Hukum Pidana Internasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Hukum Pidana Internasional"

Transkripsi

1 1 Hukum Pidana Internasional P. Burgess 1 Sejarah Latar belakang konsep tanggung jawab inidividu dalam hukum internasional, yaitu ide bahwa hukum internasional dapat menimpakan tanggung jawab secara langsung terhadap individu. Sebelum Perang Dunia II Secara historis, hukum internasional dianggap sebagai hukum yang hanya menimbulkan hak dan kewajiban kepada negara. Sehingga sampai Perang Dunia II (PD II), hukum internasional hanya mengharuskan negara yang ditundukkan untuk mengadili (dengan hukum nasional mereka) para tersangka penjahat perang yang disangka telah melanggar kewajiban hukum dan kebiasaan perang. Misalnya negara yang ditundukkan harus melaksanakan pengadilan nasional (pengadilan setempat) suatu tribunal militer untuk kejahatan perang. Lalu, sebagai kesimpulan dari PDI, berbagai traktat pengakhiran perang memasukkan ketentuan bagi pengadilan setempat atau komisi-komisi militer untuk mengadili orangorang yang dituduh melanggar hukum dan kebiasaan perang. mis. Traktat Versailles 1919 pasal 228: Pemerintah Jerman mengakui hak dari pihak Sekutu dan Kekuasaan-kekuasaan terkaitnya untuk menuntut orang-orang yang dituduh melakukan tindakan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang ke tribunal militer (Pengadilan setempat) Pendekatan ini juga terlihat jelas pada konvensi-konvensi yang dibuat untuk mengatur perang pada saat itu, misalnya Konvensi De Hague IV dan Hague Rules 1907: - Hague Rules termasuk juga ketentuan perilaku (code of conduct) bagi individu - Pasal 1 dari Konvensi tersebut mewajibkan negara-negara anggota untuk mengeluarkan instruksi kepada angkatan bersenjata mereka untuk mematuhi Hague Rules. - Pasal 56 Hague Rules- Pelanggaran atas Hague Rules harus dijadikan dasar dari Proses Hukum di pengadilan lokal (tidak harus pengadilan pidana) - Pasal 3 dari Konvensi De Hague IV Jika salah satu prajurit melanggar peraturan tersebut, maka negaranya lah yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut. akan tetapi peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur bahwa individual yang melakukan pelanggaran tersebut akan bertanggung jawab secara pidana dalam perspektif hukum internasional. 1 Beberapa bahan-bahan materi diambil dari konsep tindak pidana internasional berbasis jender yang sekarang masih dikerjakan oleh kelompok kerja Komnas Perempuan, termasuk penulis.

2 2 Setelah Perang Dunia II Tribunal Militer Internasional Nuremberg Setelah berakhirnya Perang Dunia II (PD II) diputuskan untuk membentuk tribunal internasional khusus untuk mengadili pelaku kejahatan perang dibawah kekuasaan sekutu. Pada bulan Agustus 1945 Piagam London untuk Tribunal Militer Internasional ( dikenal juga sebagai the Nuremberg Charter) disetujui. Piagam itu memberikan yurisdiksi tribunal untuk mengadili orang-orang yang melakukan tiga jenis kejahatan : kejahatan terhadap perdamaian : yaitu, merencanakan, mempersiapkan, memulai atau menantang perang atau melakukan agresi, atau perang yang merupakan pelanggaran terhadap traktat internasional, perjanjian atau jaminan, atau keikutsertaan dalam rencana bersama atau permufakatan untuk terlaksananya suatu kondisi tersebut diatas; Kejahatan perang; yaitu, pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran ini termasuk namun tidak terbatas pada, pembunuhan, perlakuan kejam atau deportasi penduduk sipil di lokasi yang dikuasai untuk diperbudak, dipekerjakan atau tujuan lainnya, pembunuhan atau perlakuan kejam terhadap tahanan perang atau orang di lautan, membunuh sandera, merampas barangbarang milik publik atau pribadi, tanpa alasan menghancurkan kota atau desa, atau penghancuran yang tidak dapat dibenarkan dari sisi kebutuhan militer. Kejahatan terhadap kemanusiaan : yaitu, pembasmian, perbudakan, pemindahan, atatu tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap populasi sipil, sebelum ataupun pada saat perang; atau penuntutan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dalam eksekusi atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun didalam yurisdiksi tribunal, terlepas dari apakah tindakan tersebut melanggar hukum domestik dimana kejahatan tersebut terjadi. Tribunal dilengkapi dengan hukum acara yang didasarkan kepada tradisi hukum common law. Empat orang hakim duduk, masing-masing mewakili satu negara sekutu; terdakwa diwakili oleh pengacaranya. Dua puluh empat orang dituntut, hanya tiga dari mereka yang dibebaskan (catatan. bahwa salah seorang terdakwa Bormann diadili secara in-absentia dan dihukum mati) Proses ini juga bukan tanpa cela. Kritik utama terhadap proses ini adalah bahwa ini menimpakan tanggung jawab secara retroraktif terhadap individu-individu atas tindakan yang pada saat terjadinya bukan merupakan tindak pidana argumen ini khususnya diajukan dalam hal kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian.

