LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI Oleh: Yusmichad Yusdja Rosmijati Sajuti Sri Hastuti Suhartini Ikin Sadikin Bambang Winarso Chaerul Muslim PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004
RINGKASAN EKSECUTIF Latar Belakang dan Masalah 1. Dalam 10 tahun terakhir permintaan konsumsi daging sapi terus meningkat dan telah melebihi kemampuan produksi daging sapi dalam negeri. Dalam kerangka itu, pemerintah pada tahun 2000 mencanangkan swasembada daging sapi di Indonesia pada tahun 2005. Kebijakan ini didukung oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan potensi populasi ternak sapi yang relatif dapat dikembangkan untuk menghasilkan daging yang cukup bahkan untuk ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah meluncurkan kebijakan program terobosan yang tertera di dalam kebijakan pembangunan peternakan. Dalam rumusan kebijakan pembangunan peternak itu terdapat visi, misi, strategi dan program. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia dapat mencapai swasembada daging dalam tahun 2005?. Bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan produksi daging?. Tujuan 2. Untuk melihat keberhasilan kebijakan peningkatan produksi akan dievaluasi melalui tiga kasus yang sekali gus menjadi tujuan penelitian yakni (1) Melakukan evaluasi pemantapan program swasembada daging sapi tahun 2005 (2) Menganalisis kinerja sapi bakalan impor dan dampaknya terhadap usahaternak sapi domestik, (3) analisis kinerja dan perspektif model pengembangan penggemukan ternak sapi berbasis tanaman pangan. Tujuan akhir adalah membuat rumusan kebijakan swasembada daging 2005 dan rekomendasi strategi kebijakan peningkatan produksi daging sapi Lokasi dan Responden 3. Lokasi penelitian dilakukan di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur dan Jawa Barat. Responden terdiri atas pejabat pemerintah dari intansi yang terkait, perusahan swasta yang berhubungan dengan produksi sapi potong, para peternak yang menerima program CLS, peternak yang melakukan usaha penggemukan sapi bakalan impor dan domestik berdasarkan bentuk kelembagaan usaha seperti kemitraan, bagi hasil dan sebagainya. Responden lainnya adalah, pedagang terdiri atas pedagang feedlotters, pedagang antar pulau dan pedagang wilayah sekitar RPH. Responden RPH, adalah RPH yang berlokasi di wilayah (kabupaten/kota) konsumsi dan mempunyai fungsi mendistribuskan karkas ke wilayah konsumsi. Evaluasi Konsep Kebijakan Swasembada Daging 2005 (Tujuan 1) 4. Kebijakan swasembada daging sapi tahun 2005 merupakan program pembangunan peternakan yang dirumuskan pada tahun 2000 dan berakhir 2004. Salah satu visi pwncapaian swasembada itu adalah haruslah mengandalkan sumberdaya lokal. Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan strategi sebagai berikut: (1) Pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan, (2) Pengembangan kelembagaan petani peternak, (3) Peningkatan usaha dan industri peternakan, (4) Optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal, (5) Pengembangan kemitraan yang lebih 1
luas dan saling menguntungkan dan (6) Mengembangkan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. Tidak ditemukan referensi yang menjelaskan ke enam program ini secara rinci. 5. Hasil evaluasi kebijakan swasembada daging sapi yang dicanangkan tahun 2000 dan berakhir tahun 2004 dapat dikatakan tidak berhasil dilihat dari kegagalan pencapaian tiga sasaran utama program. Tahun 2005 jelas, Indonesia tidak akan mencapai swasembada daging sapi tahun 2005 Ketga sasaran itu adalah peningkatan populasi, penurunan impor sapi bakalan dan peningkatan pemotongan sapi lokal. Pada kenyataannya, populasi, ternak sapi potong terus menurun, impor sapi bakalan meningkat sepanjang tahun dan pemotongan sapi menurun. 