BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORITIK

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. cenderung bereaksi dan bertindak dibawah reaksi yang berbeda-beda, dan tindakantindakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi saat ini persaingan dalam dunia bisnis sangat ketat, oleh sebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman diabad 21 ini memperlihatkan perubahan yang begitu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembangunan. Oleh karena itu, guru yang merupakan salah satu unsur di bidang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pada remaja dapat diselesaikan. Apabila tugas tugas pada remaja

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

BAB II LANDASAN TEORI

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. pertama-tama dari orang tua (keluarga) dan anggota keluarga lainnya. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BABI PENDAHULUAN. Dalam menjalani suatu kehidupan, banyak orang yang mempunyai pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB II TINJAUAN TEORITIS. berkaitan dengan kecerdasan ganda (multipe intelligences). Gardner, menyatakan bahwa IQ tidak

PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

Kecerdasan Emosi. Diklat Kepemimpinan Tingkat IV Lembaga Administrasi Negara. PUSDIKMIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. mengubah emosi, sosial dan intelektual seseorang. Menurut Tudor (dalam Maurice

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun Dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang. memuaskan dibutuhkan suatu proses dalam belajar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam setiap proses kehidupan, manusia mengalami beberapa tahap

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. dari kehidupan manusia. Dalam keluarga komunikasi orang tua dan anak itu. sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak.

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari tiga ciri utama yaitu derajat kesehatan, pendidikan dan. bertumbuh dan berkembang (Narendra, 2005).

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang tuanya tentang moral-moral dalam kehidupan diri anak misalnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. sehingga manusia baik perseorangan maupun sebagai anggota kelompok selalu

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Kecerdasan Emosi. Diklat Kepemimpinan Tingkat IV Lembaga Administrasi Negara

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

BAB 2 KETRAMPILAN INTERPERSONAL

BAB II LANDASAN TEORI

dapat dalam bentuk berlari, bertanya, melompat, menangis, memukul, bahkan mendorong. Untuk itu seorang guru Taman Kanak-kanak harus memiliki kepekaan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

Transkripsi:

5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang biasa kita kenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan penting untuk mencapai satu kesuksesan, baik itu dalam pendidikan, karir, kehidupan rumah tangga dan pergaulan. Karena kecerdasan emosional dapat memberikan gambaran dan menentukan bagaimana individu mampu memberikan kesan yang baik tentang dirinya pada orang lain. Baik dari bagaimana individu mampu beradaptasi dengan lingkungan maupun dapat mengungkapkan dan mengolah emosinya dengna baik. Individu yang cerdas emosi akan mampu mengendalikan emosinya sesuai dengan situasi dan kondisi yang di hadapi. Cooper dan Sawaf, 1998 : 115 (dalam Fatimah) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat. Sementara itu, Howes dan Herald, 1999 : 116 (dalam Fatimah) mengatakan pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang

6 apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Selanjutnya, Goleman, 1997 : 114 (dalam Fatimah) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Koordinasi suasana hati adalah ini dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang dapat menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Selain itu Goleman, 1997 : 114 (dalam Fatimah) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang dapat menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.

7 Kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat besar dan penting dalam kehidupan. Karena kecerdasan emosional ini merupakan salah satu dari beberapa macam kecerdasan yanng dimiliki oleh mannusia. Sehingganya individu diharapkan dapat mengasahnya dengan baik. Karena sekalipun seseorang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, namun jika tidak mampu mengendalikan emosinya dengan baik, cenderung mudah mengalami hambatan dalam berinteraksi sosial. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan menanggapinya degan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 2.1.2 Faktor - Faktor Kecerdasan Emosional Faktor-faktor kecerdasan emosional dapat diketahui melalui beberapa pendapat para ahli. Antara lain menurut Goleman, 1995 : 116 (dalam Fatimah), ada lima faktor kecerdasan emosional yaitu: a. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli

8 psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi yaitu kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Orang tidak mampu mengelola emosinya akan terus menyesali kegagalannya sedangkan mereka yang mampu mengelola emosinya akan segera bangkit dari kegagalan yang menimpanya. c. Memotivasi Diri Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan. Memotivasi diri sendiri merupakan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri,dan untuk berkreasi. d. Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Mengenali emosi orang lain yaitu kemampuan

