Jengki Architecture and International Style Prisca Winata Tafia Sabila K. Tsanaa Fitri Zhafira
Arsitektur Jengki
Arsitektur Jengki menjadi pelopor arsitektur di Indonesia pasca kemerdekaan dan berkembang pada tahun 1950-1960. Muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan pencarian jati diri arsitektur Indonesia. Kata Jengki terkenal pada tahun 1970 an. Merujuk pada sesuatu yang anti-mainstream, terlihat dari bangunan yang terbentuk.
Pada tahun 1950-1960an bangunan jengki banyak mendominasi daerah Kebayoran Baru di Jakarta. Bangunan-bangunan jengki juga masih banyak dijumpai di Kebayoran Baru pada tahun 70an. Kemudian pada tahun 80an maih ada walaupun tidak banyak dan pada tahun 90an masih terlihat satu atau dua bangunan di Kebayoran. Bangunan jengki benar-benar hilang dari pandangan pada tahun 2000an dan menjadi sangat langka untuk dilihat di daerah Kebayoran.
CHARACTERISTICS
Banyak menggunakan bentuk asimetris dan lengkung
Rumah S di daerah Kampung Ampel
Teras sebagai elemen mutlak arsitektur tropis dan sebagai ruang transisi yang menjadi tipikal arsitektur Nusantara pada umumnya. Ruangan teras berfungsi sebagai ruang penerima, tempat berteduh, maupun penegas pintu masuk.
Banyak memiliki bukaan seperti jendela, Jalusi, dan kerawang sebagai penghawaan dan pencahayaan
Clipped gable broken air holes Wall texture of natural stone structure Columns are shrunk further down
EXAMPLE
Rumah Keluarga Salim Martak. JL. Untung Suropati, Surabaya
Pabrik coklat cendrawasi h
Gerbang Taman Makam Pahlawan
FURNITURE
INTERNATIONAL STYLE
The International Style Major architectural style in Europe & USA Began in the 1920 s 1930 2 (1980 s) Term coined by Henry Russell Hitchcock and Phillip Johnson Philip Cortelyou Johnson (1906-2005) Henry-Russell Hitchcock (1903-
The most important figures The big three Le Corbusier (France) Ludwig Mies van Rohe (Germany) Walter Gropius (Germany)
The International Style was striving towards: Simplification, Honesty and Clarification The ideals of the style can be summed up in four slogans: ornament is a crime materials truth to form follows function machines for living (Le Corbusier)
CHARACTERISTICS
Henry-Russell Hitchcock and Philip Johnson The most common characteristics of International Style buildings: i. rectilinear forms; ii. light, taut plane surfaces that have been completely stripped of applied ornamentation and decoration; iii. open interior spaces; iv. a visually weightless quality engendered by the use of cantilever construction.
IDENTIFYING FEATURES
Modern structural principles and material (commercial and institutional buildings rather than housing) Concrete Glass Steel (most common) Occasionally reveals skeleton frame construction Exposing its structure Rejected non-essential decoration Ribbon windows Corner windows Balance and regularity Flat roof, without ledge Often with thin, metal mullions and smooth spandrel panels separating large, single-pane windows
High-Rise Characteristics
The typical International Style high-rise building usually consists of the following: 1. Square or rectangular footprint 2. Simple cubic extruded rectangle form 3. Windows running in broken horizontal rows forming a grid 4. All façade angles are 90 degrees
EXAMPLE
Bangunan tinggi pertama di Indonesia adalah "Hotel Indonesia", di Jakarta (1959) karya arsitek Amerika Abel Sorensen dan Wendy Sorensen yang penggunaannya diresmikan tanggal 5 Agustus 1962, serta "Wisma Nusantara", di Jakarta, karya arsitek Jepang dengan ketinggian 30 lantai dengan menerapkan teknologi tahan gempa.
HOTEL INDONESIA (1959) Arsitek Amerika Abel Sorensen dan Wendy Sorensen hotel highrise bertaraf internasional pertama di Indonesia.
Wisma Nusantara
Kedua bangunan ini terletak berseberangan pada bundaran air Tugu Selamat Datang (Bundaran HI) dan merupakan titik awal dari perkembangan gedung-gedung tinggi di Indonesia. Dengan dibangunnya Jl. Jend. Sudirman pada awal 1960an terjadi perkembangan gedung-gedung tinggi pada koridor Jl. Jend. Sudirman dan Jl. M.H. Thamrin pada awal 1970-an. Begitu juga dengan Jl. H.R. Rasuna Said yang dibangun pada tahun 1970-an. Sebagaimana dengan negara-negara berkembang lainnya, pertumbuhan gedung-gedung tinggi yang mendominasi wajah kota dilaksanakan tanpa kendali sehingga bangunan yang hadir kurang memiliki pemahaman terhadap kondisi sosial,
Hal ini terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada tahun 1989-an dan mendadak terhenti pada pertengahan 1997 karena krisis ekonomi yang masih berlangsung sampai sekarang. Ternyata keberadaan gedung-gedung tinggi terutama di Jakarta, Bandung dan Surabaya sangat berperan dalam mengantarkan kita pada krisis yang berkepanjangan. Sekali lagi membuktikan bahwa arsitektur bisa menjadi simbol kemakmuran suatu negara tapi juga bisa sebagi simbol
Stadion Olahraga Senayan
Gedung Pola (1963)
Masjid istiqla
SEKIAN
Irvan : kenapa tiba tiba muncul lengkungan? Gaby: ada lengkungan pada hotel indonesia, apakah pencampuran atau bagaimana?