IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal ini antara lain tercermin dari pergerakan PDB yang selalu mengalami kenaikan secara signifikan. Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa secara umum PDB dari enam Negara ASEAN+3 selama tahun 197 sampai dengan tahun 1997 menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Awalnya enam Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mempunyai nilai PDB yang relatif sama. Namun semenjak tahun 1985, Korea Selatan mengalami peningkatan PDB yang sangat signifikan. Ini terlihat pada tahun 199, nilai PDB Korea Selatan hampir tiga kali PDB Indonesia. PDB Negara Jepang pada tahun awal penelitian yaitu tahun 197, nilainya hampir 35 kali rata-rata nilai PDB keenam negara lainnya. World Bank dalam Arifin (28) mengemukakan bahwa negaranegara yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan ekonomi yang mengesankan (High Performing East Asian Economies/HPAEs), mencapai pertumbuhan ekonominya yang tinggi dengan berpijak pada landasan yang tepat (getting the basics right). Miliar US$ 9 8 7 6 5 4 3 2 1 197 1972 1974 1976 1978 198 1982 1984 1986 1988 199 22 24 26 28 Tahun Ind Mal Sgp Thai Phil Kor (Jepang tidak dimasukkan) Gambar 4.1 Perkembangan PDB riil Negara ASEAN+3 tahun 197-28
52 Dasar pijakan tersebut antara lain: 1 Kebijakan pembangunan yang tangguh secara fundamental dan konsisten dalam penerapannya. 2 Kinerja makroekonomi yang cukup baik dan stabil (antara lain PDB per kapita, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar) mampu menarik arus masuk modal yang berkualitas. 3 Kebijakan restrukturisasi dan deregulasi sistem keuangan, khususnya perbankan, mampu mendorong peningkatan tabungan domestik untuk mendukung sektor pembiayaan dan investasi domestik di negara-negara HPAEs. 4 Peningkatan secara cepat kualitas dan produktivitas sumber daya manusia 5 Menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk di HPEAs dibanding dengan negara berkembang lainnya. Berdasarkan data pertumbuhan PDB dalam rentang waktu 199-27 (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa ketujuh negara tersebut rata-rata mengalami tingkat pertumbuhan PDB yang cukup bervariasi. Rata-rata tingkat PDB tertinggi diantara ketujuh Negara ASEAN+3 adalah Singapura kemudian diikuti Malaysia, Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Philipina dan Jepang. 15 1 5 Persen 5 1 15 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Tahun Gambar 4.2 Tingkat pertumbuhan PDB
53 Tingkat pertumbuhan PDB sampai dengan tahun 1995 di Negara ASEAN+3 kecuali Jepang mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu berada pada tingkat pertumbuhan antara 5% hingga 1%. Persentase PDB ini terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun, yaitu ketika krisis ekonomi menerpa hampir seluruh negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengalami dampak krisis yang terbesar. Tanda-tanda krisis mulai nampak pada bulan Juli 27 menyusul terjadinya gejolak nilai tukar yang meruntuhkan perekonomian Thailand. Mata uang regional mulai mengalami tekanan depresiatif dan terus bergejolak sebagai pertanda awal terjadinya efek menular (contagion effect). Faktor pemicu gejolak tersebut secara besar dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. enam Enam faktor yang memengaruhi dari sisi permintaan (Arifin 28) yaitu: 1 Krisis keuangan dan moneter di Thailand memicu pelarian modal keluar dari kawasan karena menganggap ASEAN memiliki masalah yang sama. 2 Tingginya permintaan terhadap dolar yang berkaitan dengan besarnya kewajiban luar negeri negara-negara kawasan (umumnya swasta) jatuh tempo. 3 Maraknya spekulasi mata uang regional. 4 Menurunnya kepercayaan investor terhadap prospek dan kemampuan ekonomi negara-negara di kawasan dalam menghadapi gejolak keuangan. 5 Kecenderungan menguatnya nilai dolar terhadap hampir seluruh mata uang dunia sehingga mendorong investor mengalihkan dananya ke mata uang dolar. 6 Maraknya isu-isu non-ekonomis yang memicu sentimen negatif, misalnya terjadinya gejolak politik di beberapa negara kawasan. 4.2 Komposisi PDB Komposisi PDB dari sisi permintaan terdiri dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Pasca krisis ekonomi pada tahun, faktor-faktor pertumbuhan ekonomi secara umum menunjukkan perbaikan, meskipun dengan pola dan level yang berbeda antara Negara ASEAN+3 (Gambar 4.3).
