BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Hukum menurut Subekti, dalam bukunya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB 1 PENDAHULUAN. ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hukum menurut Subekti, dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Dalam mencapai tujuan Negara tersebut, Negara menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, dalam rangka mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. 1 Hukum itu bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada nilai keadilan, yaitu asas-asas keadilan pada masyarakat itu. 2 Hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menjadi peraturan yang adil. Aristoteles dalam buku Krisna Harahap yang berjudul Konstitusi RI Sejak Proklamasi Hingga Reformasi mengatakan bahwa Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada seluruh warganya. 3 Dalam kaitannya dengan keadilan tersebut, Moh. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara hukum terutama dalam arti materiil melihat bahwa 1 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 41 2 Ibid, hlm 40-41 3 Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia, Sejak Proklamasi Hingga Reformasi. Grafitri Budi Utami, Bandung, hlm. 11

2 hukum itu bukan hanya yang secara formal ditetapkan oleh lembaga legislatif tetapi yang nilai keadilannya dijadikan hal penting. 4 Hakim sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan merupakan unsur yang paling memiliki kekuatan demi tegaknya suatu kepastian hukum dan keadilan. Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam perkara pidana berpedoman pada hukum pidana dan hukum acara pidana. Sebagai bagian dari hukum publik, yang bertitik tolak pada kepentingan umum (algemence belangen), maka tujuan dari hukum acara pidana sendiri adalah untuk mencari dan mendapatkan, atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil/materiele waarheid, yaitu kebenaran selengkap-lengkapya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Tujuannya adalah untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran meteriil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya sehingga perlu menggeser perspektif ketentuan hukum acara pidana dari offender 4 Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 187-188

3 oriented menjadi victim oriented dan dari keadilan retributive menjadi keadilan restorative atau keadilan sosiologis. 5 Berdasarkan pertimbangan di atas, apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya dan tiba saatnya untuk memberikan suatu putusan terhadap suatu perkara, maka putusan yang diberikan oleh hakim harus dilandasi dengan keyakinan. Permasalahan tentang keyakinan Hakim ini tidak mudah untuk diatasi, sehingga dalam putusannya dapat terjadi kesesatan dan ketidakadilan. KUHAP mengatur mengenai upaya hukum atas suatu putusan pengadilan. Upaya hukum sendiri dalam KUHAP dibedakan menjadi dua bagian, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa yang diatur dalam Bab XVIII KUHAP. Upaya hukum biasa meliputi Banding dan Kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH) dan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijisde). Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. 6 Peninjauan Kembali (herziening van arresten en vonnisen) sebagai upaya hukum luar biasa (Buitengewone Rechtsmiddelen) merupakan upaya hukum yang paling akhir dan paling memungkinkan bagi seorang terdakwa untuk berlindung dan mencari keadilan bagi dirinya ketika sistem peradilan di Indonesia memiliki berbagai kelemahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Bab XVIII tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 5 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 6 M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 607

4 (KUHAP), Peninjauan Kembali merupakan salah satu bentuk upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau ahli warisnya dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pendapat lain seperti dikemukakan oleh H. Adami Chazawi, bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pemidanaan yang telah tetap dan hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. 7 Istilah Peninjauan Kembali dalam perundang-undangan nasional mulai dipakai pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 menyebutkan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan PK, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang. Ketentuan tentang peninjauan kembali tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang, terhadap putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selain termuat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 7 H. Adami Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1

5 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP, istilah peninjauan kembali dalam perkara pidana juga dapat dijumpai dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA), antara lain dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969 dan PERMA Nomor 1 Tahun 1980. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1969 dalam Pasal 3 menyebutkan Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjau kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 dalam Pasal 9 menyebutkan Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap. Memperhatikan deskripsi ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, pada dasarnya terdapat tali kesinambungan yang tidak terputus terkait dengan sistem Peninjauan Kembali yang diatur dalam KUHAP karena merupakan lanjutan yang ditransfer dari PERMA No. 1 Tahun 1969 dan PERMA No. 1 Tahun 1980. Dari ketentuan diatas dapat dilihat suatu bentuk perlindungan Negara terhadap seluruh masyarakat untuk dapat mencapai nilai-nilai keadilan bagi dirinya, karena Negara Indonesia memang sejak dahulu mengenal adanya Lembaga Peninjauan Kembali. Pengajuan Peninjauan Kembali kemudian menjadi persoalan ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali dan membatalkan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Dengan adanya putusan

