VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BAB III BAHAN DAN METODE

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL-A DARI CITRA SATELIT SeaWiFS DI PERAIRAN PULAU MOYO, KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN NATUNA

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

BAB III METODE PENELITIAN

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

I. INFORMASI METEOROLOGI

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

Keywords : Upwelling, Sea Surface Temperature, Chlorophyll-a, WPP RI 573

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. INFORMASI METEOROLOGI

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman Online di :

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

Transkripsi:

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR NOVILIA ROSYADI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2011 NOVILIA ROSYADI C54063422

RINGKASAN NOVILIA ROSYADI. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a di Bagian Selatan Selat Makassar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG dan BISMAN NABABAN. Perairan bagian selatan Selat Makassar merupakan perairan yang relatif subur karena di perairan ini secara periodik ditemui upwelling sepanjang musim timur dan asupan nutrien dari limpasan daratan (run off) pada musim barat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar. Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Selat Makassar. Penelitian ini menggunakan data SPL dari citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) berupa composite 8 harian dan bulanan dengan resolusi spasial 4x4km 2 yang diunduh dari situs NASA (http://podaac.jpl.nasa.gov) dan data konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS) berupa composite 8 harian dan bulanan dengan resolusi spasial 9x9km 2 yang diunduh dari situs NASA (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov). Kedua jenis data ini memiliki periode waktu pada Januari 1998 Desember 2009. Nilai SPL diestimasi dengan menggunakan algoritma pathfinder dan konsentrasi klororfil-a menggunakan algoritma OC4v4. Secara umum nilai SPL cenderung lebih tinggi pada musim barat (November Februari) antara 26,4 31,0 C dan cenderung lebih rendah pada musim timur (Mei Agustus) antara 25,7 30,6 C. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a relatif tinggi pada musim timur (Mei Agustus) antara 0,15 2,48 mg/m 3 dan relatif rendah pada musim barat (November Februari) antara 0,10 2,03 mg/m 3. Nilai SPL yang paling rendah pada musim timur umumnya terdapat pada sampling area 1 yang diikuti dengan konsentrasi klorofil-a yang paling tinggi serta kecepatan angin yang relatif lebih tinggi, yang mengindikasikan fenomena upwelling. Berdasarkan data composite 8 harian SPL dan klorofil-a, upwelling diduga mulai terjadi pada bulan minggu ke-3 April untuk data SPL dan klorofil-a serta kejadian upwelling rata-rata terjadi pada minggu ke-2 bulan Mei. Kejadian upwelling umumnya mencapai maksimum pada minggu ke-2 Agustus untuk SPL dan minggu ke-3 Agustus untuk klorofil-a. Upwelling ini umumnya berakhir pada minggu ke 4 Oktober baik berdasarkan SPL maupun konsentrasi klorofil-a. Upwelling diduga terjadi akibat pengaruh angin yang berasal dari Tenggara pada musim timur (Mei Agustus) dimana kecepatan angin maksimum terjadi pada bulan Agustus yang ditandai dengan kejadian upwelling maksimum. Hal ini terlihat dari Ekman transport yang menguat ke arah barat daya pada musim ini. Secara umum, ElNino Southern Oscillation (ENSO) berpengaruh terhadap nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan. Saat musim peralihan I (Mar- Apr) nilai SPL tahun ENSO lebih tinggi dibandingkan tahun non ENSO dan saat musim timur nilai SPL tahun ENSO lebih rendah dibandingkan non ENSO. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a pada musim timur lebih tinggi pada tahun ENSO dibanding dengan tahun non ENSO. Hal ini disebabkan oleh kecepatan angin lebih tinggi pada musim timur tahun ENSO dibandingkan tahun non ENSO.

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Novilia Rosyadi DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul skripsi : VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR Nama : Novilia Rosyadi NIM : C54063422 Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir Djisman Manurung, M.Sc. Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. NIP. 19480630 197803 1 002 NIP. 19651206 199103 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003 Tanggal lulus: 14 Februari 2011

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a di Bagian Selatan Selat Makassar. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Kelautan. Penulis menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengalami banyak kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ide, masukan, dan arahan serta meluangkan waktu kepada penulis. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. selaku Ketua Komisi Pendidikan S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan bimbingan selama masa perkuliahan. 4. Para dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberikan ilmu dan masukan selama masa perkuliahan. 5. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat yang telah mempermudah penulis untuk memperoleh data curah hujan.

6. Kedua Orang tua yaitu Rosyad Ali dan Dahlia Agung yang memberikan dukungan baik secara moral, finansial maupun doa yang tidak putus-putusnya kepada penulis. 7. Elfira Rosyadi dan Fachriza Rosyadi yang senantiasa memberikan semangat dan doa kepada penulis. 8. Firmansyah Samad yang senantiasa menemani penulis dengan sabar, memberikan masukan dan bantuannya dalam penulisan skripsi. 9. Kristina Simamora dan Romdonul Hakim yang berjuang bersama penulis dalam menyelesaikan skripsi. 10. Warga ITK, khususnya ITK 43 yang telah memberikan dukungan dan semangat pada penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya. Bogor, Februari 2011 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar... 4 2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a... 5 2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL)... 7 2.4. Upwelling... 9 2.5. Penginderaan Jauh Satelit... 12 2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR... 13 3. METODOLOGI... 16 3.1. Waktu dan Tempat... 16 3.2. Alat dan Data Penelitian... 17 3.2.1. Alat Penelitian... 17 3.2.2. Data Penelitian... 17 3.3. Pengolahan Data... 18 3.3.1. SPL dan Kosnentrasi Klorofil-a... 18 3.3.2. Angin... 22 3.3.3. Ekman Transport... 23 3.3.4. Curah Hujan... 24 3.3.5. Analisis Interannual... 24 3.3.6. Tinggi Paras Laut (TPL)... 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27 4.1. Variabilitas Nilai SPL... 27 4.1.1. Variabilitas Nilai SPL Secara Spasial... 27 4.1.2. Variabilitas Nilai SPL Secara Temporal... 30 4.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a... 34 4.1.1. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Spasial... 34 4.1.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Temporal... 37 4.3. Interannual Variabilitas SPL dan Klorofil-a... 45 4.4. Faktor yang Mempengaruhi Variabilitas SPL dan Klorofil-a... 48 4.4.1. Angin... 48 4.4.2. Ekman Transport... 53 4.4.3. Curah Hujan... 57 4.4.4. Sebaran Anomali Tinggi Paras Laut (TPL)... 59

5. KESIMPULAN... 63 DAFTAR PUSTAKA... 65 LAMPIRAN... 68 RIWAYAT HIDUP... 70

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010)... 14 2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010)... 14 3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010)... 15 4. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area1... 32 5. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area2... 33 6. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area3.... 33 7. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area1... 41 8. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area2... 41 9. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area3... 42 10. Fluktuasi mingguan SPL... 44 11. Fluktuasi mingguan klorofil-a... 44

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind; (b) suatu pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004)... 11 2. Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001)... 13 3. Peta Lokasi Penelitian... 17 4. Diagram Alir Pengolahan NOAA AVHRR dan Citra SeaWiFS... 20 5. Southern Oscillation Index (SOI) (BOM, 2010)... 25 6. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004... 27 7. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004... 28 8. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004... 29 9. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004... 29 10. Fluktuasi nilai SPL rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area 1, sampling area 2, dan sampling area 3 periode Januari 1998 Desember 2009... 31 11. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004... 35 12. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004... 35 13. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004... 37 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004... 37 15. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area1, sampling area2, dan sampling area3 periode Januari 1998 Desember 2009... 39

16. Mulai hingga berakhirnya upwelling serta pergerakannya... 43 17. Plot rata-rata bulanan nilai SPL pada tahun ENSO (kurva biru) vs. non ENSO (kurva merah) : (a) sampling area 1; (b) sampling area 2; (c) sampling area 3... 46 18. Plot rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO (kurva biru) vs. non ENSO (kurva merah) : (a) sampling area 1; (b) sampling area 2; (c) sampling area 3... 47 19. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim barat : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO... 50 20. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim peralihan : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO... 51 21. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO... 52 22. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim barat : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO... 54 23. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim peralihan: (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO... 55 24. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO... 56 25. Hubungan antara jumlah curah hujan dan konsentrasi klorofil-a (sampling area1) di selatan Selat Makassar... 58 26. Fluktuasi TPL bulanan pada musim barat di selatan Selat Makassar tahun 2004... 60 27. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan I di selatan Selat Makassar tahun 2004... 61 28. Fluktuasi TPL bulanan pada musim timur di selatan Selat Makassar tahun 2004... 61 29. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan II di selatan Selat Makassar tahun 2004... 62

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi oseanografi di perairan selatan Selat Makassar banyak dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dan angin Muson. ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati selat-selat di Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan Tinggi Paras Laut (TPL) antara kedua Samudera tersebut (Wyrtki, 1987 in Hasanudin, 1998). Angin Muson, disebabkan adanya perbedaan tekanan antara Asia Tenggara dan Australia (Ilahude dan Nontji, 1999). Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem angin Muson, memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antar musim. Perbedaan suplai massa air, perbedaan pola angin secara vertikal, serta upwelling diduga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan yang diindikasikan dengan pola sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia. Perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh massa air dari Laut Pasifik melalui Selat Makassar kemudian menuju Laut Jawa. Fenomena penurunan massa air permukaan terjadi di pantai Ujung Pandang sekitar 5-10 cm. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada bulan Agustus terdapat pada daerah selatan Selat Makassar dengan konsentrasi sebesar 1,88 2,50 mg/m 3 (Manoppo, 2003). Selat Makassar bagian Selatan merupakan perairan yang relatif subur bila dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Penyuburan perairan Selat Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan maupun Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup 1

2 tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi akibat adanya penaikan massa air dalam (upwelling) di beberapa lokasi di Selat Makassar (Ilahude, 1978). Klorofil-a merupakan pigmen penting yang terdapat pada fitoplankton untuk proses fotosintesis. Klorofil-a juga merupakan salah satu parameter indikator tingkat kesuburan perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat (Afdal dan Riyono, 2004). Kandungan nutrien perairan sangat berkaitan erat dengan konsentrasi klorofil-a dimana semakin tinggi kandungan nutrien perairan maka semakin tinggi juga konsentrasi klorofil-a. Sebaliknya di perairan bebas, faktor suhu perairan mempunyai hubungan terbalik dengan konsentrasi klorofil-a. Umumnya pada lokasi upwelling (dimana suhu perairan relatif lebih rendah dibanding dengan sekitarnya) terdapat konsentrasi klorofil-a yang relatif lebih tinggi. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa di pantai barat laut Australia SPL pada musim barat yaitu 29 C dan mengalami penurunan menjadi 24 C pada musim timur (Juli Agustus) saat terjadi upwelling. Ilahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara (Agustus) upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan. Terjadinya upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi, oksigen relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan homogen. Pada batas atas (lapisan permukaan) efek upwelling tidak begitu jelas. Kondisi tersebut tergantung pada kekuatan atau intensitas upwelling. Distribusi plankton dan klorofil juga menunjukkan pengaruh pada upwelling dan drainase pesisir terhadap produktivitas Selat Makassar bagian Selatan. Konsentrasi klorofil-a pada saat upwelling pada periode Agustus 1974 berkisar 0,4-0,7 mg/m 3.

