BAB IV PENUTUP. bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA yang menetapkan

dokumen-dokumen yang mirip
memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

PEMBELI BERITIKAD BAIK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI YANG BERITIKAD BAIK DALAM SENGKETA PERDATA BEROBYEK TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

DALUWARSA PENGHAPUS HAK MILIK DALAM SENGKETA PERDATA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 PEMBAHASAN. 2.1 Pendaftaran Tanah

BAB I PENDAHULUAN (UUPA) adalah hukum agraria penjajahan yang mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

BAB I PENDAHULUAN. penghidupan masyarakat, bukan hanya aspek hubungan sosial-ekonomis, tetapi

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 LEGALISASI ASET PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN PRINGSEWU. Oleh.

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB IV PENUTUP. ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa: a. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Tanggung Jawab Notaris/PPAT

PEMBAHASAN RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA SEMESTER GENAP TAHUN 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

PENDAFTARAN TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

BAB II. A. Eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun pertama kali dan pemeliharaan pendaftaran tanah.

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi rakyat Indonesia guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

KESIMPULAN. Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan. 1.1 Pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting. dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

AKIBAT HUKUM JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG BELUM DIDAFTARKAN THE LEGAL IMPACTS OF PURCHASING UNREGISTERED LAND RIGHTS

BAB I PENDAHULUAN. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) saat ini, membuat masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah berdirinya Negara Indonesia, para Foundingfathers (para pendiri

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. orang lain baik dalam ranah kebendaan, kebudayaan, ekonomi dan

BAB V PENUTUP. 1. Persamaan dan perbedaan putusan ijin poligami No. 0258/ Pdt. G/ 2011/ No. 0889/ Pdt. G/2011/ PA. Kds. ditinjau dari hukum

JAWABAN SOAL RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA 2015

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS PERAN HAKAM DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN SYIQAQ DI PENGADILAN AGAMA KUDUS

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut (Subekti, 1979:7-8). Selain lahir

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

LEGALITAS SURAT KETERANGAN TANAH YANG DIKELUARKAN OLEH KEPALA DESA SEBAGAI DASAR TRANSAKSI JUAL BELI TANAH

ANALISIS TERHADAP JUAL BELI TANAH YANG PERPINDAHAN HAKNYA TIDAK DISERTAI PROSES BALIK NAMA (Studi Kasus Putusan Nomor 388/PDT.G/2002/ PN JKT.

P U T U S A N. Nomor 263 / PDT / 2014 / PT. BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

TINJAUAN YURIDIS. PUTUSAN No. 10/G/TUN/2002/PTUN.SMG. (Studi Kasus Sertifikat Ganda/ Overlapping di Kelurahan

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2

Fahmi Fadillah

BAB I PENDAHULUAN. Masalah pertanahan di Indonesia telah muncul dengan beragam wujud

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PEMBEKALAN HUKUM CALON PESERTA PEMILUKADA. Dr. Humphrey R Djemat, S.H., L.LM., FCB. Arb

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peran Badan Pertanahan Nasional di bidang Pertanahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

JURNAL KARYA ILMIAH. KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT HAK MILIK SEBAGAI ALAT BUKTI KEPEMILIKAN (STUDI KASUS TANAH DI PENGADILAN NEGERI MATARAM) Cover

P U T U S A N Nomor : 59/B/2013/PT.TUN-MDN

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

BAB I PENDAHULUAN. satu dari sepuluh kebutuhan pokok atau kebutuhan primer manusia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penerapan Asas Ratio Decidendi Hakim Tentang Penolakan Eksepsi dalam Perkara Cerai Talak Talak

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang tidak seimbang. Dari ketidakseimbangan antara jumlah luas tanah

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika. didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi,

P U T U S A N No. 237 K/TUN/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap persepsi yang berbeda, perbedaan-perbedaan tersebut dapat pula

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

2 untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

Transkripsi:

126 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari keseluruhan uraian dalam tesis ini maka dapat diambil kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh dari hasil pembahasan, yang dapat dikemukakan sebagai berikut : 1 Materi Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak memiliki pijakan kuat untuk menetapkan sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti mutlak, sebagaimana PP berkedudukan sebagai peraturan pelaksana justru bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA yang menetapkan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak yang berlaku kuat. Begitu juga di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 itu sendiri, dimana antara Pasal 32 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 32 ayat (1) yang sejalan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA. Pada sisi lain asas itikad baik dalam Pasal 32 ayat (2) tidak seutuhnya sama dengan sistem positif pendaftaran tanah khususnya dalam sistem torrens, dimana dalam sistem torrens apabila dikemudian hari ternyata pihak lain terbukti benar-benar sebagai pemilik hak atas tanah maka diberikan ganti kerugian. Sedangkan Pasal 32 ayat (2) tidak diikuti pasal lain yang mengatur secara khusus tentang pemberian ganti rugi kepada pihak lain sebagai pemilik sebenarnya atas suatu bidang tanah. Kemudian penerapan Pasal 32 ayat (2) ini secara parsial mengadopsi konsep lembaga adat yang bernama rechtsverwerking karena hanya menekankan pada lampaunya waktu berdasarkan terbitnya sertifikat selama 5 (lima) tahun saja, sebenarnya konsep 126

