I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan ini diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

Herdiansyah Eka Putra B

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

1.1 Latar Belakang Hasalah

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Uang merupakan suatu alat tukar yang memiliki peranan penting dalam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur.

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk

Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia. dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi bukanlah merupakan hal yang baru bagi kita. Globalisasi

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tidak sekedar di tunjukan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi. perekonomian kearah yang lebih baik. (Mudrajad,2006:45)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Oleh. masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri.

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, mendorong

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

Kondisi Perekonomian Indonesia

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses berkelanjutan. merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap impor (X/M) dalam kelompok perdagangan non migas meningkat dari sekitar 0.6 pada tahun 1973 menjadi 1.7. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan migas di dalam ekspor total nasional makin kecil. Sektor migas secara bertahap tidak bisa lagi menjadi sumber utama devisa negara. Sektor industri yang berbasis resource base secara perlahan mulai menggantikan peranan sektor migas dalam perolehan devisa (Tambunan, 2002). Penurunan peran ekspor migas terkait dengan adanya perubahan kebijakan industrialisasi pada dekade 1980-an, yaitu dari substitusi impor ke orientasi ekspor. Perubahan kebijakan tersebut juga berdampak pada perubahan struktur ekspor yaitu makin besarnya kontribusi kelompok manufaktur terhadap nilai total ekspor. Meskipun struktur ekspor Indonesia belum begitu baik tetapi ketergantungan terhadap minyak dan gas sudah mulai berkurang secara signifikan. Produk-produk industri dari kayu yang termasuk kelompok industri manufaktur juga mengalami peningkatan peran yang cukup besar dalam perdagangan, baik perdagangan luar negeri maupun domestik. Perdagangan luar negeri (ekspor) merupakan masalah yang cukup vital bagi pendapatan negara. Jika nilai ekspor negara lebih besar daripada nilai impor maka negara akan mengalami surplus neraca perdagangan. Sebaliknya jika nilai impor yang lebih besar negara akan mengalami devisit neraca perdagangan.

2 Berdasarkan data BPS menunjukkan total nilai ekspor-impor dengan migas maupun tanpa migas mengalami peningkatan selama periode 1990-1997, sedangkan tahun 1998 dan 1999 kinerja ekspor dan impor mengalami penurunan drastis karena krisis ekonomi. Pada tahun 2000 kinerja ekspor dan impor tersebut secara berlahan mengalami kenaikan. Sejak Pelita I sampai dengan Pelita VI, subsektor kehutanan memiliki peran yang cukup penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1980-an Indonesia menyumbang sekitar 40 persen terhadap ekspor kayu dunia, dengan negara tujuan ekspor utama ke Jepang, Taiwan, Korea, Singapura dan China (Timotius, 2000). Ekspor kayu tersebut didominasi oleh kayu bulat, namun dominasi ekspor kayu bulat berakhir pada tahun 1985 sejak diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat dan mulai digantikan dengan peningkatan ekspor produk hasil industri pengolahan kayu primer (kayu gergajian dan kayu lapis pada akhir tahun 1980-an) dan peningkatan nilai ekspor pulp pada tahun 1990-an. Ekspor pulp berkembang sangat pesat yaitu pada tahun 1993 tercatat nilai ekspor hanya mencapai US $ 45.75 juta sedangkan pada tahun 2002 telah mencapai US$ 706.80 juta atau tumbuh rata-rata 49.61 per tahun (Indonesia Pulp and Paper Association, IPPA 2003). Dalam waktu empat tahun terakhir, nilai total ekspor produk industri kayu berimbang antara produk industri kayu primer dan produk industri kayu lanjutan. Total nilai ekspor produk industri kayu pada tahun 1998 tercatat US $ 7.219 milyar yang terdiri dari produk industri kayu primer berkisar 47 persen dan masih didominasi oleh kayu lapis diikuti oleh pulp dan kayu gergajian, sedangkan 53 persen adalah ekspor produk industri kayu lanjutan (ITTO, 2004).

