BAB II PEMBAHASAN. Tujuan Surveilans Epidemiologi 2 Tujuan surveilans epidemiologi yaitu:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1479/MENKES/SK/X/2003 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita

PROPINSI LAMPUNG Minggu Epidemiologi ke-21

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

KLB Penyakit. Penyelidikan Epidemiologi. Sistem Pelaporan. Program Penanggulangan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. saat menghadapi berbagai ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti kesakitan. dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 17-18%. 1

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 1. Incidence Rate dan Case Fatality Rate Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff,H, 2006). Penyakit ini juga

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi di seluruh dunia setelah HIV. Pada tahun 2014, WHO melaporkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Organization (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam thypoid diseluruh dunia

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB I PENDAHULUAN UKDW. DBD (Nurjanah, 2013). DBD banyak ditemukan didaerah tropis dan subtropis karena

BAB I PENDAHULUAN. mencanangkan TB sebagai kegawatan dunia (Global Emergency), terutama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang (basil) tahan asam

BAB 1 PENDAHULUAN. prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut badan organisasi dunia World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien

MAKALAH INDIV ADMINISTRASI PUSKESMAS

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit protozoa UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara sistematik berkesinambungan, analisa dan interpretasi data kesehatan dalam proses menjelaskan dan memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi merupakan kegiatan pengamatan secara teratur dan terus-menerus terhadap semua aspek kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebaranya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. 1 Menurut WHO, Surveilans epidemiologi adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis & interpretasi data secara sistematik & terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus (kontinu), sedangkan monitoring dilakukan intermitten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat. 2,3,4 Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik.5 1

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Surveilans Epidemiologi Defenisi Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara sistematik berkesinambungan, analisa dan interprestasi data kesehatan dalam proses menjelaskan dan memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi merupakan kegiatan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. 1,2 B. Tujuan Surveilans Epidemiologi 2 Tujuan surveilans epidemiologi yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. C. Memantau kecenderungan penyakit Deteksi dan prediksi terjadinya KLB Memantau kemajuan suatu program pemberantasan Menyediakan informasi untuk perencanaan pembangunan pelayanan kesehatan Pembuatan policy dan kebijakan pemberantasan penyakit Manfaat Surveilans Epidemiologi 2 Manfaat surveilans epidemiologi yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit Identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat Identifikasi factor risiko dan penyebab lainnya Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan di masa mendatang Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan D. Definisi Tifus Abdominalis 2

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, bercirikan lesi definitif di plak Peyer, kelenjar mesenterika dan limpa, disertai oleh gejala demam yang berkepanjangan, sakit kepala dan nyeri abdomen. Infeksi berasal dari penderita atau seorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang mengandung kuman yang keluar bersama fesesnya atau kemih. Kuman-kuman ini mengkontaminasi makanan, minuman dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman tifus terpenting, karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan. Masa inkubasi (masa sejak terpapar oleh kuman sampai timbulnya gejala pertama) berkisar antara 1-3 minggu (rata-rata 10-14 hari).6 E. Surveilans Epidemiologi Tifus Abdominalis Berdasarkan pembahasan Laporan Konsultasi Ad-hoc dari Introduksi Vaksin Tifoid dan Surveilans Tifoid oleh WHO yang dilaksanakan pada 18-20 April 2011 di Bangkok, maka terdapat beberapa metode surveilans khusus untuk penyakit tifoid (tifus abdominalis) yang direkomendasikan dilaksanakan di dunia:7 1. Surveilans aktif demam tifoid Merupakan surveilans dengan intensitas tinggi yang menuntut adanya protokol yang jelas dengan tujuan mendapatkan data insidens yang representatif dan reliable, biasanya dilakukan observasi jangka pendek, serta paling sering dalam bentuk penelitian. a. Surveilans aktif berdasarkan populasi Diperlukan perkunjungan di rumah-rumah setiap minggu atau setiap bulan oleh pekerja surveilans yang sudah terlatih yang menanyakan jika di rumah tersebut ada demam 3 hari atau lebih sejak kunjungan terakhir. b. Surveilans aktif berdasarkan fasilitas Bisa mencakup seluruh populasi jika terdapat fasilitas surveilans yang mendata seluruh populasi dengan stabil, misalnya surveilans tifoid berdasarkan rumah sakit. c. Surveilans aktif berdasarkan laboratorium Metode ini merupakan metode yang paling direkomendasikan di mana laboratorium yang melakukan surveilans di suatu daerah bisa lebih dari 3