127 asli lembaga rechtsverwerking diadopsi di dalam Pasal 24 ayat (2) karena penguasaan dan pemilikan tanah didasarkan pada alasan penelantaran tanah, itupun dengan syarat-syarat yang sangat ketat sebagaimana dicantumkan dalam huruf (a) dan (b). Dari sisi historis tanah-tanah di Indonesia sebagian terbesar merupakan hasil pembukaan hutan yang tidak ada tanda buktinya, pada masa dulu dikenal dalam hukum adat, akibatnya data-data yang dimiliki sekarang masih banyak yang belum pasti sehingga sudah semestinya sertifikat hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti kuat sebagaimana penerapan asas nemo plus juris. Dengan demikian dari sisi apapun Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak memiliki pijakan yang kuat, baik ditinjau dari sisi peraturan perundang-undangan, perbandingan, historis dan filosofis sebagaimana telah diuraikan diatas. 2 Dalam realitas penegakan hukum sebagaimana 2 (dua) contoh perkara sengketa pertanahan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sleman, yakni putusan perkara Nomor : 04/Pdt.G/2007/PN.Slmn dan Nomor : 61/Pdt.G/2002/Pdt.G/PN.Slmn adalah tidak merujuk pada Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Sekalipun kedua perkara sengketa pertanahan ini muncul dengan kondisi sertifikat hak atas tanah yang sudah terbit selama 5 (lima) tahun lebih, namun hakim tetap memilih untuk memeriksa perkara ini dengan mencari kebenaran formil dan materiil sebagaimana berpegang pada bukti-bukti tertulis dan keterangan saksi termasuk saksi ahli dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Pada akhirnya berdasarkan keyakinannya masing-masing majelis hakim di dalam kedua perkara tersebut memberikan

128 keputusan yang berbeda, untuk perkara Nomor: 04/Pdt.G/2007/PN.Slmn sertifikat hak atas tanah tetap berlaku dan Nomor : 61/Pdt.G/2002/Pdt.G/PN.Slmn sertifikat hak atas tanah tidak mempunyai kekuatan hukum. Disamping itu kedua contoh perkara ini adalah bertitik tolak pada persoalan keabsahan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT, sedangkan eksistensi sertifikat hak atas tanah merupakan dampak dari persoalan keabsahan akta jual beli oleh PPAT tersebut. Hal ini terjadi karena kekuatan pembuktian antara akta jual beli oleh PPAT dengan sertifikat hak atas tanah hakekatnya adalah sama yaitu sempurna dan kuat, menurut pengertiannya keduanya harus dianggap benar oleh hakim sepanjang ketidakbenaranya dapat dibuktikan. Dengan demikian implikasi amar putusan Nomor : 61/Pdt.G/2007/PN.Slmn yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yaitu menyebabkan tidak sah atau batal demi hukum sertifikat hak atas tanah, sehingga juga berdampak pada tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap sertifikat hak atas tanah. Namun demikian, mengingat perkara ini masuk dalam kompetensi Peradilan Umum sehingga amar putusan ini hanya mempunyai kekuatan eksekutorial terhadap akta jual beli oleh PPAT, sedangkan sertifikat hak atas tanah merupakan produk KTUN maka diserahkan kepada Pejabat TUN yaitu Pejabat BPN RI untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah sesuai perintah di dalam amar putusan pengadilan tersebut.

129 B. Saran Adapun saran-saran dari penulis sesuai dengan pengetahuan penulis sebagai berikut : 1 Untuk menerapkan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 harus dilakukan perubahan-perubahan dalam berbagai hal, diantaranya adalah Pemerintah harus aktif melakukan sosialisasi sehingga masyarakat mengerti akibat hukum jika mengabaikan aturan tersebut. Selain itu pihak Kementerian Agraria/ BPN RI harus serius dalam menyampaikan pengumuman jika terdapat sertifikat hak atas tanah baru yang telah terbit kepada masyarakat luas, tidak hanya sekedar formalitas namun benar-benar harus diketahui oleh masyarakat secara massive (meluas) termasuk memanfaatkan media elektronik sesuai dengan perkembangan jaman. Kemudian Pemerintah harus menyediakan teknologi mutakhir kepada Kementerian Agraria/ BPN RI guna menangani seluruh proses pendaftaran tanah, sehingga menghasilkan datadata akurat terkait mengumpulkan data yuridis maupun data fisik, dengan demikian dapat menekan potensi terjadinya kesalahan. Upaya terakhir Pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan bahwa Pemerintah bersedia memberikan ganti kerugian jika suatu saat sertifikat hak atas tanah yang sudah terbit minimal 5 (lima) tahun sebagaimana Pasal 32 ayat (2) ternyata adalah milik pihak lain sebagai korban, sehingga aturan ini tidak hanya melindungi secara sepihak kepada pemegang sertifikat hak atas tanah, akan tetapi juga memberikan jaminan ganti rugi kepada pemilik sebenarnya. Namun demikian, jika syarat-syarat sebagaimana penulis sampaikan ini tidak

130 dapat dilaksanakan, maka lebih baik sepenuhnya dikembalikan pada pasal 19 ayat (2) huruf C dan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yakni sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti kuat. 2 Ditinjau dari aspek penegakan hukum dalam perkara sengketa pertanahan, sudah sepatutnya hakim tidak menggunakan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai dasar pertimbangan sebelum memutuskan perkara. Sebagaimana dalam 2 (dua) contoh diatas, majelis hakim lebih mengedepankan pembuktian-pembuktian formil dan materiil, dimana diperoleh dari bukti-bukti tertulis, keterangan saksi, ahli dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan materi perkara. Mengingat dalam persidangan di Pengadilan hakim bersifat independen dalam memberikan keputusannya, Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak melekat di dalam hukum acara di pengadilan sebagaimana tidak dapat digunakan sebagai masa daluarsa hukum bagi para pihak untuk mengajukan gugatan. Dengan demikian dalam tataran penegakan hukum secara materiil tetap harus merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yakni sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti kuat.