3 3 Sidang di Pengadilan Domestik Jerman Selain sidang Tribunal Militer Internasional Nuremberg, sidang juga diadakan di pengadilan domestik. Pengadilan yang paling terkenal adalan pengadilan yang dilaksanakan dibawah pengawasan Control Council law No. 10 (meskipun didang lainnya dilaksanakan di negara Eropa lainnya) Undang-undang mengatur bahwa bagi sidang-sidang atas kejahatan yang serupa misalnya kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (dan juga kategori keempat dari kejahatan untuk keanggotaan pada organisasi kriminal) Definisi kejahatan didasarkan kepada definisi pada Piagam London (meskipun tidak identik sepenuhnya identik terhadapnya) Tribunal Militer Internasional bagi Timur Jauh Setelah perang di Pasifik berakhir, proses yang sejenis dibentuk untuk mengadili tersangka penjahat perang jepang. Tribunal ini dibentuk oleh Jendral McArthur (Komandan Tertinggi Tentara Sekutu) melalui proklamasi khusus pada tanggal 19 Januari 1946 (dan tribunal ini nyaris seluruhnya dikuasai oleh Amerika Serikat) Definisi kejahatan yang dipergunakan sangat mirip dengan definisi yang digunakan pada Piagam London untuk Tribunal Nuremberg. kejahatan terhadap perdamaian : yaitu, merencanakan, mempersiapkan, memulai atau menantang suatu agresi perang yang telah dinyatakan atau tidak dinyatakan, atau perang yang merupakan pelanggaran terhadap traktat internasional, perjanjian atau jaminan, atau keikutsertaan dalam rencana bersama atau permufakatan untuk terlaksananya suatu kondisi tersebut diatas; Kejahatan perang konvensional; yaitu pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan terhadap kemanusiaan : yaitu, pembunuhan, pembasmian, perbudakan, pemindahan, atau tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan sebelum atau selama perang., atau penuntutan atas dasar politik, atau rasial dalam eksekusi atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun didalam yurisdiksi tribunal, terlepas dari apakah tindakan tersebut melanggar hukum domestik dimana kejahatan tersebut terjadi. Pemimpin, pengatur, penghasut dan kaki tangan yang terlibat dalam perumusan atau pelaksanaan dari suatu rencana bersama atau permufakatan untuk terjadinya kejahatan yang disebut diatas bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukan oleh semua orang dalam pelaksanaan rencana tersebut. perlu dicatat bahwa di Jepang proses untuk melaksanakan sistem sidang paralel pada pengadilan lokal tidak dilaksanakan. Tema Umum pada Pengadilan pasca PD II meskipun prosedur dan definisi tentang kejahatan dimana seorang individu dapat

4 4 diadili melalui proses ini bervariasi, namun suatu tema umum muncul ke permukaan : - Konsep bahwa seorang individu dapat dinyatakan bertanggung jawab dibawah hukum internasional, meskipun pada saat tindakan tersebut dilakukan, tindakan tersebut bukanlah pelanggaran terhadap hukum domestik. - Konsep pertanggung jawaban komando (yang sangat terkenal pada kasus Yamashita)- ini adalah mungkin kristalisasi dari konsep yang telah berkembang sebelumnya. - Konsep kejahatan diatur pada hukum internasional selain kejahatan perang khususnya kejahatan terhadap kedamaian (sekarang dikenal sebagai agresi ) dan kejahatan terhadap kemanusiaan. [tapi perlu dicatat bahwa untuk beberapa waktu tertentu aplikasi kejahatan terhadap kemanusiaan tetap terbatas, karena konsep bahwa kejahatan tersebut hanya dapat terjadi dalam hubungannya dengan kejahatan perang, atau kejahatan terhadap keamaian- dan karena kejahatan tersebut memerlukan terjadinya konflik bersenjata, maka hal ini berarti bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan juga hanya terjadi jika ada konflik bersenjata. Pendekatan ini telah diperluas aplikasinya beberapa waktu terakhir. - Ide bahwa perintah atasan bukanlah argumen pembelaan dalam kejahatan internasional (meskipun perlu dicatat bahwa sebagian terdakwa diperbolehkan untuk menggunakan pembelaan tentang kondisi terpaksa) Perkembangan Selanjutnya Beberapa perkembangan menyusul segera setelah perang berakhir : - Setelah putusan Nuremberg : Resolusi Sidang Umum Nomor 95 pada tahun 1946 menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Nuremberg dan pada putusan tribunal menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui oleh Piagam Nuremberg dan putusan dari Tribunal tersebut Sidang Umum memerintahkan Komisi Hukum Internasional (yang pada waktu itu diharapkan untuk dapat segera dibentuk- yang kemudian dikenal sebagai Komite Kodifikasi Hukum Internasional) untuk membuat sebuah Pernyatan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dari Piagam Londong dan Tribunal Nuremberg. - Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Komisi Hukum Internasional sebagai jawaban terhadap Resolusi Sidang Umum Nomor 95 (I) kemudian diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum No. 488 (V) pada tahun Prinsip-prinsip ini menetapkan, diantaranya, definisi kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. - Resolusi Sidang Umum -96(I) 11 Desember 1946 menyatakan genosida sebagai kejahatan dalam hukum internasional. - Pada tahun 1948 Sidang Umum mengadopsi Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) Perlu dicatat, bahwa dalam instrumen-instrumen tentang Genosida ini, instrumen yang disebut terakhir pada awalnya dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun saat ini pendapat tersebut mulai berkurang.