satu. Laboratorium memastikan bahwa setiap orang yang datang pada mereka dengan gejala demam lebih dari tiga hari, diskrining dan dilakukan kultur darah, dengan catatan jika ada pasien dengan ciri demikian tidak datang ke laboratorium maka surveilans tetap dilanjutkan. 2. Surveilans pasif demam tifoid Tidak perlu dilakukan usaha untuk skrining kasus potensial tetapi hanya bergantung pada pemeriksaan pasien-pasien tertentu yang telah diputuskan oleh dokter untuk diperiksa. Metode ini yang paling banyak dilakukan oleh negara di dunia di mana mereka hanya bergantung pada data umum yang terdapat di fasilitas kesehatan seperti laboratorium atau dari diagnosis pada catatan medis pasien rawat jalan. 3. Surveilans resistensi antibiotik untuk tifoid Di negara-negara dengan tingkat resistensi antibiotik tinggi, meskipun bukan merupakan daerah endemis, sebaiknya terdapat setidaknya satu laboratorium untuk melakukan studi sensitifitas antibiotik untuk melihat perubahan atau resistensi yang muncul seiring berjalannya waktu. Surveilans tifus abdominalis secara global yang terbaru oleh WHO dilakukan dari tahun 2000-2003 dan dipublikasikan pada tahun 2004. Studi dengan judul The global burden of typhoid fever ini bertujuan memperbaharui estimasi angka beban demam tifoid (tifus abdominalis) secara global. Metode yang digunakan ialah studi berdasarkan populasi dengan pencarian kasus tifus abdominalis yang terkonfirmasi dengan kultur darah pada literatu-literatur sains multilingual menggunakan komputer. Kurva insiden berdasarkan umur digunakan untuk menunjukan ratio antara usia kohort terhadap populasi umum. Analisis sensitifitas satu arah dilakukan untuk mencari sensitifitas dari perkiraan terhadap asumsi yang didapatkan.8 Hasil yang didapatkan yaitu sebanyak 22 studi di seluruh dunia yang memenuhi syarat telah diidentifikasi dan memberikan hasil sebagai berikut: daerah dengan insiden tifus abdominalis tinggi (>100/100.000 kasus/ tahun) terdiri dari Asia selatan dan tenggara, daerah dengan insiden menengah (10-100/100.000 kasus/ tahun) terdiri dari Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, Oseania (kecuali Australia dan Selandia Baru), sedangkan daerah 4

dengan insidens rendah terdiri dari Eropa, Amerika Utara serta negara-negara maju lainnya (<10/100.000 kasus/ tahun). Diperkirakan tifus abdominalis oleh strain S. typhi menyebabkan 21.650.974 kesakitan dan 216.510 kematian selam tahun 2000, sedangkan S. paratyphi menyebabkan 5.412.744 kesakitan.8 Gambar 1. Distribusi demam tifoid berdasarkan kelompok usia pada beragam insiden8 Gambar 2. Distribusi geografis demam tifoid 8 5

Di Amerika Serikat, kendati tifus abdominalis merupakan penyakit yang jarang ditemukan sekarang namun surveilans tetap dilakukan secara berkala sejak tahun 1975, di mana dengan menggunakan formulir laporan standar, para petugas kesehatan lokal dan negara bagian melaporkan informasi epidemiologis, termasuk demografi pasien dan informasi klinis, vaksin tifoid, riwayat bepergian, dan kasus tifoid yang terbukti secara laboratorik kepada Centers for Disease Control and Prevention (CDC).9 Hasil surveilans tifoid terakhir di Amerika Serikat yaitu pada tahun 2011 menunjukan bahwa 37 negara bagian melaporkan total 347 kasus demam tifoid dan 21 negara bagian melaporkan total 107 kasus demam paratifoid.9 Gambar 3. Laporan kasus demam tifoid Amerika Serikat 20119 Di Asia sebagai daerah endemis tifus abdominalis, perkiraan angka beban tifoid biasanya didasarkan pada laporan rutin demam tifoid yang terdiagnosis secara klinis, digabungkan dengan data dari pemerintah atau rumah sakit, biasanya dari denominasi yang tidak tentu.10 Hasil surveilans terakhir di Asia dilaporkan pada tahun 2008 oleh WHO. Surveilans menggunakan metode survei prospektif berdasarkan populasi. Daerah pengambilan data di mana tifoid dianggap sebagai masalah oleh pemerintah lokal yaitu di Cina, India, Indonesia, Pakistan dan Vietnam. Metode klinis, laboratoris dan surveilans standar digunakan untuk menginvestigasi kasus demam 3 hari atau lebih dalam periode 1 tahun. Total 441.435 orang diikutsertakan dalam surveilans, di mana 159.856 orang berusia 5-15 tahun.10 6