3 Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan pada Mei 1980 melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan). Larangan ekspor kayu bulat pada awalnya diberlakukan secara bertahap, dan baru pada tahun 1985 diberlakukan secara total. Sesudah krisis atas desakan IMF larangan dihentikan pada tahun 1998 tetapi diberlakukan kembali pada tahun 2001 sampai dengan saat ini. Pada awalnya larangan ekspor kayu bulat bertujuan untuk : (1) meningkatkan pendapatan ekspor dari sektor kehutanan melalui peningkatan ekspor kayu olahan, (2) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) meningkatkan nilai tambah produk kayu bulat, dan (4) mendorong pembangunan ekonomi regional. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan kembali melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 192/MPP/Kep/10/2001, tertanggal 8 Oktober 2001. Tujuannya disebutkan antara lain untuk mencegah dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan. Subsektor kehutanan dan industri berbasis kehutanan memiliki kontribusi yang rendah terhadap PDB, yaitu hanya berkontribusi sebesar 3.6 persen (termasuk pulp dan kertas dengan 90 bahan baku dari kayu), meskipun subsektor kehutanan mampu menampung tenaga kerja yang sangat besar terutama dari industri kayu bulat, industri kayu olahan primer dan industri kayu olahan lanjutan (ITTO, 2004). Dalam sepuluh tahun mendatang Indonesia menargetkan menjadi

4 produsen dan pengekspor pulp terbesar keenam dunia, dengan volume produksi sekitar 10 juta ton per tahun atau 4 produksi dunia (Ibnusantoso, 1997). Produk hasil industri pengolahan kayu primer berupa kayu gergajian pada awalnya merupakan produk industri pengolahan kayu hulu yang cukup dominan, kemudian secara bertahap mulai digantikan oleh kayu lapis, kemudian pulp yang nilai ekpornya selalu naik. Tetapi sejak adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, terjadi penurunan ekspor hasil industri pengolahan kayu primer. Kemudian secara perlahan ekspor produk industri pengolahan kayu primer berfluktuasi, naik dan turun sesuai dengan kondisi makroekonomi Indonesia. Penurunan kinerja ekspor kayu lapis kecenderungannya konsisten baik volume maupun nilainya. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2004), penurunan ekspor produk industri pengolahan kayu primer juga dipicu oleh penurunan pemanfaatan kapasitas industri perkayuan dari rata-rata 66 pada tahun 1996 menjadi sekitar 45 pada tahun 2000. Sejak tahun 1997 ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia terutama kayu lapis cenderung menurun baik nilai maupun volume. Tabel 1 menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 ada sedikit perbaikan kinerja pada ekspor produk pulp dan kayu gergajinan. Pulp berfluktuatif dan kecenderungannya meningkat baik volume maupun nilainya demikian pula kayu gergajian kecenderungannya menurun baik volume maupun nilainya. Kayu lapis sebelumnya merupakan salah satu andalan ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia dan mampu menguasai pasar kayu lapis dunia. Tetapi dalam perkembangannya peran produk kayu lapis di dalam perdagangan internasional terus menurun. Pada tahun 2002 nilai pangsa pasar kayu lapis masih