5 5 Sekarang hal itu terefleksikan pada instrumen-instrumen hukum pidana utama sebagai kejahatan yang terpisah. Pada waktu pengembangan konsep kejahatan genosida, salah satu konsep yang paling penting adalah bahwa kejahatan ini tidak hanya berlaku dalam keadaan konflik bersenjatan, namun juga di waktu damai. - Komisi Hukum Internasional juga mempersiapkan pengembangan rancangan peraturan tentang Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan dari Manusia, dengan tujuan untuk menggunakannya sebagai hukum substansi yang dapat diaplikasikan pada tribunal Permanen Pidana Internasional yang saat itu sedang dibicarakan (Hipotesis tentang Tribunal Masa depan itu juga disinggung pada Pasal VI Konvensi Genosida) Tribunal Ad Hoc : International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) Setelah proses hukum setelah Perang Dunia II (PD II) selesai, sampai tahun 1990an tidak ada satupun mekanisme yudisial dibuat untuk menuntut kejahatan (tindak pidana) internasional. Beberapa penuntutan tindak pidana internasional terjadi dalam skala domestik (misalnya peradilan Eichmann di Israel) tapi sebagian besar kejahatan internasional (misalnya yang terjadi di Kamboja, Uganda, Uni Soviet, Afghanistan, China, Chile, Guatemala, Argentina, dan lain-lain- serta Indonesia dan Timor Timur) tidak dituntut. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan dikeluhkan banyak orang, akan tetapi kelihatannya tidak ada kemauan politik yang kuat pada saat itu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Usaha-usaha Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk Tribunal Pidana Internasional Permanen sejak PD II belum membuahkan hasil. Komisi Hukum Internasional PBB telah mengkaji masalah tersebut dan mencoba untuk membuat sebuah traktat internasional yang dapat diaplikasikan oleh tribunal tersebut (Kode Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia) Akan tetapi tidak tercapai kesepakatan politik atau kemauan untuk membentuk pengadilan tersebut sepanjang perang dingin. Namun, ketika pembantaian terjadi di bekas Republik Yugoslavia, kondisi menjadi berubah. - perang dingin telah berakhir - perhatian media terhadap kejadian tersebut sangatlah tinggi - kejahatan yang terjadi sangat parah dan meluas - dan mungkin yang terpenting adalah, kejadian itu menyatukan berbagai negara, negara barat menjadi sangat prihatin terhadap apa yang terjadi di Eropa, sementara negara muslim juga prihatin, karena banyak korban adalah muslim. Meskipun Rusia pada awalnya enggan untuk terlibat, namun Dewan Keamanan mulai mengeluarkan resolusi-resolusi tentang situasi di Yugoslavia. - bulan Juli 1992 (resolusi 764- tentang Sarajevo) menyatakan bahwa orangorang yang melakukan atau memerintahkan terlaksananya pelanggaran berat

6 terhadap Konvensi Jenewa bertanggung jawab secara individual terhadap pelanggaran tersebut. - Bulan Agustus 1992 (resolusi 771) menyerukan negara-negara dan lembaga lain untuk menyerahkan informasi penting kepada Sekretaris Jenderal PBB sehingga Sekjen PBB dapat melaporkan kepada Dewan Keamanan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan. - Pada bulan Oktober 1992 (resolusi 780) Dewan Keamanan menugaskan komisi ahli untuk menyelidiki dan melaporkan pelanggaran hukum humanitarian internasional. Komisi tersebut melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hukum humanitarian internasioal di wilayah bekas Republik Yugoslavia, termasuk pembunuhan dengan sengaja, pembersihan etnis, pembunuhan massal, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan dan penghancuran barang-baran milik sipil, penghancuran bangunan-bangunan kebudayaan dan penahanan sewenang- wenang. - Pada bulan Februari 1993 (resolusi 808) Dewan Keamanan memutuskan untuk membentuk Tribunal Pidana Internasional dan mengajukan proposal pembentukan tribunal tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB. - Pada bulan Mei 1993 (resolusi 827) dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang mengadopsi statuta ICTY (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia) dan secara resmi membentuk Tribunal tersebut. 