BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

PERBEDAAN MAKNA SIMBOLIK GUNUNGAN WAYANG KULIT GAGRAG YOGYAKARTA DAN GAGRAG BANYUMAS

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB II METODOLOGI. Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa. Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J.

BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang kulit hingga sekarang tetap populer serta sering

BAB VI SIMPULAN. Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi. kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

Pagelaran Wayang Ringkas

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

SD kelas 5 - BAHASA INDONESIA BAB 7. Tema 7 Sejarah Peradaban IndonesiaLatihan Soal 7.1

( ) berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau

dalam pelaksanaannya, yaitu dalam penyajian benda koleksi sehingga dapat

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

ABSTRAK. Fitriani Dewi Pramesti, 2012 Wayang Rumput (Wayang Suket) Universitas Pendidikan Indonesia Repository.Upi.Edu i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Bab VI Simpulan & Saran

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

1.1.1 KONDISI TEMPAT WISATA DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB VI KESIMPULAN. Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah. kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB IV PENUTUP. Dari hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa Srimpi Pandhelori

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat,

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

Data kongkrit tentang lahir asal usul wayang sedikit jumlahnya. Perbedaan adanya disiplin ilmu untuk mendekati masalah dan konsep tentang maksud

pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran.

GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO

PEMENTASAN WAYANG SEBAGAI MEDIA INFORMASI DALAM UPAYA PREVENTIF PENYEBARAN HEPATITIS B DI INDONESIA

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. dan bahasa yang bermacam-macam dari sabang sampai merauke. Budaya lokal pada sisi

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB IV PENUTUP. Yogyakarta khususnya gending-gending soran, agar terus dikaji dan digali, baik oleh

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

2014 TARI WAYANG HIHID DI SANGGAR ETNIKA DAYA SORA KOTA BOGOR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Larasita Puji Daniar, 2014 Legenda Ciung Wanara Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

Kerangka Materi, Narasi, dan Hasil Produk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1. Bagaimana radio Gema Surya FM berupaya melestarikan kesenian Jawa. 2. Apa tujuan dari program acara kesenian jawa di RGS?

yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak,

BAB I PENDAHULUAN. adat istiadat, agama dan kesenian. Namun di era globalisasi ini banyak budayabudaya

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

I. PENDAHULUAN. kebudayaan. Perkembangan seni dan budaya didalamnya terdapat kesenian

ABSTRAK KAJIAN AKULTURATIF INTERIOR ISTANA MAIMUN DI MEDAN-SUMATERA UTARA (Periode Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah, )

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian mengenai Tinjauan Filsafat Nilai Max Scheler terhadap Tarian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Permasalahan utama dalam penciptaan karya ini adalah bagaimana merancang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN...

BAB II DALANG DALAM PERSPEKTIF ERVING GOFFMAN. pada tahun 1923, yang dinamakan Pasinaon Dhalang ing Surakarta (Padhasuka). Di

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat di Jawa khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain kepopulerannya wayang kulit juga merupakan satu-satunya jenis wayang yang berada di Jawa yang masih bertahan sampai sekarang. 1 Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata baying, yang berarti bayangan. G.A.J Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti : bayangan, dalam bahasa Melayu artinya: baying-bayang, yang artinya, bayangan, samar-samar, remang-remang, menerawang. 2 Wayang adalah mite, yaitu suatu tradisi penceritaan tentang mitos. Sedangkan mitos adalah suatu bentuk mengungkapkan pemikiran yang paling sederhana dalam usaha manusia untuk memahami fenomena kosmos. 3 Melalui fenomena ini manusia tidak sekedar menjelaskan fenomena kosmos, tetapi sekaligus ditampilkan secara simbolik. Perkembangan wayang kulit sangat pesat di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Wayang kulit lebih berkembang dibandingkan dengan Wayang Gedog, Wayang Golek, Wayang Madya, Wayang Sasak, dan sebagainya. Wayang kulit dari setiap wilayah pun mempunyai gaya atau gagrak sendiri. Surakarta dengan gagrak Surakartanya yang lebih 1 Soetarno, dkk, Sejarah Pedalangan (Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2007), hlm. 1. 2 Darmoko, Wayang Bentuk, Isi dan Nilainya, (Jakarta: Fakultas Sastra UI, 1999), hlm 1. 3 Kartoatmodjo, Balinese Tradisonal Architecture in Proces (iniyama: Little World Museum of Man, 1988), hlm.15 dalam buku 1

