BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1.1.1 Realita Kehidupan Difabel dalam Masyarakat Gambar 1.1 Difabel Dokumentasi : Vriesia Tissa Florika (2013) Istilah difable (differently Ability) muncul dan digunakan di Indonesia sekitar tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang memiliki perbedaan kebutuhan 1. Sayangnya hingga kini masyarakat cenderung menyebut mereka sebagai penyandang cacat, sementara konotasi negatif ini menciptakan paradigma akan kelemahan, kekurangan, ketidakmampuan, dan kecacatan semata. Berbagai kondisi tidak menyenangkan diterima oleh kaum difabel bahkan dari ketika mereka dilahirkan. Penolakan oleh keluarganya, penolakan oleh lingkungan, penolakan oleh institusi pendidikan, penolakan oleh 1 http://mahadarmaworld.wordpress.com/2011/11/25/cacat-difabel-dan-disabilitas-di-matamasyarakat 16
dunia kerja karena dianggap tidak layak dan tidak mampu. Sebagian besar masyarakat menganggap difabel termasu kelompok yang mempunyai keterbatasan potensi untuk dikembangkan. Kelemahan dan kekurangan selalu menghambat masyarakat untuk menilik kelebihan dan potensi dari mereka. Kaum difabel masih banyak menghadapi diskriminasi. Kerugian paling besar adalah tidak memiliki kesempatan untuk hidup seperti orang lain dikarenakan kurangnya penawaran pendidikan yang layak untuk mereka. Kecenderungan dipandang sebelah mata menimbulkan dampak yang merugikan baik dalam kesempatan mengenyam pendidikan hingga berlanjut kepada pekerjaan dan mendapatkan kehidupan yang layak. Tidak sedikit kaum difabel yang pada akhirnya miskin dan tidak memiliki pendidikan hingga akhirnya harus tinggal di penampungan dan tidak mendapat kesempatan bekerja. 1.1.2 Kesetaraan Hak Pendidikan Untuk Difabel Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang- undang no 20 tentang system pendidikan nasional ( UUSPN ). Dalam undang undang tersebut dikemukakan hal- hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut : Bab 1( pasal 1 ayat 18 ) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah Bab II ( pasal 4 ayat 1 ) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis berdasarkan HAM, agama, kultural, dan kemajemukan bangsa. Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 ) Pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses 17
pembelajaran karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi kecerdasan 2. Dengan adanya undang-undang tersebut sudah jelas bahwa setiap warga negara seharusnya berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi. Begitu pula dengan anak-anak berkebutuhan khusus atau difabel. Melihat kenyataan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus yang mendapatkan pendidikan normal relatif minim jumlahnya menandakan bahwa keadaan dilapangan masih belum memenuhi hak-hak bagi para difabel. Akses bagi anak dengan kebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan masih terbatas. Masalah utama anak berkebutuhan khusus tidak masuk ke sekolah justru datang dari paradigma yang berkembang pada keluarganya, yakni sekolah bagi anak berkebutuhan khusus merupakan prioritas kedua. Mereka cenderung tidak menyekolahkan mereka karena merasa malu dengan keadaan anaknya yang tidak sama dengan anak-anak lain. Sampai hari ini, masih terdapat kesenjangan yang sangat tinggi terhadap kaum difabel dalam mengenyam pendidikan. Kebanyakan sekolah umum masih enggan menerima anak berkebutuhan khusus. Sementara jumlah SLB (SekolahLuarBiasa) masih sangat minim. Padahal pendidikan merupakan aspek terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1) bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. 2 http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/20/perkembangan-pendidikan-anak-berkebutuhankhusus-di-indonesia/ 18