6 Tribunal ini merupakan tribunal internasional untuk penuntutan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan pertama sejak Tribunal Militer Internasional Nuremberg dan Tribunal Militer Internasional bagi Timur Jauh. ICTY merupakan tribunal pertama yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili genosida. Lalu, pada tahun 1994 terjadi genosida di Rwanda. Kemudian timbul kritik dari kalangan negara Afrika adalah bahwa hanya pembantaian yang terjadi di benua Eropa saja yang memperoleh perhatian dari Dewan Keamanan. Bulan November 1994 (resolusi 955) Dewan Keamanan memutuskan untuk membentuk tribunal Internasional bagi Rwanda (statuta pembentukan tribunal tersebut dilampirkan pada resolusi ini. Statuta ICTR memiliki banyak persamaan dengan Statuta ICTY - Hanya beberapa perbedaan kecil misalnya kejahatan yang dilingkupi dan definisi-definisi tentang kejahatan yang merefleksikan perbedaaan sifat kedua konflik tersebut Hukum Acara dan Pembuktian yang berlaku adalah sama. Pembentukan Tribunal Aspek Hukum Kedua Tribunal Ad Hoc tersebut dibentuk atas dasar resolusi Dewan Keamanan PBB - ICTY Resolusi DK 827, 25 Mei ICTR Resolusi DK 955, 8 Nov 1994 Yang paling penting adalah, pada kedua resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa DK bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB dimana bab ini berbicara tentang ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi.

7 - Dari situ lah Dewan Keamanan memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan yang bersifat memaksa dan mengikat dimana dianggap bahwa terjadi kondisi yang mengancam terhadap perdamaian. Sebelum pembentukan ICTY, Dewan Keamanan belum pernah menggunakan Bab VII sebagai dasar untuk membentuk suatu badan yudisial. Dalam kasus pertama sebelum ICTY Tadic- tersangka mengajukan keberatan terhadap keabsahan tribunal tersebut, dengan mengklaim bahwa Dewan Keamanan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk tribunal dengan cara tersebut. Lalu pada Banding, ICTY berpendapat bahwa pembentukan tribunal tersebut memang merupakan kewenangan dari Dewan Keamanan (khususnya berdasarkan pasal 41 yang memperbolehkan diambilnya tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata). Fakta bahwa ICTY dan ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan atas dasar Bab VII (ketimbang melalui suatu traktat) merupakan hal yang penting, karena : - Itu berarti bahwa persetujuan dari seluruh negara (termasuk negara yang terkena dampak langsung misalnya Serbia) tidak diperlukan, baik tentang pembentukannya atau yurusdiksinya, bentuk dan masalah lainnya. - Itu berarti bahwa semua negara terikat dibawah hukum internasional untuk bekerjasama dengan ICTY (sebagai disebutkan pada resolusi Dewan Keamanan, yang mengikat seluruh anggota PBB) [beda tribunal campuran dan Pengadilan Pidana Internasional] 7 Yurisdiksi Tribunal a. Limitasi yurisdiksi waktu ICTY: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan dari 1 Januari 1991 [ tanpa tanggal berakhir] ICTR: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan diantara tanggal 1 Januari sampai Desember 1994 b. Limitasi yurisdiksi geografis ICTY: yurisdiksi atas tindakan yang terjadi pada wilayah bekas Republik Yugoslavia ICTR: yurisdiksi atas tindakan yang terjadi pada wilayah Rwanda c. Yurisdiksi prbadi tidak terbatas kewarganegaraan atau jabatan terdakwa tidak relevan terhadap yurisdiksi tribunal. d. Yurisdiksi Masalah Hukum Yurisdiksi dari kedua tribunal tersebut adalah atas tiga kejahatan internasional: - Genosida - Kejahatan terhadap kemanusiaan - Kejahatan perang (pada statuta ICTY meliputi baik pelanggaran peraturan dan kebiasaan perang dan pelanggaran berat Konvensi Jenewa Perlu dicatat bahwa e. dalam hal tribunal ad hoc telah mengadili seseorang maka orang tersebut