6. Beberapa penyebab kegagalan kebijakan dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci. Perumusan program hanya terbatas pada judul dan sasaran tetapi tidak jelas bagaimana sasaran hendak dicapai. b. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat nasional (top down) dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai. c. Strategi implementasi program disama ratakan, tidak memperlakukan wilayah unggulan, tetapi berorientasi pada komoditas unggulan. Akibatnya program menyebar dalam ukuran yang sangat kecil. d. Implementasi program-progam tidak dilaksanakan dengan suatu metoda yang memungkinkan evaluasi dampak program itu apakah berhasil atau tidak. Program-program itu tidak bisa disesuaikan. 7. Beberapa penyebab kegagalan program a. Program Peningkatan Produktivitas. Peningkatan produktivitas dicerminkan oleh peningkatan berat badan sapi sehingga produksi daging yang dihasilkannya pada umur yang sama lebih banyak. Hal lain adalah meningkatkan angka kelahiran ternak. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen dan mutu ternak. Kedua cara ini tidak mungkin diterapkan dalam beberapa tahun karena peningkatan produktivitas pada umumnya diharapkan dari turunan sapi berikutnya. Peningkatan produktivitas ternak tidak dapat dilakukan seperti menggantikan varietas padi yang lama dengan yang baru. Tanaman padi hanya berumur tiga bulan dan dapat diimusnahkan dengan demikian sangat mudah melaksanakan sistem all in all out. b. Program peningkatan populasi dapat dilakukan dengan meningkatkan angka kelahiran dan impor ternak. Salah satu cara adalah meningkatkan angka kelahiran melalui penggendalian pemotongan sapi betina. Peningkatan angka kelahiran itu sendiri dilakukan dengan meningkatkan jumlah kebuntingan baik vertikal maupun horizontal. Pengendalian pemotongan betina tidak mungkin dilakukan karena peternak rakyat relatif miskin, penjualan ternak merupakan sumber penghasilan. Pencegahan pemotongan hanya dapat dilakukan jika ada yang membeli untuk dipelihara lagi dan itu hanya mungkin oleh pemerintah. c. Pelaksanaan peningkatan angka kebuntingan dan produktivitas pada umumnya melalui IB, namun jumlah IB sangat terbatas dan manajemen IB itu 2
sendiri tidak jelas. Praktis jika program pemerintah tidak tepat dan tidak baik secara konsep dan operasional maka program itu tidak banyak mempunyai arti bagi mencapai sasaran peningkatan produksi. Evaluasi Dampak Impor Sapi Bakalan (Tujuan 2) 8. Impor sapi bakalan ternyata memberikan dampak negatif terhadap usaha penggemukan sapi domestik, terutama peternak rakyat dan perusahan peternakan serta pedagang antar pulau. Hal ini diperlihatkan oleh berbaga hal sebagai berikut: a. Sebagian besar perusahaan perdagangan ternak antar pulau di wilayah sentra produksi (WSP) terpaksa tidak aktif lagi memasarkan ternak hidup ke wilayah sentra konsumsi, Jabar dan DKI (WSK) b. Peternak rakyat di wilayah WSP tidak dapat memasarkan ternaknya karena ditolak oleh para pedagang antar pulau sekalipun dengan harga yang lebih murah c. Jumlah pemotongan sapi domestik di berbagai kota konsumsi di daerah penelitian hampr seluruhnya memperlihatkan penurunan. Artinya penawaran daging asal sapi domestik semakin menurun dan digantikan oleh sapi impor dan mungkin juga impor daging ilegal. d. Perdagangan ternak antar pulau dan antar propinsi WSP dan WSK menurun dalam empat tahun terakhir. 