BAB I PENDAHULUAN. Adakalanya seorang siswa mengalami kesulitan walaupun dia telah

dokumen-dokumen yang mirip
Desain Disaktis Persamaan Garis Lurus pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN. Dini Asri Kusnia Dewi, 2014

2016 DESAIN DIDAKTIS KONSEP GARIS SINGGUNG LINGKARAN PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Wahyuni, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Putri Dewi Wulandari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah : siswa dan terkait variasi informasi yang ada pada soal.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Resgiana, 2015

2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran matermatika yang dilakukan di Indonesia kira-kira seperti yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dhias Mei Artanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang berkaitan dengan aljabar banyak ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. desain didaktis yang berdasarkan pada hambatan pada proses pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tia Agnesa, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah et.al open ended

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

2015 D ESAIN D IDAKTIS UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SISWA TERHAD AP KONSEP SUD UT PAD A BANGUN RUANG BERD ASARKAN LEARNING TRAJECTORY

DAFTAR ISI PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMAKASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui tiga

Penelitian Pembelajaran Matematika Untuk Pembentukan Karakter Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Secara tidak langsung banyak hal dalam kehidupan manusia bersentuhan

2015 DESAIN DIDAKTIS KONSEP ASAS BLACK DAN PERPINDAHAN KALOR BERDASARKAN HAMBATAN BELAJAR SISWA PADA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS KELAS X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

DIDACTICAL DESIGN RESEARCH (DDR) DALAM PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN KEPENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Intan Cahyaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Feni Febrianti Kencanawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan Desain Didaktis Luas Daerah Lingkaran Pada Pembelajaran Matematika SMP

2015 DESAIN DIDAKTIS SIFAT-SIFAT SEGIEMPAT UNTUK MENCAPAI LEVEL BERPIKIR GEOMETRI PENGELOMPOKKAN PADA SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Panji Wiraldy, 2013

\MODEL DESAIN DIDAKTIS PENGURANGAN PECAHAN BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR

DESAIN DIDAKTIS BANGUN RUANG SISI DATAR UNTUK MENINGKATKAN LEVEL BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting, karena matematika merupakan ilmu dasar yang berkaitan

DESAIN DIDAKTIS BAHAN AJAR KONEKSI MATEMATIKA PADA KONSEP LUAS DAERAH TRAPESIUM. Ihsan Ariatna Dindin Abdul Muiz Lidinillah Hj.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

2 Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Degeng (Uno, 2010: 3) Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dapat dipahami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORETIS

DESAIN DIDAKTIS KONSEP BARISAN DAN DERET ARITMETIKA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari seperti mengenal garis, bangun datar dan bangun ruang. Geometri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Nora Madonna, 2013

Kata kunci: desain pembelajaran, konstruktivisme, learning obstacle, gaya magnet.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Awinda, 2015

BAB I PENDAHULUAN. (Bartle dan Sherbert, 1999:9). Misalnya diberikan fungsi f dan g dari R ke R,

BAB I PENDAHULUAN. kritis, berkualitas dan mampu bersaing dalam era teknologi. Dewasa ini. membantu proses pembangunan disemua aspek kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB II KAJIAN TEORI. Rahmawati, 2013:9). Pizzini mengenalkan model pembelajaran problem solving

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tuntut agar selalu dapat aktif berpikir, kreatif dan kritis dalam menghadapi semua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015 PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS ANTARA SISWA YANG MENDAPATKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tri Aprianti Fauzia, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

DESAIN DIDAKTIS KONSEP LUAS DAERAH JAJARGENJANG PADA PEMBELARAN MATEMATIKA KELAS IV SEKOLAH DASAR Lukman Nurdin Hj. Epon Nur aeni L.

Circle either yes or no for each design to indicate whether the garden bed can be made with 32 centimeters timber?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika. akan memudahkan siswa dalam mempelajari matematika dan siswa juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari di setiap jenjang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

DESAIN DIDAKTIS KONSEP LUAS DAERAH TRAPESIUM PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Learning Obstacle pada Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangPenelitian Silvia Utari,2014

BAB I PENDAHULUAN. membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini menuntut perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Setiap individu membutuhkan

DESAIN DIDAKTIS KONSEP VOLUME LIMAS PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP BERDASARKAN LEARNING TRAJECTORY

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB II KAJIAN TEORI A.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Miftahul Hidayah, 2013

DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Desain Didaktis Bahan Ajar Matematika SMP Berbasis Learning Obstacle dan Learning Trajectory

BAB I PENDAHULUAN. memperlihatkan hubungan internal dan eksternal matematika, yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN TEORI. berupa masalah ataupun soal-soal untuk diselesaikan. sintesis dan evaluasi (Gokhale,1995:23). Menurut Halpen (dalam Achmad,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang jika

