1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
7 SIMULASI MODEL DINAMIS

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

RANCANG BANGUN SISTEM DINAMIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN KOMPLEKS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU MUHAMMAD ARIEF BINTORO DIBYOSEPUTRO

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

9 KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

BAB I PENDAHULUAN. impor gula. Kehadiran gula impor ditengah pangsa pasar domestik mengakibatkan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan fungsi dan peran supply chain management (SCM) pada. sebuah perusahaan agar menjadi lebih efisien dan produktif?

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroindustri gula tebu

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini

POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN. Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

I. PENDAHULUAN. Tahun Produksi Impor

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun (Lembaran Negara Repub

I. PENDAHULUAN. pemerintah yang konsisten yang mendukung pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan di sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini

KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Mengurai Kartel Pangan Indonesia. Oleh Mohammad Reza Hafiz A. Peneliti INDEF

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. dari pemerintah dalam kebijakan pangan nasional. olahan seperti: tahu, tempe, tauco, oncom, dan kecap, susu kedelai, dan

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

... Hubungi Kami : Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri GULA di Indonesia, Mohon Kirimkan. eksemplar. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

IV. METODE PENELITIAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

Transkripsi:

1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kompleksitas dinamis merupakan salah satu ciri yang terjadi pada ranah agroindustri saat ini. Fenomena ini merupakan akibat yang disebabkan sekurangkurangnya oleh tiga hal: 1) terjadi inovasi di berbagai bidang teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi, 2) perubahan dinamis pada supply-demand di tiga bidang utama yaitu makanan, energi, dan air (food, energy, and water), dan 3) pemanfaatan produk pertanian serta produk terbarukan lainya untuk keperluan energy (Yandra, et. al. 2007). Pada agroindustri gula tebu, perubahan kompleksitas dinamis merupakan permasalahan yang mencakup semakin banyaknya peubah yang saling terkait, peubah yang mengandung probabilitas, dan peubah yang berbeda sesuai perubahan waktu. Beberapa contoh kompleksitas agroindustri gula tebu dapat ditemukan pada pengelolaan sinkronisasi antar elemen dan pengelolaan unsur resiko. Berkenaan dengan resiko yang dihadapi oleh agroindustri gula, salah satu contoh adalah resiko dinamika perubahan biaya atau harga. Bila penyerapan biaya produksi mengalami perubahan dinamis sehingga biaya mendekati nilai tambah yang diciptakan, maka margin atau laba yang diciptakan menjadi semakin tipis sehingga perusahaan berpotensi rugi dan menanggung konsekuensi ikutan yang dapat lebih buruk (Boehlje, 1999). Sejalan dengan problematika kompleksitas, pendekatan sistem dinamis diakui oleh para peneliti dan praktisi sebagai metoda yang mampu memberikan pemahaman dan membantu penyelesaian masalah dalam semesta sistem yang kompleks dengan lebih baik (Richmond, 2004). Oleh karena itu penelitian ini akan menggunakan pendekatan sistem dinamis untuk membangun model. Adapun sebagai obyek kajian utama, penelitian ini akan membahas agroindustri gula tebu sebagai fokus kajian dan upaya pengembanganya. Agroindustri gula tebu memiliki karakteristik unsur dinamika perubahan dan kompleksitas permasalahan yang tinggi di banyak sisi. Secara konseptual, pendekatan sistem dinamis mampu menggambarkan secara lebih jelas mengenai hubungan antar elemen dan perilakunya. Dengan demikian diharapkan bagi para pengambil keputusan akan terbantu pada saat menghadapi pengambilan keputusan persoalan yang kompleks. Hal ini terutama terjadi dalam

