PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21 perkembangan pesat terjadi dalam bidang 4T

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu

Ni Made, Purnama Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(1):

BAB V. Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian di bab-bab sebelumnya. menunjukkan terjawabnya rumusan masalah tersebut.

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB VII REFLEKSI MEMBANGUN KESADARAN PEMUDA DARI KESENJANGAN DAN HILANGNYA PERAN DALAM DESA. 1. Membangun Kesadaran Pemuda Menjadi Agen

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi persoalan ketika berbicara mengenai kualitas pendidikan di Indonesia.

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB V PENUTUP. Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig)

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan

TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan lingkungan (profit-people-planet), kini semakin banyak

SOENARJO-ALI MASCHAN MUSA (SALAM): Sebuah Desa yang Teratur

8.1 Temuan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013

BAB I PENDAHULUAN. saling mengetahui kekayaan dan kebudayaan bangsa lain, teknologi. mengelola input menjadi output yang berguna bagi khalayak umum.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. modal sosial menempati posisi penting dalam upaya-upaya. pemberdayaan dan modal sosial, namun bagaimanapun unsur-unsur

Kedamaian dan Keberagaman di Bumi Pancasila

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP Kesimpulan

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wilayahnya masing-masing. Budaya sebagai tuntunan kehidupan tersebut

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN

Membangun Kemitraan Antar Umat Beragama

III. METODE PENELITIAN

Kedua, pengaruh sosial. Selain budaya, pengaruh sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

A. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

Islam dan Sekularisme

Patung dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia

BAB V PE N U T U P A. Simpulan

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB VII PENUTUP. dirumuskan sebelumnya. Kesimpulan yang dimunculkan dalam bab ini berisi

Perkebunan produktif di lereng pegunungan

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Pesta Kesenian Bali ke-35, Denpasar, 15 Juni 2013 Sabtu, 15 Juni 2013

RINGKASAN. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan kepada Undang-Undang. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah, menekankan adanya

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

Transkripsi:

BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis. Sejarah perkembangan masyarakatnya diwarnai oleh berbagai gejala perubahan sosial, yang prosesnya terkadang membawa berbagai gejolak sosial. Gambaran perkembangan seperti ini, dari sudut pandang orang luar mungkin agak sulit dibayangkan karena konstruksi imajinasi yang terlanjur menempel kuat pada sosok Bali sebagai Pulau Dewata. Pulau dengan ribuan pura tempat bersemayam para dewata, yang suasananya dianggap penuh dengan kedamaian dan keharmonisan. Namun antara kesan dan realita memang sering berjarak jauh. Bali, dalam realitanya, misalnya, jelas tidak sama dengan bayangan yang melekat pada julukannya sebagai Pulau Dewata, tempat yang penuh dengan kedamian dan keharmonisan. Sebaliknya, Bali (masyarakat Bali), adalah masyarakat yang sepanjang sejarahnya diwarnai oleh perkembangan dinamika sosial yang di dalamnya terdapat berbagai ketegangan, pertentangan, dan bahkan konflik, di samping juga suasana damai dan harmonis. Apa yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pertentangan dan konflik di satu sisi, dan kehidupan yang damai serta harmonis di sisi lain sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Temuan lapangan dari penelitian ini, secara keseluruhan juga menegaskan bagaimana masyarakat perdesaan di Tabola yang wilayahnya terletak di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem Bali, adalah masyarakat yang kehidupan sosialnya selalu berkembang dinamis. Masyarakat yang kehidupan sosialnya tidak pernah lepas dari berbagai pengaruh, baik yang berasal dari luar desa (supra-desa) maupun dari dalam desa (internal desa). Perkembangan pengaruh dari kedua faktor itu ( luar desa dan di dalam desa ), pada gilirannya telah mendorong terjadinya berbagai gejala perubahan sosial. Berbagai