3 Nilai ini lebih tinggi dari nilai konsentrasi klorofil-a pada pra upwelling periode Mei 1975 yang berkisar 0,2-0,4 mg/m 3 (Ilahude, 1978). Penelitian terhadap variabilitas SPL dan klorofil-a pada Selat Makassar bagian Selatan telah banyak dilakukan (Ilahude, 1970 ; Ilahude, 1978 ; Afdal dan Riyono, 2004), namum penelitian tersebut umumnya bersifat insidentil dan terfokus pada setiap kali reseach cruise bukan pada pemahaman distribusi atau variabilitas secara spasial dan temporal dalam kurun waktu yang lama. Dengan demikian, penelitian terhadap variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a secara spasial dan temporal di perairan selatan Selat Makassar sangat perlu dilakukan. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a di bagian Selatan Selat Makassar, menjelaskan faktor penyebab variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a secara spasial dan temporal, dan mempelajari variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar musim dan interannual serta kaitannya dengan El Niño Southern Oscillation (ENSO).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian selatan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan dengan Pulau Kalimantan dan dibagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya massa air yang berasal dari sungai Pulau Kalimantan dan Sulawesi, pertukaran massa air dengan Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi, Laut Flores, dan Laut Jawa akan mempengaruhi kandungan korofil-a dan produktivitas primer di perairan Selat Makassar (Afdal dan Riyono, 2004). Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur Indonesia, arus lintas ini biasa disebut dengan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARLINDO cenderung membawa massa air yang lebih dingin dari Samudera Pasifik yang mempengaruhi kondisi perairan Indonesia bagian timur termasuk Selat Makassar sehingga sumberdaya hayati laut sangat ditentukan oleh kuat lemahnya arus ini (Wyrtki, 1961). ARLINDO yang berasal dari Pasifik tidak dipengaruhi adanya perubahan angin Muson, yang terjadi justru sebaliknya. Arus lintas ke arah selatan yang melalui Selat Makassar paling kuat terjadi kira-kira pada musim panas bagi belahan bumi bagian utara, yang pada saat itu angin Muson berasal dari arah tenggara (Hasanudin, 1998). Menurut Wyrtki (1961), pada umumnya pola arus laut Indonesia dipengaruhi oleh perubahan angin Muson, terutama pada lapisan permukaan. Pada waktu Muson timur yang terjadi dari bulan Juni hingga Agsutus, massa air dari 4

5 Laut Banda didorong ke arah Laut Flores, kemudian ke Laut Jawa dan Selat Makassar didorong oleh angin yang datang dari barat menyebrangi Laut Flores menuju Laut Banda. Adanya variabilitas ARLINDO terhadap ruang dan waktu, sangat berpengaruh terhadap estimasi transport, fluks bahang, dan air tawar dai ARLINDO. Waktu terjadinya puncak transpor maksimum ARLINDO pada pintu masuk dan pintu keluar, diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda, sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield dan Gordon, 1992). Akibat dinamika regional di Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan perairan Indonesia, maka aliran ARLINDO mengalami variasi dari skala waktu dalam semusim (30-60 hari), antar musiman sampai antar tahuan. Bagian barat daerah tropis Samudera Pasifik sangat dipengaruhi fenomena iklim El Nino Southern Oscillation (ENSO), sementara Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem Muson dan fenomena dipole mode (Saji et al., 1999). 2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksidasi dengan bantuan sinar surya dan unsur hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik, fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, perairan pesisir atau diperairan lepas pantai di mana terjadi proses naiknya massa air dalam (upwelling). Pada daerah upwelling, zat hara yang kaya terangkat dari lapisan dalam ke arah permukaan

6 (Nontji, 2005). Tingginya kandungan klorofil-a pada lapisan permukaan diduga disebabkan adanya pengaruh dari faktor cahaya dibanding lapisan bawahnya, sehingga pada lapisan permukaan, laju fotosintesis dapat berlangsung lebih cepat (Afdal dan Riyono, 2004) Klorofil-a merupakan katalisator yang esensial dalam proses berlangsungnya fotosintesis. Laju fotosintesis yang terjadi di dalam laut yang mendapat penyinaran dengan intensitas cahaya tertentu adalah merupakan fungsi dari klorofil-a diperairan tersebut, apabila faktor-faktor lain tidak merupakan faktor pembatas (limiting factor). Selain sebagai katalisator klorofil-a juga berfungsi menyerap energi cahaya (kinetic energy) yang dapat digunakan dalam proses fotosintesi yakni cahaya dengan luas spektrum yang hampir sama dengan cahaya tampak (visible light) dengan panjang gelombang 390-760 nm (Riyono, 2006). Menurut Basmi (1995) klorofil-a merupakan jenis pigmen terbesar yang terkandung dalam fitoplankton. Selain itu fitoplankton juga dilengkapi pigmenpigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorpsi sinar. Menurut Sunarto (2008) produktivitas primer perairan pada dasarnya bergantung kepada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrop yang mampu mentransformasi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman. Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau (fitoplankton) adalah sebagai berikut: 6CO 2 + 6H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6O 2...(1)

7 Selain faktor utama klorofil-a, faktor yang lainya mempengaruhi proses fotosintesis dan tentu saja produktivitas primernya adalah keberadaan cahaya dan nutrien. Kedua faktor ini menentukan distribusi spasial maupun temporal fitoplankton. Faktor-faktor ini harus berada pada tempat dan yang waktu secara bersamaan. Nutrien yang tinggi yang menempati lapisan dimana cahaya tidak dapat menembus (zona afotik) lagi, tidak bermanfaat bagi proses fotosintesis. Sebaliknya pada lapisan permukaan dimana intensitas cahaya berlimpah, fotosintesis tidak dapat berjalan sempurna tanpa adanya nutrien. Oleh karena itu mekanisme alami telah mempertemukan kedua faktor itu antara lain melalui proses upwelling (Sunarto, 2008). 2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL) Zona suhu permukaan laut tertinggi (thermal equator) letaknya tidak tepat berhimpitan dengan khatulistiwa bumi, melainkan ke arah utara. Nilai SPL di belahan bumi bagian Selatan pada umumnya lebih rendah dari pada SPL yang berada di belahan bumi bagian Utara. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari benua Antartika yang dingin pada Kutub Selatan Bumi. Selain itu apabila dilihat dari keadaan masing-masing samudera, pada umumnya akan diperoleh bahwa SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi daripada bagian timurnya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh arus-arus lautan yang membawa bahang dari daerah khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi (Ilahude, 1999). Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan yang terdiri atas: a) Lapisan homogen

8 Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu berkisar 26-30 C dan gradien tidak lebih dari 0,03 C /m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur, lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan. b) Lapisan termoklin Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27 C pada 100 m menjadi 8 C pada kedalaman 300 m atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5 C /100 m, sedangkan pada termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8 C pada 300 m menjadi 4 C pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3 C /100 m. c) Lapisan dalam Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0,05 C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4 C. d) Lapisan dasar Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai 5000 m.

9 Perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28 C sampai dengan 31 C, sedangkan di daerah terjadinya upwelling bisa turun hingga 25 C (Nontji, 2005). 2.4. Upwelling Naikan massa air (upwelling) adalah istilah yang digunakan untuk peristiwa timbulnya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas, bahkan ada yang sampai ke lapisan paras (surface layer). Massa air yang naik ini berasal dari lapisan 100 m - 200 m atau lebih, biasanya mempunyai suhu yang rendah dan zatzat hara yang tinggi. Itulah sebabnya daerah-daerah naikan massa air ini umumnya merupakan perairan yang subur. Upwelling juga mampu meningkatkan produktivitas biologi di lautan dan di sepanjang garis pantai. Beberapa daerah perikanan terbesar di dunia sangat tergantung pada kejadian upwelling musiman (Conway, 1997; Thurman and Trujillo, 2004; Nontji, 2005). Upwelling di Selat Makassar bagian selatan terjadi sekitar bulan Juli sampai September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Pada musim timur, massa air dari Selat Makassar bertemu dengan massa air dari Laut Flores di daerah ini, keduanya kemudian bergabung dan mengalir ke barat menuju Laut Jawa. Dalam kondisi ini dimungkinkan massa air permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut, dan untuk menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Upwelling di daerah ini berskala lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Laut Banda. Kecepatan naiknya massa air dalam kurang lebih sama sekitar 0,0005 cm/detik, dan daerahnya cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya sekitar 0,2 juta m 3 /detik. Perubahan suhu permukaan pada lokasi upwelling ini, tidak sejelas