2 evaluasi hasil proses pengambilan keputusan dan kaitanya dengan pengelolaan arus informasi dari tiap-tiap komponen atau agent yang menjadi bagian integral dalam rangkaian keseluruhan sistem (Bryceson, et.al. 2008). Merujuk pada sejarah perkembangan agroindustri gula tebu dari masa ke masa, penelitian ini diharapkan dapat menangkap kerumitan pengelolaan agroindustri gula tebu dengan persoalan yang berciri multidimensional. Selama masa pendudukan pihak asing pada rentang waktu tahun 1823 sampai dengan sebelum kemerdekaan, Indonesia tercatat sebagai produsen gula terbesar kedua setelah Cuba, seperti pada Tabel 1. Pada kurun waktu tersebut, meskipun tingkat produktifitas gula tinggi, namun fakta agroindustri gula tebu di Indonesia diwarnai oleh munculnya para pihak pemangku kepentingan (petani dan pemilik lahan) yang amat dirugikan oleh pemangku kepentingan lain yang lebih berkuasa. Sebaliknya ada sedikit pihak tertentu yang amat diuntungkan, seperti para pihak pemilik modal. Tabel 1 Ekspor gula Indonesia periode 1823-1940 Tahun Vol (Ton) Harga (Guilder/ ton) Nilai (1,000 Guilder) 1823 3,291 204 671 1830 6,710 233 1,563 1840 61,750 219 13,523 1850 84,548 199 16,825 1860 128,265 249 31,938 1970 146,670 216 31,681 1880 222,242 220 48,893 1890 367,785 140 51,490 1995 575,662 140 80,593 1900 736,606 100 73,661 1913 1,278,486 119 152,140 1920 1,510,971 694 1,048,614 1929 2,402,974 127 305,178 1940 803,494 65 52,227 Sumber: B van Ark, The Volume and Price of Indonesian Exports, 1823 to 1940: The Long-Term Trend and Its Measurement, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies 24 (3), 1988, hal. 87-120. Di balik kinerja yang amat mengesankan dari tabel di atas ternyata mekanisme produksi gula dilaksanakan dengan kebijakan yang amat bertentangan dengan kaidah kemanusiaan. Sejarah mencatat adanya distribusi pendapatan yang amat tidak adil, seperti praktek Kebijakan Tanam Paksa yang penuh dengan pelanggaran dan

3 penyalahgunaan kekuasaan sehingga menghalangi praktek-praktek pengelolaan industri yang baik dan adil. Selama periode Kebijakan Tanam Paksa telah diterapkan secara sistemik pola kebijakan integratif mikro-makro yang pada tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk: 1) tanam paksa di bidang budidaya, 2) monopoli di bidang industri pengolahan, 3) monopsoni di bidang industri perdagangan, dan 4) integrasi vertikal dalam organisasi industri secara menyeluruh (Khudori, 2005). Kebijakan Tanam Paksa pada intinya merupakan mekanisme pengerdilan hak petani sebagai salah satu pelaku dalam agroindustri gula tebu, yaitu berupa penghapusan paksa pendapatan tenaga kerja dan pendapatan sewa lahan. Pada masa setelah kemerdekaan, keprihatinan dan penderitaan petani tebu yang merupakan salah satu mata rantai penting dalam agroindustri gula tebu, ternyata belum sepenuhnya membaik, walaupun keprihatinan tersebut berwujud dalam bentuk lain yaitu seperti menurunya efisiensi di berbagai lini yang berakhir pada menurunya pendapatan. Pada dekade 1990, ditengarai penyebab menurunya efisiensi dalam agroindustri gula tebu disebabkan karena terjadinya penurunan produktifitas dan rendemen (Djojosubroto, 1995). Dalam hasil penelitian yang sama, penurunan produktifitas disebabkan karena: 1) pergeseran lahan tanam dari areal sawah ke lahan kering, 2) pergeseran lahan tanam tidak diikuti oleh inovasi dan penerapan teknologi budidaya tebu pada lahan kering, dan 3) meningkatnya biaya produksi khususnya di Jawa. Sedangkan penurunan tingkat rendemen disebabkan karena: 1) semakin panjangnya hari giling sehingga berakibat buruk terhadap kemasakan tebu yang optimal, 2) berkurangnya pasokan tebu, dan 3) hilang bobot pada rantai proses. Pada dekade 2000, kondisi agroindustri gula tebu masih belum membaik, ditandai oleh perselisihan penentuan rendemen yang tak kunjung usai antara para pihak pabrik gula, petani tebu dan pihak terkait pada level produksi. Para pemain penting ini tak kunjung selaras dalam memecahkan masalah kesepakatan penentuan rendemen (Lembaga Penelitian IPB, 2002). Pada tahun 2003, ditemukan disparitas rendemen sebesar 2,45% yaitu perbedaan antara rendemen pabrik guala swasta, PT. Gunung Madu Plantation yang mencapai rata-rata 9,66% dan rendemen rata-rata 58 pabrik gula BUMN sebesar 7,21%. Perbedaan rendemen ini setara dengan gula sebanyak 563,500 ton atau 2,45%

