sebagai nilai apa adanya seperti tertulis, maka kita akan mengatakan bahwa nilai 8 lebih tinggi dari 6. Tetapi apabila pendekatan yang digunakan berbeda, yakni pendekatan norma kelompok, maka kita akan mengatakan bahwa nilai 6 lebih berbobot dari pada nilai 8. Silahkan saudara mahasiswa bila belum jelas dapat mempelajari standar skor. Dengan demikian kita dapat melangkah lebih jauh, yakni memperkirakan mahasiswa/siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar, bagaimana teknik nya secara statistik, mereka yang menduduki 25 % paling bawah dari kelompoknya (kuartil ke 3, K3, Q3) dianggap sebagai mengalami kesulitan belajar. Caranya adalah sebagai berikut: a. Teknik rangking, yakni mengurutkan nilai seluruh mahasiswa yang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah. Dengan demikian setiap mahasiswa memperoleh nomor urut prestasi (rangking, kedudukan), bagi mereka yang menduduki 25 % dari bawah dianggap sebagai mengalami kesulitan belajar. b. Teknik perbandingan rata-rata kelas, yakni membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan nilai rata-rata kelasnya. Mereka yang berada di bawah nilai rata rata kelas dianggap sebagai mengalami kesulitan belajar, baik untuk mata kuliah tertentu maupun secara keseluruhan. 3. Perbandingan antara Prestasi dengan Potensi Prestasi belajar yang dicapai seseorang akan tergantung dari tingkat potensinya (kemampuannya) baik berupa kecerdasan maupun bakat. Seorang siswa yang berpotensi tinggi cenderung untuk memperoleh prestasi yang tinggi pula, dan sebaliknya bagi mereka yang

berpotensi rendah, akan cenderung untuk memperoleh hasil belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara prestasi yang dicapai dengan potensi yang dimiliki, kita dapat memperkirakan sampai sejauh mana seseorang dapat merealisasikan potensinya. Mereka yang mengalami kesulitan belajar adalah jika terdapat perbedaan yang besar antara prestasi yang dicapai dengan potensi yang dimilikinya. Misalnya seorang mahasiswa memiliki IQ 120, tetapi ternyata prestasi belajarnya biasa-biasa saja, bahkan kadang-kadang rendah dalam sebagian besar mata kuliah yang tempuhnya. Hal ini menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, juga orang sering menyebut dengan istlah underachiever. Untuk mengetahui potensi tersebut dapat dilakukan dengan tes intelegensi, tes bakat khusus dan dapat pula dengan mengadakan pengamatan yang teliti dalam jangka waktu yang lama. Namun perlu diingat pula bahwa untuk mendeteksi kesulitan belajar orang tidaklah mudah, di samping alat khusus juga diperlukan orang yang terlatih, terampil serta berkompotensi dengan bidangnya. Selanjutnya bahwa alat-alat khusus tersebut tidak mudah untuk kita peroleh. 4. Kepribadian Hasil belajar yang dicapai seseorang akan nampak dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan dalam aspek aspek kepribadian. Seseorang yang berhasil dalam belajarnya, hendaknya menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Bloom, bahwa seseorang dikatakan sukses apabila ia telah menguasai 3 bidang, yakni kognitif, psikomotor dan dicerminkan dalam afektifnya. Apabila masih ada salah satu bidang yang belum terpenuhi/tercapai, ini berarti bahwa ia