10 perubahan salinitas dan kandungan hara (Nontji, 2005). Menurut Conway (1997) upwelling berlangsung selama berbulan-bulan, namun upwelling tidak selalu terjadi pada seluruh musim. Pada bagian selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi Tinggi Paras Laut (TPL) dengan periode tahunan, selain periode 2, 3, dan 4 bulanan. Anomali TPL rendah tersebut terjadi bersamaan dengan bagian tengah Selat Makassar. Fluktuasi tahunan diperkirakan berkaitan dengan anomali TPL yang terjadi pada musim timur (meskipun pada bulan lain juga terjadi anomali TPL rendah) saat arus permukaan di Laut Flores bergerak ke barat sehingga massa air tersedot (Purba dan Atmadipoera, 2005). Menurut Sunarto (2008) upwelling biasanya mengakibatkan konsentrasi nutrien (nitrit, fospat, dan silikat) lebih tinggi dibandingkan air permukaan yang nutriennya telah berkurang oleh pertumbuhan fitoplankton. Wilayah upwelling biasanya memiliki produkktivitas biologi yang tinggi. Terdapat tiga proses yang dapat menyebabkan terjadinya upwelling. Pertama, ketika air bergerak menjauh dari garis pantai oleh pergerakkan angin sehingga terjadi kekosongan yang kemudian diisi upwelling. Kedua, ketika arus dalam bertemu dengan rintangan (mid ocean ridge) maka akan dibelokan ke atas dan memencar keluar permukaan air. Ketiga, terdapat tikungan yang tajam di garis pantai yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi kekosongan tersebut (Gambar 1; Thurman and Trujillo, 2004). Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)

11 dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997) Gambar 1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind (b) suatu pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004). Menurut Wyrtki (1961) Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu : 1. Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah-ubah. Tipe ini terjadi merupakan tipe upwelling yang terjadi di lepas pantai Peru. 2. Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik,

12 dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan, seperti yang terjadi di Selatan Jawa. 3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam, seperti yang terjadi di laut Banda dan Arafura. 2.5. Penginderaan Jauh Satelit Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera yang biasa disebut sensor. Berbagai sensor pengumpul data dari jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit, atau wahana lainnya. Objek yang diindera adalah objek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer, dan di antariksa. Pengumpulan data dari jarak jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik. Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik (Gambar 2; Purwadhi, 2001).

13 Gambar 2. Sistem penginderaan jauh (Purwadhi, 2001) 2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR Instrumen SeaWiFS diluncurkan pada tanggal 1 Augustus 1997 dengan kendaraan peluncur Pegasus. Instrumen SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of view Sensor) telah dimodifikasi untuk menghasilkan respon bilinear, sensitivitas asli dipertahankan sampai sekitar 80% dari rentang output digital, dan kemudian berubah kontinyu untuk memperpanjang rentang dinamis substansial, hasil bersih tidak jenuh diharapkan atas awan (atau terang pasir, es, dll) (NASA, 2010). Dalam aplikasinya sensor SeaWiFS mampu memberikan informasi tentang warna permukaan laut yang berkaitan dengan distribusi klorofil-a. SeaWiFS juga menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi organisme mikroskopik fitoplankton dalam perairan (NASA, 2010). SeaWiFS memiliki 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal pada panjang gelombang sinar tampak dan 2 kanal pada panjang gelombang infra merah. Kanal 1 sampai dengan6 memiliki lebar kanal 20 nm sedangkan kanal 7 dan 8 memiliki

14 lebar kanal 40 nm (NASA, 2010). Karateristik SeaWiFS dan panjang gelombang SeaWiFS disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010) Orbit Type Equator Crossing Orbital Period Swath Width Swath Width Spatial Resolution Real Time Data Rate Revisit Time Digitization Sun Synchronous at 705 km Noon +20 min, desending 99 minutes 2,801 km LAC/HRPT (58.3 degrees) 1,502 km GAC (45 degrees) 1.1 km LAC, 4.5 km GAC 665 kbps 1 day 10 bits Tabel 2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010) Kanal Panjang Gelombang 1 402 422 nm 2 433 453 nm 3 480 500 nm 4 500 520 nm 5 545 565 nm 6 660 680 nm 7 745 785 nm 8 845 885 nm Pada tahun 1960 sampai 1965, telah diluncurkan 10 satelit TIROS untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Kemajuan TIROS N menjadi prototipe ditingkatkan untuk satelit NOAA yang digunakan saat ini. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. NOAA membawa sensor

15 AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Data dari satelit NOAA polar yang mengorbit ditransmisikan terus dan dapat diterima oleh setiap stasiun bumi dalam jangkauan radio. Jenis layanan yang dikenal sebagai direct readout. Untuk menerima data dari AVHRR terdapat dua kategori layanan antara lain High Resolution Picture Transmissin (HRPT) dan Automatic Picture Transmissin (APT) (Conway, 1997). Sensor AVHRR memberikan informasi spektral yang sangat akurat, dan memiliki resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km dan tiap scene mencakup area yang besar sekitar 1000 km E-W dan antara 3000 sampai 4000 km N-S. Sensor ini memiliki 5 band spektral mulai dari merah sampai inframerah termal dan cocok untuk aplikasi seperti pemantauan lingkungan (NOAA, 2010). AVHRR yang pertama mempunyai 4 channel radiometer yang diluncurkan bersama satelit TIROS-N pada bulan Oktober 1978. Kemudian ditingkatkan menjadi 5 channel instrument (AVHRR/2) yang diluncurkan bersama NOAA 7 pada bulan Juni 1981. Versi terbaru adalah AVHRR/3 dengan 6 channel, pertama dilakukan pada NOAA 15 yang diluncurkan pada bulan Mei 1998 (NOAA, 2010). Karakteristik AVHRR/3 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010) AVHRR/3 Channel Channel Resolution Wavelenth (um) Typical Use Number at Nadir 1 1.09 km 0.58 0.68 Daytime cloud and surface mapping 2 1.09 km 0.725 1.00 Land-water boundaries 3A 1.09 km 1.58 1.64 Snow and ice detection 3B 1.09 km 3.55 3.93 Night cloud mapping, sea surface temperature 4 1.09 km 10.30 11.30 Night cloud mapping, sea surface temperature 5 1.09 km 11.50 12.50 Sea surface temperature

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang terdiri dari proses pembuatan proposal penelitian, pengambilan data citra satelit, pengambilan data pendukung, pengolahan data satelit serta data pendukung, dan penulisan skripsi. Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Selat Makassar yang secara geografis terletak pada koordinat 2 LS 7 LS dan 116 BT 120 BT (Gambar 3). Untuk mengkuantifikasikan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a dari satelit, pada lokasi penelitian ditentukan 3 sampling area yang dianggap dapat mewakili lokasi penelitian yaitu sampling area1 pada koordinat tengah 5 43 1 LS ;118 53 27 BT, sampling area2 pada koordinat titik tengah 5 43 1 LS ; 117 1 19 BT, dan sampling area3 pada koordinat titik tengah 3 35 13 LS ; 117 58 40 BT. Dari ketiga sampling area ini, nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a diekstrak untuk kemudian diolah dan dianalisis variabilitasnya secara temporal. Ukuran piksel dari masing-masing sampling area adalah 5x5 piksel dengan resolusi spasial 9x9 km 2 untuk data konsentrasi klorofil-a dari citra satelit SeaWiFS sehingga luasan dari setiap sampling area adalah 2025 km 2 dan untuk data SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR dengan resolusi spasial 4x4 km 2 sehingga diperoleh luasan setiap sampling area adalah 400 km 2. Pengolahan data citra dilakukan di Laboratorium Komputer Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 16

17 Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Data Penelitian 3.2.1. Alat Penelitian Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang telah dilengkapi dengan software untuk pengolahan data. Software yang digunakan adalah SeaDas 5.2 dengan menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu 7.1, Surfer 8.0, Arcview GIS 3.3, Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007, WinRAR 3.42, dan Ocean Data View (ODV). 3.2.2. Data Penelitian Data yang digunakan untuk penelitian antara lain sebagai berikut: 1. Data konsentrasi klorofil-a diekstrak dari citra satelit SeaWiFS level 3 yang memiliki resolusi spasial 9x9 km2, berupa composite data 8 harian bulan April - Oktober dengan periode 1998 2009 serta

18 composite data bulanan dengan periode Januari 1998 Desember 2009 yang diperoleh dari website National Aeronatic Space Agency (NASA) http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov. 2. Data SPL diekstrak dari citra satelit NOAA-AVHRR yang memiliki resolusi spasial 4x4 km 2, berupa composite data 8 harian bulan April - Oktober dengan periode 1998 2009 serta composite data bulanan dengan periode Januari 1998 Desember 2009 diperoleh dari website National Aeronatic Space Agency (NASA) dengan situs http://www.podaac.jpl.nasa.gov. 3. Data rata-rata curah hujan bulanan dari Stasiun Meteorologi Paotere Makassar dengan periode Januari 1998 - Desember 2008 yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat. 4. Data angin bulanan rata-rata yang memiliki resolusi spasial 1.5 x1.5 dengan periode Januari 1998 Desember 2009, diperoleh dari situs Europen Center for Medium Range Weather Forecasts (ECMWF) yaitu http://www.ecmwf.int. 5. Data Ekman transport dihitung dari data angin. 6. Data Tinggi Paras Laut (TPL) yang diunduh dari situs http://www.ccar.colorado.edu. 3.3. Pengolahan Data 3.3.1. SPL dan Konsentrasi Klorofil-a Pengolahan citra NOAA dan SeaWiFS dilakukan dengan menggunakan program SeaDAS 5.2. Pengolahan dimulai dengan download citra NOAA dengan