4 dari total tebu yang digiling sebanyak 23 juta ton tebu pada tahun 2003. Dalam satuan rupiah, potensi kerugian saat itu mencapai kurang lebih Rp 2 triliun (Ismail, 2005). Praktek monopoli dalam produksi masih berlangsung, meskipun mengalami perubahan bentuk namun tetap sebagai pemegang kekuatan pasar produksi. Dua kelompok produsen besar yaitu satu kelompok di bawah naungan perusahaan negara (kelompok PT.Perkebutan Negara, PTPN) dan satu kelompok di bawah kelompok perusahaan swasta masih memegang kendali terbesar agroindustri gula tebu saat ini. Monopsoni dalam perdagangan masih amat kuat pengaruhnya, meski warna dan ciri mereka sedikit berubah namun ciri khas monopsoni atau kartel tetap ada. Hal ini terjadi di wilayah domestik maupun internasional. Perdagangan gula dunia dikontrol oleh tujuh perusahaan pemain yang menguasi 83.4% pangsa pasar dunia, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perusahaan multinasional produsen dan pedagang gula dunia tahun 2005 Nama Perusahaan Juta Ton (Raw Value) Pangsa Ekspor Dunia (%) J. Lion 1.7 4.9% Sucden 2.2 6.3% Cargill 5.1 14.6% T & L 8.1 23.2% Man 4.7 13.5% Dryfus 3.2 9.2% Cubazukar 4.1 11.7% Total Ekspor 7 Perusahaan 29.1 83.4% Lain-lain 5.8 16.6% Total Ekspor Gula Dunia 34.9 100% Sumber: I Nodeco, A Changing World: Production and Market Outlook for Cuba, World Sugar and Sweetener Conference, Bankok, Thailand, 26-27 March 1996 & data olahan sampai dengan tahun 2005 dari Cargill Indonesia Sisi permintaan gula domestik menunjukan peningkatan searah dengan jumlah penduduk, yaitu semakin bertambahnya kebutuhan fundamental kelompok konsumen rumah tangga dan industri. Sekitar 95% hasil panen tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di Indonesia akan diproses sebagai bahan baku industri gula. Atas hasil produksi domestik ini, sejumlah 66,8% akan dikonsumsi oleh konsumen rumah tangga. Sisi pasokan gula domestik menunjukan penurunan tajam rata-rata sebesar 36% selama periode 1999 2009. Hal ini disebabkan karena beberapa hal: penurunan areal tebu rata-rataterjadi sebesar 22% selama kurun tersebut, penurunan produktifitas sebesar 10%, dan selama periode 8 tahun terakhir ada 13 pabrik gula yang terpaksa harus ditutup (sumber: diolah dari data DGI)

5 Ketimpangan antara supply-demand yang amat signifikan mulai terjadi pada tahun 2007 hingga saat ini. Pada tahun 2007 terjadi hal demikian karena lonjakan kebutuhan gula yang semakin meningkat mendekati hampir 2,7 juta ton terdiri dari kebutuhan 2.1 juta ton gula kristal putih dan 600 ribu ton gula rafinasi, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 1.5 juta ton pada waktu itu. Hal ini mengakibatkan impor gula naik mencapai sebesar 1,2 juta ton, seperti terlihat pada Tabel 3. Keadaan timpang supply-demand agroindustri gula tebu mengakibatkan timbulnya dorongan sementara golongan untuk melakukan tindak penyelundupan. Sebagai gambaran disparitas harga gula, pada tahun 2009 harga gula impor termasuk di dalamnya komponen biaya lain mencapai Rp 4.150 per kilo, jauh lebih rendah dari pada harga gula pasar domestik yang mencapai Rp 9.500 per kilo. Kondisi ini berlangsung terus hingga tahun 2010. Tabel 3 Permintaan, produksi, dan impor gula nasional Uraian 2007 2008 2009 2010 1. Permintaan 2,729,295 3,000,000 3,100,000 3,200,000 2. Produksi 1,496,027 1,750,000 1,498,000 1,880,000 3. Difisit (1,233,268) (1,250,000) (1,602,000) (1,320,000) 4. Impor 972,985 2,187,133 1,556,688 1,284,791 Surplus/ (defisit) (260,283) 937,133 (45,312) (35,209) Sumber: BPS & Dewan Gula Indonesia (diolah) Perbedaan harga dan selisih difisit pasokan gula domestik inilah yang mendorong penyelundupan gula. Kondisi ini diperburuk oleh munculnya implikasi negatif dari ketidak tepatan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah (mis-match policy), lemahnya aparat pengendali perdagangan dan lemahnya prosedur administrasi pengelolaan impor gula. Implikasi pelaksanaan kebijakan bea masuk sebesar 25% bagi gula impor perlu dikaji ulang. Hal ini mengingat bahwa menurut data dari Dewan Gula Indonesia, posisi Indonesia sejak tahun 2004 tercatat sebagai importir besar dengan bea masuk rendah secara berurutan setelah negara Mesir 30%, Sri Langka 66%, Philippines 133%, USA 155%, dan Bangladesh 200% (DGI, 2004). Semua fenomena yang terjadi pada agroindustri gula tebu pada dekade 2000 di atas mencerminkan sedang berlangsungnya dinamika proses menuju kondisi keseimbangan nasional, regional, dan internasional (Abidin, 2000). Bila dilihat dari sisi dinamika supply-demand dan rangkaian proses transformasi produksi tebu sejak ditanam, diproses di pabrik, diperdagangkan dan

