BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan usaha. Pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi dapat terjadi karena tersedianya faktor-faktor penunjang serta iklim berusaha yang bagus. Meskipun demikian, terdapat satu faktor yang relatif penting dan harus tersedia, yaitu tersedianya dana dan sumber dana, mengingat dana merupakan motor penggerak utama kegiatan dunia usaha pada umumnya. Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala apapun selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta perkembangannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan perencanaannya. Kebutuhan dana, adakalanya dapat dipenuhi sendiri (secara internal) sesuai dengan kemampuan. Tetapi, adakalanya tidak dapat dipenuhi sendiri. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain (eksternal) yang bersedia membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan dengan cara meminjam atau berutang. 1
Utang dalam dunia usaha adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh pelaku usaha perorangan maupun perusahaan. Para pelaku usaha yang masih dapat membayar kembali utang-utangnya biasa disebut pelaku usaha yang solvable, artinya pelaku usaha yang mampu membayar utangutangnya. Sebaliknya pelaku usaha yang sudah tidak dapat membayar utang-utangnya disebut insolvable, artinya tidak mampu membayar. Suatu usaha tidak selalu berjalan dengan baik dan lancar. Acap kali keadaan keuangan pelaku usaha berada dalam kondisi sedemikian rupa dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Para Kreditor yang mengetahui bahwa Debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berlomba untuk terlebih dahulu mendapatkan pembayaran piutangnya dengan cara memaksa Debitor untuk menyerahkan barang-barangnya. Debitor dapat juga melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu orang atau beberapa orang Kreditornya dan merugikan pihak lainnya. Tindakan Kreditor atau perlakuan Debitor yang demikian itu akan menciptakan ketidak pastian bagi Kreditor lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang-barang Debitor sebagai pelunasan piutangnya. Piutang Kreditor yang beritikad baik acapkali tidak terjamin pelunasannya. Tindakan tersebut merupakan perlakuan tidak adil oleh Debitor terhadap 2
Kreditornya. Keadaan seperti ini sesungguhnya dapat dicegah melalui lembaga kepailitan. Kepailitan pada dasarnya merupakan realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131: Segala kebendaan si berutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Di Indonesia secara formal hukum kepailitan sudah ada bahkan telah diatur secara khusus dalam sebuah peraturan kepailitan sejak masa penjajahan Belanda, di luar Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Peraturan Kepailitan menurut sejarah berlakunya di Indonesia dibagi menjadi 3 masa, yakni sebelum Faillisement Verrordening, masa berlaku Faillesement Verordening, dan masa berlakunya Undang-undang Kepailitan. Sebelum Faillisement Verrordening berlaku, hukum kepailitan diatur dalam: 1 a. Wet Book van Koophandel (Wvk), Buku Ketiga yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van Onvormorgen van kooplieden. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi pedagang. 1 Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm. 65 3
b. Reglement op de Rechtsvoordening (Rv) Staatblad 1847-52 bsd 1849-63, Buku Ketiga Bab ketujuh van den staat Von Kennelijk Onvermorgen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu. Tahun 1905 peraturan kepailitan yang telah ada kemudian direvisi dan dimuat dalam Faillissements Verordening Staatblad 1905 No. 217 jo 1906-348 yang mengandung 279 pasal, yang terdiri dari 2 bab yaitu 2 : a. Bab I, tentang Kepailitan (van Faillisement) Pasal 1 sampai 211. b. Bab II, tentang Penundaan Pembayaran (Surseance van Betaling) Pasal 212 sampai 279. Faillissement Verordening tersebut kemudian direvisi dan pada tanggal 22 April 1998 dituangkan dalam PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu 1/98) yang pada tanggal 9 September 1998 Perpu 1/98 tersebut disahkan menjadi undangundang, yakni Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No. 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3778). Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang ambruk dan rontok sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Keambrukan itu akan menimbulkan masalah besar jika aturan main yang ada tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu perlu 2 Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi, UMM Press, Malang, hlm. 7 4
ada aturan main yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan debitur untuk mengupayakan penyelesaian secara adil. 3 Inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan,sebenarnya timbul karena ada tekanan dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. 4 Salah satu kelemahan mendasar dari Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, antara lain, tidak adanya batas utang yang jelas sehingga suatu perusahaan bisa dinyatakan pailit. Dimana menurut Undang-undang Kepailitan yang lama ini sangat sulit membuktikan atau mendefenisikan apakah itu utang atau tidak. Dengan semakin berkembangnya masalah kepailitan dan utang-piutang dalam masyarakat, maka dalam rangka pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah berpendapat perlu untuk menerbitkan undang-undang yang baru, yaitu Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan 3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2. 4 Ibid, hal.1 5