19 resolusi spasial 4x4 km 2 dari Januari 1998 sampai dengan Desember 2009 dan citra SeaWiFS level 3 composite data bulanan dengan resolusi spasial 9x9 km 2. Data citra SeaWiFS level 3 sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik dengan format HDF (Hierachical Data Format) dan memiliki nilai konsentrasi klorofil-a dalam satuan mg/m 3. Data hasil download harus terlebih dahulu diekstrak agar data tersebut dapat kita proses lebih lanjut. Ekstrak data dilakukan dengan menggunakan software WinRAR 3.42. Proses selanjutnya adalah cropping citra (pemotongan citra) sesuai lokasi penelitian. Kemudian dilakukan penentuan sampling area penelitian yang terdiri dari 3 sampling area yaitu sampling area1 (5 43 1 LS ;118 53 27 BT), sampling area2 (5 43 1 LS ; 117 1 19 BT), dan sampling area3 (3 35 13 LS ; 117 58 40 BT). Penentuan range data valid untuk nilai konsentrasi klorofil-a dan SPL adalah salah satu proses penting, untuk konsentrasi klorofil-a range data valid diambil 0 < x 10 mg/m 3 dan untuk SPL range data valid diambil 20 < x 32 C. Data output dari pengolahan SeaDAS adalah data dengan format ASCII dan data display dengan format *.TIFF. Selanjutnya data ASCII tersebut di import dan disimpan ulang dengan format text (*.txt). Kemudian dilakukan quality control yang bertujuan untuk menghilangkan data yang tidak termasuk dalam valid range nilai yang telah ditentukan sebelumnya. Data hasil quality control selanjutnya dirata-rata bulan dan kemudian dibuat menjadi grafik fluktuasi bulanan SPL dan klorofil-a. Metode pengolahan citra SeaWiFS dan NOAA-AVHRR disajikan pada Gambar 4.

20 Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan NOAA AVHRR dan Citra SeaWiFS Untuk dapat menghasilkan citra sebaran spasial SPL dan klorofil-a bulanan serta 8 harian, maka setelah proses cropping area penelitian perlu dilakukan setting citra yang meliputi landmask, coastline, dan grid. Landmask merupakan proses pemberian warna pada darat. Coastline adalah pemberian batas antara darat dan laut (garis pantai). Grid merupakan proses untuk menampilkan garis lintang dan bujur pada citra sebaran spasial. Output data yang dihasilkan

21 adalah image display dalam format *.TIFF, sehingga dapat dilakukan analisis spasial 8 harian dan bulanan (SPL dan klorofil-a). Pendugaan nilai SPL menggunakan algoritma pathfinder v5. Algoritma ini merupakan modifikasi dari algoritma SPL Non Linier (NLSST) yang dibuat berdasarkan perbedaan nilai suhu kecerahan pada kanal 4 dan 5 (T 4 -T 5 ). Berikut adalah algoritma pathfinder v5 (Kilpatrick et al., 1998) : = + + ( ) + ( )(sec h 1)...(2) Keterangan : a, b, c, dan d = koefisien determinasi regresi linier pada data base SPL in situ hasil mooring dan buoy dengan resolusi spasial antar pengukuran. SSTguess = nilai perkiraan pertama SPL dari Reynolds OISST 0,1 o dan resolusi temporal tidak lebih dari 30 menit. theta = sudut zenith dari satelit. Pendugaan estimasi konsentrasi klorofil-a adalah dengan menggunakan algoritma Ocean Chlorophyll 4-band algorithm version 4 (OC4v4). Algoritma ini menggunakan nilai tertinggi dari rasio kanal 443 nm, 490 nm dan 510 nm dengan kanal 555 nm untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a. Persamaan polynomial pangkat empat untuk algoritma OC4v4 (O'Reilly et al., 2000) sebagai berikut : 4 4: = 10,,,,,...(3) = log 10 > >...(4) Keterangan : Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m 3 ) R = Rasio reflektansi Rrs = Remote sensing reflectance

22 Grafik rataan bulanan SPL dan konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan pada Microsof Excel 2007 dianalisis untuk mengetahui adanya variasi dalam tiap musim pada tiap tahunnya di lokasi penelitian. Interpretasi fluktuasi klorofil-a dan SPL secara temporal berdasarkan pada penurunan dan peningkatan konsentrasi klorofil-a dan SPL serta nilai tertinggi dan terendahnya. Kemudian variasi konsentrasi klorofil-a dan SPL dalam tiap-tiap musim pada lokasi penelitian dibandingkan dengan tahun yang berbeda pada lokasi penelitian yang sama. Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui sebaran dari konsentrasi klorofil-a dan SPL secara spasial pada lokasi penelitian. Data sebaran spasial konsentrasi klorofil-a dan SPL pada bulan-bulan yang sama dianalisis sehingga dapat diketahui pada bulan apa saja konsentrasi klorofil-a dan SPL tinggi ataupun rendah dengan melihat degradasi warna pada citra sebaran spasial konsentrasi klorofil-a dan SPL bulanan. Hal yang sama dilakukan pada citra sebaran spasial konsentrasi klorofil-a hasil composite 8 harian secara musiman, sehingga dapat diketahui pada musim apa saja konsentrasi klorofl-a dan SPL tinggi ataupun rendah. 3.3.2. Angin Pengolahan data angin dimulai dengan download data angin dengan format netcdf (*.nc). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial berukuran 1,5 x 1,5 dengan cakupan area global. Data yang digunakan selama 12 tahun (1998-2009) dengan interval 6 jam, yaitu : Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00. Kemudian dilakukan cropping sesuai dengan lokasi penelitian dengan perangkat lunak ODV (Ocean Data View). Proses selanjutnya adalah dengan mengekstrak data berformat (*.nc) dengan menggunakan ODV menjadi data berformat teks

23 (*.txt). Kemudian data tersebut dirata-ratakan tiap bulan sehingga diperoleh hasil berupa rata-rata u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s] bulanan selama 12 tahun (1998 2009) yang mewakili daerah bagian selatan Selat Makassar. Data bujur, lintang, u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s] dengan format (*.txt) diproses dengan Surfer 8.0 dengan cara grid data bulanan. Digitasi daratan adalah suatu proses untuk menampilkan darat. Kemudian overlay antara vektor (arah pergerakan angin) dengan basemap (darat) sehingga menghasilkan tampilan arah pergerakkan angin. Analisis data angin adalah dengan cara membaca arah pergerakan angin yang telah dikelompokan tiap musim pada tahun ENSO dan non-enso dan kemudian membandingkan kecepatan angin antara tahun ENSO dan non-enso. 3.3.3. Ekman Transport Ekman transport didekati dari perhitungan wind stress yang diformulasikan dalam Large and Pond (1981) in Nababan (2009), sebagai berikut:, =,...(5) τ x, τ y adalah komponen wind stress untuk sumbu x dan y, u 10, v 10 adalah kecepatan angin pada sumbu x dan y yang diturunkan dari kecepatan angin permukaan pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut (W 10 ), dan C d adalah drag coefficient yang tergantung pada kecepatan angin sebagai berikut: C d = 0.0012; 0 < W 10 < 11m/s C d = 0.00049 + 0.000065 W 10 ; W 10 > 11m/s Ekman transport dipetakan dari data wind stress dengan pembelokan arah 90 ke kanan arah wind stress di belahan bumi utara dan 90 ke kiri di belahan

24 bumi selatan. Ekman transport yang dipetakan dalam skripsi ini hanya memberikan gambaran ke arah mana pergerkan Ekman transport ini, sementara nilai transport (volume) belum menggambarkan nilai yang sebenarnya mengingat data kedalaman Lapisan Ekman tidak diketahui. 3.3.4. Curah hujan Data curah hujan diambil dari stasiun Meteorologi Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan pada koordinat 6 6 37,5 LS ; 119 25 11,5 BT yang diperoleh di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, Jakarta. Data tersebut merupakan jumlah curah hujan (mm) harian yang kemudian dirataratakan menjadi bulanan selama periode Januari 1998 Desember 2008. Data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan Microsoft Excell 2007. Data curah hujan dibandingkan dengan data konenstrasi klorofil-a sampling area1, karena lokasi pengambilan data curah hujan paling dekat dengan sampling area1. Analisis data curah hujan dilakukan untuk mengetahui adanya variasi pada tiap musim setiap tahunnya, serta interpretasi fluktuasi berdasarkan nilai maksium dan minimum. Melihat hubungan antara konsentrasi klorofil-a di sampling area1 dan curah hujan. 3.3.5. Analisis Interannual Southern Oscillation Index (SOI) merupakan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin serta umumnya digunakan untuk penentuan masa El Nino dan La Nina. Nilai SOI negatif terjadi saat tekanan udara lebih rendah dari rata-rata di Tahiti dan lebih tinggi di Darwin. Pada kondisi SOI negatif SPL yang di Lautan Pasifik Timur tropis relatif lebih tinggi dari kondisi normalnya.

25 Sedangkan pada kondisi SOI yang positif, SPL perairan Pasifik Timur tropis umumnya lebih rendah dari kondisi normalnya. Bulan-bulan yang termasuk dalam kategori (El Niño Southern Oscillation) ENSO adalah yang memiliki nilai SOI - 10 dan untuk kategori La Nina adalah bulan yang memiliki nilai SOI -10 (Tritel, 2010). Dengan demikian maka bulan-bulan terjadinya ENSO selama periode penelitian adalah Januari, Februari, Maret, April 1998; Mei, Agustus, Desember 2002; Juni 2003; April, Juni 2004; Februari, April, Mei 2005; Agustus, Oktober 2006; Januari, April 2008; dan Oktober 2009 (Gambar 5). Periode non- ENSO dalam penelitian ini adalah bulan-bulan yang tidak termasuk kedalam kategoti bulan ENSO. Gambar 5. Southern Ocillation Index (SOI) (BOM,2010) Analisis interannual dalam penelitian ini difokuskan untuk membandingkan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a antara tahun ENSO dan non- ENSO.