8 tidak dapat diadili lagi oleh pengadilan domestik f. dalam hal pengadilan domestik telah mengadili seseorang, maka tribunal ad hoc dapat mengadili orang tersebut kembali, hanya jika: - orang tersebut hanya diadili atas kejahatan biasa (bukan tindak pidana internasional) - pelaksanaan pengadilan domestik bersifat memihak atau tidak independen (meskipun begitu perlu diperhatikan bahwa tribunal akan memperhitungkan setiap hukuman yang telah dijalankan oleh terdakwa dalam menjatuhkan hukuman) 8 Pencapaian Tribunal g. kontribusi luar biasa kepada pengembangan hukum pidana internasional (termasuk definisi kejahatan menurut hukum kebiasaan, pertahanan, mode tanggung jawab dan pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur dan standar sidang yang adil) h. ICTY telah melakukan penuntutan terhadap 161 orang. Dari jumlah ini 48 telah disidangkan dan dihukum, 5 dibebaskan/ 25 penuntutan ditarik kembali dan 11 tersangka meninggal sebelum atau pada saat persidangan. 11 orang telah dirujuk kepada pengadilan nasional untuk disidangkan. 61 persidangan masih berjalan. i. ICTR terhitung bulan Juni 2006 telah mengeluarkan 22 putusan yang melibatkan 28 terdakwa. 25 diantaranya dihukum dan 3 dibebaskan. Pada saat itu 11 sidang lain sedang berjalan dan melibatkan 27 terdakwa. j. Akan tetapi penting diketahui bahwa keberhasilan atau kegagalan tribunal internasional tidak hanya (bahkan tidak semata-mata) dinilai dari sisi kuantitatif, namun juga dari sisi jaminan prosedural yang dilaksanakan di persidangan, kepatuhan kepada standar hak asasi manusia, dan kualitas putusan-lah yang penting.dalam hal ini sebagian besar orang berpendapat bahwa tribunal ad hoc sebagai keberhasilan. Masalah dengan Tribunal k. Biaya dari anggaran awal yang berjumlah $276,000 juta (pada tahun 1993) ICTY telah berkembang ribuan kali. Pada tahun budget tahunan ICTY adalah $267,5 juta. ICTR memiliki anggaran yang sama ($270 juta kotor atau $247 juta net) Setiap tribunal memiliki lebih dari 1000 staf. l. proses peradilan yang lambat Saat ini telah 12 tahun sejak ICTR dibentuk dan hampir 14 tahun sejak ICTY dibentuk dan mereka masih belum menyelesaikan pekerjaan mereka. Persidangan di tribunal dapat berjalan bertahun-tahun Beberapa persidangan yang merupakan jumlah yang sangat banyak telah diputus dan sejumlah besar barang bukti disajukan, telah memakan waktu tahunan-contoh utama dari keadaan ini adalah kasus Milosevic (yang akhirnya berakhir dengan meninggalnya terdakwa sebelum sidang selesai) (salah satu pendekatan terhadap masalah ini mungkin adalah untuk lebih selektif dalam perkara-perkara yang diajukan pendakwaannya, meskipun hal ini akan

9 berarti perlu penyeimbangan dengan pertimbangan kebijakan lain seperti pertimbangan bahwa peran Tribunal dalam membentuk suatu rekaman publik yang komprehensif tentang kejahatan dan memungkinkan korban untuk menceritakan pengalaman mereka di pengadilan) m. ketidakmampuan untuk menyidangkan semua atau bahkan sebagian besar dari mereka yang diperkirakan telah terlibat dalam kejahatan internasional di konflik yang relevan dalam semua kondisi dari pelanggaran hak asasi manusia massal, kejahatan yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia dilakukan dengan melibatkan ribuan atau bahkan puluhan ribu pelaku. Dengan mempertimbangkan biaya dan lambatnya prosedur yang ada, cukuplah jelas bahwa hanya relatif sedikit orang yang dapat disidangkan melalui mekanisme ini. Ribuan atau lebih tetap tidak dapat didakwa, atau didakwa dalam peradilan domestik (yang mungkin tidak memiliki standar prosedural yang sebaik tribunal atau jenis-jenis hukuman bagi mereka yang bersalah) n. Ketidakmampuan untuk memastikan kehadiran Terdakwa Utama Meskupun penggunaan Bab VII oleh Dewan Keamanan untuk memastikan keterikatan dan kerjasama negara-negara dengan Tribunal, tersangka utama tetap masih belum ditangkap, misalnya Mladic dan Karadic di bekas Yugoslavia 9 Masa depan Tribunal? Sekarang sejak adanya Pengadilan Pidana Internasional Permanen, maka kelihatannya sedikit sekali kemungkinan bahwa Tribunal Ad Hoc lainnya akan dibentuk, khususnya karena pertimbangan biayanya. Bahkan diakui bahwa salah satu faktor yang pada akhirnya mendorong kepada terbentuknya kemauan politik yang cukup untuk membentuk Pengadilan Pidana Internasional Permanen adalah kepercayaan oleh banyak negara, bahwa pembentukan Tribunal Ad Hoc ini harus dihindari di masa depan. Bahkan, dalam trend terkini, diluar Pengadilan Pidana Internasional Permanen telah dibentuk pengadilan campuran, dibanding