BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hukum internasional seorang kepala negara, perwakilan diplomatik

BAB IV PENUTUP. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; adalah persoalan yang serius dan extraordinary, maka juga perlu

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

Mendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perlindungan dari Kejahatan Penghilangan Paksa Oleh Zainal Abidin (Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM)

TINJAUAN MATA KULIAH...

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi

AKTA TUNTUTAN KESALAHAN

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA

Hukum Pidana Internasional

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

: KRISDIANA KATIANDAGHO

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PEDOMAN PRAKTISI ASEAN

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan. Recovery Act

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Bagian 2: Mandat Komisi

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala negara baik pada pengadilan nasional maupun pengadilan internasional memiliki kendalanya masing-masing. Kendala-kendala penegakan hukum pada pengadilan nasional biasanya lebih kepada praktek-praktek pengadilan sebelumnya serta aturan-aturan hukum nasional yang berlaku dalam negara tersebut. Sedangkan pada pengadilan internasional lebih kepada aturan-aturan yang saling membatasi serta pertimbangan dan keputusan hakim terhadap suatu kasus. Dalam kasus Augusto Pinochet pada House of Lord Inggris, meski telah di tangkap berdasarkan yurisdiksi universal, Pinochet tetap mengklaim bahwa dirinya memiliki imunitas di bawah hukum kebiasaan internasional. Penemuanpenemuan hukum baru yang akhirnya membuat Pinochet dapat diadili dan diputuskan untuk di ekstradisi, meski pada penerapannya putusan tersebut tidak dilaksanakan berhubungan dengan alasan kesehatan yang dia alami. Kasus Pinochet pada House of Lord Inggris merupakan kasus yang berperan penting dalam perkembangan hukum pidana internasional, karena kasus Pinochet merupakan preseden yang hampir selalu di rujuk dan dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada pengadilan nasional dan 177

pengadilan internasional, khususnya jika berhubungan dengan imunitas kepala negara. Lain halnya dengan kasus Robert Mugabe pada U.S District Court. Meski sejak tahun 1976 Amerika Serikat telah mengudangkan Foreign Soverein Immunity Act (FSIA) yang di dalamnya jelas mengatur mengenai batasan imunitas negara, U.S Federal District Court cenderung menggunakan suggestion of immunity dari pemerintahnya sebagai dasar pertimbangan. Putusan bahwa Mugabe memiliki imunitas dibawah hukum internasional yang berarti pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dirinya, mengakibatkan peradilan kasus ini tidak sampai pada pembahasan mengenai kejahatan internasional yang dituduhkan padanya yang seperti pada kasus Pinochet, mungkin dapat membatasi imunitas yang dimiliki olenya. Selanjutnya pada kasus Mahinda Rajapaksa di Melbourne Magistrates Court Australia, hukum di Australia memberikan kesempatan kepada warganya untuk melakukan penuntutan atas dasar yurisdiksi universal. Namun berdasarkan Pasal 268.121 (1) Criminal Code Act 1995, proses penuntutan tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tertulis dari Attorney-General. Disini Attorney- General memiliki peran yang penting dalam penuntutan pelaku kejahatan internasional, karena tanpa persetujuan tertulis yang dikeluarkan olehnya penuntutan tidak dapat dilaksanakan. Pada kasus Rajapaksa, Attorney-General menyatakan bahwa penuntutan terhadap tidak dapat dilanjutkan karena hal tersebut akan bertentangan dengan hukum Australia dan akan melanggar kewajiban Australia dibawah hukum 178

internasional. Kasus-kasus pada pengadilan Australia sebelumnya dimana pengadilan tidak pernah melakukan penuntutan ataupun persidangan terhadap seorang kepala negara menjadi pertimbangan Attorney-General. Jika pada kasus Pinochet para hakim melaksanakan pengadilan sehingga menemukan penemuan hukum baru yang menyatakan bahwa imunitas ratione materiae bisa dibatasi apabila tertuduh melakukan pelanggaran yang masuk kategori ius cogens, kasus Rajapaksa membuktikan bahwa yurisdiksi universal saja tidak cukup bagi pengadilan nasional untuk mengadili seorang kepala negara yang memiliki imunitas di bawah hukum internasional. Tidak hanya pada pengadilan nasional, penerapan imunitas kepala negara juga menjadi kendala dalam pengadilan internasional. Meski hukum internasional telah mengatur bahwa seorang kepala negara dapat diadili oleh pengadilan internasional, khususnya pengadilan pidana internasional yang dalam aturannya tidak mengenal relevasi jabatan resmi serta imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut, namun pada beberapa kasus di pengadilan internasional, penegakan hukum terhadap seorang kepala negara atau mantan kepala negara menghadapi kendalanya masing-masing. Pada kasus Milosevic di ICTY, permasalahan utama yang dialami pengadilan tersebut ialah persoalan yurisdiksi yang dipertanyakan oleh para pihak yang terkait, baik tertuduh bahkan pemerintah Yugoslavia itu sendiri. Keabsahan pembentukan pengadilan tersebut dipertanyakan karena hanyalah merupakan pengadilan bentukan dari resolusi Dewan Keamanan. Pembuktian akan status ICTY sebagai pengadilan bentukan PBB berdasarkan Kekuatan Bab VII Piagam 179