6 Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali memang dianggap sangat memberikan rasa keadilan bagi para terdakwa, namun disisi lain hal ini dianggap dapat mencederai nilai kepastian hukum karena dapat dijadikan sebagai sarana untuk menunda waktu eksekusi yang telah ditentukan, memang proses pengajuan peninjauan kembali tidak dapat menangguhkan atau dapat menunda pelaksanaan eksekusi, hal ini terdapat dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. Namun ketentuan tersebut tidak dapat dibaca secara kaku, karena ketika seorang terpidana mengajukan peninjauan kembali, hal tersebut tetap harus diakomodir oleh para penegak hukum, apalagi ketika menyangkut vonis pidana mati, dan hal iniah yang nantinya dapat ditakutkan ketika para terpidana mengajukan peninjauan kembali dengan motif sekedar menghambat pelaksanaan eksekusi bagi dirinya. Kasus serupa yang berkaitan dengan Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali terhadap eksekusi terpidana mati dapat dilihat dari kasus Larry Hicks dari Negara Bagian Indiana, Amerika Serikat (AS). Pada tahun 1978 Larry Hicks dijatuhi hukuman mati, sebab dituduh membunuh secara sadis seorang penduduk setempat. Setelah keputusan itu, aparat terkait pun menyiapkan berbagai hal, termasuk penentuan waktu eksekusi mati. Larry Hicks sendiri tetap menolak hukuman tersebut sebab meyakini dirinya tidak bersalah dan hanya bisa pasrah menunggu ajalnya tiba.

7 Dua minggu menjelang pelaksanaan eksekusi, tiba-tiba seorang pengacara setempat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan ditemukannya bukti baru dari kasus Larry Hicks. Atas dasar semangat untuk mendapatkan kebenaran materiil yang sesungguhnya, permintaan pengacara tersebut dikabulkan dan kasus Larry Hicks diputuskan untuk dibuka kembali guna dilakukan penyelidikan ulang. Setelah dilakukan penyelidikan berdasarkan bukti-bukti baru yang diajukan, terungkaplah bahwa keteranganketerangan dari saksi kunci yang disampaikan dalam sidang dipengadilan sebelumnya ternyata palsu. Akhirnya, tahun 1980 Larry Hicks pun diputuskan bebas. 8 Dari uraian kasus Larry Hicks diatas, jelas terlihat bahwa meskipun pengaturan Peninjauan Kembali di Indonesia dapat dilakukan lebih dari satu kali akibat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 sebenarnya tidak memberikan efek yang dapat mencederai kepastian hukum selama syarat-syarat pengajuan Peninjauan Kembali yang telah ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP dapat dipenuhi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam sebuah penulisan hukum untuk mengetahui sejauh mana pentingnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali terhadap vonis pidana mati, sehingga atas dasar itu penulis memilih judul Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan 8 P. Norbert Betan, SVD, 2006, Kesaksian Dari Penjara, PADMA Indonesia, Jakarta Selatan, hlm. xi

8 Kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali terhadap vonis pidana mati. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut : Bagaimana pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013 tentang Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali terhadap vonis pidana mati? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Secara teoritis penulisan hukum ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pidana khususnya upaya hukum Peninjauan Kembali dalam sistem hukum peradilan di Indonesia terkait dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali. 2. Manfaat Praktis

9 Secara praktis hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang obyektif bagi : 1. Para penegak hukum terutama hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi, maupun hakim Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang untuk menerapkan hukum dengan tepat dengan bersendikan pada nilai keadilan. 2. Perumusan perundang-undangan agar dapat menjadi inspirasi tau menjadi bahan dalam proses pembentukan suatu peraturan perundangundangan yang lebih baik teruta yang berkaitan dengan pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali. 3. Penulis, sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan Stara 1 program studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan dari internet, belum ada penulisan yang serupa baik dari judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, maupun hasil penelitian, oleh karena itu penulis menyatakan bahwa penulisan hukum atau skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Sebelumnya terdapat penelitian yang temanya berkaitan dengan penelitian yang diangkat Penulis mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali, tetapi dalam hal ini Penulis memaparkan perbedaannya, antara lain sebagai berikut:

10 Pengarang Judul : Pramudya Andre Wijananda : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap Putusan bebas Rumusan Masalah 1. Siapakah yang berhak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan bebas? 2. Bagaimana pandangan pakar hukum tentang praktik pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas? Hasil Penelitian 1. jaksa berwenang untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, namun hal itu dilakukan 14 dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Apabila bertujuan demi kepentingan umum/negara maka jaksa diberikan wewenang untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (Herziening). 2. Lebih lanjut dituturkan Eddy, permasalahan yang kedua tentang hakikat peninjauan kembali berdasar ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHP adalah hak terpidana/ahli warisnya jika terdapat bukti baru, adanya pertentangan antara pertimbangan dan putusan hakim, dan adanya kekhilafan yang nyata dari putusan hakim. Tidak disebutkannya jaksa dalam pasal ini sebagai pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali ini menimbulkan persepsi jaksa tidak dilarang untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Bagi penganut aliran positivisme atau analytical positivism atau