tribunal ad hoc. Bagaimana dengan ICTY dan ICTR? Keduanya memiliki rencana untuk menyelesaikan pekerjaannya, meskipun sangat sulit untuk mencapai tujuan ini dalam beberapa tahun kedepan sebagaimana diharapkan. Satu solusi yaitu meningkatnya trend kepada pemindahan ke yurisdiksi domestikkhususnya pada kasus bekas Republik Yugoslavia perkara dapat dipindahkan ke negara yang - Wilayahnya merupakan tempat dimana kejahatan terjadi; atau - Wilayahnya merupakan tempat dimana terdakwa ditangkap; atau - Negara lain yang yurisdiksinya menurut hukum internasional mau dan dapat menerimanya. Dalam menentukan apakah untuk memindahkanke yurisdiksi domestik, Tribunal harus mempertimbangkan bobot dari kejahatan tersebut dan tingkat pertanggungjawaban dari si terdakwa. Jadi prosedur ini lebih dimaksudkan untuk kejahatan yang lebih ringan atau pelaku yang berada di tingkat rendah.

10 Tidak jelas apa yang akan terjadi jika Tribunal menyelesaikan tugas mereka jika pelaku-pelaku senior tidak disidang atau belum berhasil ditahan. 10 Tribunal Pidana Campur Latar Belakang Setelah pembentukan dua mahkamah (tribunal) internasional untuk Rwanda dan bekas Yugoslavia di era 1990-an model pengadilan yang berbeda, yang melibatkan hakim, penuntut, dan penyidik baik internasional dan lokal, terbentuk di empat negara yang baru pulih dari konflik berskala besar. Di Kosovo, Timor Timur dan Kamboja, pengadilan ini merupakan bagian dari struktur pengadilan nasional, yang dimandatkan melalui dewan perwakilan nasional. Dalam kasus Sierra Leone, PBB dan pemerintah mengadakan perjanjian bilateral yang mendasari pembentukan pengadilan tersebut, yang merupakan tindak lanjut atas permintaan dari Dewan Keamanan PBB. Tribunal-tribunal ini dikenal sebagai tribunal campur (mixed) atau hibrid (hybrid). Peranan PBB PBB memegang peranan penting dalam setiap kasus-kasus tersebut sebagai berikut. Di Kosovo dan Timor Timur pengadilan terbentuk ketika PBB menjadi pemerintah setempat sementara, menempati posisi yang kosong setelah konflik yang berkepanjangan. Di Timor Timur pengadilan tetap melanjutkan tugasnya setelah negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya pada bulan Mei Pada saat tulisan ini dibuat Kosovo masih belum merdeka. Sejumlah besar misi perdamaian PBB telah dikirim ke Kamboja dan sejak kedatangannya PBB masih terus memegang peranan besar dalam pembentukan sebuah tribunal untuk mengadili kejahatan internasional. Di Sierra Leone pengadilan ini terbentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB. Rationale tribunal campur Alasan-alasan mengapa campur dipilih dibandingkan model internasional antara lain sebagai berikut: Pembentukan tribunal internasional perlu mendapat persetujuan dari semua anggota tetap dewan keamanan PBB. Pada kenyataannya Rusia, China dan Amerika Serikat terus menerus menentang pembentukan tribunal baru dengan alasan-alasannya antara lain adalah bahwa di kemudian hari akan ada kemungkinan di mana situasi hak asasi dalam negeri mereka sendiri menjadi obyek dari tribunal kejahatan internasional yang akan dibentuk. Sampai tahun 2002, biaya operasional dua tribunal kejahatan PBB telah mencapai USD 250 juta per tahun, sekitar 15% dari keseluruhan biaya operasional PBB, dengan jumlah pegawai 2000 orang. Fakta bahwa tribunaltribunal tersebut bertempat di luar negara-negara di mana pelangggaranpelanggaran terjadi telah menimbulkan biaya-biaya yang sangat tinggi untuk perjalanan, akomodasi dan biaya-biaya terkait untuk para staff, saksi, penuntut, pembela dan hakim and ahli internasional lainnya. Banyak pemain lokal di Rwanda dan bekas Yugoslavia merasa tribunal internasional patut dipertanyakan. Tribunal-tribunal tersebut berlokasi di tempat yang jauh sekali, penduduk lokal tidak bisa datang ke persidangan, persidangan dilaksanakan oleh orang asing menggunakan bahasa asing, para korban mendapatkan sedikit akses untuk informasi sehubungan dengan persidangan. Masalah ini disebut sebagai fenomena spaceship (pesawat ruang angkasa) di mana orang lokal merasa tribunal merupakan hal yang asing, jauh di luar pemahaman mereka, dan berlokasi di tempat yang jauh sekali.