9 menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi, yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. e. Membina Hubungan Dengan Orang Lain Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan seseorang untuk membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain nyaman, serta dapat terjadi pendengar yang baik. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Dengan melihat uraian faktor-faktor kecerdasan emosional maka dapat di tarik kesimpulan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang

10 mantap maka ia akan dengan mudahnya berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, dapat membina dan menjalin hubungan yang baik dengan siapa saja, serta mampu dalam mengolah emosi dengan baik. 2.1.3 Ciri Utama Pikiran Emosional Setiap individu memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada masing-masing individu tersebut. Adapun ciri utama individu yang memiliki pikiran emosional sebagaimana yang dikemukakan oleh Goleman (1999 : 414-420) antara lain: a. Respon yang Cepat tetapi Ceroboh Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional, langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan apa yang dilakukannya. b. Realitas Simbolik yang Seperti Kanak-kanak Logika pikiran emosional itu bersifat asosiatif, menganggap bahwa unsure-unsur yang melambangkan suatu realitas, atau memicu kenangan terhadap realitas itu, merupakan hal yang sama dengan realitas tersebut. Itulah sebabnya mengapa perumpamaan, kiasan dan gambaran secara langsung ditujukan pada pikiran emosional. c. Masa Lampau Diposisikan sebagai Masa Sekarang Apabila sejumlah cirri suatu peristiwa tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi, akal emosional akan menanggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan

11 peristiwa yang diingat itu. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang, seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau. d. Realitas yang Ditentukan oleh Keadaan Bekerjanya akal emosional itu sebagian besar ditentukan oleh keadaan, ditentukan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat tersebut. Bagaimana kita berpikir dan bertindak sewaktu kita merasa romantic akan betul-betul berbeda dengan bagaimana kita berprilaku jika kita sedang merasa marah atau ditolak. Dalam mekanika emosi, setiap perasaan mempunyai repertoar pikiran, reaksi bahkan ingatannya sendiri-sendiri. Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang baik, mampu mengendalikan dirinya, mampu memusatkan perhatian dengan baik, mampu menjalin hubungan dengan orang lain, serta lebih pintar dalam memahami orang lain. 2.2 Ruang Lingkup Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Pengertian Pola Asuh Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Pourwadirminta, 2002 : 763) pola asuh terdiri dari dari dua suku kata yang masing-masing memiliki arti tersendiri. Pola yang berarti system atau gambar yang dipakai untuk contoh, sedangkan asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak supaya dapat

12 berdiri sendiri. Sehingga pola asuh diartikan sebagai system yang diterapkan oleh orang tua dalam merawat dan mendidik anak-anaknya agar bisa menjadi mandiri. Orang tua harus menerapkan pola asuh yang tepat dengan mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak. Orang tua mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak-anak menjadi seseorang yang di cita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya. Tak bisa kita pungkiri bahwa orang dewasa (orang tua) dengan karakter masing -masing dan masa lalunya akan ikut serta mempengaruhi jenis pola asuh yang di terapkan pada anak-anak mereka. 2.2.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua Setiap orang tua memiliki sikap dan perilaku yang berbeda satu sama lain dalam menghadapi anak-anak mereka. Hal tersebut akan tergambar dalam bentuk pola asuh yang mereka terapkan. Seorang ahli yang bernama Baumrind, (dalam Widyarini, 2003 : 215) mengatakan bahwa pola asuh memiliki 4 macam bentuk, yakni : 1) Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter adalah dimana remaja dan kaum muda harus mengikuti pendapat dan keinginan orangtua. Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha membentuk, mengendallikan, dan mengevaluasi prilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja,tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orang tua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman.

13 2) Pola Asuh Autoritatif Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan atau disiplin tetapi juga mengiunakan kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak dan orang tua, memperkuat standar-standar perilaku. Orang tua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata. 3) Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif pada umumnya tidak ada pengawasan. Pada pola asuh permisif ini orang tua bersikap serba bebas (membolehkan), tanpa pengendalian, tidak menuntut dan hangat. Dalam Pola asuh ini orang tua hanya sedikit memberi perhatian dalam malatih kemandirian. Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berprilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi pada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga,membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.