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI gejala perubahan sosial yang ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya dari tulisan ini, misalnya, menegaskan perkembangan kehidupan sosial yang dinamis itu. Ini khususnya terkait konteks periode waktu yang menjadi fokus perhatian penelitian ini, yaitu sejak awal reformasi (1999) hingga tahun 2010 (akhir tahun 2010, ketika riset lapangan ini diakhiri). Pada tulisan di bab-bab sebelumnya, telah digambarkan antara lain berbagai gejala perubahan sosial, yang hal itu terjadi terutama sejak pengaruh reformasi menembus aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat desa Tabola. Gejala perubahan yang terjadi itu, ternyata tidak saja muncul dalam dimensi material, seperti misalnya aspekaspek kelembagaan masyarakat, tetapi juga dalam dimensi immaterial, yang dalam hal ini melibatkan aspek-aspek ide dan kesadaran masyarakat Tabola, baik sebagai individu maupun kolektif. Di sana tergambar dengan jelas, bagaimana struktur sosial masyarakat, dalam pengertian nilai-nilai dan norma-norma, mengalami proses perubahan sejalan dengan proses penyuratan awig-awig Desa Pakraman Tabola. Hasil dari proses penyuratan itu sendiri (dalam bentuk awig-awig baru yang tertulis) terbukti kemudian dalam prosesnya telah mengubah sebagian kesadaran kognitif masyarakat, termasuk pada gilirannya berbagai praktik terkait substansi ide yang terkandung dalam kesadaran tersebut. Salah satu yang menonjol, misalnya, adalah ide-ide dan praktik-praktik terkait berbagai ritual seperti soal cuntaka atau adu ayam (konsep tabuh rah). Terlihat di sini bahwa munculnya awig-awig baru di Tabola, selain hal itu merupakan hasil dari proses perubahan sosial, tetapi di sisi lain juga telah menjadi sumber dari perubahan sosial itu sendiri. Dalam tulisan yang sama, juga digambarkan suatu contoh bagaimana hadirnya awig-awig yang merupakan hasil dari suatu proses perubahan sosial, ternyata mendorong lebih lanjut terjadinya berbagai perubahan sosial lainnya. Contohnya, karena munculnya realitas awigawig baru, maka kelembagaan perdesaan mengalami berbagai proses perubahan, yang hal itu melibatkan perubahan dalam struktur organisasi dan juga relasi antar struktur, termasuk dengan struktur supra-desa. Begitupula karena sebab yang sama, maka struktur 376

BAB 9 KESIMPULAN kepemimpinan di Tabola mengalami perubahan, yang prosesnya diwarnai oleh pertentangan dan konflik. Apa yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan itu memiliki sifat kaitmengkait membentuk suatu jalinan antara satu gejala dengan gejala yang lain, atau bersifat komplek. Dari gejala perubahan sosial yang komplek itu, ada sesuatu yang menarik untuk dikemukakan, yaitu bahwa perubahan di Tabola ternyata mengandung sifat dualitas. Sebagaimana diungkapkan juga dalam tulisan sebelumnya, bukan kebetulan kalau ternyata masyarakat Bali, baik sebagai individu maupun kolektif, sejak jaman dahulu kala, memiliki cara pandang dualitas dalam melihat dunia sosialnya (social world view). Cara pandang dualitas ini dikenal dengan nama Rwabhineda, yang keberadaannya secara historis bisa ditelusuri sejak abad ke-9 atau ke-10, yaitu ketika Mpu Kuturan mempersatukan pertentangan antara sekte-sekte yang berkembang banyak di Bali pada masa itu, dan mengemasnya menjadi satu konsep yang solid, yaitu Syiwa-Budha, atau diberi nama Rwabhineda. Sebagaimana disinggung sebelumnya, konsep Rwabhineda yang sudah menubuh kuat dalam pikiran dan memandu berbagai tindakan masyarakat Bali itu, tampaknya memiliki kesejajaran dengan konsep dualitas Giddens dan Bourdieu. Khususnya dalam hal bahwa keduanya menolak pemikiran dualisme yang memandang realitas dunia berdasarkan dikotomi, antinomi atau oposisi biner itu. Bersama konsep lain tentang pentingnya keharmonisan untuk mencapai kehidupan yang bahagia (Tri Hita Karana), Rwabhineda boleh dikatakan sudah menjadi habitus bagi masyarakat perdesaan di Tabola pada khususnya, dan boleh jadi, di Bali pada umumnya. Dengan keberadaan habitus ini, masyarakat Bali, baik sebagai individu maupun kolektif, menjadi agen-agen atau aktor-aktor yang aktif dan berinisiatif merespon setiap perkembangan dunia sosial yang mereka hadapi. Gejala perubahan yang bersifat dualitas, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 8, antara lain, adalah hasil dari respon masyarakat Bali sebagai agen-agen atau aktor-aktor yang aktif dan berinisiatif tersebut. 377

