IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi pada arus modal eksternal, prospek pertumbuhan yang tidak pasti. Krisis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Nilai tukar mata uang mencerminkan kuatnya perekonomian suatu negara. Jika

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak krisis ekonomi menghantam Indonesia pada pertengahan

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

Ikhtisar Perekonomian Mingguan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan hal yang tidak asing lagi di Indonesia khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan, hiburan dan kebutuhan hidup lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Mengobati Penyakit Ekonomi Oleh: Mudrajad Kuncoro

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang. dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

Perkembangan Indikator Makroekonomi Indonesia di tengah Ketidakseimbangan Global

Indeks Nilai Tukar Rupiah 2000 = 100 BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga

Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari peran perbankan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN MAKROEKONOMI INDONESIA. Asia Tenggara, yang pemicunya adalah krisis ekonomi di Thailand.

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

Perekonomian Suatu Negara

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat,

VII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau. dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

I. PENDAHULUAN. terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap

BAB I PENDAHULUAN. sedang berkembang. Kondisi ini antara lain didorong oleh adanya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tersebut agar terlaksananya tujuan dan cita-cita bangsa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia terhadap

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

Keseimbangan Ekonomi Empat Sektor. Oleh: Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB I PENDAHULUAN. terhadap lesunya perekonomian global, khususnya negara-negara dunia yang dilanda

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor

BAB I PENDAHULUAN. menopang hampir seluruh program-program pembangunan ekonomi. Peranan

Transkripsi:

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal ini antara lain tercermin dari pergerakan PDB yang selalu mengalami kenaikan secara signifikan. Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa secara umum PDB dari enam Negara ASEAN+3 selama tahun 197 sampai dengan tahun 1997 menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Awalnya enam Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mempunyai nilai PDB yang relatif sama. Namun semenjak tahun 1985, Korea Selatan mengalami peningkatan PDB yang sangat signifikan. Ini terlihat pada tahun 199, nilai PDB Korea Selatan hampir tiga kali PDB Indonesia. PDB Negara Jepang pada tahun awal penelitian yaitu tahun 197, nilainya hampir 35 kali rata-rata nilai PDB keenam negara lainnya. World Bank dalam Arifin (28) mengemukakan bahwa negaranegara yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan ekonomi yang mengesankan (High Performing East Asian Economies/HPAEs), mencapai pertumbuhan ekonominya yang tinggi dengan berpijak pada landasan yang tepat (getting the basics right). Miliar US$ 9 8 7 6 5 4 3 2 1 197 1972 1974 1976 1978 198 1982 1984 1986 1988 199 22 24 26 28 Tahun Ind Mal Sgp Thai Phil Kor (Jepang tidak dimasukkan) Gambar 4.1 Perkembangan PDB riil Negara ASEAN+3 tahun 197-28

52 Dasar pijakan tersebut antara lain: 1 Kebijakan pembangunan yang tangguh secara fundamental dan konsisten dalam penerapannya. 2 Kinerja makroekonomi yang cukup baik dan stabil (antara lain PDB per kapita, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar) mampu menarik arus masuk modal yang berkualitas. 3 Kebijakan restrukturisasi dan deregulasi sistem keuangan, khususnya perbankan, mampu mendorong peningkatan tabungan domestik untuk mendukung sektor pembiayaan dan investasi domestik di negara-negara HPAEs. 4 Peningkatan secara cepat kualitas dan produktivitas sumber daya manusia 5 Menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk di HPEAs dibanding dengan negara berkembang lainnya. Berdasarkan data pertumbuhan PDB dalam rentang waktu 199-27 (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa ketujuh negara tersebut rata-rata mengalami tingkat pertumbuhan PDB yang cukup bervariasi. Rata-rata tingkat PDB tertinggi diantara ketujuh Negara ASEAN+3 adalah Singapura kemudian diikuti Malaysia, Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Philipina dan Jepang. 15 1 5 Persen 5 1 15 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Tahun Gambar 4.2 Tingkat pertumbuhan PDB

53 Tingkat pertumbuhan PDB sampai dengan tahun 1995 di Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu berada pada tingkat pertumbuhan antara 5% hingga 1%. Persentase PDB ini terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun, yaitu ketika krisis ekonomi menerpa hampir seluruh negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengalami dampak krisis yang terbesar. Tanda-tanda krisis mulai nampak pada bulan Juli 27 menyusul terjadinya gejolak nilai tukar yang meruntuhkan perekonomian Thailand. Mata uang regional mulai mengalami tekanan depresiatif dan terus bergejolak sebagai pertanda awal terjadinya efek menular (contagion effect). Faktor pemicu gejolak tersebut secara besar dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. enam Enam faktor yang memengaruhi dari sisi permintaan (Arifin 28) yaitu: 1 Krisis keuangan dan moneter di Thailand memicu pelarian modal keluar dari kawasan karena menganggap ASEAN memiliki masalah yang sama. 2 Tingginya permintaan terhadap dolar yang berkaitan dengan besarnya kewajiban luar negeri negara-negara kawasan (umumnya swasta) jatuh tempo. 3 Maraknya spekulasi mata uang regional. 4 Menurunnya kepercayaan investor terhadap prospek dan kemampuan ekonomi negara-negara di kawasan dalam menghadapi gejolak keuangan. 5 Kecenderungan menguatnya nilai dolar terhadap hampir seluruh mata uang dunia sehingga mendorong investor mengalihkan dananya ke mata uang dolar. 6 Maraknya isu-isu non-ekonomis yang memicu sentimen negatif, misalnya terjadinya gejolak politik di beberapa negara kawasan. 4.2 Komposisi PDB Komposisi PDB dari sisi permintaan terdiri dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Pasca krisis ekonomi pada tahun, faktor-faktor pertumbuhan ekonomi secara umum menunjukkan perbaikan, meskipun dengan pola dan level yang berbeda antara Negara ASEAN+3 (Gambar 4.3).