5 37.4 tertapi pada tahun 2005 menjadi 17.9. Demikian juga kayu gergajian dari 9.3 menajdi 6.7. Teatepi pulp perannya mengalami kenaikan dari 7.1 pada tahun 2002 menjadi 12.2 pada tahun 2005. Tabel 1. Peran Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia terhadap Perdagangan Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Dunia Pulp Unit 2002 2003 2004 2005 Dunia Juta US $ 12 123.0 7 326.2 7 735.7 7 965.8 1000 Ton 28 594.8 27 814.0 12 988.0 15 020.1 Indonesia Juta US$ 866.4 790.5 589.2 974.5 1000 Ton 2 187.7 2 374.6 1 677.6 2 633.7 % INA Thd Dunia Nilai 7.1 8.5 7.6 12.2 Volume 7.7 6.3 12.9 17.5 Kayu Lapis Dunia Juta US $ 4 072.2 7 326.2 7 279.4 7 099.4 1000 Ton 6 614.6 8 339.8 7 934.1 7 568.9 Indonesia Juta US$ 1 522.1 1 235.1 1 178.5 1 274.4 1000 Ton 1 911.1 1 518.6 1 947.9 1 591.7 % INA Thd Dunia Nilai 37.4 16.9 16.2 17.9 Volume 28.9 18.2 24.9 21.0 Kayu Gergajian Dunia Juta US $ 5 613.1 9 680.8 7 132.5 9 380.6 1000 Ton 13 844.3 5 240.6 5 715.7 4 455.9 Indonesia Juta US$ 523.4 465.0 637.6 628.7 1000 Ton 1 425.5 984.6 1 477.7 1 188.5 % INA Thd Dunia Nilai 9.3 4.8 8.9 6.7 Volume 10.3 18.8 25.9 26.7 Sumber : COMTRADE, 2007 (diolah) Penurunan peran ekspor produk industri pengolahan kayu primer utamanya kayu lapis dan kayu gergajian di pasar internasional berpengaruh terhadap peran Indonesia dalam menentukan harga di pasar dunia, dan melemahkan kekuatan lobby Indonesia di dalam menentukan kebijakan perdagangan internasional terhadap produk kayu lapis. Perubahan ini harus diantisipasi secara seksama dalam rangka menjaga peran Indonesia dalam perdagangan produk kayu olahan di pasar internasional. Walaupun secara de facto

6 industri perkayuan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dari sumber bahan baku kayu tropis yang relatif lebih berlimpah dibanding negara lain. Potensi bahan baku kayu bulat dari hutan alam masih mungkin untuk ditingkatkan melalui program silvikultur intensif dan pembangunan hutan tanaman. Kecenderungan kenaikan nilai ekspor produk kayu olahan terutama pulp diharapkan akan terus terjadi, mungkin volume mengalami penurunan tetapi nilai ekspor diharapkan terus naik. Kondisi ini sangat membantu pengembangan industri pengolahan kayu primer baik dari sisi pendapatan devisa maupun dari sisi lingkungan. Penghematan bahan baku akan memperpanjang umur tegakan kayu yang akan dieksploitasi sehingga mengurangi luasan areal hutan yang akan dieksploitasi. Di Indonesia peran kenaikan nilai ekspor pulp pada perdagangan internasional makin besar karena selain harga internasional pulp yang membaik, volume ekspor juga mengalami kenaikan. Hal ini akan mendorong kenaikan investasi pembangunan hutan tanaman industri sehingga bahan baku pulp akan lebih terjamin. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 162 tahun 2003 merencanakan percepatan pembangunan hutan tanaman industri dengan target 5 juta hektar sampai tahun 2009, dimana pada tahun 2007 realisasinya sudah mencapai 3.4 juta hektar (Dephut, 2007). Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 Departemen Kehutanan Menetapkan Target untuk membangun 5.4 juta hektar hutan tanaman rakyat. Ketersediaan bahan baku yang cukup nantinya diharapkan akan mendorong investasi pada industri pengolahan kayu primer khususnya pulp. Sesudah krisis ekonomi pada tahun 1997, kondisi makroekonomi Indonesia cenderung stabil. Hal ini mendorong stabilnya proses produksi dan

