Penilaian Preferensi Masyarakat Pengungsi terhadap Potensi Konflik Tenurial dan Tingkat Interaksi terhadap Hutan

dokumen-dokumen yang mirip
Rapat Dewan Pengarah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah. Kepulauan Nias, Provinsi Sumut. Jakarta, 3 Mei 2005

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)

BAB I PENDAHULUAN. seluruhnya akibat pengaruh bencana tsunami. Pembangunan permukiman kembali

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

Nomor : 5/PER/BP-BRR/I/2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

G. BIDANG PERUMAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN. 1. Pembiayaan 1. Pembangunan Baru

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Catatan Kritis Atas Hasil Pemeriksaan BPK Semester I Tahun Anggaran 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

I. Permasalahan yang Dihadapi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

KKPP Perumahan & PENERAPAN TEKNOLOGI UNTUK REHABILITASI PERMUKIMAN PASKA-BENCANA DENGAN PENDEKATAN BERTUMPU MASYARAKAT

Ringkasan Eksekutif. Laporan Kemajuan MDF Desember 2009 Ringkasan Eksekutif

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V P E N U T U P. konservasi Suaka Margasatwa Kateri di Kabupaten Malaka, dimana lebih dari

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

penelitian 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,

TSUNAMI MEMORIAL PARK BANDA ACEH - NAD BAB I PENDAHULUAN

INSTRUKSI KEPADA PEMINAT EVALUASI PERTENGAHAN PROGRAM SIKLUS HIBAH 1 TFCA- SUMATERA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Shared Resources Joint Solutions

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari

Oleh Prof Dr Abdullah Ali

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR : 11 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI PERMOHONAN HAK PENGELOLAAN HUTAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kepulauan Mentawai telah menetapkan visi. Terwujudnya Masyarakat Kepulauan Mentawai yang maju, sejahtera dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Intisari Laporan Penelitian Keadilan Sosial di Pesisir

KODE UNIT : O JUDUL UNIT

KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

a. data jumlah penduduk yang akan dimukimkan kembali; b. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang akan dimukimkan kembali;

BAB V KESIMPULAN dan SARAN. dan Korelasi Pearson, Indikator Industri Unggulan SLQ-DLQ dan SSLQ-DSLQ

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGUKURAN KINERJA PRIORITAS KEEMPAT

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB IV RELASI ANTAR KOMUNITAS DAN ORGANISASI LUAR

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal

BAB I PENDAHULUAN. bahaya gempabumi cukup tinggi. Tingginya ancaman gempabumi di Kabupaten

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI PROVINSI RIAU. Analisis Kebijakan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan itu sendiri lebih besar daripada sumber daya yang tersedia. Melalui

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

Penilaian Preferensi Masyarakat Pengungsi terhadap Potensi Konflik Tenurial dan Tingkat Interaksi terhadap Hutan Hasil Survei dan Konsultasi Tim Greenomics Indonesia terhadap Masyarakat Pengungsi di Sepanjang Pantai Barat hingga Pantai Utara (Pebruari 2005) 8 Maret 2005 Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Tel: 7279-7226 Fax: 7280-1148 Email: secretariat@greenomics.org

