BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Menurut Eisenhardt dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. penelitian ini sebagai berikut: Ulfah (2013) dan Sumomba (2012) melakukan

MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (principal) dengan manajemen (agent). Teori ini menjelaskan bahwa hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Keagenan (Agency Theory) Teori ini menyebutkan bahwa perusahaan adalah tempat atau intersection

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dikeluarkan untuk membiayai sumber pendanaan (source

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi yang diberikan, maka tidak terlepas bahwa pajak memiliki peran

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

ACCOUNTING FOR INCOME TAX

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. keuangan oleh manajemen bertujuan untuk

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. pajak ini dikenakan atas laba kena pajak perusahaan. diperolehnya dalam tahun pajak.

BAB II TELAAH PUSTAKA. dikenakan atas laba kena pajak perusahaan. yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.

BAB I PENDAHULUAN. sarana atau alat komunikasi perusahaan dengan pihak-pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan. Informasi laba haruslah menggambarkan keadaan. laba untuk memaksimalkan kepuasan mereka sendiri.

AKUNTANSI PERPAJAKAN. PSAK 46 : Standar Akuntansi atas PPh

PPh terutang, Pajak penghasilan yang dihitung berbasis penghasilan kena pajak yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah, Beban Pajak Penghasilan Paj

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyusunan laporan keuangan oleh manajemen bertujuan untuk. menyampaikan informasi mengenai kondisi keuangan dan ukuran kinerja

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Laporan keuangan merupakan sarana yang digunakan untuk menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kebijakan akuntansi oleh manajer dan bagaimana manajer akan merespon

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan lain. Untuk dapat melakukan aktivitasnya dan dapat bersaing dengan

MENYIKAPI PERBEDAAN LABA MENURUT PSAK DAN FISKAL : PERLUKAH DIBUAT PEMBUKUAN GANDA?

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat tersebut, suatu perusahaan harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. terutang dan yang telah dibayar sebagai mana telah ditentukan dalam

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPTOTESIS PENELITIAN. Teori adalah kumpulan dari konsep, definisi, dan proposisi-proposisi yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan dunia bisnis dan usaha, informasi akuntansi

BAB II TELAAH PUSTAKA. Jendral Pajak dalam perhitungan laba fiskal. lebih lanjut oleh PSAK 46 (2002:4), yaitu:

PENERAPAN PSAK NO. 46 TENTANG AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN TERHADAP KOREKSI FISKAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dalam suatu perusahaan, laporan keuangan disusun oleh pihak manajemen

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Perusahaan menyediakan informasimengenai laba sehingga dapat

BAB I PENDAHULUAN. orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Ni Putu Lestari dan I.G.A.M Asri Dwija Putri (2015)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dilaporkan melalui laporan laba rugi (Income Statement) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi negara untuk

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar belakang masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, agraria, maritim yang mencoba untuk bangkit dari krisis

BAB II LANDASAN TEORI

b) transaksi-transaksi atau kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan perusahaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dengan Laporan. Keuangan Fiskal (Book Tax Differences)

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori keagenan muncul ketika pemilik perusahaan (principal) tidak mampu

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. manajer dalam memilih kebijakan akuntansi yang mempengaruhi laba untuk

ANALISIS PENERAPAN AKUNTANSI PAJAK TANGGUHAN PADA LAPORAN KEUANGAN PT BUMI SARANA UTAMA. Dahniyar Daud *)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian adalah mengenai book tax differences. Book tax differences

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini Pajak Tangguhan deferred tax sudah tidak asing lagi bagi

BAB I PENDAHULUAN. (UU KUP) Nomor 16 Tahun 2009 pasal 28 (1) diatur bahwa Wajib Pajak (WP)

BAB I PENDAHULUAN. laba dan komponennya. Laba dapat menggambarkan kinerja perusahaan selama

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan timbulnya istilah beban pajak tangguhan. Oleh karena itu manajer

RINGKASAN MATERI KULIAH EARNING MANAGEMENT

Pendahuluan. Definisi Pajak Kini dan Pajak Tangguhan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki kewajiban dalam melaporkan pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. pemakai laporan keuangan lainnya, Statement of Financial Accounting Concept (SFAC)