Hasil yang didapatkan yaitu terdapat 21.874 episode demam. Salmonella typhi diisolasi dari 475 (2%) kultur darah, 57% (273/475) berasal dari usia 5-15 tahun. Insiden per tahun (per 100.000 orang/ tahun) pada kelompok usia ini beragam dari 24,2-29,3 di Vietnam dan Cina, sampai 180,3 di Indonesia, sampai 412,9 di Pakistan dan sampai 493,5 di India.10 Gambar 4. Insidens demam tifoid dan usia rerata pasien 10 Di Indonesia sendiri, kegiatan surveilans penyakit diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1479 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu. Penyakit-penyakit yang termasuk dalam surveilans terpadu kolera, diare, diare berdarah, tifus perut klinis, TBC paru BTA (+), tersangka TBC paru, kusta PB, kusta MB, campak, difteri, batuk rejan, tetanus, hepatitis klinis, malaria klinis, malaria vivax, malaria falsifarum, malaria mix, demam berdarah dengue, demam dengue, pneumonia, sifilis, gonorrhoe, frambusia, filariasis, dan influenza.11 Surveilans dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit, pusat KLB serta laboratorium kemudian dilakukan pelaporan dengan alur sebagai berikut: Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Puskesmas dan rumah sakit juga mengirimkan data 7

pemantauan wilayah setempat (PWS) penyakit potensial KLB mingguan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengumpulan dan pengolahan data tersebut, dan mengirimkan data bulanan STP ke Dinas Kesehatan Propinsi. Dinas Kesehatan Propinsi melakukan pengumpulan dan pengolahan data surveilans tersebut, dan mengirimkan ke Ditjen PPM & PL Depkes.11 Sasaran variabel data surveilans terpadu yakni:11 1. Variabel Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan umur, setiap kasus digolongkan pada golongan umur 0 7 hari, 8 28 hari, > 1 tahun, 1-4 tahun, 5-9 tahun, 10-14 tahun, 15-19 tahun, 20-44 tahun, 45 54 tahun, 55 59 tahun, 60 69 tahun, 70 tahun lebih dan total menurut jenis kelamin. 2. Variabel Rawat Jalan, Rawat Inap dan Kematian Selain berdasarkan pengelompokan golongan umur dan jenis kelamin, surveilans di Rumah Sakit dikelompokkan lagi menurut rawat jalan dan rawat inap. Variabel rawat inap ditambahkan dengan total kematian. 3. Variabel Waktu Kunjungan Kasus Setiap kasus dikelompokkan menurut periode waktu mingguan dan bulanan. 4. Variabel Total Kunjungan Setiap laporan disertakan data total kunjungan berobat setiap jenis penyakit dan total kunjungan berobat atau total kunjungan pelayanan. 5. Variabel Kelengkapan dan Ketepatan Laporan Setiap laporan disertai data kelengkapan dan ketepatan waktu laporan sumber data surveilans. Kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans Kabupaten/Kota terdiri dari kelengkapan dan ketepatan laporan unit pelayanan Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium. Kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans Propinsi dan Nasional terdiri dari kelengkapan dan ketepatan laporan unit pelayanan Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Data surveilans tifoid di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) Nasional tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3% - 3%). Dua belas provinsi mempunyai prevalensi di atas angka nasional, 8

yaitu Provinsi NAD, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawasi Selatan, Gorontalo, Papua Barat, dan Papua. Di 18 provinsi, kasus tifoid sebagian besar terdeteksi berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan, sedang di provinsi lainnya terutama berdasarkan gejala klinis sebagaimana tertera pada Tabel 1.12 Tabel 1. Prevalensi Tifus Abdominalis berdasarkan propinsi, Rikesdas 200712 9

Selain itu menurut Rikesdas tahun 2007 kasus tifoid klinis tersebar di seluruh kelompok umur dan merata pada umur dewasa. Prevalensi tifoid klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah (5 14 tahun) yaitu 1,9%, terendah pada bayi (0,8%), dan relatif lebih tinggi di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan rendah dan tingkat pengeluaran per kapita rendah, sebagaimana tertera pada Tabel 3.12 Tabel 2. Prevalensi Tifus Abdominalis menurut karakteristik responden, 10

Rikesdas 200712 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 oleh Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa penyakit demam tifoid dan paratifoid menduduki peringkat ketiga dari 10 besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010, dengan jumlah penderita 19.706 orang laki-laki (47,97%) dan 21.375 orang perempuan (52,03%). Jumlah pasien yang keluar Rumah Sakit ialah 41.081, sedangkan yang meninggal ada 274 orang. Case Fatality Rate pada tahun tersebut sebesar 0,67%.13 BAB III 11