2 mengembangkan tradisi, sedangkan Yogyakarta dengan gagrak Yogyakartanya yang mempertahankan tradisi. Selain gagrak Surakarta dan Yogyakarta, terdapat pula gagrak Banyumasan, gagrak Pesisiran, gagrak Jawatimuran dan sebagainya. Tetapi diantara gaya-gaya pedalangan itu yang sangat popular di masyarakat pendukung wayang adalah gagrak pedalangan Surakarta dan gagrak pedalangan Ngayogyakarta. Pada abab ke- 18, kerajaan Mataram di bagi menjadi dua bagian, yakni Surakarta (Kasunanan) dan Yogyakarta (Kasultanan). Pembagian ini dikenal dengan perjanjian Giyanti, yang ditandatangi di desa Giyanti atau Jatisari ( sebelah timur Karanganyar, Solo) pada tanggal 13 Februari 1755. Pembagiannya sebagai berikut : untuk Nagara Agung, 4 Sunan Surakarta (Paku Buwono III) mendapat 53.100 karya, 5 sedangkan Sultan Yogyakarta (Mangkubumi atau Hamengkubuwono I) mendapatkan juga 53.100 karya. Perjanjian Giyanti sendiri timbul karena adanya suatu faktor politik yang menggangu stabilitas kerajaan ialah masalah pergantian tahta. Hampir setiap kematian raja disusul oleh krisis politik yang disebabkan suatu perebutan tahta. Tidak ada tradisi yang mantap yang mengatur pergantiaanya, bahkan yang ada ialah semacam TRADISI PEREBUTAN TAHTA. Peristiwa sekitar pergantian yang demikian ini memperkuat kecenderungan di antara para pangeran untuk memakai kesempatan menuntut dan memperjuangkan haknya. 6 Dalam sebuah kotak wayang, biasanya terdiri dari 150 sampai 400 boneka wayang. Selain itu, diperlukan juga debog pisang, kelir, kepyak atau keprak, blencong, dan gamelan. Gedebog adalah perlengkapan yang merupakan bagian yang penting dalam pertunjukan wayang kulit. Gedebog seolah-olah sebagai tempat atau bumi untuk bepijak, digunakan untuk menancapkan boneka-boneka wayang dalam pertunjukan wayang 4 Istiilah untuk menyebut wilayah atau daerah di skitar pusat kerajaan Jawa. Secara administratif wilayah kerajaan Jawa dibagi menjadi tiga bagian, yakni : Kraton ( pusat kerajaanbatas-batasnta adalah tembok kraton), Nagara Agung, dan Mancanegara (wilayah terjauh dari pusat kerajaan). 5 Istilah untuk mengatakan ukuran atau menunjuk pertimbanagan luas tanah dengan jumlah cacah yang dikuasai oleh penguasa tertentu. 6 Yuwono, Prapto, Hukum Jawa Abad XVIII (Bojonggede: Akademia, 2001), hlm.11.