54 16 Indonesia Milyar Rp 1 8 4 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Juta Ringgit Malaysia 6 5 4 3 1 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Juta Dolar Singapura Singapura 6 5 4 3 1 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Milyar Bath Thailand 6. 5. 4. 3. 2. 1. 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Milyar Peso 4 3 2 1 Philipina 9 92 94 96 98 2 4 6 8 5 Korea Selatan 4 Jepang Milyar Won 4 3 1 Milyar Yen 3 1 9 92 94 96 98 2 4 6 8 9 92 94 96 98 2 4 6 8 Gambar 4.3 Perkembangan komposisi PDB masing-masing negara
55 Persen 8 75 7 65 6 55 5 45 4 35 3 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 4.4 Peranan konsumsi terhadap PDB Komposisi PDB di Indonesia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang masih ditandai dengan tingginya konsumsi swasta. Pada keempat negara ini pertumbuhan konsumsi tetap tinggi baik sebelum maupun sesudah krisis. Pola berbeda ditunjukkan Thailand, pasca krisis nilai ekspor mendominasi sisi permintaan, meskipun disertai dengan kenaikan signifikan impor, menggantikan konsumsi swasta. Malaysia dan Singapura menunjukkan pola yang berbeda, dengan ekspor dan impor mendominasi baik sebelum maupun setelah krisis dengan surplus trade balance makin besar. 4.3 Konsumsi Swasta Peranan konsumsi di Negara ASEAN+3 masih memegang peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi baik sebelum maupun setelah krisis. Berdasarkan Gambar 4.4 terlihat bahwa hampir diatas 4% peranan konsumsi terhadap PDB. Pangsa konsumsi terbesar terjadi di Philipina dengan pangsa sebesar 7%, diikuti oleh Indonesia. Peranan konsumsi terhadap PDB di Indonesia lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan Jepang, Thailand dan Korea Selatan yang relatif stabil. Peranan konsumsi terendah terjadi di Singapura dengan rata-rata 42%. Khusus Indonesia, periode tahun 199 disebut juga dengan fase non oil boom. Peranan nonmigas sangat dominan dibandingkan dengan migas. Oleh
56 karena itu pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga cukup tinggi. Sementara itu pengeluaran pemerintah tidak mengalami pertumbuhan secepat konsumsi rumah tangga karena didukung oleh sektor swasta dan sekaligus investasi yang dinyatakan dalam pembentukan modal tetap bruto. Walaupun ekspor sudah cukup tinggi, namun kecepatan impor masih lebih besar daripada ekspor. Jika dilihat dari distribusi komponen penyusunnya, persentase terbesar didominasi oleh konsumsi rumahtangga, seperti halnya negara-negara lain di dunia. Pada masa ketergantungan terhadap non migas tahun 199 kontribusi pengeluaran rumah tangga mengalami kenaikan, walaupun pada tahun 199 1993 sempat menurun, yaitu dari sebesar 54.35% tahun 199 menjadi 52.43% tahun 1993. Kenaikan cukup tinggi terjadi pada tahun menjadi 61.13%. Persentase konsumsi rumah tangga terus meningkat hingga pada masa krisis yang terjadi pada tahun. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi rumahtangga sebesar 73.94% pada tahun 1999. Sejalan dengan kemajuan perekonomian, pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga cenderung menurun hingga pada tahun 28 sebesar 6.95%. 4.4 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belanja pemerintah mencakup upah pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum. Peranan terbesar pengeluaran pemerintah terhadap PDB terjadi di Jepang, peranan pengeluaran pemerintah hampir mencapai 2%. Sedangkan untuk negara yang lainnya kurang dari 15%, terlihat pada Gambar 4.5. Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara yang lain. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem sehingga besarnya relatif stabil, dengan flukutuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dan sosial budaya serta politik yang sedang terjadi. Justru pada waktu krisis moneter pada tahun, konsumsi pemerintah Indonesia mengalami penurunan persentase hingga mencapai 5.69% pada tahun tersebut.
57 Persen 21 19 17 15 13 11 9 7 5 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 4.5 Peranan pengeluaran pemerintah terhadap PDB 4.5 Investasi Secara umum pertumbuhan tingkat investasi riil di ASEAN+3 pada saat setelah krisis mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan investasi menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rasio pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB yang cenderung menurun setelah terjadinya krisis ekonomi (Gambar 4.6). Negara Malaysia sempat mengalami peranan investasi terhadap PDB yang tertinggi pada tahun 1995 sampai tahun 1997 sebesar 43%. Peranan investasi terhadap PDB yang relatif stabil terjadi di Korea Selatan, dengan peranan rata-rata sebesar 3% setelah krisis ekonomi. Belum kembalinya investasi ke level sebelum krisis meskipun perekonomian sudah membaik mencerminkan efek jangka panjang dari krisis terhadap perekonomian Negara ASEAN+3. Terhadap fakta tersebut, Barro dalam Arifin (28) mengemukakan bahwa dampak krisis terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dan investasi dapat berlangsung dalam jangka panjang. Fenomena yang terjadi di negara-negara Asia yang terkena krisis sejalan dengan temuan Barro tersebut. Fenomena di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa efek krisis nilai tukar dapat dengan segera terhenti namun dampak dari krisis perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi berlangsung lebih lama.