14 4) Pola Asuh Overprotected (memberikan perlindungan berlebihan). Adalah bentuk pola asuh yang menonjolkan perlindungan berlebihan. Munculnya sikap atau tindakan perlindungan berlebihan karena adanya perasaan khawatir yang terlalu berlebihan dari orang tua di sertai keinginan untuk memberikann perlakuan dan perlindungan terbaik bagi anak remajanya. Dalam hal ini, semangat untuk memberikan perlindungan dan perlakukan terbaik tersebut sangat bagus dan patut dipuji. Namun sayang pelaksanaannya keliru sehingga alih-alih memberikan perlindungan, sebaliknya malah menimbulkan masalah. Banyak orang tua yang kurang menyadari bahwa remaja yang dibesarkan dalam pola asuh ini akan memiliki mentalita yang lemah bila dihadapkan dengan berbagai tantangan dan kesulitan. Hal itu disebabkan di dalam sistem pola asuh ini mereka tidak dilatih untuk mengahadapi sendiri tantanngan yang mereka terima, itulah sebabnya, mereka cenderung selalu dibayang-bayangi berbagai kegagalan, ketakutan dan kecemasan. Bentuk pola asuh ini dapat di lihat dari tindakan yang dilakukan orang tua sebagai berikut : (a) menghilangkan kesempatan remaja bersosialisasi, (b) menciptakan ketakutan remaja, (c) terlalu memanjakan remaja, (d) tidak mendidik remaja untuk mandiri, (e) menghindari tanggung jawab, (f) tidak menghargai kebebasan, (g) menciptakan remaja subjektif. Sementara mereka tidak pernah menyadari bahwa pola asuh yang di terapkan pada anaknya akan memberikan dampak yang negatif. Adapun dampak dari pada pola asuh ini adalah : (a) remaja menjadi peragu, (b) kurang memiliki

15 inisisatif, (c) memiliki tingkat kebergantungan yang tinggi, (d) cenderung mudah cemas dan penakut, (e) tidak berani menghadapi kenyataan, (f) mudah menyerah jika menghadapi masalah, (g) daya juang rendah dan lembek, (h) Kurang memiliki rasas percaya diri, (i) cenderung selalu merasa terancam, (j) lambat menyerap informasi, (k) cenderung menghindari tanggung jawab, (l) sulit membangun relasi, (m) kemampuan berinteraksi rendah Berdasarkan ulasan diatas, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa pola asuh otoriter memiliki ciri utama tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat. Hal ini berbeda dengan pola asuh autoritatif yang berciri demokratis, tetapi juga menerapkan kontrol. Berbeda pula dengan pola asuh permisif yang berciri demokratis, tetapi tanpa memberikan kontrol. Hampir semua orang tua berpikir harus memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, apa yang terbaik menurut satu orang belum tentu dianggap baik bagi orang lain dalam membesarkan anak. Tiap-tiap orang memiliki gaya atau pola tersendiri dalam melakukan tugasnya sebagai orang tua. Dengan pendekatan yang tidak demokratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter, tidak mengherankan bila pola asuh tipe ini memiliki berbagai maam akibat negatif pada anak. Orang tua otoriter tidak menyadari pentingnya menghargai pendapat anak. Mereka tidak menayadari bahwa mendengarkan pendapat anak bisa mendorong kepercayaan diri dan kemandirian anak dalam berpikir, dan dapat diarahan untuk mencapai standar moral yang internal (memiliki kesadaran moral), melalui

16 diskusi. Para orang tua juga tidak menyadari bahwa dalam pola asuh yang lebih banyak menuntut anak ini telah mengikis kehangatan hubungan dengan anak. Anak tidak menemukan suasana yang memungkinkan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Padahal, kehangatan dalan hubungan orang tua-anak merupakan prasayarat bagi kesejahteraan baik anak maupun orang tua. Rutter 1978 : 108-110 (dalam Surbakti) menyatakan bahwa hubungan yang baik dalam keluarga antara anak dengan orang tua dan antara ayah dengan ibu dapat mencegah anak berprilaku agresif dan hubungan yang tidak harmonis di antaranya membuat anak berprilaku agresif. Kemudian orang tua yang memberikan kecaman terhadap anak membuat anak berprilaku agresif dan orang tua yang sering memberikan penghargaan kepada anak dapat membuat anak tidak berprilaku agresif. 2.2.3 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang tua ini dipengaruhi oleh berbagai faktor (Gunarsah dan Yulia, 2008 : 175-176), yakni : a. Pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orang tua mereka. Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut dirasakan manfaatnya. Sebaliknya mereka cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka bila tidak merasakan manfaatnya.