Bagian Satu Potensi Konflik Tenurial (Pertanahan dan Tata Ruang) 1.1. Kekhawatiran Masyarakat Pengungsi sebagai Tipologi Potensi Konflik Potensi konflik tenurial dalam hal ini terkait dengan bidang pertanahan dan tata ruang dalam proses rekonstruksi NAD ini berdasarkan hasil survei lapangan dan konsultasi yang dilakukan Greenomics Indonesia selama bulan Pebruari 2005 dari Pantai Barat hingga pantai Utara Aceh, terhadap 1.620 masyarakat pengungsi yang secara proporsional dipilih secara acak di 7 (tujuh) wilayah kabupaten/kota. Kertas Masukan Teknis ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yakni; i) kekhawatiran masyarakat pengungsi sebagai tipologi potensi konflik, ii) masalah relokasi pemukiman baru bagi masyarakat pengungsi, dan iii) rekomendasi teknis. Kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap hak kepemilikan tanah/lahannya (lahan lokasi rumah, pertanian, dan tanah-tanah kepemilikan lainnya) sangat mendominasi dalam survei dan konsultasi dengan masyarakat pengungsi yang tersebar mulai dari Kabupaten Nagan Raya hingga Kabupaten Aceh Utara. Kekhawatiran-kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kekhawatiran terhadap cetak biru rekonstruksi NAD (blue print) yang berpotensi melibatkan kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi Kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap cetak biru rekonstruksi NAD lebih didasarkan pada proses perencanaannya yang dianggap sangat terbatas dikonsultasikan secara teratur dan terukur dengan masyarakat pengungsi itu sendiri. Masyarakat pengungsi sangat mengkhawatirkan cetak biru tersebut terhadap eksisting hak kepemilikan tanah/lahannya. Bahkan, secara ironis, masyarakat pengungsi ada yang menanyakan, Kami mau diapakan dengan rencana itu?. 1

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa derajat partisipasi masyarakat pengungsi dalam proses penyusunan cetak biru rekonstruksi NAD dapat disimpulkan masih sangat terbatas sekali. Tentu saja sangat beralasan munculnya kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap arahan rencana pemanfaatan ruang yang akan menjadi salah satu bagian penting dalam cetak biru tersebut. b. Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah yang akan membangun infrastruktur/fasilitas umum yang berpotensi melibatkan kepemilikan tanah/lahannya Kekhawatiran ini dipicu rencana pemerintah yang akan melakukan pembangunan kembali infrastruktur umum. Masyarakat pengungsi khawatir jika pembangunan kembali infrastruktur tersebut dilakukan di atas hak kepemilikan tanah/lahannya dengan alasan-alasan tertentu yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan, lebih ekstrem lagi, pembangunan infrastruktur umum tersebut dikhawatirkan akan dilakukan tanpa melalui konsultasi dengan masyarakat pengungsi yang memiliki hak atas tanah/lahan tersebut, yang ternyata masih hidup dan sementara ini masih tinggal di barak, tenda pengungsian, atau di tempat sanak keluarganya. Masyarakat pengungsi mengusulkan perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat pengungsi (atau istilah apa pun yang pantas digunakan untuk menggantikan istilah koordinasi ) dalam hal relokasi pembangunan infrastruktur umum yang berpotensi melibatkan hak kepemilikan masyarakat pengungsi atas tanah/lahan. Sangat dikhawatirkan pemerintah akan menggunakan istilah mengutamakan kepentingan umum, yang menyebabkan tanah/lahan milik mereka digunakan secara sepihak tanpa ada kesepakatan atau konsensus apa pun. c. Kekhawatiran terhadap sistem kompensasi (ganti rugi) akibat adanya pembangunan infrastruktur umum yang berpotensi melibatkan kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi Salah satu pertimbangan dari kehawatiran masyarakat pengungsi terhadap rencana pembangunan infrastruktur umum di tanah/lahan kepemilikannya adalah masalah ganti rugi (kompensasi). Masalah ini dikhawatirkan kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian khusus dari pihak pemerintah. Mereka juga mengkhawatirkan adanya mekanisme penggantian tanah/lahan (land swap) ke lokasi yang tidak mereka kehendaki. 2