PBB akhirnya menjadi dasar hukum dalam menjalankan proses peradilan. Pembelaan mengenai imunitas mantan kepala negara yang dimiliki Milosevic, ditolak secara tegas oleh ICTY. Meski belum bisa dikatakan berhasil sepenuhnya dalam mengadili kepala negara atau mantan kepala negara, namun ICTY telah membuktikan bahwa relevansi jabatan dan imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut tidak berlaku pada pengadilan pidana internasional Selanjutnya pada kasus Yerodia Ndombasi pada Mahkamah Internasional, Mahkamah memutuskan bahwa statusnya sebagai Menteri Luar Negeri Kongo memberikannya imunitas yang membuat pengadilan Belgia tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dirinya. Hal tersebut menunjukan bahwa, yurisdiksi universal tidak cukup untuk mengadili seorang pelaku kejahatan internasional, karena pertimbangan para hakim dalam Mahkamah tersebut merupakan faktor utama dalam pengambilan keputusan. Putusan Mahkamah Internasional ini menjadi pukulan bagi pengadilan pidana internasional karena putusannya jelas bertentangan dengan aturan dalam penegakan hukum pidana internasional. Putusan kasus Yerodia (Arrest Warrant Case) ini kemudian sering digunakan dalam pembelaan kasus-kasus yang berhubungan dengan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara ataupun state official. Contoh terakhir ialah kasus Omar Al-Basir pada ICC. Meskipun ICC merupakan mahkamah pidana internasional yang dalam aturannya jelas tidak mengenal adanya relevansi jabatan resmi serta imunitas yang dimiliki karena jabatan tersebut, tapi ternyata aturan tersebut di batasi oleh aturan lain dalam 180

Statuta Roma yang menyatakan bahwa yurisdiksi ICC terbatas pada anggota ICC maupun kepada mereka yang telah meratifikasi Statuta Roma. Peraturan yang saling membatasi dalam Statuta Roma tersebut berdampak besar bagi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh ICC. Pada saat dikeluarkannya surat penangkapan terhadap Al-Bashir oleh ICC, status Al-Bashir masih merupakan kepala negara Sudan. Sudan yang merasa bukan anggota ICC serta tidak meratifikasi Statuta Roma menolak bekerjasama dengan ICC untuk menangkap serta mengadili Al-Bashir. Selain itu Sudan dalam hal ini tidak mau melepaskan imunitas yang dimiliki oleh Al-Bashir sehingga ICC maupun negara lain yang ingin memberlakukan yurisdiksi universal untuk membantu ICC dalam menangkap dan menyerahkan Al-Bashir tidak bisa melaksanakan penangkapan maupun peradilan terhadap dirinya. Hal tersebut membuktikan bahwa ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dan memiliki kekuatan hukum tetap, ternyata masih memiliki kendala dalam penegakan hukum terhadap seorang kepala negara. Jadi meskipun telah ada peraturan yang jelas baik dari hukum internasional maupun hukum pidana internasional, penegakan pidana internasional terhadap imunitas kepala negara baik dalam pengadilan nasional maupun pengadilan internasional masih bisa dikatakan belum berhasil sepenuhya. 181

2. Imunitas Kepala Negara pada Pengadilan Hybrid Pengadilan hybrid adalah pengadilan yang merupakan campuran dari hukum internasional dan hukum internasional yang pada awalnya dibentuk di Cambodia sebagai upaya dalam mengadili pelaku pelanggaran ham yang terjadi di Cambodia pada saat itu. Berdasarkan namanya, karakteristik pengadilan hybrid adalah sebagai berikut: 1. Merupakan perpaduan antara hukum internasional dan hukum nasional negara yang berkepentingan 2. Pelaksanaan pengadilan biasanya di negara tempat terjadinya kejahatan yang akan disidangkan 3. Pengadilan hybrid dibentuk secara spesifik untuk mengadili beberapa orang pelaku yang diduga melakukan kejahatan serius seperti kejahatan perang, genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan 4. Hakim pengadilan hybrid merupakan hakim gabungan dari pengadilan internasional dan hakim nasional negara yang bersangkutan 5. Hanya merupakan pengadilan Ad-Hoc karena fokusnya hanya untuk mengadili pelaku kejahatan yang telah terjadi di suatu negara/lokasi tertentu. Pada perkembangannya pengadilan hybrid terbentuk karena ada unwilling dan unable baik dari negara-negara maupun masyarakat internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Pertimbangan lain dibentuknya pengadilan hybrid adalah untuk mempermudah pemeriksaan bukti serta para 182