mengalami kesulitan belajar dalam bidang yang belum tercapai tersebut. Kesulitan dalam bidang kognitif akan membawa pengaruh pada bidang lainnya. Biasanya mereka yang menunjukan kesulitan belajar akan berpola tingkah laku/kepribadian yang menyimpang. Termasuk tingkah laku menyimpang misalnya adalah acuh tak acuh, menentang, melalaikan tugas, sering membolos, berdusta, motivasi rendah, emosional dan sebagainya. Untuk mengetahui ini semua dapat dengan cara tes kepribadian, angket, observasi, sosiometri, dan sebagainya. 2.4 Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Fenomena kesulitan belajar seorang anak biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau belajarnya. Namun kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku, seperti kesukaan berteriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan gemar membolos. Slameto (2010:54) faktor utama yang mempengaruhi kesulitan belajar adalah berasal dari dalam diri anak sendiri (internal), dan kondisi lingkungan di sekitar (eksternal). 2.4.1 Faktor Internal Faktor yang berasal dari dalam diri pelajar yang bersifat psikologis, yang diantaranya yaitu: 1. Faktor fisiologis ialah faktor yang berhubungan dengan jasmani anak terdiri atas: a. Kesehatan Kesehatan adalah faktor penting dalam kegiatan belajar. Pelajar yang tidak sehat badannya, tentu tidak dapat belajar dengan baik. Konsentrasinya akan terganggu, dan pelajaran sukar masuk, begitu juga anak yang badannya lemah, sering pusing dan sebagainya tidak akan tahan lama dalam belajar dan lekas capai. Dalam keadaan ini apabila kita memaksa anak untuk

belajar giat, kita akan bersalah, sebab bagaimana pun anak tetap tidak dapat belajar dengan baik. Kewajiban orang tua adalah meneliti, apakah ada penyakit atau gangguann-gangguan yang lain. Jika ternyata ada, hendaknya segera memeriksakan ke dokter agar supaya tidak terlambat, baik kesehatannya maupun kemajuan belajarnya. Makin lama kita menunggu untuk memeriksakan kesehatannya, makin terbelakang pula bagi anak dalam usaha belajarnya. b. Cacat badan Cacat badan dapat juga menghambat belajar, misalnya setengah buta, setengagah tuli, gangguan bicara, tangan hanya satu dan catat-catat badan yang lain. Anak-anak cacat seperti ini hendaknya dimasukkan dalam pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa. Anak-anak setengah buta meskipun ditolong dengan alat-alat khusus misalnya kacamata istimewa, namun seringkali mengalami kesukaran-kesukaran, sehingga bagaimanana pun mereka akan terhambat. Begitu pula anak-anak yang setengah tuli atau gangguan dalam bicara meskipun sudah ditolong dengan alat-alat khusus, tetap akan berbeda hasilnya dibanding dengan anak-anak yang normal. 2. Faktor Psikologis ialah faktor yang bersifat rohaniah terdiri atas: a. Intelegensi Faktor intelegensi adalah faktor indogin yang sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar anak. Bilamana pembawaan intelegensi anak memang rendah, maka anak tersebut akan sukar mencapai hasil belajar yang baik. Anak sukar untuk mengerti apa yang dipelajarinya, sehingga perlu bantuan dan pendidik atau orang tua untuk dapat berhasil dalam belajarnya. Kendatipun anak sudah belajar dengan sebaik-baiknya, kalau memang intelegensinya rendah, maka ia akan mengalami kesukaran juga dalam belajarnya. Andaikata anak tersebut kita

marahi terus menerus tidak ada artinya, sebab kurang kemampuannya. Selain faktor intelegensi ada pula faktor lain yaitu cacat-cacat mental, cacat yang dibawa sejak lahir. b. Perhatian Perhatian juga merupakan faktor penting dalam usaha belajar anak. Untuk dapat menjamin belajar yang baik, anak harus ada perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. Apabila bahan pelajaran itu tidak menarik baginya, maka timbullah rasa bosan, malas, dan belajarnya harus dikejar-kejar. Sehingga prestasi mereka kemudian menurun. Untuk itu maka pendidik harus mengusahakan agar bahan pelajaran yang diberikan dapat menarik perhatiannya. c. Minat Bahan pelajaran yang menarik minat/keinginan anak akan dapat dipelajari oleh anak dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya bahan yang tidak sesuai dengan minat/keinginan anak pasti tidak dapat dipelajari dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya bila ada perhatian. Karena itu untuk menimbulkan minat kita sebaiknya juga harus menimbulkan perhatiannya, misalnya dengan menghubungkan pelajaran satu dengan pelajaran lainnya. Atau dihubungkan dengan halhal yang menarik bagi anak. d. Bakat Sering kita mendengar bahwa pelajaran itu tidak sesuai dengan bakatnya, misalnya kita menginginkan agar anak menjadi seorang dokter, kemudian kita masukkan ke Fakultas Kedokteran. Tetapi karena ia sama sekali tidak ada bakat untuk menjadi dokter maka ia mengalami kesukaran-kesukaran dalam belajar. e. Emosi Kadang-kadang ada sementara anak yang tidak begitu stabil emosinya, sehingga dapat mengganggu belajarnya. Misalnya ada masalah kecil saja dapat timbul emosi yang mendalam,