54 16 Indonesia Milyar Rp 1 8 4 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Juta Ringgit Malaysia 6 5 4 3 1 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Juta Dolar Singapura Singapura 6 5 4 3 1 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Milyar Bath Thailand 6. 5. 4. 3. 2. 1. 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Milyar Peso 4 3 2 1 Philipina 9 92 94 96 98 2 4 6 8 5 Korea Selatan 4 Jepang Milyar Won 4 3 1 Milyar Yen 3 1 9 92 94 96 98 2 4 6 8 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Gambar 4.3 Perkembangan komposisi PDB masing-masing negara

55 Persen 8 75 7 65 6 55 5 45 4 35 3 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 4.4 Peranan konsumsi terhadap PDB Komposisi PDB di Indonesia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang masih ditandai dengan tingginya konsumsi swasta. Pada keempat negara ini pertumbuhan konsumsi tetap tinggi baik sebelum maupun sesudah krisis. Pola berbeda ditunjukkan Thailand, pasca krisis nilai ekspor mendominasi sisi permintaan, meskipun disertai dengan kenaikan signifikan impor, menggantikan konsumsi swasta. Malaysia dan Singapura menunjukkan pola yang berbeda, dengan ekspor dan impor mendominasi baik sebelum maupun setelah krisis dengan surplus trade balance makin besar. 4.3 Konsumsi Swasta Peranan konsumsi di Negara ASEAN+3 masih memegang peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi baik sebelum maupun setelah krisis. Berdasarkan Gambar 4.4 terlihat bahwa hampir diatas 4% peranan konsumsi terhadap PDB. Pangsa konsumsi terbesar terjadi di Philipina dengan pangsa sebesar 7%, diikuti oleh Indonesia. Peranan konsumsi terhadap PDB di Indonesia lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan Jepang, Thailand dan Korea Selatan yang relatif stabil. Peranan konsumsi terendah terjadi di Singapura dengan rata-rata 42%. Khusus Indonesia, periode tahun 199 disebut juga dengan fase non oil boom. Peranan nonmigas sangat dominan dibandingkan dengan migas. Oleh

56 karena itu pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga cukup tinggi. Sementara itu pengeluaran pemerintah tidak mengalami pertumbuhan secepat konsumsi rumah tangga karena didukung oleh sektor swasta dan sekaligus investasi yang dinyatakan dalam pembentukan modal tetap bruto. Walaupun ekspor sudah cukup tinggi, namun kecepatan impor masih lebih besar daripada ekspor. Jika dilihat dari distribusi komponen penyusunnya, persentase terbesar didominasi oleh konsumsi rumahtangga, seperti halnya negara-negara lain di dunia. Pada masa ketergantungan terhadap non migas tahun 199 kontribusi pengeluaran rumah tangga mengalami kenaikan, walaupun pada tahun 199 1993 sempat menurun, yaitu dari sebesar 54.35% tahun 199 menjadi 52.43% tahun 1993. Kenaikan cukup tinggi terjadi pada tahun menjadi 61.13%. Persentase konsumsi rumah tangga terus meningkat hingga pada masa krisis yang terjadi pada tahun. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi rumahtangga sebesar 73.94% pada tahun 1999. Sejalan dengan kemajuan perekonomian, pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga cenderung menurun hingga pada tahun 28 sebesar 6.95%. 4.4 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belanja pemerintah mencakup upah pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum. Peranan terbesar pengeluaran pemerintah terhadap PDB terjadi di Jepang, peranan pengeluaran pemerintah hampir mencapai 2%. Sedangkan untuk negara yang lainnya kurang dari 15%, terlihat pada Gambar 4.5. Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara yang lain. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem sehingga besarnya relatif stabil, dengan flukutuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dan sosial budaya serta politik yang sedang terjadi. Justru pada waktu krisis moneter pada tahun, konsumsi pemerintah Indonesia mengalami penurunan persentase hingga mencapai 5.69% pada tahun tersebut.