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Atas dasar pemikiran bahwa konsep Rwabhineda dan Tri Hita Karana sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, baik dalam dimensi sekala (material/duniawi) maupun niskala (immaterial/spiritual), maka ada satu pertanyaannya yang perlu dikemukakan di sini yaitu apa implikasi hal-hal semacam itu dengan praktik pembangunan di Bali? Bagaimanapun pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat ruang lingkup penelitian ini secara lebih luas adalah bidang studi pembangunan sehingga soal implikasi terhadap praktik pembangunan menjadi relevan untuk dirumuskan. Sebagaimana sempat disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa kalau berbicara tentang pembangunan di Bali, maka mau tidak mau, aspek pembangunan sektor pariwisata menempati peranan sangat penting. Tabel 2 tentang Distribusi Pendapat Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali yang dicantumkan pada Bab 1 dari tulisan ini, misalnya, menggambarkan bahwa sektor pariwisata adalah lokomotif pembangunan di Bali. Sektor pariwisata dalam hal ini memberikan sumbangan paling besar di antara sektor-sektor pembangunan yang ada. Gambaran ini secara empirik menegaskan betapa penting sekali sektor pariwisata bagi pembangunan di Bali. Terkait hal ini, bisa dijelaskan (kemungkinan) kaitan antara cara fikir dualitas dengan praktik pembangunan, khususnya pembangunan pariwisata, di Bali. Dalam konteks pembangunan pariwisata di Bali selama ini, kita bisa melihat bahwa industri jasa pariwisata secara umum mampu berkembang berdampingan dengan realitas sosial-budaya (adat dan agama) masyarakat di Bali. Kedua sektor itu, yang oleh pemikiran modernisme mungkin bisa dianggap merupakan dua sektor yang berbeda, satu modern (industri jasa pariwisata) dan satu lagi tradisional (adat dan agama), ternyata mampu berkembang bersama tanpa saling menegasikan secara hirarkhis satu dengan yang lainnya. Memang, harus diakui, bahwa dalam beberapa dekade terakhir, khususnya sejak dekade terakhir pemerintahan Orde Baru, perkembangan industri pariwisata di Bali berkembang hampir tanpa kendali sehingga terkesan mulai mengancam ruang-ruang kehidupan 378

BAB 9 KESIMPULAN sosial-budaya masyarakat Bali. Banyak kasus-kasus sengketa wilayah berdimensi adat dan agama yang membawa gejolak di masyarakat, yang hal itu timbul karena ekspansi industri pariwisata yang tanpa kendali tersebut. Salah satu di antaranya yang sempat menonjol kasusnya adalah dibangunnya komplek resort pariwisata, Bali Nirwana Resort, disekitar wilayah yang dianggap suci oleh masyarakat adat di Bali, yaitu Tanah Lot, oleh satu grup bisnis konglomerat dari Jakarta. Pembangunan Bali Nirwana Resort seluas hampir 120 hektar, milik kelompok bisnis Keluarga Bakrie itu, tercatat sempat menimbulkan perlawanan yang keras dari masyarakat setempat dan bahkan Bali, yang merasa dirugikan dengan keberadaan resort yang berdekatan dengan tempat suci umat Hindu, Pura Tanah Lot (Santoso P dan Saskarayasa, I.K.: 2002: 41-66). Itu adalah salah satu saja contoh yang pernah terjadi di waktu lalu, karena pada kenyataannya cukup banyak contoh lain yang kasusnya mirip dengan masalah pembangungan Bali Nirwana Resort tersebut. Dalam banyak kasus, pihak pengembang industri pariwisata memang akhirnya lebih banyak memenangkan kasusnya atas masyarakat adat setempat. Hal ini sering dianggap karena adanya intervensi pihak penguasa di masa lalu, yang pada waktu itu kekuasaannya boleh dikatakan sangat menghegemoni. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya banyak kritik yang tajam atas perkembangan industri pariwisata di Bali. Namun, terlepas dari banyak kekurangan yang ada, pada tingkatan tertentu, kekuatan masyarakat adat terhadap keberadaan industri pariwisata di Bali, masih cukup berpengaruh. Apalagi ketika jaman sudah sudah mulai berubah, khususnya sejak memasuki masa reformasi. Desa adat, yang kelak namanya namanya berubah menjadi desa pakraman, secara berangsur-angsur semakin kuat kedudukannya, yang hal itu membawa konsekuensinya bahwa kontrol masyarakat adat terhadap ekspansi industri pariwisata di Bali juga menjadi semakin kuat. Sejak waktu itu, hampir tidak mungkin lagi bisa dilakukan suatu pembangunan sarana industri pariwisata yang mengabaikan keberadaan adat (desa adat) dan tempat-tempat suci umat Hindu. 379

