BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono (Sidik et

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi merupakan suatu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya pada bidang pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan sekarang diganti dengan Undang- Undang No. 23 tahun 2014. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang pemerintah daerah, maka daerah diberikan otonomi atau kewenangan dalam mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, dimulai secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing suatu daerah dengan cara 1

2 memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah Kabupaten dan Kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa Pemda memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya yang dimiliki untuk belanjabalanja daerah dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tercantum dalam anggaran daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah tersebut, pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi daerah, serta diberi kewenangan untuk mengeksplorasi sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut secara efektif dan efisien. Hal ini diharapkan setiap daerah otonom mampu meningkatkan pelayanan di berbagai sektor, terutama sektor publik. Dalam upaya meningkatkan pelayanan publik, pemerintah daerah wajib mengalokasikan sejumlah dana berupa anggaran belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menambah aset tetap daerah. Perubahan alokasi belanja ini juga ditujukan untuk program pembangunan berbagai fasilitas publik. Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan untuk memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dimana aset tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja dan bukan untuk dijual. Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat

3 utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, Pemda mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal tersebut didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Belanja modal meliputi (1) belanja modal tanah adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan atau pembelian atau pembebasan peyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. (2) belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan atau penambahan atau penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat dari 12 (dua belas) bulan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. (3) belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan atau penambahan dan termasuk pengeluaran atau perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. (4) belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan atau penambahan atau penggantian atau peningkatan pembangunan atau pembuatan

4 serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. (5) belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan atau penambahan atau penggantian atau peningkatan pembangunan atau pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapa di kategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang umtuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah. Jumlah nilai belanja yang dikapitalisasi menjadi aset tetap adalah semua belanja yang dikeluarkan sampai dengan aset tersebut siap digunakan atau biaya perolehan. Belanja modal dapat berupa pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas yang dilakukan untuk meningkatkan daya tarik investasi sehingga mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD merupakan komponen penerimaan daerah yang sangat penting untuk membantu laju pembangunan di daerah. Adanya PAD sendiri dijadikan sebagai modal untuk membiayai belanja di daerah. PAD ini juga menjadi tolok ukur dari keberhasilan daerah dalam mewujudkan daerah mandiri yang sesuai dengan konsep desentralisasi. Pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja modal harus mempertimbangkan PAD yang diterima dan disesuaikan dengan kebutuhan dari suatu daerah sehingga jika Pemerintah Daerah

5 ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemerintah Daerah harus berusaha untuk menggali PAD yang sebesar-besarnya. Dalam upaya membiayai kegiatan-kegiatan daerah, selain memanfaatkan PAD, Pemda juga dapat menggunakan transfer dari pusat berupa DAU. Berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2004, DAU (Dana Alokasi Umum) didefinisikan sebagai sumber pendapatan yang diperoleh dari pendapatan APBN yang dianggarkan untuk pemerataan alokasi keuangan antar daerah dalam pendanaan kelengkapan rumah tangga daerahnya. Kaitan antara DAU dengan Belanja Modal merupakan sumber pembiayaan untuk belanja modal guna pengadaan sarana dan prasarana untuk pelayan publik yang lebih baik. Bahwa yang membedakan PAD dengan DAU adalah PAD berasal dari uang yang diperoleh daerah itu sendiri, sedangkan DAU berasal dari transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam membiayai kegiatan pemerintahan selain PAD dan transfer dari pusat, pemerintah pusat juga dapat memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya. SILPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sebagian besar SILPA digunakan belanja langsung berupa belanja modal yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan masyarakat. Jumlah belanja langsung dapat berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan aset, dan sebagainya yang di dalamnya juga belanja tidak langsung lebih kecil dari jumlah belanja tidak langsung. SILPA merupakan sumber penerimaan internal Pemerintah Daerah yang

6 digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan tahun berjalan. SILPA dijadikan indikator efisiensi, karena SILPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Netto yang positif dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaram pembiayaan. Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus disediakan pemerintah daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik. Penelitian tentang belanja modal telah banyak dilakukan di berbagai wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Mentayani dan Rusmanto (2013) menunjukkan bahwa PAD dan DAU tidak berpengaruh terhadap belanja modal sedangkan SILPA berpengaruh terhadap belanja modal pada kabupaten/kota Kalimantan. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Tolu et al (2016) menunjukkan bahwa DAU berpengaruh terhadap belanja modal sedangkan PAD tidak berpengaruh terhadap belanja modal pada kota Bitung. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Febriana (2015) menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh terhadap belanja modal sedangkan SILPA tidak berpengaruh