1.1.3 Sarana Pendidikan untuk Kaum Difabel Gambar 1.2 Anak difabel juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan Sumber: http://kppo.bappenas.go.id/news/yang-terbatas-yang-berprestasi Pada dasarnya penyediaan sarana pendidikan bagi difabel telah dilakukan oleh pemerintah. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut disediakan fasilitas pendidikan khusus yang disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa. Sistem pendidikanslb memisahkan anak berkebutuhan khusus dengan sistem pendidikan untuk anak normal. Pemisahan tersebut tentu saja berdampak pada eksklusifisme pada masing-masing pihak baik dari anak-anak berkebutuhan khusus juga dari mereka yang merasa normal. Akibatnya dalam strata sosial tetap saja anak-anak berkebutuhan khusus tetap di eliminasi dan dinomor duakan. Sementara bagi meraka yang difabel ketidakpercayaan diri muncul bahwa keberadaannya bukan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Walaupun begitu kebanyakan sekolah reguler sendiri tidak mau menampung anak-anak dengan kebutuhan khusus. Beberapa sekolah reguler yang pada akhirnya mau menampung anak-anak berkebutuhan khusus pun nyatanya tidak mampu untuk menyediakan fasilitas dan sistem pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Fasilitas yang disamakan dengan kebutuhan anak-anak biasa tentu saja tidak cocok untuk anak kebutuhan khusus. Pada akhirnya SLB menjadi solusi utama untuk mencapai pendidikan yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk saat ini. Sayangnya, SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Sehingga banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum dapat mengenyam pendidikan disebabkan minimnya jumlah SLB dan harga yang relatif mahal. Konsep SLB yang dicanangkan pemerintah ternyata juga cukup menimbulkan kesulitan bagi anak berkebutuhan khusus. 19
1.1.4 Konsep Sekolah Inklusi Gambar 1.3 Konsep Sekolah Inklusi Sumber: http://inclusiveducation.blogspot.com/2012/11/is-inclusion-in-australianschools.html Adanya keragaman dan perbedaan kebutuhan pada individu terutama dalam bidang pendidikan kemudian menjadi ide dasar munculnya sekolah inklusi. Idealnya sekolah tidak membeda-bedakan pengguna di dalamnya atau mengekslusifkan siapa saja yang boleh bersekolah disitu. Mereka yang difabel berhak untuk berada dalam lingkungan yang lebih nyata dimana tidak dibatasi pergaulannya hanya dengan sesama difabel. Pada dasarnya anak-anak berkebutuhan khusus pun menginginkan situasi dan lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Lingkungan yang tidak memberikan label negatif pada kepribadiannya, dan tentunya lingkungan yang bisa menjadikannya berprestasi, tumbuh dan berkembang seperti anak-anak normal lainnya, tanpa adanya rasa minder, malu, dan rendah diri terhadap kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Pemikiran dengan masih mengkotakkotakan anak-anak ini menjadi 'normal' dan difable hanya akan membuat anak-anak berkebutuhan khusus terus berada pada dunianya dan tidak berkembang. Sekolah Inklusi mewadahi dan menyiapkan mereka untuk mampu belajar, berkompetisi secara normal tanpa terhalang keterbatasan dan apapun 20
kemampuannya. Begitu pula bagi anak-anak normal, sekolah inklusi meningkatkan nilai toleransi mereka terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka mau tidak mau harus belajar bahwa tidak semua individu di dunia ini normal seperti mereka. Bahwasanya mereka harus bisa bertenggang rasa dan menghargai anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut. Dengan kata lain siswa-siswa dapat memahami dan menerima kondisi teman mereka yang sedikit berbeda. Hal yang benar-benar menggembirakan, adalah kenyataan bahwa ternyata anak-anak berkebutuhan khusus tersebut memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan teman-temannya. Interaksi-interaksi inilah yang diharapkan memberikan pengaruh yang baik terutama bagi anakanak berkebutuhan khusus agar siap untuk menghadapi dunia nyata tanpa merasa minder, atau kurang percaya diri bahkan hingga dapat berkompetisi secara terbuka dengan orang-orang kebanyakan. 