Masyarakat pengungsi berharap bahwa ganti rugi ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber permodalan mereka, baik untuk membangun rumah sendiri maupun memulai kegiatan suatu mata pencaharian. Masyarakat pengungsi berpendapat bahwa kekhawatiran mereka sangat beralasan, karena dalam keadaan normal saja, mereka berpandangan, pemerintah sering memberikan kompensasi yang tidak sesuai (rendah) sebagai biaya ganti rugi untuk pembebasan tanah/lahan masyarakat, apalagi dalam situasi yang seperti sekarang ini. d. Kekhawatiran terhadap okupasi sepihak oleh pihak-pihak tertentu atas tanah/lahan masyarakat pengungsi Masyarakat pengungsi juga mengkhawatirkan terjadinya okupasi sepihak oleh pihak-pihak tertentu di luar rencana pemerintah atau mengatasnamakan pemerintah atau kepentingan umum lainnya terhadap tanah/lahan kepemilikannya. Okupasi yang dilakukan melalui proses klaim sepihak dengan menggunakan dasar-dasar pertimbangan sepihak tersebut tentu akan merugikan masyarakat pengungsi, yang memiliki berbagai keterbatasan dalam menjaga tanah/lahan kepemilikannya dalam situasi seperti saat ini. Masyarakat pengungsi memberi contoh bahwa saat ini sudah mulai terlihat adanya pihakpihak tertentu yang mulai menunjukkan agresivitasnya dalam penguasaan tanah/lahan milik mereka dengan berbagai modus operandi. Proses okupasi sepihak ini ada yang berjalan secara vulgar, dan ada juga yang secara tidak langsung. e. Kekhawatiran terhadap ketidakjelasan penjaminan pemerintah atas hak milik tanah/lahan masyarakat pengungsi Ketidakjelasan penjaminan pemerintah atas hak milik tanah/lahan masyarakat pengungsi merupakan faktor yang paling dominan yang memunculkan kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap tanah/lahan kepemilikannya. Masyarakat pengungsi melihat bahwa begitu banyaknya rencana-rencana pemerintah terhadap rekonstruksi NAD, namun masih belum diimbangi oleh penjaminan yang jelas terhadap tanah/lahan mereka. Sehingga tidak mengherankan, sebagai bentuk kekhawatiran tersebut, sebagian masyarakat pengungsi mengambil inisiatif untuk memagar atau mematok (atau bahkan menjaganya secara bergantian hampir setiap hari) di lokasi rumah mereka yang hancur, termasuk di lahan-lahan kepemilikan mereka lainnya. Tentu tidak semua dari mereka mampu melakukan hal tersebut, belum lagi 3

sebagian dari masyarakat pengungsi tersebut masih belum kuat untuk berinteraksi secara psikologis dengan lokasi rumahnya yang terkena bencana atau lahan-lahan kepemilikan mereka lainnya. f. Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah membangun green belt (zona penyangga hijau), yang melibatkan tanah/lahan kepemilikan masyarakat pengungsi Rencana pemerintah membangun green belt (zona penyangga hijau) di wilayah pesisir pantai, setidaknya perlu memperhatikan 3 (tiga) tipologi preferensi masyarakat pengungsi, yakni: i) masyarakat pengungsi tetap ingin menempati lokasi semula/tidak mau direlokasi ke wilayah lain, ii) masyarakat pengungsi bersedia direlokasi, namun tetap di wilayah pesisir dengan meminta ganti rugi yang sesuai dari pemerintah, dan iii) masyarakat bersedia direlokasi ke wilayah lain dengan alasan trauma, namun tetap meminta ganti rugi yang sesuai. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan bahwa pembangunan zona penyangga hijau oleh pemerintah akan dianggap sebagai masalah sederhana saja, dengan cara merelokasi mereka dengan membangun rumah baru di lokasi lain. Masyarakat pengungsi meminta agar pemerintah dapat duduk bersama dan mencapai kesepakatan-kesepakatan mengenai lokasi, cara, dan mekanisme lokal jika pembangunan zona penyangga hijau melibatkan wilayah mereka, yang di dalamnya ada hak kepemilikan tanah/lahannya. Artinya, pembangunan zona penyangga hijau tersebut bukan dengan mengusir mereka dari wilayahnya, yang secara turun-temurun dipertahankan sebagai daerah tumpah darahnya. g. Kekhawatiran terhadap pemaksaan dalam pelaksanaan cetak biru rekonstruksi NAD yang berpotensi melibatkan tanah/lahan kepemilikan masyarakat pengungsi Masyarakat pengungsi khawatir terhadap pemaksaan yang terjadi ketika cetak biru rekonstruksi NAD dilaksanakan di tingkat lapangan, yang akan menyebabkan hak kepemilikan tanah/lahannya menjadi tidak jelas statusnya. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan adanya pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh rencana cetak biru tersebut yang tidak sesuai dengan preferensinya, yang melibatkan hak kepemilikannya atas tanah/lahan. Misalnya, jika masyarakat pengungsi tidak setuju dengan tawaran pemerintah untuk relokasi, maka pemerintah tidak memberikan bantuan. 4