7 terhadap belanja modal pada provinsi Jawa Timur. Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2016) menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di Jawa Timur. Penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Heru (2016) menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di wilayah Aceh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuasikal (2008) menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh terhadap belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sholikhah dan Wahyudin (2014) juga menunjukkan bahwa PAD dan Luas Wilayah berpengaruh terhadap belanja modal namun DAU tidak berpengaruh terhadap belanja modal pada pemerintah kabupaten/kota di Jawa. Belanja Modal merupakan pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaan (Halim, 2004:72). Dalam hal tersebut masuk ke dalam pembukuan akuntansi dengan kata lain belanja modal akan mempengaruhi posisi keuangan. Belanja modal diakui dalam periode berjalan pada saat aktiva yang dibeli telah diterima dan hak kepemilikikannya telah berpindah. Belanja modal memiliki ciriciri yaitu berwujud, sifatnya menambah, memiliki manfaat yang lebih dari satu periode dan nilainya relatif material. Belanja modal termasuk salah satu komponen belanja atau pengeluaran pada periode anggaran daerah yang termasuk dalam belanja langsung. Belanja sendiri tidak lepas dari besarnya pendapatan yang dapat oleh pemerintah daerah melalui PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-

8 lain PAD yang sah. Struktur belanja setiap pemerintah daerah perlu diperkuat agar dapat mendorong perekonomian daerah. Halim (2001) menegaskan bahwa tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang memiliki celah fiskal rendah. Penegasan ini menunjukkan bahwa bagi daerah-daerah yang celah fiskal rendah tidak perlu memperkuat struktur belanja. Dengan memperkuat struktur belanja daerah dapat meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini penting karena anggaran yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan aktivitas pembangunan daerah merupakan anggaran publik. Alokasi belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah setiap tahun harus betul-betul dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas yang produktif. Pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktifitas pembangunan. Penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Pengalokasian belanja untuk berbagai kepentingan publik merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam mendorong perekonomian daerah. Dikatakan penting dan strategis karena dengan peningkatan sarana publik misalnya membangun jembatan dan jalan dapat mempermudah akses masyarakat dalam melakukan aktivitas bisnis maupun non bisnis. Di sisi lain, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam kebijakan otonomi daerah disambut baik, karena terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Salah satu harapan dari kebijakan tersebut adalah daerah diberi

9 kesempatan untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya, kebijakan demikian akan memberatkan. Daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya dalam hal sumber keuangan atau dana yang melimpah akan mengalami kesulitan dalam mebiayai belanja daerahnya (Tuasikal (2008). Menurut Sholikhah dan Wahyudin (2014) untuk mendukung jalannya pemerintahan yang mandiri, maka pemerintah daerah perlu mencari dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang ada di daerah. Sumber-sumber daya yang telah dikelola oleh pemrintah daerah menjadi salah satu sumber pendanaan bagi belanja daerah, belanja daerah disini lebih diarahkan pada belanja modal. Karena belanja modal menjadi pendukung dari peningkatan sarana dan prasarana bagi pelayanan publik. Pelayanan publik menjadi salah satu indikator bagi penilaian kinerja pemerintah dalam mengemban amanah dari rakyat. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi Belanja Modal yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah. Sehingga penelitian ini berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal.

10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah yang menjadi pokok bahasan penelitian ini adalah: 1. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Modal? 2. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Belanja Modal? 3. Apakah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh terhadap Belanja Modal? 4. Apakah Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Modal? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal? 2. Untuk menganalisis pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal? 3. Untuk menganalisis pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap Belanja Modal? 4. Untuk menganalisis pengaruh Luas Wilayah terhadap Belanja Modal?

11 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis Memperkuat penelitian sebelumnya berkenaan dengan adanya pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal yang dilakukan secara empiris pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan untuk dijadikan bahan pembelajaran kemajuan pendidikan. Serta bahan referensi data tambahan bagi Penelitilainnya yang tertarik pada bidang kajian ini dan juga sebagai informasi dan pengembangan untuk Peneliti selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian merupakan batasan dari suatu pembahasan. Dengan adanya batasan ini diharapkan pembahasan tidak menyimpang dari masalah yang sedang dibahas di dalam penelitian itu sendiri dan diharapkan penelitian tersebut menjadi jelas permasalahannya, dengan ini maka penulis memberikan batasan-batasan penelitian yakni sebagai berikut :

12 1. Subjek Penelitian Penelitian dilakukan pada data keuangan pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2012-2015. 2. Objek Penelitian Dalam penelitian ini, objek penelitian hanya fokus pada Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah dan Belanja Modal Kabupaten/Kota di Jawa Timur pada tahun 2012-2015.