3 kulit. Pada panggungan wayang gedebog terdiri dari gedebog atas yang disebut panggungan dan gedebog bawah paseban, gedebog atas untuk menancapkan tokoh-tokoh pada waktu siniwaka, tamu agung, pujangga raja, sedangkan gedebog bawah untuk menancapkan tokoh-tokoh seperti patih raja, dayang-dayang, para pangeran atau sentana raja dalam pertunjukan wayang kulit. 7 Sedangkan kelir adalah kain putih yang dibingkai gawangan yang terbuat dari kayu atau bambu. Kelir pada umumnya berwarna putih karena ada kaitannya dengan semesta alam. 8 Boneka wayang itu digerakkan diantara blencong dan kelir. Blencong adalah lampu yang digunakan untuk menyinari pertunjukan wayang kulit. Blencong terbuat dari perunggu berbentuk burung garuda, dan diisi dengan minyak kelapa, sedangkan sumbunya terdiri dari sepotong kain dan menunjuk ke muka ke arah kelir dan sedikit miring. Selanjutnya, ada kepyak atau keprak yaitu kepingan tembaga yang ditempelkan pada kotak wayang berbentuk persegi empat, yang terbuat dari timah putih dan tembaga yang berjumlah tiga keping. Selain kepyak atau keprak, untuk instrumen musiknya digunakan pula gamelan yang berlaraskan slendro dan pelog. Dalam setiap pergelaran wayang baik wayang golek maupun wayang kulit selalu ditampilkan gunungan. Gunungan atau disebut juga kayon merupakan salah satu boneka wayang. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti gunungan wayang kulit gaya Surakarta. Seperti yang sudah peneliti jelaskan sedikit di atas, wayang gaya Yogyakarta memiliki keindahan tersendiri karena perawakan wayang Yogyakarta yang terkesan kekar, sehingga tampak gagah dan indah sebagai hiasan dan juga memiliki kesan lebih dinamis jika dibandingkan dengan wayang Yogyakarta yang terkesan statis terutama wayang putrannya. Namun wayang Yogyakarta memiliki kelemahan yaitu dengan bentuk tubuh yang besar tersebut 7 Soetarno, dkk, Sejarah Pedalangan (Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2007), hlm. 41. 8 Ibid.: 40.

4 menyulitkan sang dalang dalam memainkan boneka wayang. Hal ini yang menyebabkan wayang gaya Yogyakarta menjadi sedikit membosankan dan kurang menarik jika dipergelarkan. Sebaliknya, wayang gaya Surakarta yang memiliki bentuk fisik yang ramping akan menjadi kurang berwibawa jika diamati, namun memiliki nilai keindahan tersendiri jika dimainkan dalam suatu pergelaran wayang karena dalang dapat dengan mudah menggerakkan dan mengendalikan boneka wayang sehingga pedalangan gaya Surakarta lebih menonjol. Peneliti menfokuskan penelitian pada aspek gunungan dalam pertunjukan wayang purwa. Penelitian ini membatasi pada pertunjukan wayang purwa gaya Surakarta. Pada dasarnya, wayang purwa gaya Surakarta dan Yogyakarta hampir sama, yaitu tentang sumber ceritanya dari zaman purwa ( Mahabrata Ramayana) dan aspek aspek yang ada di dalam pertunjukan. Tetapi wayang purwa gaya Surakarta lah yang lebih diminati. Selama ini, menurut Suharjoso ( kompas.com), gagrag Yogyakarta lebih ke arah mempertahankan tradisi, beda dengan Surakarta yang mengembangkan tradisi". Di sana inovasi lebih banyak, hiburan juga banyak, campursari bisa masuk. Bisa disimpulkan, gaya Surakarta lebih diminati dibandingkan dengan gaya Yogyakarta yang monoton. Hal itu disebabkan karena wayang kulit purwa gaya Surakarta dibubuhi lawakan atau campursari sehingga tidak membosankan. Itu adalah salah satu alasan peneliti untuk memilih topik ini. Mengapa peneliti hanya mengambil gunungan saja?. Peneliti tertarik karena boneka wayang atau gunungan itu sendiri mempunyai peran penting dalam suatu pertunjukan wayang. Untuk menyelesaikan penelitian ini, peneliti mengumpulkan data mengenai gunungan gaya Surakarta. Setelah itu menganalisis aspek aspek simbolik dan menyimpulkan hasil analisis. 1.2 Masalah Penelitian