Pemaksaan secara tidak langsung tersebut dikhawatirkan oleh masyarakat pengungsi bukan tidak mungkin terjadi, sehingga akan sangat sulit dihadapi, di tengah-tengah berbagai keterbatasan yang mereka alami. Sehingga, wajar saja kehawatiran tersebut mencuat. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan posisi tawar mereka terhadap hak kepemilikan tanah/lahan menjadi diperlemah jika banyak pihak yang mendukung rencana dan pelaksanaan cetak biru tersebut. h. Kekhawatiran terhadap penanganan tanah/lahan kepemilikannya yang didominasi melalui konsultasi dengan pihak-pihak tertentu saja, yang belum jelas mewakili aspirasi masyarakat pengungsi yang mana dan tipologi kasus kepemilikan tanah/lahan masyarakat yang seperti apa Kekhawatiran masyarakat pengungsi ini merupakan refleksi sangat terbatasnya tingkat konsultasi dengan masyarakat pengungsi dalam proses perencanaan rekonstruksi NAD, terutama yang terkait dengan penanganan masalah hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan, penanganan terhadap kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi hanya dikonsultasikan dengan tokoh-tokoh masyarakat Aceh atau pihak-pihak lain yang mengatasnamakan telah mewakili aspirasi masyarakat pengungsi. Kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut sangat beralasan, karena mereka menganggap bahwa mereka perlu diajak bicara dengan mekanisme yang disepakati, agar penanganan masalah hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi dalam rencana cetak biru rekonstruksi NAD dapat mewakili preferensi masyarakat pengungsi. Sehingga, dalam pelaksanaan cetak biru tersebut, partisipasi masyarakat pengungsi dapat difasilitasi secara partisipatif. 1.2. Masalah Relokasi: Kasus Relokasi Pemukiman Masyarakat Pengungsi Masalah relokasi rumah untuk pemukiman baru bagi masyarakat pengungsi memiliki keterkaitan dengan aspek kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi dan penataan ruang. Hasil dari survei dan konsultasi Greenomics Indonesia di sepanjang Pantai Barat hingga Pantai Utara dipaparkan berikut ini sebagai salah satu studi kasus preferensi masyarakat pengungsi dalam permasalahan relokasi pemukiman. 5

a. Informasi Pembangunan Rumah Distribusi informasi tentang calon lokasi rencana pembangunan rumah oleh pemerintah kepada masyarakat pengungsi terlihat belum proporsional. Sebanyak 47% responden menyatakan tidak tahu calon lokasi rumah bantuan pemerintah tersebut, termasuk cara mendapatkannya. Sedangkan 45% lainnya menyatakan kebingungan dengan informasi calon lokasi rumah untuk mereka. Artinya, hanya 8% dari responden yang dapat memperkirakan di mana calon lokasi bantuan rumah dari pemerintah (Grafik 1). Grafik 1. Pendapat Responden terhadap Informasi Calon Lokasi Bantuan Rumah dari Pemerintah 47% 45% 50 40 30 % 20 8% 10 0 Tidak Tahu Bingung Tahu (tapi tidak pasti) b. Keyakinan Masyarakat Pengungsi terhadap Bantuan Rumah dari Pemerintah Yang paling menarik untuk diperhatikan adalah tentang keyakinan masyarakat pengungsi terhadap bantuan rumah dari pemerintah. Hanya 35% responden yakin akan mendapatkan bantuan rumah dari pemerintah, sedangkan 41% menyatakan tidak yakin dan 24% masih ragu-ragu (lihat Grafik 2). Grafik 2. Pendapat Responden terhadap Keyakinannya terhadap Bantuan Rumah dari Pemerintah 35% 41% 45 40 35 30 25 % 20 15 10 5 0 Yakin Tidak Yakin Ragu-ragu 24% 6