7 perdagangan secara umum. Dalam upaya mencari alternatif kebijakan untuk meningkatkan masa depan produk industri pengolahan kayu primer, diperlukan antisipasi terhadap terjadinya perubahan kondisi makro dan kemungkinan perubahan kebijakan di bidang perdagangan dan kehutanan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penelitian yang dapat mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer dan mampu mengevaluasi kebijakan-kebijakan periode historis yang nantinya dapat meramalkan alternatif kebijakan masa depan. 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan perdagangan dapat berdampak kepada semua subsektor baik sektor industri, perdagangan, investasi, pertanian, kehutanan dan sebagainya. Subsektor kehutanan memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu sumber penerimaan devisa ekonomi Indonesia. Subsektor kehutanan merupakan suatu sektor yang memiliki banyak persinggungan dengan berbagai sektor lain. Subsektor ini terkait dengan berbagai kebijakan perdagangan baik dalam maupun luar negeri. Melalui kebijakan perdagangan yang tepat diharapkan dapat mendorong kinerja ekspor produk industri kehutanan menjadi lebih baik. Kemampuan produk kehutanan Indonesia bersaing dengan produk kehutanan sejenis dari negara-negara pesaing masih rendah. Rendahnya daya saing ekspor produk industri kehutanan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain teknologi, kualitas produksi ataupun kebijakan perdagangan yang belum menunjang kinerja perdagangan produk industri kehutanan. Permasalahan perdagangan yang menjadi perhatian para penentu kebijakan ekonomi di Indonesia adalah semakin turunnya surplus neraca perdagangan

8 Indonesia. Turunnya surplus neraca perdagangan terutama disumbang oleh kenaikan yang signifikan terhadap impor barang konsumsi dan bahan baku penolong yang cukup besar, selain karena adanya kenaikan impor barang modal. Penurunan surplus neraca perdagangan mempengaruhi posisi neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam masa krisis terlihat bahwa industri manufaktur yang tidak berbasis pada sumber daya lokal mengalami kolaps. Industri kehutanan masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam persentase yang kecil, sedangkan sektor industri manufaktur yang kandungan lokalnya sedikit, mengalami laju pertumbuhan yang negatif. Penerapan kebijakan ekonomi yang kondusif akan berdampak positif terhadap kinerja perdagangan secara keseluruhan. Produk kayu olahan yang merupakan salah satu komoditi ekspor yang diandalkan, juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi tersebut. Permasalahan perdagangan ekspor produk industri pengolahan kayu primer adalah sangat kompleks tetapi secara garis besar terbagi pada dua hal yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang berkaitan dengan komitmen perdagangan dunia dan hambatan-hambatan non tarrif barriers yang diciptakan negara lain. Non tarrif barriers bisa dengan alasan HAM, lingkungan hidup, dan sebagainya. Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan kebijakan perdagangan dunia seperti yang telah diatur oleh World Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasinya melalui UU No.7 tahun 1994. Pada tingkat regional, Indonesia telah menandatangani kesepakatan Asean Free Trade Agreement (AFTA) tentang perdagangan bebas di lingkungan negara-negara Asia Tenggara (Association of

9 South East Asian Nation, ASEAN), serta deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi. Kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut selain berdamapk positif juga mempunyai dampak negatif terutama bila terkait produk yang sensitif terhadap lingkungan. Di samping itu juga merupakan tantangan bagi Indonesia untuk lebih siap menghadapi persaingan di masa depan. Permasalan perdagangan lainnya adalah yang permasalahan internal di dalam negeri atau kebijakan-kebijakan sektoral yang terkait baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja perdagangan. Untuk subsektor kehutanan banyak kebijakan yang terkait dengan produk industri pengolahan kayu primer yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja ekspornya. Sejak tahun 1970, komoditi produk kayu mengalami perkembangan kebijakan terutama pada sektor kehutanan. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan sektor perdagangan yang mempengaruhi kinerja ekspor produk kayu primer. Perkembangan terkait kebijakan perdagangan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan perkembangan kebijakan kehutanan setiap sepuluh tahunan yang dapat dibagi dalam empat periode. Periode pertama dan kedua (1970-1980) merupakan masa keemasan (booming) produksi dan ekspor kayu bulat. Hal tersebut dikarenakan terbitnya PP 21/1970 tentang HPH dan HPHH. Pada tahun 1980 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang larangan ekspor kayu bulat. Pada periode ketiga dan ke empat pada tahun 1990-an dan 2000-an, ditandai dengan munculnya isu global di bidang hak asasi manusia, ekonomi, dan lingkungan.