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Pengakuan, Pengukuran, dan Penyajian Pajak Tangguhan. beserta Akun-akun Lainnya pada Laporan Keuangan PT UG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan akan berupaya untuk menunjukkan kinerja yang baik. Kinerja suatu

BAB I. atau prestasi yang telah dicapai oleh suatu perusahaan selama kurun waktu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Bab 2 Telaah Pustaka dan Pengembangan Model

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pasca adopsi penuh International Financial Reporting Standards (IFRS) di tahun

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kepentingan berbagai pihak yang menggunakannya. Pengguna

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktik manajemen laba sudah menjadi kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia maupun di luar

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. antara pihak agent dengan pihak principal. Jensen dan Meckling (1976)

ANALISIS PENERAPAN PSAK NO.46 PADA LAPORAN KEUANGAN PT. ALYA CITRA SEMPURNA PALEMBANG.

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori agensi menggambarkan hubungan kontrak kerjasama antara

BAB II TELAAH PUSTAKA. dukungan yang diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu informasi yang dilaporkan dalam laporan keuangan

PERENCANAAN PAJAK (S1 AK ALIH JENIS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. individu, sosiasi atau organisasi bisnis yang terdiri dari neraca, laba rugi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II BEBAN PAJAK TANGGUHAN, PERENCANAAN PAJAK DAN MANAJEMEN LABA. kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang, sedangkan PPh yang

PEMBUATAN NERACA FISKAL (PSAK No. 46) BERDASARKAN LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL (Studi Kasus Pada PT Razaaqi Selaras Persada Jakarta)

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pajak merasakan manfaat dari pajak secara langsung, Karena pajak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II. secara umum adalah selisih antara pendapatan dan biaya-biayanya dalam. ukur) yang digunakan untuk melihat dan menilai kinerja ekonomi serta

BAB I PENDAHULUAN. yang akan diberikan oleh perusahaan kepada pihak manajemen sebagai pengelola

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Dalam kajian pustaka dan hipotesis akan dijelaskan mengenai Teori-teori yang

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan go public pada Bursa Efek

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan bagi perusahaan, pajak merupakan biaya dan juga pengeluaran yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian-penelitian terdahulu. Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. administratif dan diharapkan akan digunakan lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti kaidah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) agar dapat

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan diuraikan beberapa penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perusahaan dihadapkan dengan persaingan yang keras

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman menghadapkan perusahaan dengan persaingan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Agensi Teori agensi merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Menurut Eisenhardt dalam Harmono (2014 : 3), menyatakan bahwa, Teori keagenan dapat menjelaskan kesenjangan antara manajemen sebagai agent dan para pemegang saham sebagai principal. Dalam hal ini, principal yang mendelegasi pekerjaan kepada pihak lain sebagai agent untuk melaksanakan pekerjaan. Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Adanya perbedaan kepentingan dan informasi antara prinsipal dan agen, sehingga memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi yang dihasilkan dapat lebih memaksimalkan kepentingannya. Cara yang dapat dilakukan agen untuk mempengaruhi angka-angka akuntansi dapat berupa rekayasa laba atau manajemen laba dalam laporan keuangan. 8

2.1.2 Manajemen Laba Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan yang dianggap paling penting, karena informasi tersebut secara umum dipandang sebagai representasi kinerja manajemen pada periode tertentu. Menurut Ahmed dan Belkaoui (2000) dalam Handayani dan Rachadi (2009) menyatakan bahwa Informasi laba penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan, dengan alasan, yaitu: 1. Laba menjadi dasar bagi perusahaan dalam menentukan kebijakan deviden. 2. Laba merupakan dasar dalam memperhitungkan kewajiban perpajakan perusahaan. 3. Laba dipandang sebagai petunjuk dalam menentukan arah investasi dan pembuat keputusan ekonomi. 4. Laba diyakini sebagai sarana prediksi yang membantu dalam memprediksi laba dan kejadian ekonomi di masa mendatang. 5. Laba dijadikan pedoman dalam mengukur kinerja manajemen. Menurut Harahap (2007) memberikan definisi manajemen laba (earnings management) sebagai disclosure management dalam pengertian bahwa: manajemen melakukan intervensi terhadap proses pelaporan keuangan kepada pihak ekstern dengan maksud untuk memperoleh kepentingan pribadi. Scott (2000) juga menambahkan bahwa pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara: a. Taking a Bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. 9

Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang. Strategi seperti ini dilakukan seolah-olah manajer baru melakukan kebijakan yang agresif pada perusahaan yang mengalami kerugian tersebut. Teknik taking a bath dilakukan dengan mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian pada periode berjalan. Sehingga manajemen menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang. Akibatnya laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya. b. Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c. Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang. d. Income Smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif 10

stabil. Dalam fluktuasi ekonomi yang tidak menentu mendorong manajemen perusahaan untuk bekerja lebih efektif dan efisien agar perusahaan mampu menjaga kestabilan aktivitas operasinya sekaligus meningkatkan kinerja manajemen untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi perusahaan. Sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan dari luar, yaitu masyarakat dan para investor. Apabila dikaitkan dengan keberadaan perusahaan di bursa saham, maka dalam situasi perekonomian yang tidak menentu manajemen melakukan manajemen laba dengan teknik income smoothing dengan motivasi utama yaitu selain untuk mendorong investor membeli saham perusahaan juga untuk meningkatkan nilai pasar saham. Dengan demikian jelas terlihat bahwa tindakan tersebut sangat dibutuhkan oleh manajemen dalam rangka menambah firm value dan going concern perusahaan melalui berbagai teknik yang dilakukan seperti perubahan metode akuntansi yang digunakan penentuan estimasi piutang tak tertagih, peninjauan kembali nilai residu penyusutan dan lain sebagainya. Menurut Gerald dan Jensen (2001) bahwa earnings management (manajemen laba) memiliki cakupan yang lebih luas daripada income smoothing (perataan laba), karena manajemen percaya bahwa reaksi pasar didasarkan pada pengungkapan informasi akuntansi sehingga perilaku laba merupakan aspek penentuan resiko pasar entitas usaha. 11

Menurut Watt and Zimmerman dalam Suryani (2010) menyebutkan 3 (tiga) hal yang melatarbelakangi terjadinya praktik manajemen laba, antara lain: 1. Bonus Plan Hypothesis Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya, yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba, lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. 2. Debt Covenant Hypothesis Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit, cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. 3. Political Cost Hypothesis Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya menaikkan pajak pendapatan perusahaan. Walaupun menggunakan definisi yang berbeda-beda, namun inti dari definisi-definisi tersebut menyebutkan bahwa manajemen laba merupakan upaya manajemen secara sengaja untuk mempengaruhi laporan keuangan dengan cara menaikkan atau menurunkan laba untuk tujuan memenuhi kepentingannya sehingga informasi di dalam laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya dan pada akhirnya menyesatkan pemakai informasi tersebut. 2.1.3 Pajak Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ke-empat atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku pada 12

tanggal 1 Januari 2008, pengertian pajak telah didefinisikan pada pasal 1 angka (1) sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2013 : 1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi inividual oleh pemerintah. 13

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2.1.4 Koreksi Fiskal Menurut Muljono dan Wicaksono (2009 : 105), koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal. Menurut IAI (2009), laba akuntansi adalah laba bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak yang dihitung berdasarkan prisnsip akuntansi yang berlaku umum, sedangkan laba fiskal (taxable profit) adalah laba selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan. Koreksi fiskal harus dilakukan oleh Wajib Pajak ketika menghitung besarnya PPH terutang pada akhir tahun. Apabila koreksi fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh terutang sangat dimungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak ketentuan pengakuan atau cara perhitungan pada akuntansi komersial yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan. Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa: 14