17 b. Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua. Orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Mereka menghendaki anak-anaknya agar bisa mengikuti dan mematuhi aturan yang ada di rumah. Contohnya, orang tua yang mengutamakan segi intelektual dalam kehidupan mereka, atau segi rohani dan lain-lain. c. Tipe kepribadian orang tua. Semua orang tua menyayanngi dan mencintai anak-anaknya. Bahkan ada juga orang tua yang sangat takut kehilangan anaknya. Misalnya orang tua yang selalu cemas dapat mengakibatkan sikap yang terlalu melindungi terhadap anaknya. d. Kehidupan perkawinan orang tua. Dalam kehidupan rumah tangga, pastilah banyak lika liku kehidupan yang dilalui. Orang tua dalam hal mendidik anak-anaknya selalu melihat apa yang pernah mereka alami. Apabila mereka mengalami hal yang sangat menyakitkan yakni perpisahan orang tua mereka, maka hal tersebut tidak akan mereka ikuti demi kebahagiaan anak-anaknya. e. Alasan orang tua mempunyai anak. Di mana-mana alasan orang tua ingin memiliki anak adalah untuk memperbanyak keturunan. Terlebih lagi sebagai pewaris apa yang dimiliki oleh orang tua. Selain itu alas an setiap orang tua ingin memiliki anak adalah sebagai pelengkap dalam kehidupan rumah tangga dan bisa menjadi pelindung kelak dia dewasa nanti.

18 Di ketahui bahwa akibat negatif dari pola asuh otoriter terhadap anak antara lain tidak mengembangkan empati, merasa tidak berharga, standar moral yang eksternal (hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena kesadaran), terlau menahan diri, agresif, kejam, sedih, menarik diri dari peraulan, kurang dalam hal spontanitas, kemandirian, afeksi, dan rasa ingin tahu. Tidak berbeda dengan orang tua lain yang tidak menerapkan pola asuh otoriter, orang tua otoriter pada dasarnya juga bertindak berdasarkan asumsi bahwa apa yang dilakukannya terhadap anak adalah yang terbaik. 2.3 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecerdasan emosional Pada dasarnya sikap orang tua akan tampak saat orang tua melakukan interaksi di dalam lingkungan keluarga. Karena dengan adanya interaksi kita dapat saling memahami dan melihat baik sikap, perilaku dan kebiasaan orang tua maupun anak. Biasanya ada hal-hal yang ditunjukkan oleh orang tua di nilai dan kemudian ditiru oleh anak. Akan tetapi ada juga anak yang merasa tertekan dengan adanya aturan ataupun pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga. sehingga berdampak pada kecerdasan emosional anak. Menurut penulis, hal utama yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah pola asuh yang diterapkan di lingkungan keluarga sejak dini sehingga anak memasuki masa remaja. Karena pola asuh yang baik akan membuahkan hasil yang baik pula. Sebaliknya pola asuh yang tidak tepat maka akan membuahkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat sitarik satu kesimpulan bahwa pola asuh orang tua sangat menetukan anak akan menjadi baik

19 ataupun tidak baik. Begitu juga dengan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh anak. 2.3 Kerangka Berpikir Kecerdasan emosi merupakan salah satu aspek yang ada pada diri manusia. Hal tersebut terbentuk karena adanya pola asuh yang di terapkan oleh orang tua. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah kecerdasan emosi memiliki hubungan dengan pola asuh yang diterapkan oleh para orang tua. Khususnya pada siswa kelas XI IPS SMA Negeri 4 Gorontalo. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional meliputi kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Sementara macam macam pola asuh orang tua itu sendiri terdiri dari pola asuh yang otoriter, pola asuh yang autoritatif, pola asuh permisif dan pola asuh Overprotected (memberikan perlindungan berlebihan).

20 Tabel 1. Kerangka berpikir Pola Asuh Otoriter Pola Asuh Autoritatif Pola Asuh Permisif Pola Asuh Overprotected Pola Asuh Orang Tua Kecerdasan Emosi 2.4 Hipotesis Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan Pola asuh orang tua.