1.1.5 Kebutuhan Fleksibilitas Ruang Pada Sekolah Inklusi Untuk mencapai tujuan agar semua lapisan masyarakat dapat hidup sejahtera baik bagi kaum difabel maupun non difabel maka dibutuhkan pendidikan yang layak sejak dini. Pendidikan tersebut harus dimulai dari kondisi sekolah baik fisik maupun non-fisik. Kondisi sekolah tersebut harus mampu mendukung kegiatan belajar mengajar yang ada. Kenyataannya sekolah yang ada memang belum mampu mendukung keadaan masyarakat secara totalitas. Seperti kita lihat, sekolah yang ada memiliki eksklusivitas bagi penggunananya masing-masing. Sekolah Luar bisa tentu saja mendukung bagi kaum difabel, namun tidak fleksibel terhadap pengguna nondifabel. Pengguna non-difabel tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah luar biasa, Dari sini pengguna difabel pun pada akhirnya tidak mampu bersosialisasi secara fleksibel dengan masyarakat non-difabel. Begitu juga sebaliknya pada kondisi Sekolah biasa yang tidak fleksibel bagi pengguna difabel, hal ini dapat dilihat dari kurangnya aksesibilitas dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dari para pengguna dengan keadaan difabel. 21
Sekolah inklusi yang ada sendiri telah mampu menerima baik bagi pengguna difabel maupun non difabel. Walaupun begitu penyelesaian sekolah inklusi yang ada saat ini hanya sampai pada tahap fleksibiltas sistem. Sekolah inklusi dengan target pengguna difable dan non-difable seharusnya juga mampu menyediakan ruang-ruang belajar yang mampu mendukung kegiatan belajar semua pengguna. Fleksibilitas ruang inilah yang dibutuhkan pada sekolah inklusi karena perbedaan kebutuhan yang beragam. Dengan adanya berbagai macam perbedaan kebutuhan, ruang belajar yang biasanya hanya memenuhi satu kebetuhan saja (difabel saja atau non difabel saja) kini dituntut untuk dapat memenuhi keduanya. Bahkan untuk kaum difabel saja kebutuhan masih dibedakan menurut difabilitas yang dimilikinya. 1.2 Permasalahan 1.2.1 Permasalahan Umum Difabel dalam struktur tatanan masyarakat masih sering diabaikan hak-haknya terutama dalam masalah pendidikan. Sementara itu pendidikan merupakan bekal penting untuk dapat kehidupan yang layak. Difabilitas kurang menjadi pertimbangan dalam dunia pendidikan. Dapat dilihat pada kenyataan di lapangan dimana kaum difabel tidak mudah untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai untuk mereka menyiapkan diri hidup di dunia yang lebih riil. Minimnya sekolah Luar biasa dan bagaimana keeksklusifan sekolah luar biasa nyatanya hanya membawa difabel kepada zona nyaman mereka namun tidak dapat menyiapkan mereka untuk hidup berjajar dengan masyarakat secara normal. Sekolah luar biasa seakan membuat lingkaran khusus untuk difabel, dimana ini mempersulit mereka untuk menghadapi dunia riil dalam berkomunikasi dan berinteraksi. 1.2.2 Permasalahan Khusus a. Mengurangi resiko banjir jika air sungai naik 22
b. Mengolah limbah agar tidak mencemari lingkungan sekitarnya serta menjadikannya sebagai salah satu atraksi pada Pasar Bunga Kayoon. c. Integrasi antara sirkulasi, zonasi dan memaksimalkan tata ruang demi kenyamanan pengguna pasar. d. Mengoptimalkan kondisi site yang memanjang ke samping. 1.3 Tujuan dan Sasaran 1. Mampu menganalisis dan mengetahui pengaruh perilaku anak berkebutuhan khusus terhadap kebutuhan ruang dalam suatu bangunan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan jenis difabilitasnya. 2. Mampu menciptakan ruang pembelajaran yang baik dan mendukung Interaksi dan kemampuan potensial yang ada pada siswanya, baik bagi anak berkebutuhan khusus maupun normal. 3. Mampu memberikan ruang pembelajaran yang dapat mendukung sistem pembelajaran yang aktif dan kondusif bagi anak berkebutuhan khusus dan anak biasa. 4. Mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam penciptaan suatu area pendidikan anak berkebutuhan khusus dan anak biasa dalam suatu kompleks bangunan pendidikan. 5. Konsep Fleksibilitas diharapkan mampu menjawab masalah yang terjadi pada sekolah yaitu media serta ruang belajar yang mampu mengakomodasi keberagaman pengguna, keberagaman 1.4 Lingkup dan Metode Pembahasan 1.4.1 Lingkup Pembahasan Lingkup pembahasan lebih difokuskan pada permasalahan arsitektur yang berkaitan dengan fungsi bangunan pendidikan inklusi yang mewadahi siswa dengan kondisi dan latar belakang berbeda-beda. Bagaimana bangunan sekolah mendukung sebagai ruang belajar baik dari segi aksesibilitas maupun efektivitas pembelajaran. Bagaimana sirkulasi yang nyaman, aman dan bisa digunakan oleh 23
berbagai macam kebutuhan siswa di dalamnya. Penciptaan ruang belajar yang efektif, kondusif dan interaktif sesuai dengan kebutuhan ruang gerak bagi para siswa sehingga bisa mengembangkan bakat dan potensi sesuai kemampuannya menjadi studi kasus utama. 1.4.2 Metode Pembahasan Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk memperoleh data serta informasi dalam membuat laporan ini dengan melakukan pengumpulan dari berbagai sumber informasi yang kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa cara, yaitu: a. Studi Pustaka (Untuk Data Sekunder) Mempelajari bahan pustaka yang ada terkait karakter anak-anak berkebutuhan khusus dan bangunan sekolah terutama sekolah yang mewadahi anak-anak berkebutuhan khusus baik berupa referensi buku, hasil-hasil tulisan, atau penelitian pemerintah maupun perorangan untuk memperoleh data pendukung yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat. b. Pengamatan Langsung (Observasi) Pengamatan secara langsung terhadap objek studi untuk mendapatkan data, baik itu data keadaan yang sebenarnya (eksisting) maupun data pendukung dari bangunan sekolah inklusi, sekolah luar biasa maupun bangunan sekolah lain yang masih terkait. c. Pengumpulan Data dari Studi Kasus Mengumpulkan data-data dari beberapa contoh bangunan dengan fungsi yang sama sebagai dasar rumusan proses selanjutnya. Metode Analisis Metode yang digunakan untuk memperoleh hasil analisis berupa suatu kesimpulan yang dapat digunakan sebagai dasar konseptual perencanaan dan perancangan bangunan sekolah inklusi, antara lain: 24
a. Metode Kualitatif, yaitu merupakan metode dengan menggunakan analisis berupa deskripsi atau uraian-uraian yang memiliki kekuatan argumentasi. b. Metode Kuantitatif, yaitu merupakan metode dengan menggunakan analisis dari hasil perhitungan, mengamati dan membandingkan survey lapangan dengan studi pustaka. c. Menyimpulkan rekomendasi melalui analisis pada suatu kasus dengan landasan teori yang melihat dari aspek fungsi, teknis, dan estetika. d. Mengupayakan penguraian masalah dalam mengidentifikasi permasalahan berdasarkan data-data yang terkumpul dan analisis yang didasarkan pada landasan teori yang relevan dengan permasalahan. 1.5 Keaslian Penulisan Selama penulisan Tugas Akhir yang ada di Program Studi Arsitektur Universitas Gadjah Mada tidak ditemukan adanya beberapa contoh penulisan lain yang sama, baik pendekatan maupun permasalahan studi yang di angkat pada sekolah inklusi dengan penekanan fleksibilitas ruang. Telah ada 107 contoh penulisan yang mengambil studi kasus sekolah, 11 diataranya merujuk kepada sekolah untuk kaum difabel, yaitu : 1. Redesain Sekolah Luar Biasa Kota Jambi dengan Penekanan Lingkup Ruang Sebagai Terapi (Sasmito, Dindi Eneng chandraning) 2. Sekolah Khusus dan Sekolah Terapi Autis di Bekasi dengan Penekanan pada Healing Environment (Nisa, Aviana Hanivatun) 3. Sekolah Khusus Anak Autis di Yogyakarta dengan Penerapan Konsep Porositas (Saragih, Felicia Vanisa) 4. Sekolah Rehabilitasi Bersama untuk Anak Cacat di Yogyakarta dengan Penekanan optimalisasi Fungsi Ruang Bersama Sebagai Media Sosialisasi dan Pendukung Rehabilitasi Anak (Setyawan, Siti LPH) 5. Sekolah Dasar Inklusi di Yogyakarta dengan Penekanan Konsep Aksesibiltas Lingkungan pada Bangunan (Widyapramita, Adyastuti) 25