1. Beda Tetap (Permanent Difference) menurut Agoes dan Trisnawati (2010 : 218) menyatakan bahwa: Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan pajak, yaitu adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba rugi menurut akuntansi (pre tax income) berbeda secara tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal (taxable income). Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan Penghasilan Kena Pajak: a. Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh). b. Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh). c. Pengeluaran yang tak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran (Pasal 9 ayat UU PPh). d. Biaya yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final. e. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura. 15

f. Sanksi perpajakan. 2. Beda Sementara (Temporary Difference) Sesuai namanya, beda waktu merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi setiap tahunnya. Menurut Waluyo (2012 : 271), perbedaan temporer adalah perbedaan antara dasar pengenaan pajak (tax base) dari suatu asset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada asset dan kewajiban yang berakibat pada perubahan laba fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi/dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat harus diakuinya aset dan/atau kewajiban pajak tangguhan. Beda temporer biasanya timbul karena perbedaan metode yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal: 1. Penyisihan Akrual dan Realisasi Pembentukan penyisihan atas piutang tak tertagih (cadangan piutang) dibebankan sebagai biaya untuk tujuan akuntansi, sedangkan untuk tujuan fiskal baru diakui pada saat piutang 16

benar-benar dihapuskan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam metode penghapusan piutang, dimana ketentuan perpjakan secara umum hanya mengakui metode langsung (direct method). 2. Penyusutan Aset Tetap Metode penyusutan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 UU Pajak Penghasilan: a. Metode garis lurus atau metode saldo menurun untuk aset tetap berwujud bukan bangunan. b. Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa bangunan. 3. Revaluasi Aset Tetap Menurut Waluyo (2010 : 120), revaluasi aset tetap adalah suatu penilaian kembali atas aset tetap yang dimiliki perusahaan sehingga sesuai dengan harga pasar saat diberlakukannya revaluasi tersebut. Pengakuan suatu aset mengandung makna bahwa nilai tercatat aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode mendatang. Apabila nilai tercatat aset lebih besar daripada DPP-nya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal. 17

Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan kewajiban pajak penghasilan pada periode mendatang merupakan kewajiban pajak tangguhan. Pada saat perusahaan memulihkan (recover) nilai tercatat aset, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak. Oleh karena itu, Pernyataan ini menghendaki pengakuan semua kewajiban pajak tangguhan, kecuali pada kondisi tertentu. Perbedan nilai aset tetap antara akuntansi dan pajak akan dipertanggungjawabkan secara akuntansi sesuai ketentuan PSAK 46 sebagai pajak tangguhan. Dalam rangka tahun pembinaan pada tahun 2015 telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Perlakuan khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah terkait dengan pengenaan tarif yang lebih kecil dari seharusnya (10%). Perlakuan khusus tarif tersebut adalah sebagai berikut : a. 3% (tiga persen), untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015; b. 4% (empat persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 18

1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau c. 6% (enam persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 Secara formal, tujuan kebijakan khusus ini adalah: a. menjaga stabilitas ekonomi makro b. mendorong pertumbuhan ekonomi Karena khusus, maka Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015 tidak mencabut atau mengubah Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008. Jadi, setelah 2016 ketentuan tentang PPh atas revaluasi kembali lagi ke Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 dan tarif yang dikenakan 10%. Namun dalam penelitian, penulis menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 karena data penelitian berlangsung pada periode 2011-2014. 4. Penilaian Persediaan. Menurut Pasal 10 ayat (6) Undang-undang Pajak Penghasilan, persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Dengan demikian, hanya terdapat dua metode penilaian persediaan yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak, yaitu 19

metode rata-rata (average method) dan metode Fisrt In First Out (FIFO). Hal ini berbeda dengan prinsip akuntansi yang menganut tiga metode penilaian persediaan yaitu metode LIFO, FIFO, dan average. Wajib Pajak harus memilih salah satu metode tersebut dan dilakukan secara konsisten. Perubahan atas metode penilaian persediaan harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. 5. Kompensasi Kerugian Fiskal. Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terkahir dengan Undang undang nomor 36 tahun 2008 menyebutkan : Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Kompensasi kerugian berpengaruh pada Penghasilan Kena Pajak di masa yang akan datang, dan efek pajaknya akibat dari kompensasi kerugian adalah menghematan pada di masa yang akan datang (future tax saving). Realisasi keuntungan pajak dimasa yang akan datang tergantung pada Penghasilan Kena pajak di masa yang akan datang tersebut yang sulit 20