Ketidakyakinan dan keragu-raguan tersebut dapat dilihat dari tingkat motivasi masyarakat pengungsi yang berusaha membangun rumahnya sendiri dalam waktu satu tahun ini. Mencapai 34% responden menyatakan akan berupaya untuk membangun rumah sendiri, sedangkan 58% responden menyatakan belum segera membangun rumahnya dalam satu tahun ini. Namun, mereka akan bertindak cepat semampunya jika bantuan rumah pemerintah tersebut terlalu lama realisasinya dan tidak sesuai lokasinya. Sisanya (8%), tidak menjawab (lihat Grafik 3). Grafik 3. Pendapat Responden tentang Apakah Mereka akan Membangun Rumah dalam Satu Tahun Ini 58% % 60 50 40 30 20 10 0 Ya 34% Tidak (tapi, menunggu program pemerintah) Tidak menjawab 7% c. Pilihan Lokasi Pembangunan Rumah Masyarakat Pengungsi Mencapai 34,1% responden berencana membangun rumah di lokasi rumah yang telah hancur, sementara 12,9% lainnya menyatakan tetap membangun rumah di wilayah pesisir, namun di lokasi lain. Hanya 4,8% dari responden yang berencana membangun rumah yang jauh dengan lokasi wilayah pesisir. Namun, perlu diperhatikan bahwa mencapai 43,2% dari responden yang menyatakan ragu-ragu terhadap lokasi pembangunan rumahnya karena masih kebingungan terhadap kejelasan kebijakan dari pihak pemerintah. Sisanya (5%), tidak menjawab (lihat Grafik 4). Grafik 4. Pendapat Responden tentang Lokasi Pembangunan Rumah 43.2% 45 40 35 30 25 % 20 15 10 5 0 Lokasi Rumah Semula 34.1% Di Wilayah Pesisir Lain 12.9% Jauh dari Wilayah Pesisir 4.8% Ragu-ragu Tidak Menjawab 5% 7

Terkait dengan masalah apakah masyarakat pengungsi pernah mendapatkan informasi agar mereka tidak membangun rumah di lokasi semula, sebanyak 33% responden menyatakan pernah tahu dari bincang-bincang sesama masyarakat pengungsi. Namun, mencapai 65% responden menyatakan tidak memperoleh informasi tentang larangan tersebut. Sedangkan sisanya (2%), tidak menjawab (lihat Grafik 5). Grafik 5. Pendapat Responden tentang Apakah Pernah Diberitahu agar Tidak membangun Rumah di Lokasi Semula 65% % 70 60 50 40 30 20 10 0 33% Pernah Tidak Pernah Tidak Menjawab 2% Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa masalah relokasi pemukiman harus melalui pendekatan dari bawah (bottom-up) memulai dari mendengar dan mencatat aspirasi masyarakat pengungsi. Mendengar dan mencatat aspirasi masyarakat pengungsi adalah pendekatan yang telah digarisbawahi oleh Bappenas dalam proses penyusunan rencana rekonstruksi Aceh. Namun, praktik dari pendekatan tersebut sangat terbatas dilakukan, sehingga proses mendengar dan mencatat menjadi belum mencapai sasarannya. 1.3. Rekomendasi Teknis Dari hasil survei dan konsultasi tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan tentatif mengingat perkembangan di lapangan demikian cepat dan dinamis sebagai berikut: a) Belum adanya suatu mekanisme konsultasi praktis antara pemerintah dan masyarakat pengungsi, terutama yang berada di penampungan sementara (camp dan barak). Mekanisme konsultasi dianggap oleh masyarakat pengungsi perlu dibangun bersama masyarakat pengungsi, dengan memperhatikan berbagai model mekanisme konsultasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pengungsi, sehingga mekanisme tersebut dapat berjalan dalam proses 8