11 11 Walaupun dua tribunal internasional telah memakan biaya yang luar biasa besar, hanya sedikit pelaku yang diadili. Membentuk sebuah pengadilan yang benar-benar baru dan jauh dari konteks kejahatan memerlukan sejumlah besar pekerjaan awal dan biaya, yang berarti bahwa pada tahun-tahun pertama kegiatan operasional tribunal hanya sedikit hasil yang terlihat. Meskipun banyak halangan dalam pembentukan tribunal internasional, negara-negara yang timbul dari pelanggaran massa, seperti Kosovo, Timor Timur dan Kamboja merasa perlu adanya satu bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah terjadi. Hal ini penting untuk memenuhi hak para korban untuk mendapatkan tanggapan yang memfasilitasi penyembuhan nasional, yang menyediakan forum publik yang mana bukti sehubungan dengan kejahatan masa lalu dapat ditayangkan/disiarkan, membawa pesan yang jelas bahwa tidak akan ada pengampunan atas bentuk kejahatan serupa yang dilakukan di masa yang akan datang, dan membangun kredibilitas dan dukungan atas hukum di bawah rezim baru. Sistem pengadilan, penuntutan dan polisi dalam situasi pasca konflik ini menempati posisi yang sangat lemah. Agar dapat menangani kejahatan internasional yang kompleks struktur lokal memerlukan bantuan internasional yang signifikan. Hal ini juga menyediakan peluang untuk perkembangan kapasitas. Situasi politik dalam negeri menciptakan tantangan untuk mencapai kemerdekaan, pengadilan imparsial. Hal ini dibantu oleh partisipasi hakimhakim internasional dan para ahli lainnya, dan oleh keterlibatan PBB. Dengan keikutsertaan hakim-hakim lokal dan pejabat lainnya dalam prosesnya menciptakan semangat bahwa hal ini adalah merupakan mekanisme nasional, bukan sesuatu yang dibentuk oleh dan bagi pihak asing. Relevansi ICC (Makahman Pidana Internasional) Setelah pembentukan ICC di tahun XX, keinginan atas tribunal kriminal internasional PBB telah surut, dikarenakan ICC sekarang berkapasitas untuk berurusan dengan kasus-kasus yang akan datang seperti yang terjadi di Rwanda and bekas Yugoslavia. Namun demikian, ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap kejahatankejahatan yang dilakukan sebelum pembentukannya (sebagai contoh: tidak memiliki yuridiksi retroaktif). Sehingga, apabila tidak ada pengadilan domestik yang hendak atau bisa menangani pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum internasional yang dilakukan sebelum terbentuknya ICC, penyelesaiannya bisa melalui tribunal kejahatan internasional ad hoc yang terbentuk secara spesifik dari resolusi dewan keamanan PBB. Panel Khusus di Timor Timur Latar Belakang: Setelah hampir 400 tahun di bawah penjajahan Portugis, pada tahun 1960, Timor Timur menyatakan diri sebagai daerah non pemerintah yang dikelola oleh Portugis di bawah resolusi sidang umum PBB. Indonesia melancarkan invasi militer ke Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975 dan mengumumkan Timor Timur sebagai provinsi ke 27 pada tanggal 27 Juli Sebentuk gerakan perlawanan lokal terus melakukan perjuangan untuk kemerdekaan. Setelah 24 tahun pendudukan yang lama yang dikarakterisasikan oleh sejumlah klaim atas pelanggaran-pelanggaran yang tersebar luas terjadi yang melibatkan angkatan bersenjata Indonesia, PBB mengadakan pemilu pada tanggal 20 Agustus 1999 yang hasilnya 78,5% masyarakat Timor Timur yang berpartisipasi dalam pemilihan memilih merdeka dari Indonesia. Menurut laporan-laporan dari tim Rapateur Khusus PBB (UN Special Rapporteurs),