26 3.3.6. Tinggi Paras Laut (TPL) Data TPL yang digunakan merupakan data harian pada pertengahan bulan dengan periode Januari 1998 Desember 2009. Data tersebut diperoleh dari Colorado Center of Astrodynamics Research (CCAR) dengan website http://ccar.colorado.edu. Analisis data yaitu dengan cara melihat gradasi warna untuk diidentifikasi apakah terjadi anomali positif (tinggi paras laut di atas ratarata) ataukah terjadi anomali negatif (tinggi paras laut di bawah rata-rata).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Nilai SPL 4.1.1. Variabilitas Nilai SPL Secara Spasial Variabilitas nilai SPL secara spasial di lokasi studi secara umum tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata atau bersifat homogen khususnya pada musim barat dan musim peralihan I. Pada musim barat nilai SPL berkisar antara 26,4 C 31,0 C. Pada bulan Januari dan Februari nilai SPL secara spasial terlihat relatif lebih rendah dari bulan sebelumnya hal ini diduga karena tingginya tutupan awan sehingga mempengaruhi nilai akurasi estimasi nilai SPL. Contoh sebaran spasial pada musim barat disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004. 27

28 Pada musim peralihan I (Maret - April), nilai SPL masih terlihat relatif tinggi dan masih terlihat indikasi pengaruh penutupan awan atau uap air. Pada akhir musim peralihan I (April) tahun 2004, di bagian selatan pulau Sulawesi sudah mulai terlihat gejala penuruan nilai SPL yang mengindikasikan adanya permulaan fenomena upwelling. Contoh sebaran spasial SPL pada musim peralihan I disajikan pada gambar 7. Gambar 7. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004. Sebaran spasial SPL pada musim timur (Mei Agustus) memperlihatkan dengan jelas fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar. Secara umum, kejadian upwelling ini dimulai pada bulan Mei yang terjadi di bagian selatan Pulau Sulawesi dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Contoh sebaran SPL pada musim timur disajikan pada Gambar 8. Pada musim peralihan II (September Oktober) sebaran SPL menunjukan kejadian upwelling di bagian selatan Selat Makassar dimana luasan dan kekuatan upwellingnya sudah terlihat menurun dari musim timur sebelumnya. Contoh sebaran SPL pada musim peralihan II disajikan pada Gambar 9.

29 Gambar 8. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004. Gambar 9. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004. Fenomena upwelling pada musim timur dan musim peraliahan II di selatan Selat Makassar ditandai dengan penurunan SPL yang mencolok sekitar 2 C dari nilai rata-ratanya mencapai nilai SPL terendah 25,7 C (Tabel 4). Berdasarkan pola sebaran SPL secara spasial dapat dilihat bahwa upwelling menyebar dari bagian selatan Selat Makassar hingga Laut Flores (Lombok Utara) (Gambar 8 dan 9).

30 Ilahude and Gordon (1996) menyebutkan bahwa SPL di Selat Makassar selama musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Pada musim barat SPL mengalami peningkatan sebesar 0,8 C mencapai nilai sekitar 29,4 C. Tingginya SPL pada musim barat merupakan bagian genangan hangat dari Samudera Pasifik yang tropis. Pada kedua musim (barat dan timur) SPL di ujung sebelah selatan Selat Makassar adalah lebih rendah dari pada yang utara. Kecenderungan SPL lebih dingin secara berlanjut masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, pada musim barat (November Februari) tahun 2004 yang disajikan pada Gambar 6 terlihat bahwa nilai SPL yang lebih tinggi dibandingkan musim timur (Mei Agustus) tahun 2006 (Gambar 8) cenderung bergerak ke arah barat daya Pulau Sulawesi. 4.1.2. Variabilitas Nilai SPL Secara Temporal Berdasarkan data bulanan rata-rata SPL pada periode Januari 1998 hingga Desember 2009, diperoleh variabilitas nilai SPL di bagian selatan Selat Makassar seperti disajikan pada Gambar 10. Nilai SPL tertinggi di sampling area1 adalah 30,9 C terjadi pada bulan Maret dan nilai terendahnya adalah 25,7 C di bulan Agustus (Tabel 4). Nilai SPL tertinggi pada sampling area2 adalah 31,0 C di bulan Desember dan nilai terendah adalah 26,8 C di bulan Januari (Tabel 5). Nilai SPL tertinggi pada sampling area3 adalah 30,7 C di bulan April dan nilai terendahnya adalah 26,4 o C di bulan Januari (Tabel 6). Pada tahun dan bulan tertentu terdapat beberapa data kosong (no data) yang terjadi akibat tutupan awan di atas lokasi penelitian.

Gambar 10. Fluktuasi nilai SPL rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area1, sampling area 2, dan sampling area3 periode Januari 1998 Desember 2009. 31

32 Rendahnya nilai SPL pada musim timur (Mei - Agustus) yang berkisar 25,7 30,6 C (lihat Gambar 8, Tabel 4) menunjukkan adanya fenomena upwelling di lokasi penelitian. Hal tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Ilahude (1978) yang menjelaskan bahwa pada saat terjadi fenomena upwelling di selatan Selat Makassar yaitu pada bulan Agustus 1971 dan Agustus 1974 ketebalan lapisan homogen menurun hingga 50 m. Pada lapisan tersebut terdiri dari massa air yang lebih dingin dengan suhu 26 27 C. Menurut Ilahude (1970), efek dari upwelling distribusinya cukup jelas. Penyebaran fenomena upwelling ini terlihat dengan jelas mulai dari bagian selatan Pulau Sulawesi. Tabel 4. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area1 Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut ( 0 C) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 29.5 ND 27.5 29.5 29.1 29.0 28.9 29.2 ND 29.3 29.0 28.0 Feb 29.3 27.7 ND 29.2 ND 28.3 28.6 29.4 30.2 29.2 28.5 28.1 Mar 30.0 28.7 28.7 30.0 29.8 29.5 29.5 29.9 29.0 30.9 29.4 30.4 Apr 29.6 29.6 29.4 30.4 29.2 29.6 29.2 28.9 29.5 29.3 29.3 30.5 Mei 28.9 28.4 29.9 29.2 29.1 28.6 29.1 28.0 29.2 29.1 28.7 29.5 Jun 29.4 28.3 28.2 28.5 28.5 27.7 27.6 28.3 27.8 28.3 28.5 28.8 Jul 29.0 27.9 27.9 28.0 27.7 26.5 26.9 27.8 27.5 27.4 27.9 28.5 Aug 28.3 27.8 27.6 27.1 26.9 27.0 25.7 27.8 27.3 27.0 28.2 27.7 Sep 28.4 28.1 28.6 28.2 27.5 27.1 26.9 27.8 27.6 27.6 28.4 28.1 Okt 30.3 29.0 29.2 29.6 28.5 28.8 27.9 28.5 28.0 28.0 29.3 28.9 Nov 30.1 29.0 30.7 29.8 29.9 29.2 29.6 30.1 29.3 29.5 29.7 29.2 Des 28.4 ND 30.0 29.2 30.2 30.8 29.9 ND 30.4 29.6 ND 30.6 Ket : ND = No Data (Tidak ada data) Lain halnya dengan sampling area1 dan sampling area2, pada sampling area3 pengaruh fenomena upwelling tidak terlihat dengan jelas dan kisaran SPL di lokasi ini pada musim timur tergolong relatif tinggi yaitu 27,7 C 30,4 C (Gambar 10, Tabel 6).

33 Secara umum, fluktuasi SPL pada tiga sampling area memiliki pola yang sama, nilai SPL relatif rendah pada musim timur dan relatif tinggi pada musim barat dimana nilai terendah ditemukan pada sampling area1 (Gambar 10). Tabel 5. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area2 Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut ( 0 C) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 30.1 29.0 28.0 29.3 29.1 29.1 29.0 29.6 28.8 29.7 29.0 26.8 Feb 30.1 28.3 27.1 29.0 27.5 29.0 28.5 29.7 30.0 30.0 28.5 28.5 Mar 30.0 29.0 29.5 30.3 29.9 29.5 28.8 30.1 28.8 29.2 29.8 30.6 Apr 30.9 29.7 29.4 29.8 29.8 30.5 29.4 29.9 29.6 30.2 29.7 30.6 Mei 29.9 29.5 30.1 29.8 29.6 29.6 29.9 28.7 29.6 29.5 29.1 30.6 Jun 29.7 28.6 28.9 29.3 28.8 28.3 28.3 28.9 28.9 28.4 28.6 29.6 Jul 29.2 28.6 28.5 28.6 28.2 27.6 27.7 28.7 28.2 28.6 28.3 28.9 Aug 28.9 28.2 28.4 28.1 27.8 27.7 26.9 28.1 27.8 27.9 28.0 28.5 Sep 29.4 28.5 28.6 28.7 28.0 28.0 27.5 28.7 28.1 28.0 29.1 28.7 Okt 29.8 29.0 30.1 29.6 28.9 29.1 28.5 29.2 28.4 28.3 29.1 29.4 Nov 29.5 30.1 30.5 28.9 29.8 29.5 29.9 30.5 29.2 29.5 29.7 29.6 Des 28.5 30.3 29.1 28.9 30.4 30.0 30.0 29.5 31.0 29.8 ND 30.9 Ket : ND = No Data (Tidak ada data) Tabel 6. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area3 Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut ( 0 C) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 29.1 29.5 ND 28.1 28.5 28.8 28.8 28.9 29.3 29.8 29.1 26.4 Feb 28.5 29.0 ND 29.5 29.1 27.8 29.0 30.0 29.9 28.6 ND 30.0 Mar 29.7 30.3 29.0 29.7 30.2 29.0 29.3 29.8 29.2 29.9 29.2 30.2 Apr 29.8 30.1 29.5 29.5 30.6 29.4 29.7 29.5 30.7 30.0 29.6 30.6 Mei 29.8 29.3 30.0 29.8 29.9 30.1 29.7 29.0 29.3 29.6 29.3 30.4 Jun 29.7 29.1 28.8 29.5 29.3 29.0 29.2 29.0 28.2 29.3 28.9 29.8 Jul 29.7 28.5 28.7 28.8 28.8 27.9 28.1 29.1 28.6 27.9 28.2 28.6 Aug 29.2 28.7 28.6 28.6 28.2 28.0 27.7 28.8 28.4 28.5 28.1 28.7 Sep 29.6 28.7 29.2 28.9 28.4 28.5 28.2 28.9 28.6 28.7 29.4 28.9 Okt 30.1 28.9 30.0 30.2 29.1 28.6 29.0 29.3 28.6 28.8 29.1 29.5 Nov 30.5 29.5 30.1 29.7 29.7 29.8 30.0 29.9 29.6 29.6 29.8 29.7 Des 28.8 29.3 29.5 29.1 29.6 29.1 29.6 ND 30.5 29.2 ND 30.0 Ket : ND = No Data (Tidak ada data)