pelaksanaannya. Mekanisme konsultasi praktis antara pemerintah dan masyarakat pengungsi tersebut perlu dilakukan secara teratur dan terukur, sehingga proses membangun harapan masa depan masyarakat pengungsi dapat difasilitasi oleh pemerintah secara efektif. b) Proses perencanaan partisipatif (participatory planning) menjadi sebuah pertanyaan serius dalam upaya memperkuat terakomodasikannya esensi preferensi masyarakat pengungsi di dalam suatu struktur perencanaan yang bersifat paling menyentuh masa depan masyarakat pengungsi, seperti masalah relokasi pemukiman baru dan bantuan rumah bagi masyarakat pengungsi. Derajat perencanaan partisipatif di tingkat masyarakat pengungsi masih terlihat sangat terbatas. Kondisi tersebut berpotensi mempengaruhi tingkat keyakinan masyarakat pengungsi terhadap berbagai program dan perencanaan pemerintah di masa akan datang. c) Terjadinya keragu-raguan dan kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap hak kepemilikan tanah/lahan (tenurial) yang terkait dengan masalah relokasi terlihat belum terfasilitasi secara efektif di tingkat lapangan. Tingkat keragu-raguan atau kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut ternyata sangat signifikan, yang tentu saja memiliki potensi konflik dalam kebijakan relokasi dan perencanaan tata ruang yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Tindakan-tindakan yang antisipatif untuk mengurangi tingkat keragu-raguan dan kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah, sehingga blue-print Rekonstruksi NAD tidak dianggap sebagai ancaman terhadap hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi. d) Faktor geopolitik lokal berperan sangat signifikan dalam proses relokasi yang tentu saja terkait erat dengan penataan ruang, misalnya saja dalam penentuan lokasi barak. Faktor geopolitik lokal antar kampung, kemukiman dan kecamatan ternyata membutuhkan membutuhkan perhatian khusus, bukan melalui pendekatan relokasi dan penataan ruang secara generalis dan kaku. 9

Bagian Dua Tingkat Interaksi terhadap Hutan Pemenuhan bahan baku kayu merupakan salah satu faktor paling menentukan dalam proses rekonstruksi NAD secara berkelanjutan, tidak terkecuali bagi masyarakat pengungsi yang berencana membangun rumahnya sendiri. Artinya, interaksi terhadap hutan harus dilihat secara proporsional dengan melihat prilaku pemenuhan bahan baku kayu dari pelakupelaku rekonstruksi NAD yang terkait dengan pembangunan fisik, seperti bantuan rumah, sekolah, perkantoran, rumah ibadah, fasilitas umum, pembuatan armada nelayan, dan lain sebagainya. Penilaian tingkat interaksi tersebut juga didasarkan atas survei lapangan dan konsultasi yang dilakukan Greenomics Indonesia selama bulan Pebruari 2005 dari Pantai Barat hingga pantai Utara Aceh, terhadap 1.620 masyarakat pengungsi yang secara proporsional dipilih secara acak di 7 (tujuh) wilayah kabupaten/kota. 2.1. Tipologi Interaksi Setidaknya terdapat 4 (empat) tipologi interaksi terhadap hutan sebagai sumber pemenuhan bahan baku kayu dalam proses rekonstruksi NAD. Keempat tipologi interaksi tersebut adalah (lihat Tabel): i) Tipologi interaksi untuk memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang relatif dekat dengan tempat tinggal sebagian masyarakat pengungsi guna mendapatkan bahan baku kayu untuk membangun sendiri rumah mereka. Namun, interaksi tersebut merupakan solusi paling akhir yang ditempuh sebagian masyarakat pengungsi, jika tidak ada jalan keluar dari pemerintah atau terlalu lamanya bantuan rumah dari pemerintah. ii) Tipologi interaksi sebagian masyarakat pengungsi dengan para pemasok kayu, yang dijual dengan harga terjangkau. Interaksi ini hanya terbatas bagi masyarakat pengungsi yang masih relatif mampu atau dibantu oleh sanak saudaranya atau bantuan langsung dari pihak-pihak tertentu untuk membeli kayu. Tipologi interaksi ini terjadi karena ada pasokan kayu, dengan tidak memperhatikan sumber pasokan kayu tersebut, apakah legal atau ilegal. Tipologi 10