57 Persen 21 19 17 15 13 11 9 7 5 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 4.5 Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB 4.5 Investasi Secara umum pertumbuhan tingkat investasi riil di ASEAN+3 pada saat setelah krisis mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan investasi menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rasio pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB yang cenderung menurun setelah terjadinya krisis ekonomi (Gambar 4.6). Negara Malaysia sempat mengalami peranan investasi terhadap PDB yang tertinggi pada tahun 1995 sampai tahun 1997 sebesar 43%. Peranan investasi terhadap PDB yang relatif stabil terjadi di Korea Selatan, dengan peranan rata-rata sebesar 3% setelah krisis ekonomi. Belum kembalinya investasi ke level sebelum krisis meskipun perekonomian sudah membaik mencerminkan efek jangka panjang dari krisis terhadap perekonomian Negara ASEAN+3. Terhadap fakta tersebut, Barro dalam Arifin (28) mengemukakan bahwa dampak krisis terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dan investasi dapat berlangsung dalam jangka panjang. Fenomena yang terjadi di negara-negara Asia yang terkena krisis sejalan dengan temuan Barro tersebut. Fenomena di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa efek krisis nilai tukar dapat dengan segera terhenti namun dampak dari krisis perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi berlangsung lebih lama.

58 Persen 5 45 4 35 3 25 2 15 1 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 4.6 Peranan investasi terhadap PDB 4.6 Inflasi Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997, inflasi di negara-negara ASEAN+3 relatif stabil (rata-rata dibawah 1%) dan cenderung menurun, kecuali Philipina yang tingkat inflasinya pada tahun 1991 sebesar 18.49%, terlihat pada Gambar 4.7. Tingkat inflasi pada periode 199-an hingga tahun 1997 yang dinilai cukup stabil di kawasan ASEAN+3 pada saat itu. Ini menjadi salah satu indikator yang memberikan gambaran kepada dunia, betapa perekonomian ASEAN+3 pada saat itu dalam kondisi yang sangat baik. Kondisi ini dibuktikan dengan kemampuan negara-negara tersebut untuk terus mempertahankan tingkat inflasi pada level satu digit. Kestabilan tersebut, memberikan efek positif antara lain berupa kepastian usaha bagi para investor asing yang akan menanamkan modalnya dikawasan ASEAN+3, sehingga di era 199-an kawasan Asia dinilai merupakan kawasan yang paling menarik dan sangat menjanjikan.

59 7 6 5 Indeks 4 3 2 1 1 Gambar 4.7 Tingkat inflasi negara-negara ASEAN+3 Kondisi tersebut bertolak belakang ketika di pertengahan tahun 1997 krisis mulai menerpa negara-negara di ASEAN+3. Saat itu rata-rata seluruh nilai tukar uang lokal negara-negara di kawasan ASEAN+3 cenderung terus merosot tajam terhadap dolar Amerika (USD). Hal ini sebagai dampak dari terus membanjirnya jumlah mata uang lokal yang dilepas di pasaran secara bersamaan oleh para spekulan, sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang sudah relatif stabil tersebut kemudian menjadi tinggi pada akhir tahun 1997 hingga akhir tahun 1999. Diantara negara-negara di kawasan ASEAN+3, Indonesia merupakan negara yang mengalami peningkatan inflasi yang paling tajam, yaitu dari 6.22% pada tahun 1997 meningkat menjadi 58.39% pada tahun. Indonesia di era 199-an dinilai mempunyai fundamental mikroekonomi yang lebih kuat dibanding Thailand pada saat itu, ternyata tidak mampu membendung dampak dari krisis ekonomi yang menghantam Thailand dengan memburuknya nilai baht Thailand terhadap USD. Tingkat inflasi di Indonesia pada tahun 1999 terus membaik dari 58.39% tahun menjadi 2.48% tahun 1999, namun belum sepenuhnya pulih ke tingkat yang lebih stabil (di bawah 1%) seperti era 199-an. Setelah tahun -an inflasi Indonesia relatif berfluktuasi, inflasi terendah terjadi pada tahun sebesar 3.72% dan terbesar pada tahun 26 dengan inflasi

6 sebesar 13.11%. Negara-negara yang lainnya mempunyai tingkat inflasi dibawah 1%. 4.7 Suku Bunga Perkembangan suku bunga deposito dari tahun 199-28, Indonesia cenderung tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya, seperti terlihat pada Gambar 4.8. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia tahun, pergerakan suku bunga relatif stabil, ketika terjadinya krisis ekonomi suku bunga di semua negara kecuali Jepang mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Suku bunga di Indonesia pada tahun sampai pada level 39.7%, ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya. Pada tahun yang sama, tingkat suku bunga di Korea Selatan sebesar 13.29% diikuti Philipina sebesar 12.11%. Umumnya setelah krisis ekonomi, tingkat suku bunga di masing-masing negara ASEAN+3 lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Suku bunga terendah terjadi di Jepang, rata-rata suku bunga selama 19 tahun adalah 1.2%, selanjutnya di Singapura dengan rata-rata 2.17%. 45 4 35 3 25 2 15 1 5 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Persen Gambar 4.8 Tingkat suku bunga negara-negara ASEAN+3