PP 21/1970 HPH dan HPHH UU 5/1967 Pokok-pokok Kehutanan PP 18/1975 Ketentuan Pemohon HPH Inpres Reboisasi dan Penghijauan (1976) SKB Tiga Menteri Larangan Ekspor Kayu Bulat (1980) Keppres 31/1989 dan 29/1990 Dana Reboisasi UU 5/1990 Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya SK Menperindag Ketentuan Ekspor Kayu Bulat (1998) SKB Tiga Menteri Pencabutan Larangan Ekspor Kayu Bulat (1998) UU 41/1999 Kehutanan SKB Menhut- - Mendag Penghentian Ekspor Kayu Bulat/BBS (2001). SK Menhut Penurunan Pajak Ekspor Kayu Bulat (2000) SK Menhut Soft Landing (2003) 1970 1980 1990 2000 Keterangan DR = Dana Reboisasi PSDH = Provisi Sumber Daya Hutan, BBS = Bahan Baku Serpih (Sumber: Justianto, diolah 2005) : Gambar 1. Perkembangan Kebijakan Kehutanan terkait Perdagangan Inpres No 4/2005 Pemberantasan Penebangan dan Perdagangan Ky Ilegal SK Menhut Percepatan Pembangunan HTI utk Pemenuhan Bhn Baku Pulp dan Kertas (2003) 10

119 Kondisi subsektor kehutanan setelah krisis ekonomi mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan kehutanan menurunkan pajak ekspor kayu bulat. menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan 0 persen pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil. Perubahan kebijakan kehutanan pada era tahun 2000-an diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dirangsang juga oleh adanya desentralisasi pemerintahan sejalan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 memberikan perhatian khusus pada aspek perencanaan kehutanan secara partisipatif, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyerahan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kehutanan, peran serta masyarakat, dan pengawasan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan (Departemen Kehutanan, 1987) Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan kebijakan soft landing yaitu kebijakan penurunan produksi kayu bulat sebesar 50 persen dari produksi tahun sebelumnya karena isu-isu lingkungan yang makin gencar, sehingga berakibat menurunnya produksi kayu secara drastis pada beberapa provinsi. Penerapan kebijakan Soft Landing, dilakukan dengan menerapkan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing-masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005. Kebijakan perdagangan Indonesia yang akan dikaji adalah kebijakan perdagangan yang terfokus pada : (l) larangan ekspor kayu bulat dan (2) kebijakan sektor kehutanan tentang pungutan terhadap kayu bulat yaitu Provisi Sumber

12 10 Daya Hutan (pengganti Iuran Hasil Hutan, IHH) dan Dana Reboisasi. Selain kedua kebijakan tersebut, kebijakan ekonomi yang terkait dengan kebijakan perdagangan juga menjadi bahasan dalam penelitian ini, yaitu kebijakan yang secara langsung dapat mempengaruhi kinerja perdagangan antara lain adalah (1) kebijakan kenaikan upah tenaga kerja (2) kenaikan harga kayu bulat dunia dan (3) nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar US. Nilai tukar rupiah yang pada dasarnya bukan merupakan suatu kebijakan, karena sistem nilai tukar di Indonesia sudah bebas mengambang yang artinya sangat tergantung pada pasar dan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap mata uang asing dalam batas-batas yang rasional juga akan meningkatkan daya saing ekspor. Melemahnya nilai tukar rupiah yang tidak terkendali dapat mengganggu kondisi ekonomi nasional dan sangat tidak kondisif untuk perdagangan internasional. Ekspansi moneter yang jika berlebihan juga akan menyebabkan inflasi tehadap rupiah sehingga akan meningkatkan bunga bank. Bunga bank yang naik akan menahan laju daya saing barang ekspor Indonesia karena adanya kenaikan biaya produksi. Kebijakan yang terpadu untuk menjaga kondisi makro ekonomi yang stabil menjadi suatu persyaratan dalam meningkatkan kinerja ekspor Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor suatu negara terutama negara berkembang seperti Indonesia dimana pendapatan ekspor merupakan hal vital bagi perekonomian negara. Ekspor komoditi sektor kehutanan cukup berpengaruh terhadap perolehan devisa negara. Tinggi rendahnya ekspor tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor suatu komoditi. Oleh