34 Pada umumnya saat musim barat (November Februari) kisaran nilai SPL tinggi antara lain di sampling area1 berkisar antara 27,5 C 30,8 C (Tabel 4), sampling area2 antara 26,8 C 31,0 C (Tabel 5), dan sampling area3 antara 26,4 C 30,5 C (Tabel 6). 4.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a 4.2.1. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Spasial Data klorofil-a dari satelit SeaWiFS bulanan rata-rata dengan periode Januari 1998 Desember 2009 yang kemudian dikelompokan berdasarkan musim, sehingga diperoleh sebaran spasial kosentrasi klorofil-a. Contoh sebaran spasial klorofil-a disajikan pada Gambar 11, 12, 13, dan 14. Pola sebaran spasial konsentrasi klorofil-a di selatan Selat Makassar terlihat berbeda pada setiap musim yang berbeda. Pada musim barat (November Februari) tahun 2004, nilai konsentrasi klorofil-a relatif tinggi terdapat di daerah pesisir. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh asupan nutrien dari daratan sebagai akibat relatif tingginya curah hujan pada musim ini. Sedangkan di daerah jeluk sebaran spasial konsentrasi klorofil-a terlihat relatif rendah (Gambar 11). Pada bulan Februari sebaran klorofil-a tidak terlihat begitu jelas yang diduga adanya tutupan yang cukup tebal sehingga terdapat banyak gradasi warna hitam (Gambar 11). Pada musim peralihan I (Maret-April, Gambar 12) tahun 2004, sebaran spasial konsentrasi klorofil-a hampir sama dengan musim barat.

35 Gambar 11. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004. Gambar 12. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004. Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a musim timur (Mei Agustus) tahun 2004 pada bulan Mei 2004 belum terlihat adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a, dapat dilihat dengan jelas bahwa konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi terdapat di bagian selatan Selat Makassar mulai pada bulan Juni

36 dan maksimum terjadi pada bulan Agustus (Gambar 13). Tingginya konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar pada musim timur akibat adanya fenomena upwelling yang juga ditandai dengan rendahnya nilai SPL di daerah tersebut (Gambar 8). Pada awal musim peralihan II (September), fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar masih jelas terlihat dan pada akhir musim perlaihan II (Oktober) diperkirakan fenomena upwelling akan berakhir (Gambar 13). Tingginya konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar pada musim timur sampai musim peralihan II ini akibat meningkatnya unsur hara di permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam. Wyrtki (1961) dan Ilahude (1978) menjelaskan bahwa upwelling pada daerah ini terjadi pada musim timur yaitu Juni Agustus. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Wouthuyzen (2002), Afdal dan Riyono (2004) menjelaskan bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi pada lapisan permukaan di Selat Makassar akibat upwelling masih ditemukan pada musim peralihan II pasca musim timur. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kisaran konsentrasi klorofila sebesar 0,16 1,14 mg/m 3. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi terjadi di selatan Selat Makassar pada musim timur (Juni Agustus) dan musim peralihan II pada bulan September (Gambar 13) adalah sebagai akibat dari fenomena upwelling. Pada bulan Mei dan Juni konsentrasi klorofil-a yang tinggi masih terbatas pada daerah pesisir wilayah selatan Selat Makassar, sedangkan pada bulan Juli dan Agustus konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi tersebar hingga barat daya Pulau Sulawesi, dimana puncak fenomena upwelling terlihat pada bulan Agustus (Gambar 13).

37 Gambar 13. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004. Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II. 4.1.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Temporal Data klorofil-a dari satelit SeaWiFS bulanan rata-rata di petakan pada bagian selatan Selat Makassar terhadap waktu sehingga diperoleh sebaran konsentrasi klorofil-a periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2009

38 (Gambar 15). Berdasarkan hasil bulanan rata-rata konsentrasi klorofil-a di selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi dengan kisaran nilai 0,09 mg/m 3-2, 48 mg/m 3 (Gambar 15). Pola fluktuasi konsentrasi klorofil-a pada tiga sampling area terlihat relatif sama (Gambar 15) dimana nilai konsentrasi klorofil-a pada sampling area1 berkisar antara 0,09 mg/m 3-2, 48 mg/m 3 dengan rata-rata 0,41 mg/m 3 (Tabel 7), sampling area2 antara 0,13 mg/m 3-0,79 mg/m 3 dengan ratarata 0,28 mg/m 3 (Tabel 8), dan sampling area3 antara 0,14 mg/m 3-2, 03 mg/m 3 dengan rata-rata 0,38 mg/m 3 (Tabel 9). Terdapat beberapa data kosong (no data) pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 2008 (Januari-Maret), hal tersebut terjadi akibat adanya tutupan awan. Nilai konsentrasi klorofil-a maksimum pada sampling area1 (2,48 mg/m 3 ) terjadi pada Agustus (Musim Timur) dan minimum (0,09 mg/m 3 ) terjadi pada bulan Maret (Musim Peralihan I) (Gambar 15, Tabel 7). Untuk sampling area2, nilai konsentrasi klorofil-a maksimum (0,79 mg/m 3 ) terjadi pada bulan April (Musim Peralihan 1) dan minimum (0,13 mg/m 3 ) terjadi pada bulan Desember (Musim Barat) (Gambar 15, Tabel 8). Nilai konsentrasi klorofil-a pada sampling area3 maksimum (2,03 mg/m 3 ) terjadi pada bulan Februari (Musim Barat) dan minimum (0,14 mg/m 3 ) terjadi pada bulan Mei (Musim Timur) (Gambar 15, Tabel 9). Nilai konsentrasi klorofil-a tertinggi pada sampling area1 sebesar 2,48 mg/m 3 terjadi pada bulan Agustus tahun 2004 saat fenomena upwelling maksimum di lokasi ini (Tabel 7). Hal ini terlihat dari nilai SPL terendah yaitu 25,7 C (lihat Tabel 4) yang juga terjadi pada bulan Agustus tahun 2004. Menurut Ilahude (1978) kandungan klorofil-a di perairan Selat Makassar bagian selatan

Gambar 15. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area1, sampling area 2, dan sampling area3 periode Januari 1998 Desember 2009. 39

40 pada saat upwelling (Agustus 1974) berkisar antara 0,4 0,7 mg/m 3, sedangkan sebelum terjadinya upwelling (Mei 1975) kandungan klorofil-a berada dikisaran 0,2-0,4 mg/m 3. Secara umum pada sampling area1, nilai konsentrasi klorofil-a relatif tinggi terjadi pada musim timur (Mei - Agustus) dan musim peralihan II (September Oktober), sedangkan nilai konsentrasi klorofil-a yang relatif rendah terjadi pada musim barat ( November - Februari). Hasil ini menunjukkan bahwa fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada musim timur (Mei-Agustus) sampai musim peralihan II (September-Oktober). Pada umumnya di musim barat (November Februari) daerah selatan Selat Makassar konsentrasi klorofil-a relatif rendah. Rata-rata konsentrasi klorofil-a di musim barat pada sampling area1 berkisar antara 0,10 mg/m 3 sampai 0,52 mg/m 3 (Tabel 7). Pada sampling area2 rata-rata konsentrasi klorofil-a di musim barat berkisar antara 0,13 mg/m 3 sampai 0,56 mg/m 3 (Tabel 8). Sedangkan pada sampling area3 di musim barat rata-rata konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,14 mg/m 3 sampai 2,03 mg/m 3 (Tabel 9). Konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada musim barat di lokasi ini bukan merupakan akibat fenomena upwelling namun diduga akibat tingginya curah hujan pada musim ini sehingga menambah deposisi nutrient dari atmosfer dan daratan. Hal ini juga didukung data SPL pada musim barat di sampling area3 tergolong relatif tinggi dengan kisaran 26,4 o C 30,5 o C (lihat Tabel 6).