interaksi ini sangat mengkhawatirkan dalam fase rekonstruksi NAD, setidaknya hingga 5 tahun ke depan. iii) Tipologi interaksi yang diciptakan melalui bantuan rumah atau fasilitas umum lainnya yang diberikan oleh organisasi-organisasi bantuan internasional dan LSM Internasional dengan mengkontrakkan pekerjaan dari bantuan mereka tersebut kepada kontraktor. Organisasi-organisasi bantuan internasional dan LSM Internasional tersebut hanya menyerahkan tanggung jawab penyelesaian pekerjaan tersebut kepada kontraktor, termasuk tanggung jawab terhadap pemenuhan bahan baku kayu, tanpa mengingat pengadaan bahan baku kayu yang harus diperoleh secara legal melalui sebuah monitoring yang dilakukan secara khusus oleh pihak donor tersebut. iv) Tipologi interaksi mengambang (floating interaction) yang bersumber dari kebijakan pemerintah yang tidak jelas terhadap pemenuhan bahan baku kayu dalam rekonstruksi NAD. Di satu pihak, pemerintah berencana menciptakan suatu proses rekonstruksi yang memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan, sementara di pihak lain, kebutuhan bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk rekonstruksi NAD masih belum diperjelas sumber-sumber pemenuhannya secara legal dan lestari. Tipologi interaksi ini sangat berbahaya, karena prilaku pemenuhan bahan baku kayu untuk rekonstruksi NAD dapat mengikuti pola pemenuhan bahan baku industri kayu nasional, di mana 70-80% bahan bakunya berasal dari sumber ilegal dan tidak lestari. Tipologi interaksi ini bukan hanya akan memberikan ancaman terhadap hutan alam NAD, namun juga hutan alam di Pulau Sumatera (seperti Riau), serta pulau-pulau lainnya. 11

Tipologi Interaksi terhadap Hutan Tipologi Interaksi Pelaku Interaksi Alasan Interaksi Pendorong Interaksi Tingkat Interaksi Memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang relatif dekat dengan tempat tinggal sebagian masyarakat pengungsi Sebagian masyarakat pengungsi Memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk membangun sendiri rumah mereka Jika tidak ada jalan keluar dari Pemerintah, atau terlalu lamanya bantuan Pemerintah Tidak mengkhawatirkan Membeli kayu dengan harga terjangkau dari pemasok kayu Pemasok kayu Melayani kebutuhan masyarakat pengungsi terhadap bahan baku kayu Karena ada pasokan kayu, tanpa memperhatikan sumber pasokan kayu legal atau ilegal Sangat mengkhawatirkan, karena disesuaikan dengan tingkat permintaan Bantuan rumah atau fasilitasi umum dari organisasi bantuan dan LSM internasional Kontraktor Memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk melaksanakan kontrak kerja dengan organisasi-organisasi internasional Organisasiorganisasi bantuan internasional yang menyerahkan tanggung jawab pemenuhan bahan baku kayu kepada kontraktor Sangat mengkhawatirkan, karena tidak ada jaminan bahan baku kayu berasal dari pasokan legal Kebijakan pemerintah yang tidak jelas yang menciptakan interaksi mengambang Para pihak terkait dengan proyek pemerintah dan bantuan luar negeri dalam rekonstruksi NAD Memenuhi kebutuhan kayu untuk membangun barak, rumah, fasilitas umum lainnya, serta pengadaan armada penangkapan ikan Sumber: Hasil Studi Lapangan Greenomics Indonesia, Maret 2005 Tidak jelasnya kebijakan pemerintah terhadap sumber pemenuhan bahan baku kayu dalam rekonstruksi NAD. Sangat berbahaya, karena dapat mengikuti pola pemenuhan bahan baku industri nasional, di mana 70-80% adalah pasokan ilegal. 12