sampai menimbulkan gejala-gejala negatif seperti tidak sadarkan diri, kejang dan sebagainya. Dalam keadaan emosi yang mendalam ini tentu belajarnya mengalami hambatan-hambatan. Anak-anak semacam ini membutuhkan situasi yang cukup tenang dan penuh perhatian agar belajarnya dapat lancar. 2.4.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar, faktor eksternal ini terdiri atas: 1. Faktor Keluarga Menurut Sutjipto Wirowidjojo (dalam Slameto, 2003:60) menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama, keluarga yang sehat artinya dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Sedangkan menurut Dalyono (dalam Ahmadi 2004:84) keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama yang dapat mengembangkan kepribadian anak dalam lingkungan keluarga. Menurut Abu dan Supriyono (2004:85) faktor keluarga yaitu: faktor orang tua, suasana rumah/keluarga, dan keadaan ekonomi keluarga. a. Faktor Orang Tua Faktor orang tua merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar anak. Orang tua yang dapat mendidik anak-anaknya dengan cara memberikan pendidikan yang baik tentu akan sukses dalam belajarnya. Sebaliknya orang tua yang tidak mengindahkan pendidikan anak-anaknya, acuh tak acuh, bahkan tidak memperhatikan sama sekali tentu tidak akan berhasil dalam belajarnya. Misalnya anak tidak disuruh belajar secara teratur, tidak

dibelikan alat-alat belajar, dan sebagainya. Mungkin anak itu sebetulnya pandai, tetapi karena tidak teratur belajarnya dan tidak ada bimbingan, akhirnya menemui kesulitan belajar dan kemudian segan untuk belajar. Begitu pula orang tua yang memanjakan anak-anaknya juga termasuk cara pendidikan yang tidak baik. Anak manja biasanya sukar dipaksa untuk belajar, ia dibiarkan begitu saja, karena orang tuanya terlalu sayang pada anaknya, memang orang tua harus sayang kepada anak, tetapi apabila terlalu sayang akan menimbulkan hal-hal yang kurang baik dan menyesatkan. Bila disuruh belajar ia akan marah, akhirnya orang tua segan menyuruhnya, jika ini berjalan terusmenerus, akhirnya anak menjadi nakal, bertindak semaunya sendiri, tidak memperdulikan perintah orang tuanya. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan kesukaran-kesukaran belajar. Faktor lain yang masih ada hubungannya dengan faktor orang tua adalah hubungan orang tua dengan anak, hubungan acuh tak acuh tanpa kasih sayang akan menimbulkan frustasi atau penyesalan yang mendalam dalam hati anak. Ia selalu kecewa dan menderita tekanan-tekanan batin sehingga usaha belajarnya terlambat, begitu juga orang tua yang sangat keras terhadap anaknya menimbulkan tekanan-tekanan batin pula pada anak. Hubungan orang tua dengan anak menjadi tegang, kaku dan tidak harmonis, satu sama lain tidak ada perasaan kasih sayang. Karena itu usaha belajar mereka mereka juga terhambat, sebab belajar harus membutuhkan suasana jiwa yang teng dan gembira. Orang tua yang terlalu keras terhadap anak-anaknya jelas tidak memberikan ketenangan dan kegembiraan. Orang tua terhadap anaknya sering menuntut hal-hal yang bersifat harus begini, harus begitu dan sebagainya. Ini semua justru akan menjadikan anak menjadi malas dan terhambat dalam belajar. 1. Faktor Suasana Rumah