13 11 karena itu, penelitian ini akan menganalisis dampak kabijakan perdagangan terhadap kinerja perdagangan produk industri pengolahan kayu primer. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer? 2. Bagaimanakah dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer (tahun 1980-2002)? 3. Bagaimanakah dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer pada periode mendatang (tahun 2007-2010)? 4. Alternatif kebijakan apa yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia. Secara spesifik, tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer. 2. Mengevaluasi dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer periode tahun 1980-2002.

14 12 3. Meramalkan dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer periode tahun 2007-2010. 4. Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan masukan baik dalam segi ilmu pengetahuan maupun bagi kepentingan pengambil kebijakan, khususnya dalam hal : 1. Memperkaya kajian-kajian di subsektor kehutanan terutama yang berkaitan dengan produk-produk kayu olahan primer dan perdagangannya. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan perdagangan yang perlu dilakukan untuk mendorong kinerja ekspor produk industri kayu olahan primer. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Model analisis dalam penelitian ini adalah model ekonometrika yang mencoba menggambarkan realitas perdagangan yang terjadi antara Indonesia dengan beberapa negara mitra dagang yang dominan terbesar, dimana realitas perdagangan tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan perdagangan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kinerja ekspor terutama untuk produk-produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan yang dimaksudkan adalah yang telah atau yang akan ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan perdagangan produk kayu olahan, mulai dari sisi produksi sampai pasar komoditi.

15 13 Dalam penelitian ini kebijakan perdagangan yang akan dikaji adalah kebijakan perdagangan yang terkait dengan kinerja ekspor kayu olahan primer meliputi : (1) kebijakan terhadap bahan baku input, yaitu pungutan terhadap kayu bulat yaitu Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi, tingkat suku bunga/kredit, kebijakan upah tenaga kerja, dan (2) larangan ekspor kayu bulat. Penelitian ini mengkaji aspek produksi untuk menggambarkan fenomena perdagangan sebenarnya bahwa kinerja perdagangan produk kayu olahan tidak bisa dipisahkan dengan kinerja industri kayu olahan itu sendiri dan intervensi kebijakan pemerintah yang diterapkan. Pemilihan komoditi produk industri kayu olahan primer yaitu kayu gergajian, kayu lapis dan pulp dengan mempertimbangkan peran produk-produk tersebut yang cukup dominan pada perekonomian Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan nilai ekonomi kehutanan, sedangkan produk-produk lain dari kayu tidak menjadi obyek penelitian. Hal ini bukannya produk-produk tersebut tidak penting tetapi supaya penelitian ini lebih fokus. Jenis produk industri yang dipilih sebagian besar merupakan industri yang padat modal dan juga padat karya serta banyak menggunakan input lokal. Bahan baku kayu bulat dalam penelitian ini tidak dibedakan apakah bersumber dari hutan alam atau dari hutan tanaman. Pembedaan ini sangat perlu dilakukan karena sangat berbeda baik kualitas maupun harganya. Tetapi karena data yang tersedia tidak dibedakan dengan jelas sehingga dalam penelitian ini belum dapat dibedakan asal sumber bahan bakunya. Kinerja ekspor dapat ditunjukkan melalui pendekatan pengukuran indikator peningkatan volume dan nilai ekspor produk industri pengolahan kayu

16 14 primer yang merupakan perolehan nilai devisa dari ekspor. Kinerja ekspor produk kayu diharapkan dapat kembali meningkat dengan adanya intervensi kebijakan yang tepat. Dimana kebijakan yang diterapkan harus merupakan kebijakan yang komprehensif dimulai dari kelestarian pasokan bahan baku kayunya. Bahan baku kayu komponen terbesar biaya produksi lebih dari 70 persen biaya produksi pengolahan kayu primer.