BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. Selama tiga dasawarsa terakhir pengelolaan hutan jati di Jawa telah berupaya mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial. Ekstraksi kayu jati di Jawa telah berlangsung lebih dari sepuluh abad. Hutan di Jawa telah rusak sejak zaman Belanda karena VOC sebagai serikat dagang yang melakukan pemanfaatan kayu pada hutan jati, tidak mampu melakukan permudaan kembali. Pada tahap pengelolaan hutan tanaman, ada tiga pergantian nama untuk pengelolaan hutan, antara lain : Jawatan Kehutanan, PN Perhutani, dan Perum Perhutani. Jawatan Kehutanan dimulai paksa kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam tanggung jawab Jawatan Kehutanan, yang berlangsung hingga tahun 1963, tidak ada inovasi yang muncul. Pada periode tahun teresebut sebenarnya pengelolaan hutan jati di Jawa telah menghadapi problem baru, yaitu meningkatnya tekanan masalah sosial ekonomi masyarakat terhadap kawasan hutan. Karena tidak diantisipasi maka ketika PN Perhutani menggantikan peranan Jawatan Kehutanan pada tahun 1963, pencurian kayu sudah mulai berat dan 1
kegagalan dalam membuat tanaman sudah muncul dimana-mana (Simon, 2004 : 22). Dari tahun ke tahun masalah sosial ekonomi terus meningkat, tekanan terhadap lahan hutan terus bertambah. Problem sosial ini merupakan tanggung jawab Perum Perhutani dan merupakan permasalahan serius yang harus segera ditangani. Hingga akhirnya muncul paradigma baru yaitu kehutanan sosial (social forestry strategy). Sebelum implementasi paradigma baru dapat diwujudkan, hutan jati di Jawa sudah keburu hancur oleh penjarahan yang terjadi tahun 1998 sampai sekarang. Beberapa percobaan social forestry telah dilaksanakan mulai dari Prosperity approach, PMDH (Perhutanan Desa Masyarakat Hutan) dan Perhutanan Sosial, PHJO (Pengelolaan Hutan Jati Optimal), dan akhirnya muncul PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). PHBM ditetapkan dalam Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani (selaku Pengurus Perusahaan) nomor 136/KPTS/DIR/2001. Pertimbangan penetapan ini bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan sebagai ekosistem secara adil, demokratis, efisien, dan profesional guna menjamin keberhasilan fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat, pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, pemberdayaan, dan peningkatan peran masyarakat atau pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, perlu mengembangkan PHBM. Dan bahwa berhubung dengan itu, agar pelaksanaan berdaya guna, maka dipandang perlu menetapkan PHBM (Anonim, 2001 : 1). 2
PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional. Kehutanan sosial merupakan suatu batasan umum untuk pelaksanaan kegiatan kehutanan yang partisipatif atau kegiatan kehutanan yang melibatkan masyarakat secara aktif mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan pemasaran sampai pada monitoring dan evaluasi. Di dalamnya terdapat beberapa prinsip dasar yang membutuhkan keterlibatan berbagai pihak antara lain : Perum Perhutani, masyarakat, dan stakeholders. Ketika pemahaman ini dimilki oleh setiap orang, maka ketika itu pula perbedaan akan muncul dan cenderung berkembang menjadi konflik kepentingan. Sering muncul dalam wacana partisipasi pembangunan di Indonesia adalah bahwa partisipasi selalu datang dari pihak rakyat, sementara pihak pemerintah tidak dihitung sebagai kelompok yang harus dipikirkan untuk berpartisipasi (Awang, 2003 : 149). Pelaksanaan PHBM, kemitraan pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan yaitu dengan membentuk satu organisasi non-pemerintah tetapi berbasis desa. Dimana keanggotaannya merupakan para pihak, baik individu maupun kelompok masyarakat atau lembaga yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara adil dan berkelanjutan. Organisasi ini secara umum disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan berlaku untuk seluruh wilayah kerja se-jawa (Awang, 2005 : 113). Salah satu organisasi yang berjalan mengikuti ketetapan PHBM adalah Desa Sumberejo dengan nama LMDH Wono Lestari. 3
LMDH Wono Lestari bekerjasama dengan pihak Perhutani untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kehutanan antara lain perencanaan, kontrak tanaman, pemeliharaan, dan kegiatan angkutan hasil tebangan. Bagaimana profil kelembagaan (LMDH), dan bagaimana partisipasi LMDH dalam Program PHBM dengan dilihat dari perencanaan, implementasi, hasil, monitoring dan evaluasi di wilayah RPH Sumberejo, BKPH Nglawungan, KPH Blora. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat disampaikan masalah-masalah yang akan diangkat sebagai berikut : 1. Bagaimana profil lembaga dan aktivitas LMDH Wono Lestari? 2. Bagaimana partisipasi LMDH Wono Lestari dalam pengelolaan hutan pada Program PHBM dengan dilihat dari aspek perencanaan, implementasi, hasil, monitoring dan evaluasi? 3. Bagaimana problematika yang dihadapi LMDH Wono Lestari dan uapaya penyelesaiannya? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui profil lembaga dan aktivitas LMDH Wono Lestari di Desa Sumberejo 2. Mengetahui partisipasi LMDH Wono Lestari dalam pengelolaan hutan pada Program PHBM dengan dilihat dari perencanaan, implementasi, hasil, monitoring dan evaluasi 4
3. Mengetahui problematika yang dihadapi LMDH Wono Lestari dan upaya penyelesaian problem tersebut 1.4. Manfaat penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk LMDH Wono Lestari sendiri yaitu memberikan informasi dan masukan guna meningkatkan partisipasi LMDH dalam program PHBM dari perencanaan, implementasi, hasil, monitoring dan evaluasi. 2. Sebagai sumber informasi kepada pihak Perum Perhutani dalam penyempurnaan dan evaluasi PHBM di masa yang akan datang sebagai upaya untuk mendukung kebijaksanaan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari. 5