2015 DESAIN DIDAKTIS PERSAMAAN KUADRAT UNTUK SISWA SMP KELAS VIII

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

P 45 DESAIN DIDAKTIS PENGENALAN KONSEP PECAHAN SEDERHANA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adakalanya seorang siswa mengalami kesulitan walaupun dia telah mengeluarkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk belajar. Pemahaman yang didapatkannya tetap sedikit walaupun telah berusaha maksimal. Cashin (Rosyidah, 2007:1) menyebutkan variabel pertama yang menyebabkan pengajaran tidak efisien adalah siswa yang pasif karena tidak menyenangi atau tidak tertarik pada bahan ajar yang diberikan. Artinya motivasi intrinsik siswa berupa ketertarikan siswa pada materi pelajaran tidak ada. Padahal Hakim (Rosyidah, 2007:1) menegaskan bahwa sesungguhnya kemauan dan motivasi merupakan penggerak pertama dan utama dalam proses belajar. Seorang guru matematika harus mampu mensiasati bagaimana memaksimalkan usahanya membawa para siswa untuk memahami dan menerapkan keilmuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan ilmu yang abstrak. Oleh karena itu, guru membutuhkan keuletan, kesabaran, ketekunan, dan ketelitian untuk dapat menerapkan konsep dan mengetahui kondisi siswa. Cara meminimalisir turunnya motivasi siswa dalam belajar matematika dengan membuat matematika menjadi menarik perhatian siswa dan siswa menikmati semua proses pembelajarannya. Akhirnya siswa dapat

2 menangkap makna pengajaran dari guru dan dapat menjadi manusia yang unggul di daerahnya. Menurut Silver (Turmudi, 2010:179) bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa tidak baik apabila dipaksa untuk mengingat seluruh materi yang ada. Hal yang efektif adalah membuat siswa paham dengan materi sehingga ketika paham konsep umum suatu topik, maka siswa pun akan mengingat keseluruhan topik tertentu. Jika mereka tidak memahaminya, maka cara siswa belajar matematika yaitu menghafal rumus atau aturan tanpa dicerna terlebih dahulu. Tidak baik juga pembelajaran matematika yang pasif, siswa hanya melihat bagaimana gurunya mendemonstrasikan penyelesaian soal-soal di papan tulis, kemudian mencatat ulang dalam bukunya. Hal yang sebaiknya dilakukan guru adalah bertanya kepada dirinya sendiri, apakah siswa memahami penjelasan saya? Hal tersebut untuk mengubah sikap mental dari guru sehingga siswa pun di akhir proses pembelajaran mengatakan, ya, saya bisa. Guru harus melakukan hal baru dengan apa yang sudah ada (pengetahuan dan fakta) untuk memfasilitasi pemahaman siswa. Jika seorang guru merencanakan pembelajaran matematika hanya berdasarkan pemahaman tekstual, maka proses pembelajaran di kelas pun terjadi dalam waktu yang singkat. Begitu juga dengan pemahaman siswanya. Mereka akan memahami materi secara keseluruhan dalam gambaran umum dan hanya paham dalam waktu yang singkat pula. Menurut Suryadi (2010:6) gambaran tersebut menunjukkan bahwa ada proses yang hilang sebagaimana proses yang

3 dialami oleh matematikawan yang menjadi pengembang konsep atau penulis buku tersebut. Untuk memperoleh makna sebagaimana yang pernah dialami penulisnya, maka tidaklah cukup guru hanya mencapai pemahaman yang sudah instant (langsung jadi) secara tekstual, melainkan guru harus melakukan proses repersonalisasi dan rekontekstualisasi. Berbagai pengalaman yang diperoleh dari proses tersebut akan menjadi bahan berharga bagi guru pada saat guru berusaha mengatasi kesulitan yang dialami siswa dan terkadang kesulitan tersebut sama persis dengan proses yang pernah dialaminya pada saat melakukan proses repersonalisasi. Bagaimana dengan proses pembelajaran yang idealnya dialami siswa? Proses yang dilakukan siswa pada saat belajar matematika pada hakekatnya sama dengan yang dilakukan para matematikawan. Ada sedikit perbedaan yaitu siswa tidak berproses pada menemukan sesuatu yang benar-benar baru, melainkan hanya melakukan redepersonalisasi dan redekontekstualisasi. Siswa sebaiknya mempunyai pengalaman belajar yang lebih sehingga siswa dapat membangun concept image berdasarkan dari proses belajar yang dia peroleh. Jika pengalaman belajar siswa terbatas, maka pemahaman yang di dapat siswa pun terbatas. Suryadi (2010:6) mengemukakan bahwa proses berpikir guru dalam konteks pembelajaran terjadi dalam 3 fase yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran, dan setelah pembelajaran. Kecenderungan proses berpikir sebelum pembelajaran yang lebih berorientasi pada tujuan berdampak pada proses penyiapan bahan ajar serta minimnya antisipasi terutama yang bersifat didaktis. Penyiapan bahan ajar pada umumnya hanya didasarkan pada model sajian yang