41 Tabel 7. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area1 Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m 3 ) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 0.21 0.19 0.18 0.16 0.27 0.18 0.20 0.22 0.26 0.18 ND 0.26 Feb ND ND 0.27 0.26 0.31 0.22 0.38 0.26 0.52 0.30 ND 0.39 Mar 0.21 0.09 0.35 0.18 0.29 0.25 0.39 0.26 ND 0.35 ND 0.39 Apr 0.18 0.23 0.23 0.24 0.25 0.25 0.31 0.77 0.24 0.22 0.20 0.25 Mei 0.18 0.34 0.27 0.34 0.34 0.32 0.34 0.91 0.26 0.26 0.56 ND Jun 0.18 0.57 0.36 0.47 0.36 0.83 1.14 0.32 0.47 0.23 0.33 0.47 Jul 0.39 0.65 0.49 0.54 0.81 1.22 0.88 0.88 0.69 0.68 ND 0.34 Aug 0.49 1.07 0.54 1.08 1.46 0.63 2.48 0.56 0.65 0.67 0.38 1.13 Sep 0.51 0.45 0.40 0.47 0.50 1.03 0.79 0.79 0.56 0.44 0.35 ND Okt 0.20 0.45 0.24 0.26 0.51 0.26 0.41 0.24 0.67 0.32 0.20 ND Nov 0.22 0.14 0.14 0.21 0.27 0.29 0.25 0.16 0.20 0.17 0.17 0.17 Des 0.24 0.20 ND 0.24 0.15 0.15 0.16 0.34 0.18 0.10 0.13 0.16 Ket : ND = No Data (Tidak ada data) Tabel 8. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area2 Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m 3 ) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 0.23 ND 0.24 0.20 0.41 0.25 0.30 0.19 0.25 0.17 ND ND Feb ND ND ND 0.22 0.40 0.25 0.40 0.56 0.33 0.23 ND 0.27 Mar 0.32 0.33 0.36 0.20 0.37 0.31 0.22 0.49 ND 0.57 ND 0.29 Apr 0.22 0.21 0.29 0.79 0.25 0.45 0.21 0.25 0.23 0.41 0.26 0.37 Mei 0.20 0.27 0.28 0.32 0.24 0.19 0.24 0.47 0.28 0.25 0.20 ND Jun 0.21 0.27 0.33 0.25 0.22 0.23 0.28 0.26 0.24 0.27 0.29 0.22 Jul 0.23 0.33 0.36 0.30 0.41 0.32 0.34 0.33 0.42 0.33 ND 0.26 Aug 0.36 0.33 0.26 0.27 0.27 0.30 0.41 0.30 0.29 0.27 0.25 0.22 Sep 0.31 0.33 0.30 0.37 0.29 0.31 0.47 0.25 0.26 0.27 0.25 ND Okt 0.27 0.30 0.19 0.19 0.23 0.25 0.17 0.23 0.24 0.24 0.24 ND Nov 0.23 0.18 0.13 0.15 0.29 0.22 0.25 0.16 0.16 0.18 0.17 0.24 Des 0.18 0.46 ND 0.20 0.18 0.21 0.23 0.13 0.17 0.16 0.35 0.24 Ket : ND = No Data (Tidak ada data)

42 Tabel 9. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area3 Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m 3 ) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 0.25 0.21 0.23 0.22 0.35 0.24 0.66 0.49 0.61 0.33 ND 0.43 Feb ND 0.49 0.77 0.80 0.81 0.74 0.90 0.67 0.63 0.63 ND 2.03 Mar 0.21 0.44 0.71 0.65 0.66 0.63 0.72 0.76 0.46 0.67 ND 0.59 Apr 0.21 0.39 0.58 0.50 0.45 0.39 0.37 0.74 0.64 0.56 0.26 0.38 Mei 0.15 0.39 0.26 0.31 0.36 0.30 0.27 0.33 0.29 0.28 0.24 ND Jun 0.20 0.30 0.34 0.28 0.26 0.34 0.29 0.33 0.34 0.26 0.30 0.27 Jul 0.28 0.35 0.31 0.26 0.31 0.34 0.42 0.24 0.33 0.31 ND 0.35 Aug 0.30 0.34 0.35 0.35 0.37 0.35 0.33 0.26 0.34 0.30 0.29 0.28 Sep 0.30 0.30 0.27 0.32 0.37 0.31 0.38 0.27 0.30 0.31 0.31 ND Okt 0.19 0.35 0.21 0.31 0.34 0.31 0.30 0.26 0.30 0.28 0.26 ND Nov 0.36 0.32 0.14 0.26 0.22 0.25 0.25 0.23 0.23 0.19 0.20 0.19 Des 0.24 0.41 ND 0.37 0.22 0.30 0.20 0.24 0.23 0.53 0.30 0.37 Ket : ND = No Data (Tidak ada data) Berdasarkan data SPL composite 8 harian, diketahui bahwa terbentuknya fenomena upwelling paling cepat terjadi pada minggu ke-3 April 2004 dan umumnya dimulai pada minggu ke-2 Mei, mencapai maksimum pada minggu ke- 2 Agustus 2004, dan berakhir pada minggu ke-4 Oktober 2004 (Gambar 16, Tabel 10). Sedangkan berdasarkan data klorofil-a composite 8 harian, terbentuknya fenomena upwelling umumnya dimulai pada minggu ke-3 Mei 2004, mencapai maksimum pada minggu ke-3 Agustus 2004, dan akan berakhir pada minggu ke-4 September 2004 (Gambar 16, Tabel 11). Pada saat kejadian upwelling maksimum (Agustus), sebaran atau pengaruh upwelling ini terlihat dengan jelas mengarah ke arah barat daya Pulau Sulawesi sekitar 330 km.

43 Gambar 16. Mulai hingga berakhirnya upwelling serta pergerakannya Fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar berulang setiap tahunnya yaitu pada periode 1998 2009. Secara umum upwelling diduga mulai minggu ke-3 April 2005 (Tabel 10) untuk SPL dan klorofil-a (Tabel 11), akan mencapai maksimum pada minggu ke-3 Agustus 2002 untuk SPL (Tabel 10) dan klorofil-a (Tabel 11), dan berakhir pada minggu ke-4 Oktober 2006 untuk SPL (Tabel 10) dan klorofil-a minggu ke-4 Oktober 1998 (Tabel 11).

44 Tabel 10. Fluktuasi mingguan SPL Year Start Max End 1998 mgg 1 Mei mgg 4 Jul mgg 4 Sep 1999 mgg 2 Mei mgg 2 Ags mgg 1 Okt 2000 mgg 1 Jun mgg 2 Ags mgg 1 Okt 2001 mgg 3 Mei mgg 2 Ags mgg 4 Sep 2002 mgg 3 Mei mgg 3 Ags mgg 3 Okt 2003 mgg 4 Apr mgg 1 Ags mgg 3 Okt 2004 mgg 4 Apr mgg 3 Ags mgg 4 Okt 2005 mgg 3 Apr mgg 1 Ags mgg 2 Okt 2006 mgg 1 Jun mgg 2 Ags mgg 4 Okt 2007 mgg 2 Mei mgg 2 Ags mgg 4 Okt 2008 mgg 2 Mei mgg 1 Sep mgg 3 Okt 2009 mgg 2 Mei mgg 2 Ags mgg 4 Okt Tabel 11. Fluktuasi mingguan klorofil-a Year Start Max End 1998 mgg 2 Jul mgg 3 Jul mgg 4 Okt 1999 mgg 3 Apr mgg 4 Jul mgg 1 Okt 2000 mgg 3 Mei mgg 4 Jul mgg 3 Sep 2001 mgg 3 Mei mgg 3 Ags mgg 4 Sep 2002 mgg 1 Mei mgg 3 Ags mgg 3 Okt 2003 mgg 4 Mei mgg 4 Jul mgg 3 Sep 2004 mgg 4 Mei mgg 3 Ags mgg 3 Okt 2005 mgg 3 Apr mgg 3 Jul mgg 3 Sep 2006 mgg 3 Jun mgg 1 Ags mgg 2 Okt 2007 mgg 1 Jul mgg 1 Ags mgg 4 Sep 2008 mgg 3 Mei mgg 4 Jun mgg 4 Sep 2009 mgg 3 Jun mgg 2 Ags mgg 3 Ags

45 4.3. Interannual Variabilitas SPL dan Klorofil-a Variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan (interannual) dianalisis dengan membandingkan data SPL dan konsentrasi klorofil-a setiap musim antar tahun. Dari analisis data SPL dan konsentrasi klorofil-a, ditemui variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan yang significant terdapat diantara tahun ENSO vs. tahun non-enso. Garis berwarna biru pada Gambar 17 dan 18 menunjukan variabilitas nilai SPL dan klorofil-a pada saat tahun-tahun ENSO, sedangkan untuk garis berwarna merah merupakan variabilitas nilai SPL dan klorofil-a pada tahun-tahun non-enso. Secara umum, SPL di lokasi penelitian pada tahun ENSO lebih tinggi pada akhir musim peralihan II, musim barat, sampai musim peralihan I dibandingkan dengan SPL pada tahun non-enso (Gambar 17). Sebaliknya, nilai SPL pada tahun ENSO lebih rendah pada musim timur sampai awal musim peralihan II dibandingkan dengan SPL pada tahun non-enso (Gambar 17). Berdasarkan data konsentrasi klorofil-a, secara umum nilai konsentrasi klorofil-a pada akhir musim peralihan II, musim barat, dan musim peralihan I tahun ENSO lebih rendah dibandingkan dengan nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun non-enso (Gambar 18). Sebaliknya, pada musim timur dan awal Musim peralihan II, nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO lebih tinggi dibandingkan dengan nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun non-enso (Gambar 18).

Gambar 17. Plot rata-rata bulanan nilai SPL pada tahun ENSO (kurva biru) vs. Non-ENSO (kurva merah) : (a) sampling area1; (b) sampling area2; (c) sampling area3. 46

Gambar 18. Plot rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO (kurva biru) vs. Non-ENSO (kurva merah) : (a) sampling area1; (b) sampling area2; (c) sampling area3. 47

48 4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Variabilitas SPL dan Klorofil-a Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu SPL, biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005). Pada penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas SPL dan klorofil-a yang akan dibahas antara lain angin, Ekman transport, curah hujan, dan Tinggi Paras Laut (TPL). 4.4.1. Angin Angin terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara yang merupakan hasil dari pengaruh ketidakseimbangan pemanasan sinar matahari terhadap tempat-tempat yang berbeda di permukaan bumi. Berdasarkan Brown et al. (2004) angin bertiup dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Pola pergerakan angin di Indonesia pada umumnya mengikuti pergerakan musim dan tahun ENSO serta tahun non ENSO. Setiap musim memiliki arah pergerakan angin yang berbeda-beda. Pada musim barat (Desember Februari) angin bulanan rata-rata tahun ENSO (Gambar 19) di selatan Selat Makassar dominan bergerak dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-rata 3,2 m/s dan maksimum 4,2 m/s. Sedangkan pada musim barat (Desember Februari) tahun non ENSO (Gambar 19) angin bulanan rata-rata bergerak dari utara dan barat (Desember Februari) dengan kecepatan rata-rata 4,0 m/s dan maksimum 5,9 m/s. Kisaran konsentrasi klorofil-a periode Januari 1998 Desember 2009 pada musim barat antara lain 0,10 0,50 mg/m 3 (Tabel 7) untuk sampling area 1, 0,15 0,56 mg/m 3 (Tabel 8) untuk sampling area 2, dan 0,14 2,03 mg/m 3 (Tabel 9) untuk sampling area 3.