diramalkan dan tidak pasti. Keuntungan pajak akibat kompensasi rugi diakui sebagai aset pajak tangguhan dalam hal kompensasi pajak tangguhan tersebut dapat dikompensasi dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak pada masa mendatang. Keuntungan pajak dihitung dengan mengalikan jumlah yang dapat dikompensasi tersebut dengan tarif pajak yang akan berlaku pada periode kompensasi terjadi. Pada saat aset pajak tangguhan tersebut dicatat, beban pajaknya pun akan berkurang. Pada tahuntahun berikutnya, pada saat penghasilan terealisasi, aset pajak tangguhan pun akan berkurang. Keuntungan pajak karena kompensasi kerugian tidak akan terealisasi apabila tidak terdapat Penghasilan Kena pajak yang memadai untuk menutupi kerugian tersebut. Dalam PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi. 2.1.5 Pajak Tangguhan Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian 21

fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu. Dampak PPh di masa yang akan datang tersebut perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang. Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya. PSAK No.46 : Pajak Penghasilan mengatur bagaimana entitas menyajikan dan mengungkapkan kewajiban pajak penghasilan entitas. Peraturan pajak dan standar akuntansi memiliki perbedaan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan beban yang dapat memunculkan aset atau liabilitas pajak tangguhan yang harus diungkapkan dan disajikan dalam laporan keuangan. Intisari PSAK No.46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Mengatur perlakuan Akuntansi PPh, dimana masalah utama adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekwensi pajak pada periode berjalan dan periode mendatang yang berkaitan 22

dengan perbedaan temporer. b. Dalam akuntansi PPh, agar dilakukan pengakuan terhadap future tax effect yg timbul sebagai akibat adanya transaksi dan peristiwa lain yg telah diakui dalam laporan keuangan dan SPT. Disamping itu, agar dilakukan pengakuan terhadap future tax effect dari kompensasi kerugian fiskal yang belum digunakan apabila persyaratan tertentu dipenuhi. c. Pengakuan future tax effect diakui dengan mengakui adanya aktiva pajak tangguhan (deffered tax assets) dan kewajiban pajak tangguhan (deferred tax labilities). Pengakuan pajak tangguhan dalam PSAK No.46 dilakukan dengan menggunakan Balance Sheet Liability Method. d. Pengakuan aktiva atau kewajiban pada laporan keuangan, secara tersirat, berarti bahwa perusahaan pelapor akan dapat memulihkan nilai tercatat aktiva tersebut atau akan melunasi nilai tercatat kewajiban tersebut dalam periode mendatang. Pemulihan nilai tercatat aktiva pajak tangguhan akan mengakibatkan perusahaan pelapor membayar pajak lebih kecil di periode mendatang dan pemulihan nilai tercatat kewajiban pajak tangguhan akan mengakibatkan perusahaan pelapor membayar pajak lebih besar di periode mendatang. e. Mengatur tentang penyajian Pajak Penghasilan pada Laporan Keuangan serta pengungkapan Informasi yang relevan. 23

Menurut Waluyo (2012 : 273), pajak tangguhan sebagai jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dari sisa kerugian yang dapat di kompensasikan. 2.1.5.1 Metode Penangguhan Pajak Penghasilan Pengakuan pajak tangguhan dalam PSAK No.46 dilakukan dengan menggunakan Balance Sheet Liability Method (Metode Aktiva-Kewajiban). Metode ini menggunakan pendekatan neraca (balance sheet approach) yang menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan dan memprediksikan aliran kas pada masa yang akan datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan temporer dan perbedaan non temporer. Pada metode ini terjadi pengakuan pajak tangguhan (deferred tax) atas konsekuensi pajak di masa mendatang berupa aset (kewajiban) pajak tangguhan yang harus dilaporkan di neraca. Beban pajak tangguhan dilaporkan di laba rugi bagian taksiran PPh sebagai komponen pajak tangguhan, sedangkan penghasilan pajak tangguhan harus dilaporkan di laba rugi sebagai komponen 24