4 tersedia dalam buku-buku acuan tanpa melalui proses rekontekstualisasi dan repersonalisasi. Padahal sajian matematika dalam buku acuan, baik berupa uraian konsep, pembuktian, atau penyelesaian contoh masalah, sebenarnya merupakan sintesis dari suatu proses panjang yang berakhir pada proses dekontekstualisasi dan depersonalisasi yang telah dijelaskan tadi. Selain itu, proses belajar matematika yang cenderung diarahkan pada berpikir imitatif, berdampak pada kurangnya antisipasi didaktis yang tercermin pada persiapan yang dilakukan guru. Rencana pembelajaran biasanya kurang memperhatikan keragaman respon siswa atas situasi didaktis yang dikembangkan sehingga rangkaian situasi didaktis yang dikembangkan berikutnya kemungkinan tidak lagi sesuai dengan keragaman lintasan belajar masing-masing siswa. Lebih jauh, proses belajar matematika yang idealnya dikembangkan mengarah pada proses re-dekontekstualisasi dan redepersonalisasi belum menjadi pertimbangan utama bagi para guru di lapangan. Menurut An, Kulm dan Wu ( Mulyana, 2010:10 ) terdapat dua pandangan pembelajaran matematika yaitu learning as knowing dan learning as understanding. Pandangan learning as knowing sejalan dengan paradigma pengajaran, sedangkan pandangan learning as understanding sejalan dengan paradigma pembelajaran. Pola pembelajaran pandangan learning as knowing mengakibatkan siswa mengetahui dan hafal konsep-konsep dan terampil menggunakan suatu prosedur, tetapi satu sama lain terpisah (disconnected and memorized knowledge) disebut juga pemahaman tingkat permukaan (surface level). Pandangan pembelajaran learning as understanding memiliki anggapan bahwa seorang siswa telah mengetahui suatu konsep matematika tidaklah

5 cukup sebelum konsep itu terinternalisasi dan terkait dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Kita mengetahui bahwa jumlah informasi, konsep, atau rumus yang harus diingat itu banyak, sedangkan tingkat pemahaman berkorelasi dengan tingkat daya ingat (Mulyana, 2010:10). Hal itu mengakibatkan sesuatu yang dipahami tersebut direpresentasikan sedemikian rupa sehingga terkoneksi dengan suatu jaringan. Apabila struktur jaringan itu makin baik, makin gampang untuk diingat. Jadi, suatu bagian memori akan muncul melalui memori dari suatu jaringan yang utuh. Dengan demikian, pemahaman dapat mengurangi jumlah item yang harus diingat. Contohnya jika seseorang memahami peta konsep dari berbagai macam segiempat, dengan hanya mengingat satu rumus untuk mencari luas daerah trapesium, rumus tersebut dapat digunakan untuk menentukan luas daerah jenis segiempat lainnya, seperti jajargenjang, persegipanjang, dan persegi. Dalam pembelajaran matematika di sekolah, definisi trapesium berbedabeda. Dari buku ajar yang banyak dipakai, trapesium terdiri atas trapesium samakaki, siku-siku dan sebarang tanpa mengaitkan dengan konsep bangun datar yang lain dalam segiempat, misalnya jajargenjang, persegi, dan persegipanjang. Berdasarkan pengalaman dari peneliti sebelumnya, bahwa dalam mempelajari konsep luas daerah segitiga, contoh yang diberikan sangatlah terbatas. Guru hanya memberikan gambar segitiga yang sangat sederhana sehingga dapat menimbulkan kesalahan pemahaman mengenai segitiga. Seperti yang diungkapkan Suryadi (2010:78) bahwa... jika siswa yang pada awal belajar konsep segitiga hanya

6 dihadapkan pada model konvensional dengan titik puncaknya di atas dan alasnya di bawah, maka concept image yang terbangun dalam pikiran siswa bahwa segitiga tersebut selalu harus seperti yang digambarkan. Dalam uji coba soal berikut yang dilakukan oleh Wadifah (2010:30) siswa sebagian besar menganggap bahwa alasnya adalah AB dan tingginya BC. D C A Gambar 1.1 Uji instrumen learning obstacle materi luas daerah segitiga B Begitu juga dalam konsep luas daerah trapesium. Sajian bahan ajar trapesium hanya memperkenalkan trapesium dengan variasi yang terbatas.. Ketika dihadapkan dengan bentuk trapesium dengan konteks yang berbeda, maka siswa akan mengalami kesulitan. Bahan ajar yang terbatas dapat mengakibatkan concept image yang terbentuk mengenai trapesium karena dasar dari konsep luas daerah trapesium adalah konsep luas daerah segitiga. D C B A Gambar 1.2 Trapesium dalam konteks yang berbeda