Menurut Slameto (2003:63) suasanan rumah yang dimaksudkan sebagai suatu situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi di dalam keluarga di mana anak belajar dan berada. Sedangkan menurut Ahmadi dan Widodo (2004:87) agar anak dapat belajar dengan baik maka perlulah diciptakan suasana rumah yang tenang dan tentram. Anak akan betah tinggal di rumah dan anak dapat belajar dengan baik jika suasana rumah selalu dibuat menyenangkan, tentram, damai, dan harmonis. Dari uraian terebut, dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan suasana rumah ialah suasana yang dapat mendukung proses pembelajaran atau suasana rumah yang damai. 2. Faktor Ekonomi Keluarga Keadaan ekonomi keluarga erat kaitannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya juga membutuhkan fasilitas yang lain. Menurut Ahmadi dan Widodo, (2004:88) keadaan ekonomi digolongkan dalam: a. Ekonomi yang kurang Keluarga yang miskin tidak dapat menyediakan tempat untuk belajar yang memadai, sedangkan tempat belajar itu merupakan salah satu sarana terlaksananya belajar secra efisien dan efektif. Anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat membeli alat-alat sekolah yang lengkap. Dengan alat yang serba tidak lengkap inilah maka hati anak menjadi kecewa, mundur, putus asa sehingga dorongan belajar mereka berkurang. b. Ekonomi yang berlebihan Ekonomi yang berlebihan biasanya anak-anak menjadi segan untuk belajar karena ia terlalu banyak bersenang-senang. 2. Faktor Lingkungan Sekolah

Menurut Djamarah (2008:238) faktor lingkungan sekolah merupakan faktor yang mempengaruhi siswa mengalami kesulitan belajar. Faktor tersebut antara lain: a. Pribadi guru yang kurang baik b. Guru tidak berkualitas baik dalam pengambilan metode yang digunakan ataupun dalam penguasaan mata pelajaran yang dipegangnya. c. Hubungan guru dengan anak didik kurang harmonis. d. Guru-guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak e. Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mendiagnosis kesulitan belajar anak didik f. Cara guru mengajar yang kurang baik g. Alat/media yang kurang memadai. Alat pelajaran yang kurang lengkap membuat penyajian pelajaran yang tidak baik terutama pelajaran yang bersifat praktikum. h. Perpustakaan sekolah kurang memadai i. Fasilitas fisik sekolah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan tidak terpelihara dengan baik j. Suasana sekolah yang kurang menyenangkan k. Bimbingan dan penyuluhan yang tidak berfungsi l. Kepemimpinan dan administrasi. Dalam hal ini berhubungan dengan sikap guru yang egois, kepala sekolah yang otoriter, pembuatan jadwal pelajaran yang tak memperhatikan potensi anak, sehingga menyebabkan kurang menunjang proses belajar anak didik m. Waktu sekolah dan disiplin yang kurang. 3. Faktor Lingkungan Masyarakat Termasuk lingkungan masyarakat yang dapat menghambat kemajuan belajar anak ialah:

a. Mass-media, seperti bioskop, radio televisi, suratkabar, majalah dan sebagainya. Semua ini dapat memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap anak, sebab anak berlebih-lebihan mencontoh atau membaca, bahkan tidak dapat mengendalikannya. Sehingga semangat belajar mereka menjadi terpengaruh dan mundur sekali. Dalam hal ini perlu pengawasan dan pengaturan waktu yang bijaksana. b. Teman bergaul yang memberikan pengaruh yang tidak baik. Orang tua sering terkejut bila tiba-tiba melihat anaknya yang belum cukup umur sembunyi-sembunyi merokok atau pergi tanpa tujuan, sehingga tugas-tugas sekolahnya banyak ditinggalkan. c. Adanya kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Misalnya adanya tugas-tugas organisasi, belajar pencak silat, belajar menari dan sebagainya, jika tugas-tugas ini dilebih-lebihkan jelas akan menghambat belajar anak. d. Corak kehidupan tetangga. Dalam hal ini dimaksudkan, apakah anak itu hidup dalam lingkungan tetangga yang suka judi, atau lingkungan pedagang/buruh dan sebagainya. Sebab ini semua dapat mempengaruhi semangat belajar anak.