negatif dari beban pajak tangguhan. Menurut Zain (2007 : 194) Kewajiban pajak tangguhan maupun aset pajak tangguhan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Apabila penghasilan sebelum pajak-psp (Pretax Accounting Income) lebih besar dari penghasilan kena pajak-pkp (taxable income), maka beban pajak BP (Tax Expense) pun akan lebih besar dari pajak terutang-pt (Tax Payable), sehingga akan menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Taxes Liability). Kewajiban pajak tangguhan dapat dihitung dengan mengalikan perbedaan temporer dengan tarif pajak yang berlaku. 2. Sebaliknya apabila penghasilan sebelum pajak (PSP) lebih kecil dari penghasilan kena pajak (PKP), maka beban pajak (BP) juga lebih kecil dari pajak terutang (PT), sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets). Aktiva pajak tangguhan adalah sama dengan perbedaan temporer dengan tarif pajak pada saat perbedaan tersebut terpulihkan. Penghasilan Kena Pajak (PKP-Taxable Income) dihitung berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundangundangan Perpajakan, sedangkan Penghasilan Sebelum Pajak 25

(PSP-Accounting Income atau Pretax Book Income) dihitung berdasarkan standar yang disusun oleh profesi yang dikenal sebagai Standar Akuntansi keuangan (SAK). Oleh karena basis pengenaan penghasilan untuk keperluan perhitungan Pajak Penghasilan berbeda dengan basis penghitungan penghasilan untuk keperluan komersial, atau dengan perkataan lain, akibat dari perbedaan penghasilan dan biaya, maka akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara keddua basis tersebut. Pajak Penghasilan yang dihitung berbasis pada Penghasilan Kena Pajak yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang- Income Tax Payable atau Income Tax Liability, sedangkan Pajak Penghasilan yang dihitung berbasis Penghasilan Sebelum Pajak, disebut sebagai Beban Pajak Penghasilan- Income Tax Expense. 2.1.5.2 Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan berikut ini : 1. Pengakuan (recognition) yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss carry forward (TLCF) atau kompensasi rugi harus diakui 26

dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat aset pajak tangguhan atau deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat dalam kewajiban pajak tangguhan atau deferred tax liability (DTL) tersebut. Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan aset pajak tangguhan yang timbul dari kompensasi rugi akan terpulihkan bila perusahaan menggunakan kompensasi rugi tersebut pada tahun di mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila kompensasi rugi tersebut tidak terpakai dan menjadi hangus, maka aset pajak tangguhan yang timbul harus disesuaikan. 2. Pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Pajak tangguhan dapat dihitung dengan cara mengalikan beda waktu yang terjadi dengan tarif pajak yang berlaku pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi. Tarif yang digunakan adalah tarif tunggal yaitu 25%, walaupun 27

tarif sebenarnya dilihat dari jenis Badan Hukum dan Omsetnya. 3. Penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam neraca ataupun laba rugi. Aset pajak tangguhan (DTA) atau kewajiban pajak tangguhan (DTL) harus disajikan secara terpisah dari aktiva atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca. Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan keuangan. 4. Pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsurunsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya. Aset Pajak Tangguhan dapat disamakan seperti lebih bayar pajak yang akan digantikan di masa yang akan datang pada saat pemulihan perbedaan temporer. Sementara itu Kewajiban Pajak Tangguhan dapat disamakan seperti kurang bayar pajak yang akan dibayar di masa yang akan datang pada saat pemulihan perbedaan temporer. Kenaikan neto aktiva 28

