BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

LEBIH DEKAT DENGAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB II A. TINJAUAN PUSTAKA. obat atau farmakoterapi. Tidak kalah penting, obat harus selalu digunakan secara

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT KEPALA PADA KONSUMEN YANG DATANG DI ENAM APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang. benda asing eksternal seperti debu dan benda asing internal seperti dahak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT MAAG PADA KONSUMEN YANG DATANG DI APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGELOLAAN OBAT DAN PENYULUHAN OBAT KEPADA MASYARAKAT. Lecture EMI KUSUMAWATI., S.FARM., APT

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun

BAB I PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini mengambil lokasi Desa Pojok Kidul Kecamatan Nguter

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN PADA PEMAKAIAN AMOXICILLIN TABLET 500 MG DI APOTEK NAZHAN FARMA BANJARMASIN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini, semakin berkembangnya perekonomian telah memunculkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 1995, WHO Global School Health Initiative telah melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan. Sedangkan

BAB I. Kesehatan merupakan hal yang penting di dalam kehidupan. Seseorang. yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL PRAKTIKUM ILMU RESEP II

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pekerjaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut :

DRA. HELNI, APT, M.KES

PEMILIHAN OBAT SECARA AMAN PADA KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN MASYARAKAT Oleh : Astri Widiarti

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Demografi Responden. Distribusi responden berdasarkan umur seperti pada tabel 3.

Methadon sejak 1972 disetujui FDA telah terbukti secara klinis mengurangi jumlah orang kecanduan opiat dengan efek samping jangka panjang terbatas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

Kata Kunci: Tingkat Pengetahuan, Asam Mefenamat, Pasien Poli Gigi

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. Bentuk setengah Padat contohnya salep,krim,pasta,cerata,gel,salep mata. 3. Bentuk cair/larutan contohnya potio,sirop,eliksir,obat tetes,dan lotio.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Daenaa Kecamatan Limboto Barat

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Upaya dari seseorang untuk mengobati dirinya sendiri dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. menghilangkan suatu penyakit. Obat dapat berguna untuk menyembuhkan jenis-jenis

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aspek Medikologal LSD JENIS-JENIS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (NAPZA/NARKOBA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peningkatan kesehatan masyarakat. Definisi swamedikasi menurut

Oleh: Sri Adi Sumiwi PENGGUNAAN OBAT RASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini menganalisis tentang gap atau kesenjangan dari kebijakan

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi

Jika ciprofloxacin tidak sesuai, Anda akan harus minum antibiotik lain untuk menghapuskan kuman meningokokus.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

By: Kelompok 2 Amelia Leona Ayu Afriza Cindy Cesara Dety Wahyuni Fitri Wahyuni Ida Khairani Johan Ricky Marpaung Silvia Syafrina Ibrahim

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sampel sebanyak 67 orang. Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih selama 1

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada tahun 2005 United States Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan terhadap potensi penyalahgunaan obat, setelah lima remaja meninggal karena mengkonsumsi obat. Sehingga, American Medical Association diupayakan untuk meningkatkan kontrol dan regulasi penggunaan Dextromethorphan HBr (Banken dan Foster, 2008). Pada tahun 2006 sekitar 4-6 persen dari remaja dikedelapan, kesepuluh, dan kedua belas di Amerika Serikat dilaporkan menggunakan Dextromethorphan HBr, untuk membuat keadaan pikiran gembira (Miller, 2011). Remaja merupakan kelompok risiko tinggi terhadap penyalahgunaan obat, dan dapat menimbulkan keadaan yang membahayakan/mengancam masyarakat (Afandi dkk, 2009). Hasil penelitian penyalahgunaan Dextromethorphan HBr pada masyarakat di kecamatan Tombariri Timur kabupaten Minahasa terjadi di kalangan pemuda. Informasi mengenai penyalahgunaan Dextromethorphan HBr yang diperoleh yaitu adanya pengetahuan mengenai cara memperoleh obat yang tidak sesuai dengan prosedur distribusi obat dan tujuan pemakaian menghilangkan stres (Roringpandey, 2013). Hasil survei menunjukan bahwa penyalahgunaan Dextromethorphan HBr atau pil dekstro, dilakukan oleh anak dengan usia sepuluh sampai empat belas tahun sebanyak 184 orang, usia tujuh sampai sembilan tahun sebanyak tujuh orang, dan usia lima belas sampai delapan belas tahun sebanyak 695 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap menjadi dasar perilaku pengguna (Firnasrudin dkk, 2014). 1. Persamaan a. Dari beberapa penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu tentang Dextromethorphan HBr. 4