58 Persen 5 45 4 35 3 25 2 15 1 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 4.6 Peranan investasi terhadap PDB 4.6 Inflasi Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997, inflasi di negara-negara ASEAN+3 relatif stabil (rata-rata dibawah 1%) dan cenderung menurun, kecuali Philipina yang tingkat inflasinya pada tahun 1991 sebesar 18.49%, terlihat pada Gambar 4.7. Tingkat inflasi pada periode 199-an hingga tahun 1997 yang dinilai cukup stabil di kawasan ASEAN+3 pada saat itu. Ini menjadi salah satu indikator yang memberikan gambaran kepada dunia, betapa perekonomian ASEAN+3 pada saat itu dalam kondisi yang sangat baik. Kondisi ini dibuktikan dengan kemampuan negara-negara tersebut untuk terus mempertahankan tingkat inflasi pada level satu digit. Kestabilan tersebut, memberikan efek positif antara lain berupa kepastian usaha bagi para investor asing yang akan menanamkan modalnya dikawasan ASEAN+3, sehingga di era 199-an kawasan Asia dinilai merupakan kawasan yang paling menarik dan sangat menjanjikan.
59 7 6 5 Indeks 4 3 2 1 1 Gambar 4.7 Tingkat inflasi negara-negara ASEAN+3 Kondisi tersebut bertolak belakang ketika di pertengahan tahun 1997 krisis mulai menerpa negara-negara di ASEAN+3. Saat itu rata-rata seluruh nilai tukar uang lokal negara-negara di kawasan ASEAN+3 cenderung terus merosot tajam terhadap dolar Amerika (USD). Hal ini sebagai dampak dari terus membanjirnya jumlah mata uang lokal yang dilepas di pasaran secara bersamaan oleh para spekulan, sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang sudah relatif stabil tersebut kemudian menjadi tinggi pada akhir tahun 1997 hingga akhir tahun 1999. Diantara negara-negara di kawasan ASEAN+3, Indonesia merupakan negara yang mengalami peningkatan inflasi yang paling tajam, yaitu dari 6.22% pada tahun 1997 meningkat menjadi 58.39% pada tahun. Indonesia di era 199-an dinilai mempunyai fundamental mikroekonomi yang lebih kuat dibanding Thailand pada saat itu, ternyata tidak mampu membendung dampak dari krisis ekonomi yang menghantam Thailand dengan memburuknya nilai baht Thailand terhadap USD. Tingkat inflasi di Indonesia pada tahun 1999 terus membaik dari 58.39% tahun menjadi 2.48% tahun 1999, namun belum sepenuhnya pulih ke tingkat yang lebih stabil (di bawah 1%) seperti era 199-an. Setelah tahun -an inflasi Indonesia relatif berfluktuasi, inflasi terendah terjadi pada tahun sebesar 3.72% dan terbesar pada tahun 26 dengan inflasi
6 sebesar 13.11%. Negara-negara yang lainnya mempunyai tingkat inflasi dibawah 1%. 4.7 Suku Bunga Perkembangan suku bunga deposito dari tahun 199-28, Indonesia cenderung tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya, seperti terlihat pada Gambar 4.8. Sebelum krisis ekonomi melanda Asia tahun, pergerakan suku bunga relatif stabil, ketika terjadinya krisis ekonomi suku bunga di semua negara kecuali Jepang mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Suku bunga di Indonesia pada tahun sampai pada level 39.7%, ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya. Pada tahun yang sama, tingkat suku bunga di Korea Selatan sebesar 13.29% diikuti Philipina sebesar 12.11%. Umumnya setelah krisis ekonomi, tingkat suku bunga di masing-masing negara ASEAN+3 lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Suku bunga terendah terjadi di Jepang, rata-rata suku bunga selama 19 tahun adalah 1.2%, selanjutnya di Singapura dengan rata-rata 2.17%. 45 4 35 3 25 2 15 1 5 199 1991 1993 1995 1997 1999 21 22 23 24 25 26 27 28 Persen Gambar 4.8 Tingkat suku bunga negara-negara ASEAN+3