6. Suatu Usulan Sekolah Luar Biasa Latihan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (Bintoro, Heru) 7. Pusat Pendidikan Pra Sekolah dan Terapi Anak Autis di Yogyakarta (Fitiria, Churiah Nur) 8. Sekolah Terapi Anak Autis di Yogyakarta dengan Pendekatan Prinsip Fengshui (Isabella, Elisabeth Citra) 9. Sekolah Khusus Bagi anak dengan ketunaan fisik: Pendekatan Konsep Integrasi Ruang dalam dan Ruang Luar sebagai Media Belajar yang Atraktif bagi Anak (Hardanti, Astriana) 10. Inclusive Education pada Sekolah Dasar (Rini Chandra Novia) Diantara judul penelitian diatas, 5 diantaranya mewadahi segala jenis difabilitas. Dari 5 judul tersebut, 3 merupakan sekolah khusus bagi difabel dan 2 yang lain merupakan sekolah inklusi. Walaupun begitu, terdapat perbedaan pembahasan serta penyelesaian yang digunakan : a. Sekolah Khusus Bagi anak dengan ketunaan fisik: Pendekatan Konsep Integrasi Ruang dalam dan Ruang Luar sebagai Media Belajar yang Atraktif bagi Anak (Hardanti, Astriana). Dari penelitian tersebut perbedaan terletak pada sasaran pengguna. Pengguna hanya difokuskan untuk Anak dengan ketunaan fisik. Walaupun memiliki tujuan penyelesain yang hampir sama, yaitu ruang-ruang sekolah sebagai media belajar bagi anak difabel. Penulis hanya berhenti hingga tahap memberikan pembelajaran yang baik, namun belum menyelesaikan permasalahan bagaimana menyiapkan anak difabel untuk siap berinteraksi dalam struktur masyarakat normal. b. Sekolah Rehabilitasi Bersama untuk Anak Cacat di Yogyakarta dengan Penekanan optimalisasi Fungsi Ruang Bersama Sebagai Media Sosialisasi dan Pendukung Rehabilitasi Anak (Setyawan, Siti LPH). Tidak berbeda dari penelitian sebelumnya, sasaran pengguna 26
hanya sampai pada anak difabel sehingga belum mampu menyiapkan anak difabel untuk siap berinteraksi dengan masyarakat luar nantinya. c. Redesain Sekolah Luar Biasa Kota Jambi dengan Penekanan Lingkup Ruang Sebagai Terapi (Sasmito, Dindi Eneng chandraning). Penelitian ini walaupun mewadahi segala jenis difabilitas namun hanya berfokus untuk meredesain kualitas sekolah luar biasa yang ada di Jambi. d. Sekolah Dasar Inklusi di Yogyakarta dengan Penekanan Konsep Aksesibiltas Lingkungan pada Bangunan (Widyapramita, Adyastuti). Pada penelitian ini, sudah muncul penyelesaian masalah interaksi bermasyarakat untuk anak difabel dalam bentuk sekolah inklusi. Namun pendekatan yang digunakan hanya berfokus pada konsep aksesibilitas, bukan fleksibilitas ruang. e. Inclusive Education pada Sekolah Dasar (Rini Chandra Novia) 1.6 Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan bangunan sekolah inklusi disertai dengan penjelasan singkatnya, tujuan, sasaran, lingkup pembahasan serta metode yang digunakan. Bab II Tinjauan Teori Membahas tentang Karakter anak-anak berkebutuhan khusus serta syarat-syarat serta kriteria sarana pendidikan yang mewadahi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menjadi gambaran atau literatur dalam mendesain. Bab III Studi Kasus Tinjauan bangunan-bangunan sejenis sekolah/rehabilitasiyang sesuai dengan karakteristik spasial anak berkebutuhan khusus dan kontekstual lingkungan. 27
Bab IV Tinjauan Lokasi Tinjauan lokasi site, yang berisi keadaan eksisting kawasan rencana bangunan sekolah inklusi dan perkembangannya. Bab V Pendekatan Konsep Poin-poin yang membantu mengkoneksikan antara teori dan keadaan tapak, yang kemudian mengarahkan kepada pemilihanpemilihan elemen bangunan sesuai dengan konsep yang hendak ditampilkan. Bab VI Konsep Konsep perencanaan dan perancangan Bangunan sekolah inklusi dengan prinsip fleksibilitas 28
1.7 Kerangka Berpikir Gambar 1.4 Kerangka Berpikir 29