49 Pada musim peralihan I (Maret - April) tahun ENSO (Gambar 20), pola pergerakan angin bulanan rata-rata berasal dari utara (Maret) dan dari timur (April). Sedangkan pada musim peralihan II (Oktober) angin bulanan rata-rata bergerak dari tenggara (Gambar 20). Musim peralihan I tahun non ENSO (Gambar 20) angin bulanan rata-rata bergerak dari barat laut (Maret) dan dari timur dan tenggara (April). Musim peralihan II pada tahun ENSO dan non ENSO (Gambar 20) angin bulanan rata-rata bergerak dari tenggara (Oktober). Pada umumnya pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur tahun ENSO dan non ENSO relatif sama yaitu dari tenggara namun kecepatannya umumnya lebih tinggi pada tahun ENSO. Pada musim timur tahun ENSO kecepatan angin rata-rata 5,9 m/s dan mencapai maksimum pada 6,7 m/s, sedangkan pada tahun non ENSO kecepatan angin rata-rata 5,3 m/s dan maksimum 6,3 m/s. Arah angin yang berasal dari tenggara pada musim timur ini mengakibatkan Ekman transport bergerak menuju barat daya (menjauhi pantai selatan Sulawesi). Hal ini mengakibatkan kekosongan air laut di permukaan dan diikuti pengisian air laut dari kedalaman untuk mencapai keseimbangan permukaan air. Proses ini mengakibatkan kejadian upwelling yang membawa unsur hara lebih banyak, salinitas lebih tinggi, dan suhu air laut lebih rendah. Relatif tingginya kecepatan angin pada musim timur tahun ENSO ini mengakibatkan intensitas kejadian upwelling lebih tinggi dibandingkan dengan tahun non ENSO (lihat Gambar 17 dan 18).

Gambar 19. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim barat : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO. 50

Gambar 20. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim peralihan : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO. 51

Gambar 21. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO. 52

53 4.4.2. Ekman Transport Pola pergerakan Ekman transport rata-rata bulanan di bagian selatan Selat Makassar pada musim barat tahun ENSO (Gambar 22) menuju ke timur laut. Sementara itu, pergerakan Ekman transport bulanan rata-rata di Selat Makassar pada musim barat tahun non ENSO (Gambar 22) menuju utara (Desmber Februari). Pola pergerakan Ekman transport bulanan rata-rata di Selat Makassar pada musim peralihan I (Maret) tahun ENSO (Gambar 23) menuju ke arah timur, sedangkan pada bulan April Ekman transport bulanan rata-rata ke arah selatan. Pada musim peralihan II (Oktober) tahun ENSO (Gambar 23) Ekman transport bulanan rata-rata menuju ke barat daya. Pada musim peralihan I (Maret) tahun non ENSO (Gambar 24) Ekman transport bulanan rata-rata bergerak ke arah timur laut, sedangkan pada bulan April bergerak ke selatan. Pada bulan Oktober Ekman transport bulanan rata-rata bergerak ke barat daya. Pada umumnya pola Ekman transport bulanan rata-rata musim timur tahun ENSO dan tahun non ENSO (Gambar 24) arah pergerakannya relatif sama yaitu menuju ke barat daya (menjauhi pantai selatan Pulau Sulawesi). Pada saat musim timur dan musim peralihan II tahun ENSO volume Ekman transport relatif lebih besar bila dibandingkan dengan tahun non ENSO. Semakin besar volume Ekman transport yang bergerak menjauhi daerah pesisir, maka memungkinkan naiknya massa air dari bawah untuk menggantikan massa air yang bergerak meninggalkan pesisir semakin besar juga. Hal ini akan menggambarkan tingkat intensitas upwelling.

Gambar 22. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim barat: (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO 54

Gambar 23. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim peralihan : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO 55

Gambar 24. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun ENSO; (b) tahun non ENSO 56

57 4.4.3. Curah Hujan Data curah hujan di stasiun Paotere Makassar periode Januari 1998 Desember 2008 di peroleh dari stasiun BMKG Pusat, Jakarta. Data tersebut kemudian dihubungkan dengan data konsentrasi klorofil-a di sampling area1 (sebelah selatan Selat Makassar), karena stasiun pengambilan data curah hujan oleh BMKG Paotere lokasinya lebih dekat dengan sampling area1. Jumlah curah hujan pada musim barat (November Februari) berkisar antara 17 1277 mm, pada musim peralihan I (Maret April) berkisar antara 77 687 mm, pada musim timur (Mei Agustus) berkisar antara 0 257 mm, dan pada musim peralihan II (September April) berkisar antara 0 173 mm (Lampiran 1). Pada umumnya jumlah curah hujan maksimum terjadi pada musim barat yaitu bulan Januari dan jumlah hujan minimum terjadi pada musim timur yaitu bulan Agustus (Gambar 25). Hal tersebut sesuai dengan Wyrtki (1961) bahwa adanya fluktuasi jumlah curah hujan bulanan diakibatkan karena adanya perbedaan pola angin yang terjadi di Indonesia. Pada musim barat, angin membawa banyak uap air yang berasal dari Samudera Pasifik sehingga menyebabkan curah hujan menjadi tinggi sedangkan pada musim timur angin membawa sedikit uap air, karena angin berasal dari daratan Australia sehingga menyebabkan curah hujan rendah. Berdasarkan Gambar 25, secara umum tingginya jumlah curah hujan tidak diikuti dengan kenaikkan konsentrasi klorofil-a (sampling area1). Sebaliknya, apabila jumlah curah hujan rendah pada musim timur maka konsentrasi klorofil-a di selatan Selat Makassar tinggi. Konsentrasi klorofil-a pada sampling area1 berbanding terbalik dengan jumlah curah hujan. Hal tersebut dimungkinkan karena pada sampling area1 saat musim timur terjadi fenomena upwelling, jadi

Gambar 25. Hubungan antara jumlah curah hujan dan konsentrasi klorofil-a (sampling area1) di selatan Selat Makassar 58

59 meskipun jumlah curah hujan di daerah tersebut rendah, konsentrasi klorofil-a yang ada tinggi. 4.4.4. Sebaran Anomali Tinggi Paras Laut (TPL) Saat musim barat (November Februari) pada sampling area1 (Gambar 26) umumnya terjadi penaikkan paras laut atau anomali positif mencapai 5 cm di bulan Januari dan Februari, sedangkan pada bulan November dan Desember terjadi anomali positif (mencapai 5 cm) dan anomali negatif (penurunan paras laut) mencapai -5 cm. Pada sampling area2, bulan November mengalami anomali positif mencapai 10 cm, bulan Desember dan Februari terjadi anomali negatif hingga mencapai -10 cm, dan bulan Januari terjadi anomali positif sebesar 5 cm. Pada sampling area3 secara umum terjadi anomali positif sebesar 5 cm. Saat musim peralihan I (Maret April) di sampling area1 (Gambar 27) terjadi anomali positif sebesar 10 cm (Maret) dan 5 cm (April). Pada sampling area2, terjadi anomali positif hingga 5 cm (Maret dan April). Sementara di sampling area3, bulan Maret terjadi anomali negatif mencapai 5 cm dan bulan, dan anomali positif pada bulan April sebesar 5 cm. Pada musim timur (Mei Agustus) di sampling area1 (Gambar 28) secara umum menunjukan adanya anomali negatif hingga mencapai 10 cm. Pada bulan Juni anomali negaif tersebut tersebar hingga sampling area2. Pada sampling area2 bulan Mei, Juli, dan Agustus terjadi anomali positif hingga 15 cm (Mei). Pada sampling area3 terjadi anomali positif hingga 5 cm. Akibatnya pada sampling area1 konsentrasi klorofil-a tertahan dan pemusatan sehingga konsentrasi klorofil-a di daerah tersebut tinggi yaitu 2,48 mg/m 3 (Tabel 7) dan nilai SPL yang rendah yaitu 25,7 C (Tabel 4). Hal itu sesuai dengan penelitian

60 yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Purba dan Atmadipoera (2005) bahwa di sebelah selatan Selat Makassar (sekitar 5oLS) terlihat anomali TPL tidak terlalu bervariasi kecuali terdapat anomali negatif pada Juli 1998 yang mencapai 10 cm dan Desember 1999 mencapai -9 cm. Gambar 26. Fluktuasi TPL bulanan pada musim barat di selatan Selat Makassar tahun 2004.

61 Gambar 27. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan I di selatan Selat Makassar tahun 2004. Gambar 28. Fluktuasi TPL bulanan pada musim timur di selatan Selat Makassar tahun 2004.

62 Saat musim peralihan II (September Oktober) pada sampling area1 (Gambar 29) terjadi anomali positif hingga 5 cm. Pada sampling area2 terjadi anomali negatif mencapai -15 cm (Oktober) dan mencapai -5 cm (September). Selanjutnya pada sampling area3, terjadi anomali negatif mencapai 5 cm. Gambar 29. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan II di selatan Selat Makassar tahun 2004. Purba dan Atmadipoera (2005) menjelaskan bahwa angin Muson tenggara tidak mengakibatkan fluktuasi paras laut yang berarti di Selat Makassar karena orientasi arah angin ini tidak bertepatan dengan orientasi sirkulasi permukaan di Selat makassar. Angin mengakibatkan arus bergerak ke timur di Laut Flores, akan tetapi secara umum paras laut turun di utara Selat Lombok dan tidak menyebabkan fluktuasi muka laut yang nyata di Selat Makassar secara keseluruhan.