6 dikonsumsi oleh pengguna produk, maka agroindustri gula tebu memiliki ciri kompleksitas dalam pengelolaan dan pengembangan. Telaah historis agroindustri gula tebu menunjukan persoalan yang relatif sama dan terjadi pada periode waktu yang relatif amat panjang, namun demikian pemecahan persoalan tidak kunjung memberikan hasil yang diharapkan. Penelitan ini memandang perlu berfikir sistem dinamis (system dynamic thinking) untuk digunakan sebagai pendekatan yang diharapkan akan membantu menguraikan permasalahan secara lebih integratif dari elemen-elemen yang saling terpisah dan mandiri. Bila dalam penelitian sebelumnya ada yang belum memasukan mekanisme pembelajaran ke dalam sistem, maka penerapan sistem dinamis dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan pentingnya kaidah mekanisme feedback dalam rangka pengambilan keputusan kompleks. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat mencapai solusi yang optimal dan dapat diterima secara baik oleh para pemangku kepentingan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk merancangbangun sebuah model yang berbasis sistem dinamis untuk membantu pengambilan keputusan kompleks dalam rangka pengembangan agroindustri gula tebu. 1.3 Ruang lingkup 1.3.1 Ruang lingkup rancang bangun model Ruang lingkup penelitian meliputi identifikasi elemen-elemen yang berpengaruh dalam pelaksanaan dan tata kelola agroindustri gula tebu. Secara lebih rinci lingkup penelitian meliputi elemen yang dapat digunakan untuk optimalisasi pengambilan keputusan serta simulasi model secara menyeluruh yang terdiri dari beberapa model sub-sistem, sebagai berikut: 1. Pemodelan sub-sistem dinamis produksi tebu, meliputi pengelolaan perkebunan dan pola perilaku kegiatan petani sebagai pihak/ agent produsen bahan baku tebu. 2. Pemodelan sub-sistem dinamis produksi gula, meliputi fungsi produksi yang terkait dengan produksi gula oleh pabrik gula. 3. Pemodelan sub-sistem konsumsi gula tebu, meliputi fungsi saluran distribusi produk dari pabrik gula ke konsumen akhir.

7 4. Pemodelan sub-sistem kebijakan pemerintah, meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang terkait dengan agroindustri gula tebu. 1.3.2 Ruang lingkup management Penelitian ini membatasi diri pada lingkup managemen tingkatan strategis. Bila penelitian ini melakukan analisis pada tingkat praktis, hal ini ditujukan untuk mendukung keputusan-keputusan strategis secara makro. Dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini berada pada ranah managemen strategis. 1.3.3 Lokasi penelitiandan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan dengan cara mengundang para pemangku kepentingan dalam pertemuan Focused Group Discussion yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya. Peserta FGD terdiri dari para wakil petani tebu, pabrik gula kristal putih, pabrik gula kristal rafinasi, kementerian terkait (Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, BUMN, Keungan), para Asosiasi, dan pusat-pusat pengembangan dan penelitian, serta pemuka masyarakat. Penelitian lapangan khusus pabrik gula dilakukan di Pabrik Gula dan Spritus Madu Kismo, Yogyakarta, Pabrik Gula Gondang Madu, Pabrik Gula Mojo pada kurun waktu 2008 2010.