7 Gambar di atas merupakan trapesium dalam konteks yang berbeda. Peneliti menduga ada yang menyebut hal tersebut sebagai jajargenjang, belum mengerti hubungan antara jajargenjang dan trapesium sehingga untuk mencari luas daerah di atas menggunakan konsep luas daerah jajargenjang yaitu perkalian alas dengan tinggi yang bersesuaian. Ketika siswa dihadapkan pada persoalan luas daerah trapesium yang belum pernah dicontohkan oleh gurunya, besar kemungkinan siswa belum mampu menyelesaikannya. Hal ini terjadi akibat pembelajaran matematika, yang harusnya mampu menjadikan siswa memahami mulai dari konsep dasar suatu materi secara utuh, ternyata tidak tersampaikan sehingga timbul hambatan pembelajaran (learning obstacle). Dengan demikian, perlu adanya suatu proses perencanaan pembelajaran yang disusun sebagai rancangan pembelajaran (desain didaktis). Desain didaktis ini merupakan langkah awal sebelum adanya pembelajaran untuk mengatasi hambatan belajar yang muncul pada proses pembelajaran sehingga diharapkan mampu mengarahkan siswa pada pembentukan pemahaman yang utuh. Itulah alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti Desain Didaktis Konsep Luas Daerah Trapesium pada Pembelajaran Matematika SMP. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui bagaimana desain didaktis bahan ajar konsep luas daerah trapesium pada pembelajaran SMP. Dari rumusan masalah tersebut, dapat diuraikan pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut.

8 1. Bagaimana karakteristik learning obstacle yang bisa diidentifikasi terkait konsep luas daearah trapesium? 2. Bagaimana hasil repersonalisasi konsep luas daerah trapesium dalam keterkaitan antar konsep? 3. Bagaimana desain didaktis awal konsep luas daerah trapesium yang sesuai dengan karakteristik siswa kelas VII? 4. Bagaimana implementasi desain didaktis, khususnya ditinjau dari respon siswa yang muncul? 5. Bagaimana hasil revisi desain didaktis awal setelah mengetahui hasil respon siswa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui karakteristik learning obstacle yang dapat diidentifikasi terkait konsep luas daerah trapesium. 2. Mengetahui hasil repersonalisasi konsep luas daerah trapesium dalam keterkaitan antar konsep. 3. Mengetahui desain didaktis awal konsep luas daerah trapesium yang sesuai dengan karakteristik siswa kelas VII. 4. Mengetahui implementasi desain didaktis, khususnya ditinjau dari respon siswa yang muncul.

9 5. Mengetahui hasil revisi desain didaktis awal setelah mengetahui hasil respon siswa. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi nyata bagi berbagai kalangan, diantaranya sebagai berikut. 1. Bagi siswa, diharapkan dapat lebih memahami konsep luas daerah trapesium dalam pembelajaran matematika tanpa adanya kesalahan konsep yang akan berakibat pada pembelajaran matematika berikutnya. 2. Bagi guru matematika, diharapkan dapat menciptakan pembelajaran matematika berdasarkan karakteristik siswa melalui penelitian desain didaktis serta dapat menerapkan dan memilih metode pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika secara optimal. 3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya yang relevan. E. Definisi Operasional 1. Learning obstacle merupakan hambatan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Learning obstacle terdiri atas didaktis (dalam hal cara mengajar), ontogenis (penggunaan), epistimologis (dalam konsep yang terbatas pada konteks tertentu). 2. Hambatan epistimologis merupakan hambatan yang berkaitan dengan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks tertentu.

10 3. Desain didaktis merupakan rancangan tentang sajian bahan ajar yang memperhatikan prediksi respon siswa. Desain didaktis dikembangkan berdasarkan sifat konsep yang akan disajikan dengan mempertimbangkan learning obstacle yang diidentifikasi. Desain didaktis tersebut dirancang untuk mengurangi munculnya learning obstacle. 4. Pembelajaran matematika SMP adalah pembelajaran matematika yang menggunakan desain didaktis pada siswa SMP. 5. Konsep luas daerah trapesium adalah konsep matematika yang menyangkut konsep luas daerah sebelumnya, yaitu segitiga dan mempertimbangkan berbagai hambatan epistimologis dan learning obstacle.