BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota ditandai dengan sejumlah penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menentukan alokasi sumberdaya yang dimiliki untuk belanja daerah dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang terdapat dalam anggaran daerah. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menjadi kebijakan dalam meningkatkan pelayanan publik. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. 1

2 APBD adalah suatu anggaran daerah yang memiliki unsur rencana kegiatan suatu daerah, adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka, periode anggaran satu tahun (Halim, 2004:15). APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah (Kusnandar dan Siswanto, 2012). Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepala daerah diberi kewenangan untuk mampu membiayai kebutuhannya sendiri sehingga ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat berkurang. Kepala daerah diberi kewenangan dalam mengurus atau memungut pajak retribusi dan sumber daya alam. Penyesuaian dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan otonomi daerah. Masalah yang timbul dalam otonomi daerah yaitu adanya kesenjangan fiskal antar daerah yang memaksa pemerintah pusat untuk memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa Dana Perimbangan. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan penuh untuk menggunakan dana perimbangan tersebut. Akan tetapi, kewenangan tersebut memilki konsekuensi yang diperoleh yaitu dengan memanfaatkan dana perimbangan sesuai dengan yang dibutuhkan secara efesien dan efektif untuk meningkatkan pelayanan publik. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut untuk meningatkan alokasi dana dalam bentuk anggaran belanja modal dan APBD untuk menambah aset tetap.

3 Penyelenggaraan Desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintah yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkruen. Konkruen adalah urusan pemerintahan diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang konkruen secara proporsional antara pemerintahan, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: akuntabilitas, efesien, dan eksternalitas dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan, dan bertanggungjawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Dengan demikian, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Berdasarkan pengertian perimbangan keuangan tersebut mengandung cakupan pengertian yang cukup luas, yaitu bahwa pelaksanaan otonomi daerah ingin diwujudkan dalam bentuk keadilan horizontal

4 maupun vertikal dan berusaha mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintah (dari segi keuangan) yang lebih baik menuju terwujudnya good governance. Diberlakukannya otonomi daerah memberikan wewenang dari pemerintah pusat kepada setiap pemerintah daerah disertai dengan penyerahan dan pengalihan masalah pembiayaan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menjadi salah satu bagian penting sumber pendapatan daerah. PAD diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. PAD yang semakin meningkat pada jumlah pendapatan yang besar, maka yang dimiliki pemerintah daerah pun lebih tinggi. Maka hal ini mengindikasikan bahwa meningkatnya PAD dengan jumlah yang tinggi maka kemampuan daerah dapat membiayai belanja modal pun semakin tinggi. Dari peningkatan PAD yang semakin tinggi diharapkan menjadi pendorong bagi pemerintah daerah agar lebih meningkatkan akuntabilitas. Masalah dalam pembiayaan daerah mengakibatkan terjadinya ketimpangan PAD, disatu sisi ada daerah yang sangat kaya memiliki PAD yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki PAD yang rendah. Maka dari itu, pelaksanaan otonomi daerah mengharuskan daerah untuk melakukan kegiatan transfer (keuangan). Senada dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) serta Tuasikal (2008) memperoleh hasil bahwa PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal. Namun terkadang peningkatan PAD tidak selalu diikuti dengan peningkatan anggaran belanja modal karena PAD banyak terserap untuk membiayai belanja lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh

5 Rizanda (2013) dan Paujiah (2012) memperoleh hasil bahwa PAD tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Hal ini disebabkan karena PAD yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja lainnya, seperti belanja pegawai dan keseharian pemerintah daerah. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa setiap daerah di indonesia memiliki potensi keuangan yang berbeda-beda dan menimbulkan masalah keuangan yang akan berakibat dalam kesenjangan pembangunan di daerah setempat. Maka, pemerintah daerah mengalokasikan sejumlah dana dari daerah satu ke daerah yang lain melalui transfer dana pemerintah pusat yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana transfer atau dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH). Setiap daerah dana perimbangan memiliki peranan yang penting. Dana perimbangan memiliki porsi yang signifikan sehingga dana transfer ini menjadi sumber pendanaan utama bagi pemerintah daerah. Menurut Oates (1995) dalam Maimunah (2006), ketika respon belanja daerah lebih besar terhadap transfer pemerintah pusat, maka kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya flypaper effect. Holtz-Eakin et al. (1985) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal. Hal ini juga di dukung oleh studi Legrenzi dan Milas (2001) dalam Asyaidah (2015) yang menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Oleh karena itu,

