Kekerasan Seksual oleh Media dari Sudut Pandang Penyintas I. Testimoni II. Kekerasan Seksual III. Meliput & Menayangkan Tentang Penyintas I. Testimoni Peristiwa 5 tahun, 8 tahun & 24 tahun Beda korban & penyintas : KORBAN obyek kejahatan yang masih berada dalam kondisi pasca trauma dan tidak/belum berfungsi secara sosial (belajar, bekerja, hubungan sosial, hubungan emosi dll), sedangkan PENYINTAS adalah korban kejahatan yang sudah melewati masa-masa teberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial & berusaha berfungsi secara emosi. II. Kekerasan Seksual (dari sudut pandang penyintas) Kekerasan seksual : Seluruh tindakan pendekatan dan penyerangan dengan menggunakan seks sebagai alat/senjata, yang menimbulkan rasa tidak nyaman, terancam, trauma, kerusakan fisik jangka pendek/panjang & kerusakan psikis jangka panjang. Efek kekerasan seksual pada korban : 1. Syok 2. Kedinginan 3. Perasaan ingin pingsan 4. Kebingungan mental 5. Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat) 6. Gemetaran 7. Mual 8. Muntah-muntah Gejala fisik trauma kekerasan seksual : 1. Masalah ginekologi 2. Pendarahan atau infeksi 3. Rasa sakit di seluruh tubuh 4. Memar/luka gores/luka yang lebih dalam 5. Mual dan muntah-muntah 6. Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
7. sakit kepala karena meningginya tekanan darah 8. Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut 9. Gangguan tidur 10. Gangguan makan Penyimpangan kebiasaan akibat trauma kekerasan seksual : 1. Menangis lebih sering dari biasanya 2. Kesulitan konsentrasi 3. Kurang bisa mengatur pola istirahat 4. Kurang bisa menikmati waktu santai 5. Selalu waspada danberjaga-jaga 6. Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan 7. Tidak suka ditinggalkan sendirian 8. Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat) 9. Menghindari hal-hal yang akan mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami 10. Mudah takut dan terkejut 11. Cepat kesal untuk hal sederhana 12. Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik 13. Selalau bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi 14. Mudah kecewa 15. Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu 16. Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengosumsi) 17. Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi 18. Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi Gejala psikis trauma kekerasan seksual : 1. Gangguan pikiran dan kekesalan 2. Merasa kotor 3. Ingatan berulang 4. Mimpi buruk 5. kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian 6. Fobia dan/atau trauma fobia 7. Amnesia sementara 8. Kebas atau rasa kehilangan emosi 9. Bingung harus merasakan apa 10. Merasa akan mati lebih cepat 11. Depresi dan kesedihan 12. Ingin bunuh diri 13. Gusar dan kemarahan 14. Lebih takut dan cemas berlebihan 15. Malu dan terhina 16. Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri 17. Merasa bertanggung jawab atas kejadian 18. Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain 19. Merasa tak tertolong dan tak berdaya 20. Kehilangan penghormatan pada diri sendiri 21. Kehilangan percaya diri 22. Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga 23. Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di
usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya 24. Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot) 25. Merasa konseling/terapi belum tentu menolong 26. Ragu dan takut menceritakan kejadian 27. Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahanlahan (lebih pada fisik) 28. Migren 29. Bulimia dan/atau anoreksia 30. Ketidakmampuan untuk mempercayai (lebih pada gangguan emosi) 31. perfeksionis 32. Menghindari ikatan/keintiman emosi 33. Tidak mempercayai intuisi diri 34. Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan) 35. Bisa saja membela pelaku 36. Problem mengasuh anak 37. Khawatir berlebihan 38. Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta 39. Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai III. Bagaimana Media Meliput & Melaporkan Korban/Penyintas Kekerasan Seksual 1. Identitas (korban & orang-orang di sekitar korban) Pasal 5 KEJ Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. 2. Menyalahkan korban (penampilan, perilaku & kondisi) Wajah korban atau penyintas dalam pemberitaan cenderung digambarkan sebagai yang selamanya adalah korban : yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang mengundang atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual
Contoh : OkeZone.com 16 September 2011 : Pemerkosa & Korban Ternyata Saling Kenal (isi X sumber pendukung) TRIBUNNEWS.com 16 Sept 2011 : Korban Perkosaan Sering Berkomunikasi dengan Pelaku (isi X minus sumber pendukung) Pasal 3 KEJ Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masingmasing pihak secara proporsional. c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. 3. Detail Erotis Contoh : duplikasi detail erotis ke kolom berita atau pada adegan reka ulang kekerasan seksual. detikpertama.com 7 Sept 2011 : Nafsu Tak Tertahan, Kuli perkosa Pelajar Hingga CD Robek (isi V konten semi detail tautan berita adalah hal-hal erotis) adegan reka ulang kejahatan perkosaan di media elektronik (bukan rekonstruksi yang adalah istilah kepolisian, lembaga pengamanan resmi negara) Pasal 4 KEJ Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
4. Dramatisasi Kejadian Dibanding menggali kisah sukses perjuangan kembali berfungsi secara sosial, wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya. Contoh : pengalaman live talk show dengan TV & wawancara 'on the spot' tanpa pertimbangan psikologis nara sumber. Catatan : Waspadai stres trauma pada jurnalis peliput kejadian-kejadian traumatis. Seluruh ulasan yang saya sampaikan di atas sangat mungkin juga dialami para jurnalis perempuan yang secara terus menerus meliput peristiwa kekerasan khususnya kekerasan seksual. Secara tidak sadar cara mereka menempatkan korban/penyintas akan menjadi semacam sugesti akibat terus menyerap emosi dan enerji negatif korban/penyintas yang sudut pandang publikasinya sebenarnya mereka bentuk. ******* *Helga Worotitjan : Ibu tunggal, penyintas kekerasan seksual, penulis, pekerja sosial mandiri. Terakhir bekerja formal sebagai manajer penjualan kredit konsumtif Bank Mandiri hingga tahun 2008, memutuskan mengundurkan diri untuk menulis dan memulai kampanye antikekerasan seksual. Mendirikan kelompok kerja inspirasi Indonesia kampanye anti pemerkosaan seksual & politik. Mendukung aktif Lentera Indonesia grup dukungan bagi penyintas kekerasan seksual).