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 131 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4443 Tahun 2004). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang- Undang Kepailitan & PKPU) Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (4) menyatakan Debitor atau pelaku usaha dapat dinyatakan pailit secara hukum apabila secara sederhana terbukti memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat di tagih. Sehubungan dengan pembuktian sederhana dalam kepailitan pada prakteknya menimbulkan banyak permasalahan karena baik debitor, kreditor serta Hakim di tingkat Pengadilan Negeri maupun di tingkat Mahkamah Agung mempunyai penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan persepsi masing-masing pihak. Penerapan pembuktian sederhana tidak hanya diterapkan dalam suatu perkara permohonan kepailitan saja akan tetapi penerapan pembuktian secara sederhana juga diterapkan dalam suatu perkara bantahan (renvoi Prosedur) dalam proses verifikasi setelah di jatuhkannya putusan pailit. Dalam suatu proses verifikasi adakalanya tagihan-tagihan yang diajukan kepada kurator tidak diakui atau dibantah kebenarannya baik oleh kurator maupun kreditor, tagihan yang tidak diakui ini di kenal sebagai bantahan atau 6
renvoi Prosedur. Dalam suatu rapat pencocokan piutang apabila ada bantahan terhadap piutang maka Hakim Pengawas akan berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabila para pihak tersebut tidak dapat didamaikan, maka Hakim Pengawas akan memerintahkan para pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut ke Pengadilan dengan cara kreditor yang di tolak tagihannya oleh kurator mengajukan keberatan secara tertulis yang memuat alasan-alasan keberatan disertai dengan bukti-bukti pendukung kepada Majelis Hakim pemutus debitur pailit melalui Hakim Pengawas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) Undang- Undang Kepailitan & PKPU Kewenangan yang diberikan kepada kurator oleh-oleh Undang-Undang Kepailitan & PKPU dalam suatu rapat verifikasi atau rapat pencocokan piutang sangatlah besar dimana kurator diberikan kewenangan untuk menolak tagihan yang diajukan para kreditor dengan alasan tagihan para kreditor tersebut bukan merupakan suatu tagihan yang sah yang dapat diajukan terhadap debitur pailit atau bahkan kurator dapat dengan sewenangwenang menolak tagihan kreditor dengan alasan antara debitor dan kreditor masih terdapat perselisihan yang harus diselesaikan melalui lembaga Arbitrase atau pengadilan negeri sesuai dengan pilihan hukum (choice of law) yang di sepakati antara debitor pailit dengan kreditor yang telah di perjanjikan dalam suatu Perjanjian Kerjasama. 7
Contoh kasus yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah perkara bantahan (renvoi Prosedur) dalam kasus kepailitan antara PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., (sebagai salah satu kreditor) melawan Kristian Lukas Simanjuntak, S.H., selaku kurator PT Unirental Daya Pratama (dalam pailit). Dalam kasus tersebut kurator PT Unirental Daya Pratama (dalam pailit) telah menolak tagihan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., dengan alasan terdapat perselisihan atau sengketa antara PT Unirental Daya Pratama (dalam pailit) dengan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., yang harus di selesaikan melalui Forum Arbitrase Nasional (BANI) karena adanya Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Kerjasama antara kreditor dengan debitor pailit. Pada kasus tersebut baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung telah mengabulkan keberatan atau bantahan yang diajukan oleh PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., dengan pertimbangan hukum pengajuan tagihan piutang PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., terhadap debitur pailit bukanlah sengketa sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Kerjasama dan Prosedur Kepailitan adalah merupakan lex specialis bila disandingkan dengan Prosedur Arbitrase sehingga Majelis Hakim berpendapat kasus ini harus diselesaikan melalui mekanisme renvoi Prosedur. 8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada Latar Belakang Masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah renvoi prosedur dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor yang tagihannya ditolak oleh kurator di kaitkan dengan penerapan pemeriksaan secara sederhana? 2. Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara bantahan (renvoi prosedur) sehubungan dengan adanya klausula arbitrase didalam Perjanjian Kerjasama antara kreditor dengan debitor pailit? C. Keaslian Penelitian Penulisan yang dilakukan Penulis ini adalah bukanlah suatu hasil jiplakan atau tiruan terhadap karya ilmiah orang lain, akan tetapi penulisan tesis ini adalah mutlak Penulisan yang Penulis alami dan lakukan sendiri, karena Penulis terlibat langsung atau turut sebagai pihak dan turut dalam proses berlitigasi di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah memeriksa dan mengadili Perkara Keberatan (Renvoi Prosedur) dalam suatu perkara kepailitan, yang telah dijadikan sebagai acuan dari Penulis dalam melakukan penelitian ini atau dengan apa yang menjadi dasar dan acuan dalam 9
perumusan masalah dalam Penulisan tesis ini terhadap semua proses Perkara Keberatan (Renvoi Prosedur) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang ilmu hukum, khususnya proses penyelesaian sengketa melalui Proses Renvoi Prosedur dalam suatu perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga; 2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi Penulis lainnya yang bermaksud untuk meneliti hal-hal yang berkaitan dengan Penulisan ini; 3. Dapat dijadikan dasar penemuan hukum bagi Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Renvoi Prosedur; 4. Dapat dijadikan dasar bagi Pengacara dan siapapun apabila dihadapkan dengan persoalan hukum mengenai Renvoi Prosedur; 10
E. Tujuan Penelitian 1. Untuk dapat mengetahui dan menganalisa terhadap dapat atau tidaknya Renvoi Prosedur memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor yang tagihannya ditolak oleh kurator. 2. Untuk dapat mengetahui dan menganalisa sejauh mana kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara bantahan (renvoi Prosedur) sehubungan dengan adanya klausula arbitrase didalam suatu Perjanjian Kerjasama antara kreditor dengan debitor pailit 11