6 pemerintah kabupaten dan kota diharapkan dapat bertanggung jawab dalam menggunakan dana ini sesuai dengan tujuan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik melalui alokasi belanja modal. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion). Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah menghitung potensi PAD yang riil dimiliki daerah. Untuk itu diperlukan metode penghitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional (Halim, 2004:128). Selain PAD, Dana Perimbangan pemerintah daerah juga memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk membiayai kegiatan belanja modal. SILPA merupakan sumber penerimaan internal pemerintah daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan tahun berjalan. Peningkatan SILPA yang terjadi telah disengaja oleh perda untuk meningkatkan PAD pada tahun berikutnya dan juga mengoptimalkan SILPA tahun sebelumnya untuk meningkatkan penyerapan belanja modal yang secara langsung mempengaruhi kebutuhan masyarakat. SILPA dijadikan indikator efesiensi, karena SILPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus menyebabkan Pembiayaan Netto yang positif, dimana komponen penerimaan pembiayaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan (Balai Litbang,2008). Penelitian ini menggunakan SILPA sebagai variabel independen yang mempengaruhi belanja modal sebagai variabel dependen.

7 Belanja modal menjadi langkah yang nyata untuk pembangunan dan peningkatan pelayanan publik yang berupa pengalokasian sejumlah dana yang berbentuk anggaran belanja modal digunakan untuk menambah aset tetap yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pengalokasian belanja modal yang digunakan untuk sarana dan prasarana baik kelancaran pelaksanaan kegiatan maupun untuk fasilitas publik. Maka, pemerintah daerah harus menggunakan belanja daerah sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan tidak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Selama ini belanja daerah cenderung digunakan untuk memenuhi belanja rutin yang relatif kurang produktif. Purnama (2014) menyatakan bahwa penerimaan daerah yang berasal dari PAD dan DAU hanya diperuntukkan membiayai pengeluaran rutin, seperti untuk belanja pegawai dan hanya sedikit yang digunakan untuk belanja modal. Sejalan dengan pendapat tersebut, Meianto et al. (2014) menyatakan bahwa penerimaan daerah DAK salah satunya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah saat ini sangat penting untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maka seharusnya jumlahnya lebih besar dari yang ada saat ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka di rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja modal? 2. Apakah dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja modal? 3. Apakah sisa lebih pembiayaan anggaran berpengaruh terhadap belanja modal?

8 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk menguji secara empiris pengaruh pendapatan asli daerah terhadap belanja modal. 2. Untuk menguji secara empiris pengaruh dana perimbangan terhadap belanja modal. 3. Untuk menguji secara empiris pengaruh sisa lebih pembiayaan anggaran terhadap belanja modal. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihakpihak yang berkepentingan, seperti: 1. Manfaat Teoretis Dapat digunakan sebagai bahan referensi khususnya untuk pengembangan penelitian yang berkaitan dengan APBD. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan teori keagenan, terutama pada teori akuntansi sektor publik. 2. Manfaat Praktis Memberikan informasi yang dapat dijadikan masukan, terutama bagi penyelenggara pemerintahan daerah yang membutuhkan infromasi berkaitan dengan Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dalam memprediksi Belanja Modal.

9 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini digunakan sebagai tinjauan terbatasnya suatu informasi yang diteliti agar terhidar dari pembahasan yang terlalu luas. Agar penulisan dapat dipahami oleh pembaca, penulisan ini meneliti tentang pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap Belanja Modal. Maka penelitian ini dibatasi dengan objek penelitian di Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012-2015.