9. Namun demikian peningkatan impor sapi bakalan telah membantu menurunkan angka pengurasan. Dengan impor sapi sebanyak 400 ribu per tahun ternyata hanya membantu mengurangi pengurasan sapi domestik. Jika jumlah impor mencapai 1 juta ekor, maka kemungkinan besar akan terjadi pemulihan sapi-sapi domestik yang dapat berlangsung 5 tahun. Namun demikian pada tingkat impor 400 ribu ekor telah memberikan dampak negatif terhadap perusahaan dan peternakan sapi potong rakyat dalam negeri. Evaluasi Model Pengembangan Penggemukan Ternak Sapi Berbasis Tanaman Pangan (Tujua 3) 10. Program pengembangan penggemukan ternak sapi berbasis tanaman pangan ini merupakan program Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) pada intinya merupakan upaya peningkatan produksi daging ternak potong sekaligus upaya peningkatan produksi pangan melalui kegiatan pemeliharaan sapi pada daerah Zona agroekosistem lahan tanaman pangan beririgasi. Dasar program ini adalah kegiatan produksi pertanian tanaman pangan dan ternak dengan dasar "zero Waste". Integrasi ini diharapkan dapat menghemat pakan ternak dan pupuk lahan sehingga produksi ternak dan padi misalnya sangat murah dan dapat menigkatkan pendapatan petani. Tujuan akhir adalah peningkatan populasi dan produktivitas ternak. Realisasi proyek sampai tahun 2003 adalah 2000 ekor di seluruh propinsi. 11. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa pada dasarnya proyek SIPT ini berukuran relatif sangat kecil untuk dijadikan program peningkatan populasi dan produktivitas ternak. Program ini lebih cocok untuk tujuan peningkatan pendapatan petani padi (bukan peternak). Selain itu, proyek ini dilihat dari 3
pencapaian sasaran peningkatan populasi dan produktivitas bahkan sebagai sumber pendapatan banyak bermasalah dan dapat dikatakan gagal. 12. Beberapa penyebab kegagalan CLS adalah (a) Program dilaksanakan tidak fokus pada propinsi pusat produsen tetapi menyebar bahkan didaerah yang tidak dapat membantu suplai ternak ke DKI dan Jabar. (b) Program bersifat umum tidak membedakan lokasi spesifik. (c) Sasaran program adalah petani atau peternak rakyat, tradisonal dan sebagainya. (d) Penerapan program tidak metodalogis, tidak jelas mengapa program di seluruh propinsi, mengapa lokasi di sana, tidak ada pertimbangan yang jelas. Dibandingkan dengan kebutuhan tambahan ternak sebanyak 400.000 sampai 1 juta ekor per tahun, maka apa yang dapat disumbangkan oleh program ini sangat jauh. Implikasi Kebijakan 13. Kebijakan Tidak Lagi Fokus Pada Usaha Rakyat. Pembangunan peternakan masa mendatang haruslah menggunakan pendekatan industri sapi potong. Dengan kata lain pemerintah harus meninggalkan cara-cara lama dalam pengembangan peternakan, seperti strategi dan program yang difokuskan pada usaha sapi potong rakyat. Ada dua cara yang saat ini dapat segera dilakukan yakni pertama pemerintah memfokuskan program-program pembangunan peternakan untuk meningkatkan kemampuan usaha ternak skala kecil (bukan usaha rakyat) yang bersifat komersil hingga skala menengah. Program-program pemerintah hampir diseluruh Indonesia fokus pada pembangunan usaha rakyat. Untuk itu, pemerintah di wilayah otonom (Kabupaten) diharapkan melakuan pendataan tentang keberadaan usaha penggemukan skala kecil dan skala menengah ini. Langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan pembangunan peternakan komersil di wiayahnya masing-masing. Secara nasional, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang kondusif seperti penyediaan pelayanan investasi yang cukup, memberikan porsi perhatian yang tinggi terhadap pembangunan peternakan. 14. Investasi Pembibitan dalam Bentuk BUMN. Masalah pembibit untuk menghasilkan sapi bakalan tidak menarik investor karena ada cara yang lebih mudah yakni dengan mengimpor sapi bakalan. Sementara pembibitan yang dilakukan oleh peternakan rakyat mempunyai skala yang sangat kecil sehingga sulit diharapkan berkembang menjadi perusahaan pembibitan. Selain itu investasi untuk pembibitan membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif besar sementara resikonya tinggi. Atas dasar itu, untuk tujuan melestarikan dan mengembangkan potensi yang ada maka sebaiknya investasi usaha pembibitan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk BUMN atau pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta. Strategi ini diharapkan dapat mendorong investor lain di masa datang untuk mengembangkan pengembangan usaha pembibitan khususnya sapi Bali dan Madura. Sementara itu, usaha-usaha pembibitan yang ada saat ini harus dibina dan dikembangkan terutama usaha-usaha pembibitan yang berskala menengah. Meningkatkan kemampuan perusahan pembibit skala menengah ini dapat menjadi cikal bakal perusahaan pembibitan di masa datang paling tidak dapat membantu pengadaan sapi bakalan untuk kebutuhan di WSP. 4