b. Penelitian terdahulu dan penelitian ini merupakan penelitian observasi non eksperimental. c. Pada penelitian yang dilakukan Dedi Afandi dkk dan penelitian ini menggunakan responden siswa sekolah yaitu siswa- siswi sekolah menengah atas atau sederajat. Teknik pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara simple random sampling. Alat ukur yang digunakan yaitu kuesioner. d. Penelitian yang dilakukan Roringpandey untuk mendeskripsikan profil penyalahgunaan Dextromethorphan HBr. e. Penelitian ini dan penelitian Firnasrudin dkk menilai pengetahuan dan sikap menjadi dasar pengguna. 2. Perbedaan a. Pada penelitian Dedi Afandi dkk dilakukan untuk meneliti tingkat penyalahgunaan obat secara umum, tidak spesifik terhadap satu obat. Penelitian ini dilakukan di kota Pekanbaru. b. Penelitian yang dilakukan Roringpandey menggunakan metode interview (wawancara) sedangkan penelitian yang saya lakukan menggunakan kuesioner. Dilakukan di kabupaten Minahasa. c. Penelitian yang dilakukan Firnasrudin menggunakan snowball sampling dengan teknik wawancara, sedangkan penelitian yang saya lakukan menggunakan accidental sampling dan pengambilan tempat penelitian secara proportional random sampling, alat ukur yang digunakan yaitu kuesioner. Penelitian tersebut dilakukan di kota Makassar. d. Responden dari penelitian Firnasrudin dan Miller tidak terdapat batasan usia, sedangkan responden dari penelitian yang saya lakukan yaitu siswasiswi SMA/SMK yang umumnya berusia 15-18 tahun. Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini merupakan penelitian terbaru dan belum pernah dilakukan di kabupaten Banyumas untuk mendeskripsikan profil penggunaan, pengetahuan, sikap serta perilaku siswa-siswi SMA/SMK terhadap obat batuk yang mengandung Dextromethorphan HBr. 5

B. Landasan Teori 1. Dextometorphan HBr Dextromethorphan HBr adalah zat aktif dalam bentuk serbuk berwarna putih, yang berkhasiat sebagai antitusif atau penekan batuk. Zat aktif ini selain banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga digunakan pada obat flu kombinasi dengan zat aktif lain seperti fenilefrin, paracetamol, dan klorfeniramin maleat. Obat yang mengandung Dextromethorphan HBr tersedia di pasar dalam berbagai bentuk sediaan seperti sirup, tablet, spray, dan lozenges (Info BPOM, 2012). Dextromethorphan HBr adalah salah satu obat batuk antitusif yang telah banyak digunakan di dunia sejak tahun 1958 untuk menggantikan penggunaan kodein fosfat dan banyak dijumpai pada sediaan obat batuk dan flu. Nama dagang Dextromethorphan HBr di Indonesia saat ini ada berbagai macam, misalnya Anakonidin, Decolsin, Mixadin, Siladex, Ultragrip dll, serta telah tercatat dalam Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia volume 42 tahun 2007 ada 77 merk obat yang mengandung Dextromethorphan HBr (Nina, 2010). Saat ini terdapat lebih dari 140 versi Dextromethorphan HBr tersedia untuk dijual atas counter di Amerika Serikat (Miller, 2011). Dextromethorphan HBr adalah dekstroisomer dari kodein analog metorfan. Dextromethorphan HBr tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe sigma. Dextromethorphan HBr memiliki efek halusinogen. Zat yang memiliki peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini adalah metabolit aktif dari Dextromethorphan HBr yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-methylmorphinan). Dekstrorfan dapat terikat dengan afinitas lemah dengan reseptor opioid tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor NMDA (N-methyl-Daspartate). Dextrorfan bekerja sebagai antagonis reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA) yang akan memproduksi efek yang sama dengan efek dari ketamin maupun fenisiklidin (PCP) (Peter dkk, 2007). Hal inilah yang menyebabkan orang menggunakan Dextromethorphan HBr untuk 6

mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ketamin. Ketamin sendiri adalah obat yang digunakan sebagai anestetik umum. Akumulasi dekstrorfan dapat mengakibatkan efek psikotropik (Info BPOM, 2012): Efek yang muncul dibagi dalam 4 tingkatan: a. Dosis 100 200 mg, timbul efek stimulasi ringan b. Dosis 200 400 mg, timbul efek euforia dan halusinasi c. Dosis 300 600 mg, timbul efek perubahan pada penglihatan dan kehilangan koordinasi motorik d. Dosis 500 1500 mg, timbul efek sedasi disosiatif Dosis lazim Dextromethorphan HBr untuk dewasa dan anak diatas 12 tahun adalah 10-20 mg tiap 4 jam atau 30 mg tiap 6-8 jam, dan tidak lebih dari 120mg dalam satu hari. Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang pernah muncul seperti mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, kesulitan dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan tenggorokan. Pada kasus penyalahgunaan, dosis yang digunakan biasanya jauh lebih besar daripada dosis lazim. Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis yang lazim, efek samping yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada penggunaan ketamin atau PCP, dan efek ini meliputi: kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, keadaan pingsan, mengantuk. 2. Penggolongan Obat Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009). Penggolongan obat di bagi menjadi 4 (Depkes, 2008) yaitu: a. Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas 7

adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol, Vitamin dan Mineral. Gambar 2.1 Logo obat bebas yaitu berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. b. Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Gambar 2.2 Contoh: CTM (Chorfeniramine Maleat) golongan anti histamin. Logo obat bebas terbatas yaitu terdapat tanda khusus berupa lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Ada bentuk jenis peringatan yang biasanya terdapat pada obat golongan bebas terbatas yaitu: Gambar 2.3 8

c. Obat Keras dan Psikotropika Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Asam Mefenamat. Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh: Diazepam, Phenobarbital. Gambar 2.4 Logo obat keras yaitu mempunyai tanda khusus berupa lingkaran bulatan hitam dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi. d. Obat Narkotika Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin. Gambar 2.5 Logo narkotik mempunyai tanda khusus yaitu lingkaran berwarna merah yang di dalamnya terdapat palang merah yang tidak menyentuh garis tepi. 3. Penggunaan Obat yang Rasional Penggunaan obat yang rasional merujuk pada penggunaan obat yang benar, sesuai dan tepat. Menurut WHO (World Health Organization), penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk jangka waktu yang adekuat, dan dengan biaya 9

serendah mungkin bagi pasien dan komunitasnya (World Health Organization, 2010). Masalah yang sering timbul sebagai ketidakrasionalan penggunaan obat yaitu polifarmasi (penggunaan obat yang terlalu banyak) dan pengobatan sendiri yang tidak tepat (WHO, 2010). Sasaran dari pengobatan yang rasional yaitu tercapainya penggunaan obat dalam jenis, bentuk, dosis, dan jumlah yang tepat disertai dengan informasi yang benar dan lengkap (Kepmenkes RI No 189/Menkes/SK/III/2006). Menurut WHO tahun 1985 dikatakan penggunaan obat yang rasional bila: a. Pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya b. Periode waktu yang adekuat c. Harga yang terjangkau Batasan penggunaan obat rasional, bila memenuhi kriteria penggunaan obat rasional, sebagai berikut (Depkes RI, 2008): a. Tepat diagnosis Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah dan membahayakan pasien. b. Tepat indikasi penyakit Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu gejala penyakit. c. Tepat pemilihan obat Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi yang sesuai dengan gejala penyakit. d. Tepat dosis Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai. 1) Tepat Jumlah Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup. 10

2) Tepat cara pemberian Cara pemberian obat yang tepat adalah obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi sehingga menurunkan efektifitasnya. 3) Tepat interval waktu pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Semakin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 kali sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. 4) Tepat lama pemberian Lama pemberian obat harus tepat, sesuai dengan penyakitnya. Untuk tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan, sedangkan untuk kusta paling singkat 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 sampai 14 hari. e. Tepat penilaian kondisi pasien Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien. f. Waspada terhadap efek samping Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya. g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli di apotek atau tempat obat yang sudah memenuhi persyaratan. h. Tepat tindak lanjut (follow up) Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut konsultasikan ke dokter. 11

i. Tepat penyerahan obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat. j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut: jenis sediaan obat beragam, jumlah obat terlalu banyak, frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering, pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi, pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat, timbulnya efek samping. 12