pajak tangguhan menyebabkan pengurangan beban pajak perusahaan sedangkan sebaliknya kenaikan neto kewajiban pajak tangguhan menyebabkan kenaikan beban pajak perusahaan. Beban pajak menurut pembukuan dapat dihitung sebagai berikut: Pajak Penghasilan Terutang Rp XXX Kenaikan neto kewajiban pajak tangguhan Rp XXX (+) Kenaikan neto aset pajak tangguhan Rp XXX (-) Beban pajak menurut pembukuan Rp XXX Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan terjadi akibat perbedaan temporer antara pembukuan dan pajak sedangkan perbedaan permanen antara pembukuan dan pajak tidak mempunyai efek, baik terhadap perhitungan beban pajak menurut pembukuan maupun terhadap perhitungan pajak terutang. Oleh karena perbedaan permanen tidak menghasilkan pajak tangguhan. 2.1.6 Aset Pajak Tangguhan PSAK yang khusus mengatur tentang akuntansi pajak tangguhan adalah PSAK No. 46 yang menjelaskan bahwa: Aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer (temporary differences) yang boleh dikurangkan 29

dan sisa kompensasi kerugian (berasal dari koreksi positif). Aset pajak tangguhan adalah aktiva yang terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakhibat beban pajak menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut Undang-Undang Pajak dalam Waluyo (2012 : 273). Aset pajak tangguhan disebabkan jumlah pajak penghasilan terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Besarnya aset pajak tangguhan dicatat apabila dimungkinkan adanya realisasi manfaat pajak di masa yang akan datang. 2.1.7 Beban Pajak Tangguhan Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Suandy (2008 : 91) mengungkapkan bahwa apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban. Sebagai contoh apabila beban penyusutan aset tetap yang diakui secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan aset tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode penyusutan aktiva tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan 30

pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa yang akan datang. Dengan demikian selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan timbul apabila beda waktu menyebabkan terjadinya koreksi negatif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih besar daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan dalam Agoes dan Trisnawati (2010 : 245). Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (yaitu laba dalam laporan keuangan untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak). Perbedaan antara laporan keuangan akuntansi dan fiskal disebabkan dalam penyusunan laporan keuangan, standar akuntansi lebih memberikan keleluasaan bagi manajemen dalam menentukan prinsip dan asumsi akuntansi dibandingkan yang diperbolehkan menurut peraturan pajak. 2.2 Hubungan Antara Variabel Dependen dengan Variabel Independen Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjelaskan tentang adanya keterkaitan antara variabel dependen dengan variabel independen. 2.2.1 Hubungan Aset Pajak Tangguhan dengan Manajemen Laba Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009), nilai tercatat aset pajak tangguhan harus ditinjau kembali pada tanggal neraca. 31

Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat apabila laba fiskal tidak mungkin memadai untuk mengkompensasi sebagian atau semua aset pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai. Dengan adanya kewajiban untuk melakukan peninjauan kembali pada tanggal neraca, maka setiap tahun manajemen harus membuat suatu penilaian untuk menetukan saldo aset pajak tangguhan dan pencadangan aset pajak tangguhan, sedangkan penilaian manajemen untuk menentukan saldo cadangan aset pajak tangguhan tersebut bersifat subjektif. Dengan diberlakukannya PSAK No.46 yang mensyaratkan para manajer untuk mengakui dan menilai kembali aset pajak tangguhan yang dapat disebut pencadangan nilai aset pajak tangguhan. Penilaian manajemen untuk menentukan saldo cadangan aset pajak tangguhan tersebut bersifat subjektif. Hal ini memicu terjadinya manajemen laba karena setiap tahun manajer harus membuat penilaian untuk menentukan apakah akan mencatat atau akan menyesuaikan aset pajak tangguhan dan besarnya penyisihan aset pajak tangguhan. Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen dimotivasi adanya pemberian bonus, beban politis atas besarnya perusahaan dan minimalisasi pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka 32

diekspektasikan adanya peranan antara aset pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan manajemen laba (earnings management). 2.2.2 Hubungan Beban Pajak Tangguhan dengan Manajemen Laba Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memliki hubungan positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti pemberian bonus sehingga dengan adanya hla tersebut maka dimungkinkan manajer dapat melakukan rekayasa laba (earnings management) dengan memperbesar atau memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dengan laporan laba rugi. Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Berdasarkan Philips et al (2003) membuktikan adanya praktik manajemen laba dengan menggunakan beban pajak tangguhan. Penelitian yang dilakukan Yulianti (2005) juga menemukan bukti empiris bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif signifikan dengan probabilitas perusahaan untuk melakukan manajemen laba guna menghindari kerugian perusahaan. Manajemen laba merupakan peluang manajemen untuk merekayasa besarnya beban pajak tangguhan guna menaikkan dan 33