5 Gunungan dalam pertunjukan wayang merupakan salah satu unsur yang penting. Gunungan sebagai pertanda dimulainya pertunjukan. Sehubungan dengan itu, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Jenis gunungan apa saja yang terdapat dalam Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta? 2. Aspek aspek apa saja yang terdapat pada gunungan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta? 3. Makna simbolik apa yang terdapat pada aspek aspek gunungan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini yaitu menjawab masalah penelitian di atas. 1.3.2 Manfaat penelitian 1. Bermanfaat bagi pembaca yang tertarik pada budaya Jawa khususnya Wayang kulit Purwa Surakarta. 2. Bermanfaat bagi peneliti pemula khususnya bagi sarjana untuk penelitian selanjutnya. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis gunungan gapuran, blumbangan, kadewan dan klowongan. aspek-aspek pada 1.5 Metodologi Penelitian Penelitian ini menganalisis aspek-aspek gunungan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

6 1. Studi Pustaka Metode yang dilakukan dengan cara mengambil data sebagai referensi mengenai teori yang berhubungan dengan penelitian yang dikerjakan, untuk menunjang hasil yang diharapkan peneliti. Metode yang digunakan dalam penelitian pemaknaan secara kontektual dan tekstual. 2. Observasi Metode yang dilakukan dengan cara langsung terjun ke lapangan untuk mengetahui dan mendapatkan data yang nyata di lapangan. 3. Analisis Menganalisis data untuk mendapatkan ide gagasan agar bisa memaknai serta mrninterpretasikan ornamen pada gunungan wayang. 1.6 Kerangka Konseptual Untuk memilih aspek aspek simbolik pada gunungan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta dengan teori sastra dari Luxemburg. 1.7 Penelitian Terdahulu Penelitian dengan topik Gunungan sebagai skripsi sebelumnya sudah diteliti oleh Peneliti terdahulu yakni: 1. Heni Suryani dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) pada tahun 2003, dengan judul skripsi Bentuk Gunungan Wayang Kulit Purwa Kanjeng Kyai Mangu di keraton kasunanan Surakarta. Di skripsinya itu peneliti tersebut membahas mengenai makna dari gunungan wayang Kulit Purwa Kanjeng Kyai Mangu yang berada di kraton Kasunanan Surakarta.

7 2. Woro Aryandini dari pada tahun 2002, dengan judul thesis Wayang dan lingkungan. Di thesisnya tersebut, beliau juga membahas simbol yang terdapat pada gunungan wayang kulit, tetapi beliau hanya menjelaskan sedikit saja kemudian mengaitkan dengan lingkungan. Berdasarkan keterangan penelitian terdahulu, maka penelitian ini akan mecari hal yang belum diteliti oleh peneliti terdahulu. Penelitian ini membahas secara dalam mengenai aspek aspek simbolik pada gunungan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta. 1.8 Data Penelitian Data dalam penelitian ini adalah gunungan Gapuran, gunungan Blumbangan, gunungan Kadewan, dan gunungan Klowangan. Data penelitian ini merupakan gambar yang diambil peneliti di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Karawitan di Yogyakarta. Gunungan Kadewan difoto di Museum Wayang Kakayon Yogyakarta, sedangkan gambar gunungan klowongan dari Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid ke-2. 1.9 Sistematika penyajian Sistematika penyajian terdiri dari : Bab I Pendahuluan Pada bab ini terdiri dari latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, kerangka konseptual, penelitian terdahulu, data penelitian dan sistematika penyajian. Bab II Penyajian Data Pada bab ini terdiri dari pengantar, boneka wayang, lakon-lakon pewayangan, golongan wayang, wanda wayang, simpingan

8 wayang, gunungan gapuran, gunungan blumbangan, gunungan kadewan, gunungan klowongan. Bab III Bab IV Aspek-aspek simbolik gunungan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, pengantar dengan kerangka konseptual, lalu menganalisis pada simbol-simbol pada setiap gunungan yang sudah disebutkan dalam Bab II. Kesimpulan