15. Kebijakan Impor Sapi Bakalan. Kebijakan impor sapi bakalan ternyata telah mulai memberikan dampak negatif bagi produksi dalam negeri. Namun demikian sisi positif dari impor sapi bakalan ini adalah pertama mengurangi pengurasan ternak di wilayah WSP dan pada sisi lain kebutuhan daging terpenuhi di WSK sehingga inflasi dapat ditekan. Oleh karena itu jumlah impor sapi bakalan harus mempertimbangkan tingkat pengurasan dan tingkat kemampuan produksi dalam negeri. Jumlah impr sapi bakalan pada angka lebih dari angka 400 ribu ekor di duga telah dapat mencegah pengurasan di WSP tetapi jumlah itu telah memberikan dampak terhadap banyak perusahaan perdagangan ternak antar pulau yang terpaksa harus menutup usahanya. Untuk menjawab berapa jumlah impor yang layak dari tahun ke tahun penelitian tentang suplai dan permintaan dalam negeri terutama untuk WSP dan WSK untuk mendapatkan angka parameter yang lebih akurat. 16. Perdagangan Karkas Menggantikan Perdagangan Ternak Hidup. Pada masa datang perdagangan ternak hidup di dalam negeri mungkin tidak layak lagi. Perdagangan ternak hidup tidak lagi menguntungkan karena terlalu banyak retribusi dan pungutan selama perjalanan dan resiko yang besar selama dalam perjalanan. Untuk meningkatkan efisiensi dalam perdagagan ternak, maka adalah layak bagi pemerintah menyediakan RPH yang modern di WSP. Pembangunan RPH modern yang telah dilakukan pemerintah diberbagai propinsi ternyata tidak berjalan. Oleh karena itu untuk antisipasi masa depan, paling tidak RPH modern yang ada di WSP harus kembali dihidupkan untuk tujuan melayani pasar daging khususnya di WSK. 17. Rekomendasi Bagi Pengembangan Proyek Usaha Penggemukan Berbasis Tanaman Pangan. Pertama implementasi program untuk masa datang harus melibatkan daerah dan khususnya para penerima proyek. Pemerintah sebaiknya meninggalkan pendekatan top down yang menganggap semua daerah penerima proyek adalah sama dan menggantikannya dengan pendekatan partisipatif. Selain itu program-program harus difokuskan pada WSP dan jumlahnya harus diperbesar sampai pada suatu ukuran yang dapat menjawab masalah produktivitas, populasi dan pendapatan peternak pada tingkat proyek. Jenis program untuk tujuan yang sama tidak perlu berbentuk sama, apalagi kalau program seperti CLS yang sangat tergantung akan keberadaan lahan pertanian yang mungkin tidak sesuai untuk wilayah-wilayah seperti NTT dan NTB. 18. Rekomendasi Arah Bentuk Struktur Industri Sapi Potong. Peran usaha rakyat dalam produksi daging nasional secara bertahap akan terus menurun. Oleh karena itu, struktur industri harus dikembangkan diluar usaha rakyat dan tradisional saat ini. Usaha rakyat yang ada sekarang ini dapat dijadikan bumper untuk membangun insdustri peternakan dari skala kecil hingga mengalami pertumbuhan dalam jangka panjang. Hal yang perlu dilakukan untuk menggeser struktur produksi dari yang ada sekarang adalah peluang investasi yang lebih besar untuk usaha sapi potong dan menggerakan investasi untuk pengadaan pakan hijauan bagi penyelamatan industri sapi potong rakyat yang ada sekarang. Dengan menjadikan usaha rakyat yang ada sekarang menjadi bumper, maka industri peternakan modern dapat dimulai dengan segera tanpa harus kuatir menunggu produksi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. 5