menurunkan tingkat labanya. Beban pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang dibayarkan. Dari penjelasan diatas dapat terjadi rekayasa laba (earnings management) dengan menaikkan atau menurunkan jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan laba rugi. 2.3 Penelitian Terdahulu Adapun penelitian yang sejenis yang sebelumnya telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pajak tangguhan terhadap manajemen laba diantaranya : Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu NAMA PENELITI Frank dkk (2006) Phillips dkk (2003) Suranggane (2007) JUDUL PENELITI Do Managers Use the Valuation Allowance Account to Manage Earnings Around Certain Earnings Targets? Earnings Management: New Evidence Based on Deferred Tax Expense Analisis aktiva pajak tangguhan akrual sebagai prediktor manajemen laba VARIABEL PENELITIAN Variabel independen : Aset Pajak Tangguhan (X 2 ) Variabel dependen : Manajemen Laba (Y) Variabel independen : Beban Pajak Tangguhan (X 1 ), Akrual (X 2 ) Variabel dependen : Manajemen Laba(Y) Variabel independen : Akrual (X 1 ), Aktiva Pajak Tangguhan (X 2 ) Variabel dependen : Manajemen Laba (Y) HASIL PENELITIAN Aset pajak tangguhan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba Beban pajak tangguhan dan akrual berpengaruh secara signifikan dapat mendeteksi manajemen laba. Akrual memiliki hubungan positif terhadap manajemen laba, Aktiva pajak tangguhan memiliki hubungan negatif 34

Ulfah (2012) Pengaruh beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak terhadap praktik manajemen laba Variabel independen : Beban Pajak Tangguhan (X 1 ), Perencanaan Pajak (X 2 ) Variabel dependen : Manajemen Laba(Y) terhadap manajemen laba. Beban pajak tangguhan berpengaruh positif terhadap manajemen laba, perencanaan pajak berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Wiryandari (2008) Yulianti (2005) Hubungan Laba Akuntansi dan Laba Pajak dalam Perilaku Manajemen Laba Kemampuan Beban Pajak Tangguhan Dalam Mendeteksi Manajemen Laba Variabel independen : Beban Pajak Tangguhan (X 1 ), Akrual (X 2 ) Variabel dependen : Manajemen Laba(Y) Variabel Independen: Beban Pajak Tangguhan (X 1 ) Akrual (X 2 ) Variabel Dependen: Manajemen Laba (Y) Beban pajak tangguhan dan akrual secara signifikan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Beban pajak tangguhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba beban pajak tangguhan tidak konsisten dengan metode akrual sebagai proksi manajemen laba. 2.4 Kerangka Konseptual Aset Pajak Tangguhan H 1 (X 1 ) Manajemen Laba (Y) Beban Pajak Tangguhan (X 2 ) H 2 Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 35

Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen dimotivasi adanya pemberian bonus, beban politis atas besarnya perusahaan dan minimalisasi pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka diekspektasikan adanya peranan antara aktiva pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan manajemen laba (earnings management). Semakin besar persentase beban pajak tangguhan terhadap total beban pajak perusahaan menunjukkan standar akuntansi yang semakin liberal, menurut Yulianti (2005 : 118). Dan perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memiliki hubungan positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti pemberian bonus, dengan adanya hal tersebut maka dimungkinkan manajer dapat melakukan manajemen laba dengan memperbesar atau memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui. Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Manajemen laba merupakan peluang bagi manajemen untuk merekayasa besarnya beban pajak tangguhan guna menaikan dan menurunkan tingkat labanya. Beban pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang 36

dibayarkan. 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang sebenarnya masih harus diuji secara empiris. Hipotesis yang dimaksud merupakan dugaan yang mungkin benar atau mengkin salah. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: Aset Pajak Tangguhan dan Beban Pajak Tangguhan diduga berpengaruh terhadap Manajemen Laba. 37