PENUTUP A. KESIMPULAN: 1. Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya. 2. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang menular melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. 3. Surveilans penyakit tifus abdominalis dilakukan secara berkala baik secara global maupun di negara masing-masing untuk mengestimasi angka beban tifus abdominalis sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebijakan untuk mengatasi permasalahan penyakit tersebut. 4. Di Indonesia, tifus abdominalis klinis termasuk dalam kelompok penyakit menular di bawah Surveilans Terpadu Penyakit Menular (STP) yang diatur dalam Kepmenkes No 1479 tahun 2003 Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu. 5. Hasil surveilans tifus abdominalis terakhir di Indonesia dilaporkan dalam Rikesda 2007 menunjukkan bahwa prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3% - 3%). Dua belas provinsi mempunyai prevalensi di atas angka nasional B. SARAN 1. Bagi Petugas Kesehatan - Melakukan pencatatan dan pelaporan data lengkap dan rutin terhadap setiap penyakit-penyakit yang ada di daerah baik itu pada penyakit menular dalam hal ini tifus abdominalis yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa sehingga - hasil kegiatan dari surveilans epidemiologi dapat ditindaklanjuti. Terus melakukan upaya promotif kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi serta perilaku rumah tangga dalam mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam upaya pencegahan permasalahan dan peningkatan kesehatan masyarakat. 2. Bagi Masyarakat Turut bekerja sama secara sadar dalam surveilans penyakit tertentu dengan cara segera memeriksakan diri jika terdapat gejala yang bersangkutan dengan penyakit dalam hal ini tifus abdominalis, untuk kelancaran surveilans dan pada 12

akhirnya bersama mendapatkan cara mencegah dan megatasi penyakit ini berdasarkan data yang ada dalam upaya menyehatkan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam membentuk negara yang kuat secara fisik, mental, dan sosial sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia melalui Pembangunan Nasional - yang berkesinambungan Membantu melaporkan kepada petugas kesehatan atau pusat pelayanan kesehatan bila menemukan masalah kesehatan di masyarakat setempat yang berhubungan dengan penyakit tertentu dalam hal ini tifus abdominalis. DAFTAR PUSTAKA 1. Nurbeti M, Kuntari T, Ghazali L. Ilmu Kesehatan Masyarakat Untuk Kompetensi Dokter Umum. Universitas Islam Indonesia. 2012. 2. Yaszero. Sejarah Perkembangan Epidemiologi. 2011. Catatan Epidemiologi. diunduh dari http://www.google.com/sejarah-perkembangan-epidemiologi_files 13

3. Budiart, Eko. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2003. h54-7. 4. Widoyono. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pemberantasan. Jakarta : Penerbit Erlangga: 2008. 5. Murti B. Pengantar epidemiologi. Pencegahan Diunduh dan dari : http://fk.uns.ac.id/static/materi/pengantar_epidemiologi_prof_bhisma_murti.pdf Diakses 20 Juni 2013. 6. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo A, Setiohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007. h1752-7. 7. World Health Organization. Report of the Ad-hoc consultation on typhoid vaccine introduction and typhoid surveillance. 2011. Diunduh dari: whqlibdoc.who.int/hq/2012/who_ivb_12.02_eng.pdf Diakses 21 Juli 2013. 8. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The Global Burden of Typhoid Fever. Bulletin of the World Health Organization. 2004; 82:346-353. 9. Centers for Disease Control and Prevention. National Tyhoid and Paratyphoid Fever Surveillance Annual Summary. 2011. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nationalsurveillance/typhoid_surveillance.html Diakses 21 Juli 2013. 10. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, et al. A Study Of Typhoid Fever In Five Asian Countries: Disease Burden And Implications For Controls. 2004. Diunduh dari: http://www.who.int/bulletin/volumes/86/4/06-039818/en/ Diakses 21 Juli 2013. 11. Keputusan Menteri Kesehatan No.1479 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu. Diunduh dari: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/kmk%20no. %201479%20ttg%20Pedoman%20Peneyelenggaraan%20Sistem%20Surveilans %20Epidemiologi%20Penyakit%20Menular%20Dan%20Penyakit%20Tidak %20Menular%20Terpadu.pdf Diakses 21 Juli 2013. 12. Riset kesehatan dasar (Rikesdas) 2007. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/25886294/riskesda-laporannasional 14

Diakses 21 Juli 2013. 13. Profil kesehatan Indonesia 2011. Diunduh dari: http://depkes.go.id/index.php/component/search/? searchword=profil+kesehatan+2011&ordering=&searchphrase=all Diakses 21 Juli 2013. 15