saksi, juga agar masyarakat setempat dapat memahami kejahatan yang terjadi sekaligus memungkinkan terjadinya efek pencegahan, rekonsiliasi, dan pembalasan yang layak. Status pengadilan hybrid yang merupakan pengadilan pengadilan campuran merupakan kelemahan dari pengadilan ini, karena mengakibatkannya tidak memiliki kekuasaan memaksa negara-negara lain untuk bekerja sama menangkap atau mengekstardisi pelaku kejahatan internasional serta pengeluaran biaya yang cukup besar dalam pelaksanaan pengadilan. Selain itu, masalah yurisdiksi atau keabsahan dari pengadilan hybrid juga selalu menjadi masalah utama yang dibahas ketika dimulainya pengadilan. Status suatu pengadilan hybrid apakah merupakan pengadilan nasional atau pengadilan internasional menjadi masalah ketika diperhadapkan dengan kasus yang melibatkan kepala negara ataupun mantan kepala negara. Pengadilan hybrid harus dapat membuktikan bahwa pengadilan tersebut merupakan pengadilan internasional agar dapat melaksanakan yurisdiksinya untuk mengadili kepala negara atau mantan kepala negara. Contoh dari masalah tersebut yang terjadi pada kasus Charles Taylor pada Special Court of Sierra Leone ( SCSL ). Isu utama pada sidang awal kasus ini ialah yurisdiksi SCSL terhadap Charles Taylor. Pembela Taylor menyatakan bahwa SCSL merupakan pengadilan nasional karena tidak memiliki kekuatan Bab VII Piagam PBB dan hanya dibentuk berdasarkan perjanjian antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone, dan sebagai pengadilan nasional SCSL tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili Charles Taylor. Pembela menambahkan bahwa Liberia bukanlah negara anggota 183

perjanjian tersebut, sehingga tidak wajib untuk mengikuti ketentuan yang diatur dalam Statuta SCSL, serta SCSL harus menghormati imunitas dari mantan kepala negara yang bukan anggotanya. Dengan menunjukan fakta-fakta hukum yang ada serta peraturan-peraturan yang terkait akhirnya SCSL dapat membuktikan bahwa SCSL merupakan pengadilan internasional dan memiliki yurisdiksi untuk mengadili Charles Taylor. Dalam hal imunitas yang dimiliki Charles Taylor baik itu imunitas ratione personae ketika dia masih menjabat dan imunitas ratione materiae ketika statusnya telah menjadi mantan kepala negara Liberia, kedua imunitas tersebut tidak berlaku dalam pengadilan pidana internasional. Ide pokok dalam suatu Pengadilan pidana Internasional bukanlah mengenai siapa yang diadili atau akan diadili, namun lebih kepada jenis kejahatan apa yang terbukti dilakukan oleh si tertuduh. Kasus Taylor menunjukan bahwa, status dari pengadilan hybrid apakah merupakan pengadilan nasional atau pengadilan internasional sangat berpengaruh dalam hal menentukan yurisdiksi yang dimiliki pengadilan tersebut untuk mengadili kepala negara atau mantan kepala negara. Imunitas kepala negara yang menjadi kendala dalam beberapa pengadilan hybrid sebelumnya menjadi masalah yang muda setelah suatu pengadilan hybrid menyatakan bahwa pengadilan tersebut merupakan pengadilan internasional dan memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Keberhasilan SCSL dalam mengadili dan memberikan hukuman kepada Charles Taylor menunjukan bahwa pengadilan hybrid telah berhasil dalam 184

prakteknya sebagai sistem penegakan hukum pidana internasional yang salah tujuannya adalah mengakhiri impunitas. Oleh karenanya pengadilan hybrid menjadi suatu jalan keluar terhadap penegakan pidana internasional yang melibatkan seorang kepala negara, mantan kepala negara ataupun high state official. Putusan hakim dalam kasus Charles Taylor pada Special Court for Sierra Leone ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim pada pengadilan-pengadilan hybrid yang akan datang, khususnya dalam penegakan hukum pidana internasional bagi kepala-kepala negara Afrika yang dikenal kebal akan tuntutan hukum. B. Saran 1. Kepada PBB ataupun Mahkamah Pidana Internasional untuk membentuk suatu instrumen hukum yang khusus mengatur mengenai pembatasan akan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara atau state official serta instrumen yang khusus mengatur mengenai ius cogens, apa itu ius cogens serta kejahatan-kejahatan apa yang masuk dalam kriteria ius cogens ini. Menurut saya bila telah dibentuk aturan hukum yang jelas mengenai hal-hal tersebut, nantinya tidak akan ada lagi pengecualian dalam mengadili seorang seorang kepala negara atau mantan kepala negara baik di pengadilan nasional, pengadilan internasional maupun di pengadilan hybrid. 2. Dan khusus untuk pengadilan hybrid, penentuan status pengadilan tersebut sejak awal sebagai pengadilan internasional walaupun pengadilan tersebut merupakan campuran dengan pengadilan nasional. Penentuan status 185

pengadilan hybrid ini akan sangat berguna dalam jalannya peradilan khususnya dalam menetapkan yurisdiksi pengadilan yang melibatkan seorang kepala negara, mantan kepala negara ataupun high state official. 186