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Tetapi sesungguhnya dalam pandangan orang Bali, pariwisata (baca: industri jasa modern) dan tradisi masyarakat adalah dua entitas berbeda yang tidak terjebak dalam kerangka pemikiran oposisi biner. Sebalikya keduanya berbeda tetapi saling menghidupi, karena hanya dengan saling menghidupi itulah industri pariwisata dan tradisi bisa sama-sama memiliki masa depan untuk berkembang. Sebab bagaimanapun, industri pariwisata tidak bisa dilepaskan dari gambaran imajinasi terkait adat dan agama masyarakat, dan bahkan hal itulah yang menjadi modal paling utama dari pasar industri pariwisata di Bali. Umumnya masyarakat Bali, termasuk masyarakat Desa Tabola, menyadari hal demikian. Apalagi Desa Tabola, Kecamatan Sidemen, termasuk daerah pariwisata alam yang cukup terkenal di Bali. Sebaliknya, masyarakat desa adat/pakraman akan menghadapi berbagai kesulitan tanpa kemajuan industri pariwisata, karena sektor itulah, yang langsung ataupun tidak langsung, banyak menopang kehidupan ekonomi masyarakat. Sedangkan dalam dimensi yang lain, praktik kehidupan adat membutuhkan dukungan ekonomi, yang sering kali, tidak kecil. Gambaran paling jelas bisa dilihat dari kenyataan bahwa berbagai macam upacara adat di Bali seringkali menelan biaya yang tidak sedikit. Bahkan semakin besar skala upacara semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, antara adat dan pariwisata, keduanya boleh dikatakan saling menghidupi, keberadaannya saling mengandaikan, dan hubungan keduanya tak pelak, mencirikan sifat dualitas. Patut dicatat di sini, bahwa sifat dualitas ini tidak terbangun dengan sendirinya, tetapi pada dasarnya berpijak pada realitas masyarakat yang sudah memiliki modal dasar tertentu dalam bentuk cara berfikir Rwabhineda dan pandangan kehidupan yang harmonis lewat konsep Tri Hita Karana. Dari titik ini maka bisa dimengerti bahwa pembangunan pariwisata di Bali juga berkembang sangat dinamis, yang setiap kurun waktu tidak pernah sepi dari tarik menarik kepentingan antara industri jasa yang modern itu dengan keberadaan masyarakat dengan cara berfikirnya yang dualitas itu. Hasilnya, meski di sana-sini masih saja terus terdapat berbagai permasalahan yang mengundang sorotan keras dan tajam, toh keseimbangan kehidupan 380

BAB 9 KESIMPULAN antara sektor modern dan tradisional itu tetap berproses, dalam rangka untuk mencari berbagai alternatif solusinya. Pemikiran dualitas dalam wujud konsep Rwabhineda, sebenarnya juga bukan monopoli masyarakat Bali. Masyarakat Jawa, meskipun tidak memiliki konsep yang solid seperti Rwabhineda, dalam alam pikirannya sebenarnya juga terkandung gagasan dualitas. Hal ini, misalnya, ditunjukkan dengan gagasan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti, yang artinya kurang lebih bersatunya pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam Manunggaling Kawula Gusti ini maka hubungan yang terjadi antara Gusti (raja/pemimpin) dan Kawula (rakyat) adalah hubungan yang harmonis, dimana raja bisa mengoptimalkan kedudukannya dan rakyat bisa nyengkuyang (mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Yang ditekankan di sini adalah sebuah perpaduan serta penyatuan yang harmonis dari berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain dalam hubungan saling menguntungkan. 1 Lewat gagasan ini, sesungguhnya ide yang memisahkan keberadaan pemimpin dan rakyat secara tajam, gagasan dikotomi atau oposisi biner, jelas-jelas ditolak. Persoalannya, sampai saat ini, belum cukup banyak kalangan peneliti yang mencoba mengeksplorasi lebih jauh alam pikiran dualitas tersebut, khususnya untuk konteks masyarakat Jawa dan dalam hubungannya dengan teori, konsep, dan praktik pembangunan. Melanjutkan apa yang sempat disinggung dalam penelitian ini, maka tampaknya penelitian yang mengeksplorasi apa yang dikemukakan di atas sangat relevan untuk dijadikan agenda ke depan. Harapannya, lebih banyak penelitian yang mengeksplorasi hal-hal serupa untuk konteks masyarakat lokal di berbagai daerah sehingga pada waktunya nanti bisa dikonsepsikan suatu bentuk konsep, teori, kebijakan dan praktik pembangunan di Indonesia, dengan menggunakan perspektif dualitas. Kalau hal seperti ini bisa diwujudkan, maka terbuka kemungkinan untuk secara bertahap bisa dimunculkan suatu konsep 1 Lihat: Prasaja, S.A., (2009). Sebuah Uraian Singkat Konsep Manunggaling Kawula Gusti. http://setyawara.webnode.com/news/konsep-manunggaling-kawula-gusti/ 381

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI atau teori Pembangunan yang khas Indonesia, konsep dan teori Pembangungan ala Indonesia. Teori pembangunan yang berakar dan (diharapkan) benar-benar mampu menjawab persoalan pembangunan di Indonesia. Dengan konsep dan teori Pembangunan ala Indonesia seperti itu, mungkin praktik pembangunan di Indonesia bisa lebih mempunyai makna bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. 382