2.2. Tingkat Interaksi Masyarakat Pengungsi terhadap Hutan Survei dan konsultasi Greenomics Indonesia memperlihatkan bahwa sebanyak 55% responden menyatakan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu untuk pembangunan rumahnya sendiri. Hanya 2% yang menyatakan tidak mengalami kesulitan. Namun, sebanyak 43% responden menyatakan belum tahu, namun mereka hanya mengatakan pemerintah seharusnya mencarikan jalan keluarnya (lihat Grafik 6). Grafik 6. Pendapat Responden tentang Sulit Tidaknya Pemenuhan Bahan Baku Kayu untuk Membangun Rumahnya 55% % 60 50 40 30 20 10 0 2% Sulit Tidak Sulit Belum Tahu (Tapi, pemerintah harus cari jalan keluarnya) 43% Ketika dikonsultasikan tentang sumber pemenuhan bahan baku kayu, sebanyak 20% responden menyatakan akan berupaya memanfaatkan sisa-sisa kayu pasca bencana yang masih bisa dimanfaatkan, itu pun jika masih ada. Hanya 5% yang menyatakan akan berpikir untuk mendapatkannya dari hutan terdekat. Sedangkan 3% lainnya, memilih untuk menggunakan bahan baku pengganti kayu, seperti kayu kelapa (lihat Grafik 7). Grafik 7. Pendapat Responden tentang Sumber Kayu Jika mereka Membangun Rumahnya Sendiri 51% 60% 50% 40% % 30% 20% 10% 0% Kayu Sisa Bencana 20% 5% 3% Kayu di Bahan Kayu dari Beli kayu Hutan Baku Pemerintah dengan terdekat Pengganti harga murah 21% 13

Namun, mencapai 21% responden yang akan membeli kayu dengan harga murah (terjangkau) untuk membangun rumahnya dari bantuan sanak saudaranya atau pihak-pihak lain (kayu yang dibeli berpotensi bersumber dari aktivitas ilegal). Yang perlu diperhatikan di sini adalah sebanyak 51% responden yang menyatakan bahwa itu adalah bagian dari bantuan pemerintah. Hasil survei dan konsultasi tersebut memperlihatkan bahwa interaksi langsung masyarakat pengungsi terhadap hutan untuk pemenuhan bahan baku kayu yang diantaranya untuk membangun rumahnya sendiri dapat disimpulkan tidak signifikan. Artinya, justru interaksi yang paling tinggi datang dari bukan masyarakat pengungsi, yang berpotensi memasok bahan baku kayu ilegal. 2.3. Rekomendasi Teknis Berdasarkan temuan di atas, terhadap proses penyusunan cetak biru rekonstruksi NAD, berikut beberapa rekomendasi teknis yang perlu diperhatikan: a) Cetak biru rekonstruksi NAD seharusnya dapat memperjelas kebijakan, tindakan konkret, indikator keberhasilan, peta sebaran dan potensi pasokan kayu legal/lestari, serta instrumen monitoring di tingkat lapangan guna mengantisipasi keempat tipologi interaksi terhadap hutan tersebut. b) Cetak biru rekonstruksi NAD juga harus memberikan panduan kebijakan dan operasional yang jelas terhadap pasokan kayu legal dan lestari yang dapat dibeli/digunakan oleh organisasi-organisasi internasional yang bergiat membantu proses rekonstruksi NAD. c) Cetak biru rekonstruksi NAD harus benar-benar dapat menjawab permasalahan kebutuhan bahan baku kayu dalam proses rekonstruksi NAD dengan tidak membiarkan mekanisme pasar bekerja. 14