11 rechtsdogmatiek, yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapai/terwujudnya kepastian hukum. Dalam pandangan positivisme, penyimpangan terhadap undang-undang juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari pendekatan ini adalah bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya. Berkaitan dengan tugas hakim, yaitu mengadili perkara-perkara yang dihadapkannya, hakim akan selalu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit tersebut tidak jarang muncul tidak dapat diselesaikan oleh peraturan perundangundangan yang telah ada, karena belum ada ketentuan yang mengaturnya. Bahkan dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas. Perbedaan penulisan hukum ini dengan penulisan hukum pembanding, antara lain: 1. Penulisan hukum ini berfokus pada peninjauan kembali yang dapat dilakukan oleh jaksa. Sedangkan, penulisan hukum pembanding berfokus pada peninjauan kembali lebih dari satu kali terhadap kepastian hukum 2. Lokasi penelitian antara penulisan hukum ini berbeda dengan lokasi penelitian penulisan hukum pembanding

12 F. Batasan Konsep 1. Pengaruh Pengaruh merupakan segala hal yang ada di sekitar individu, baik berupa benda hidup, benda mati, benda konkret, dan benda abstrak, bisa menjadi pengaruh bagi perkembangan fisik dan psikis individu itu sendiri, yang perlu di perhatikan adalah keberadaan pengaruh dalam proses perkembangan tersebut. Secara umum pengaruh diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dst. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam persidangan. Sifat final terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Dengan demikian, sejak diucapkannya putusan oleh Hakim Konstitusi maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht), sehingga tidak ada lagi akses bagi para pihak untuk menempuh upaya hukum lainnya.

13 Artinya, sejak putusan tersebut keluar, maka sudah berlaku dan segera untuk dieksekusi. 3. Peninjauan Kembali Peninjauan kembali (herziening van arresten en vonnisen) atau yang dikenal sebagai upaya hukum luar biasa menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Bab XVIII tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan salah satu bentuk upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau ahli warisnya dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Vonis Vonis adalah Putusan Hakim (pada sidang pengadilan) yang berkaitan dengan persengketaan diantara pihak yang maju ke pengadilan G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang di lakukan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yang berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Dengan meneliti apakah pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013 terhadap Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali dan bagaimana pentingnya novum terkait dengan landasan

14 pengajuan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dengan menggali keterangan dari Narasumber. 2. Sumber Data Data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder sebagai data utama, yang meliputi: a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim: 1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Bab XVIII tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 3) Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung 4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU/XI/2013 5) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2014 b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer berupa: Fakta hukum, doktrin, asas-asas hukum, pendapat hukum dalam berbagai literatur, jurnal, hasil penelitian, dokumen, surat kabar, internet, majalah ilmiah upaya hukum peninjauan kembali.

15 c. Bahan hukum tersier meliputi bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kamus hukum. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah: a. Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari, menganalisis, menginfentarisasi dan mendeskripsikan bahan-bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder. b. Wawancara yaitu, mengadakan Tanya jawab secara lisan melalui daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dengan nara sumber yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. 4. Narasumber Hakim pada Pengadilan Negeri Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Bapak Candra Nurendra Adiyana,S.H.,KN,M.Hum.. 5. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalan penelitian ini adalah kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai atau mengkaji data yang dikumpulkan secara sistematis yang diperoleh melalui hasil wawancara dan penelitian studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan teori-teori berupa peraturan perundang-undangan dan pertimbangan hakim yang relevan dengan penulisan hukum ini, kemudian ditarik kesimpulan yang sesuai dengan tujuan peneliti. Penarikan

16 kesimpulan digunakan penalaran secara deduksi, bertolak dari data dan fakta yang diperoleh secara umum kebenarannya telah diketahui, dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus. H. Sistematika Penulisan Bab I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Batasan Konsep, Metode Penelitian (yang uraiannya telah dicantumkan pada Bagian II Proposal Penelitian), dan isinya telah disesuaikan dengan hasil penelitian. Bab II PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP EKSEKUSI PIDANA MATI Bab ini merupakan bagian pembahasan yang menjadi pokok penulisan skripsi. Pembahasan tersebut mengenai masalah Peninjauan Kembali, yang meliputi pengertian peninjauankembali, lahirnya lembaga peninjauan kembali, malasan pengajuan peninjauan kembali, dan prinsip dalam peninjauan kembali. Selain itu, dalam bab ini juga dibahas mengenain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013, yang meliputi jenis-jenis putusan mahkamah konstitusi, pelaksanaan dan akibat hokum putusan mahkamah konstitusi, dan jenis kekuatan putusan mahkamah konstitusi. Dalam Bab II ini juga akan dibahas mengenai peninjauan kembali yang dapat diajukan lebih dari satu kali terhadap kepastian hukum.

17 Bab III PENUTUP Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Bagian akhir penulisan hukum ini terdiri dari daftar pustaka, peraturan perundang-undangan yang terkait serta lampiran yang berkaitan dengan penulisan hukum ini.