12 12 Komisi PBB untuk Penyelidikan Timor Timur dan Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Timur (UN Commission of Inquiry into East Timor and the East Timor Commission for Reception, Truth and Reconciliation), angkatan bersenjata Indonesia dan milisia Timor Timur di bawah kontrol mereka terlibat dalam penyebarluasan pelanggaran hak asasi manusia yang sengaja dilakukan untuk mempengaruhi hasil pemilu dan kemudian ikut serta dalam pengrusakan besarbesaran, pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk pelanggaran lainnya menyusul pengumuman hasil pemilu. Laporan Komnas HAM per 31 Januari 2000 menanyakan tentang 13 insiden yang terjadi selama periode tersebut dan memutuskan bahwa pemerintah Indonesia terlibat dalam pendanaan, penyediaan senjata dan dukungan kepada milisia Timor Timur dan bahwa TNI telah melakukan kerjasama operasi dengan mereka. Setelah kerusakan besar-besaran pada bulan September, di mana 60 ribu rumah dan hampir semua infrastruktur dihancurkan, 500 ribu orang kehilangan hilang, kurang lebih tewas and ratusan pemerkosaan terjadi, badan perdamaian internasional dikirim ke Timor Timur dan dewan keamanan PBB membentuk misi UNTAET pada tanggal 25 October UNTAET mendapat mandat untuk menjaga keamanan, mengurus batas wilayah dan membantu membangun kapasitas untuk pemerintahan sendiri, yang akhirnya dinyatakan pada tanggal 20 Mei Komisi Penyelidikan untuk Timor Timur, didirikan oleh komisi hak asasi manusia PBB, merekomendasikan, pada bulan January 2002, tribunal kejahatan internasional, serupa dengan yang pernah dibentuk untuk menangani kejahatan yang terjadi di Rwanda dan bekas Yugoslavia, untuk didirikan untuk kasus di Timor Timur. Tribunal mana akan mendapat mandat di bawah Bab VII piagam PBB,termasuk kekuasaan bagi penyelidiknya untuk menyeberangi batas negara agar dengan seluruh kekuatannya dapat menangkap tersangka. (Kekuatan ini telah sering digunakan oleh ICTY) Namun demikian, dewan keamanan sependapat dengan usulan yang menyatakan masalah mengenai tribunal tersebut akan ditunda sampai pemerintah Indonesia telah diberikan kesempatan untuk membuktikan keinginan dan kesanggupannya untuk mengadili warga negaranya yang terlibat dalam pelanggaran massa. Sebuah sistem 2 trek kemudian diciptakan, satu di Jakarta untuk menangani tersangka yang berada di dalam batas negara, satu lagi di Dili, untuk berurusan dengan tersangka yang berada di wilayah yuridiksi Timor Timur. Tribunal Ad Hoc di Jakarta Di Jakarta, tribunal ad hoc untuk Timor Timur didirikan pada tahun 2000 menurut UU Indonesia No. 26/200. Dari 18 orang tertuduh sebelum tribunal ad hoc, 12 orang dinyatakan tidak bersalah dan 6 orang dinyatakan bersalah setelah persidangan. Semua terdakwa naik banding. Lima dari enam putusan menang setelah banding. Hanya satu orang, Eurico Guteres dari Timor Timur yang dinyatakan bersalah dan dipenjara. Tidak ada tuduhan atas pemerkosaan atau pelanggaran-pelanggaran seksual di tribunal ad hoc ini (Baca David Cohen, Intended to Fail: the Trials before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, International Centre for Transitional Justice, Agustus 2003) Pengadilan Hibrid di Timor Timur Di tahun 2000 UNTAET mengeluarkan peraturan 2000/15 yang menggagasi panel khusus yang merupakan bagian dari pengadilan daerah Dili, yang memiliki yuridiksi ekslusif untuk mengadili pelanggaran kriminal serius. Termasuk di dalamnya adalah pemusnahan suatu golongan bangsa (genocide), kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan kapan saja, demikian pula dengan pembunuhan, pelanggaran seksual dan penyiksaan yang terjadi antara 1 January

13 13 sampai dengan 25 Oktober Definisi-definisi dan elemen-elemen kejahatan yang digunakan dalam kejahatan internasional pada pemusnahan suatu golongan bangsa, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan penyiksaan disalin hampir sesuai aslinya dari hukum Romawi (DEFINISI DARI PELANGGARAN SEKSUAL) Para penyelidik dan penuntut demikian pula halnya dengan para hakim internasional yang duduk di Panel Khusus, merupakan staff PBB yang dipekerjakan khusus untuk menangani hal ini. Setiap panel khusus, yang didirikan sebagai bagian dari struktur pengadilan setempat, terdiri dari dua hakim internasional dan satu hakim Timor Timur. Pada akhir dari masa mandatnya, unit kejahatan serius di Dili mengeluarkan dakwaan terhadap 392 individual. 304 diantaranya diyakini berada di luar yuridiksi Indonesia. Delapan puluh empat anggota milisia dinyatakan bersalah setelah diadili. Hampir semua dari terdakwa menerima hukuman antara 7 sampai 15 tahun penjara, dan satu pemimpin milisia dihukum 33 tahun penjara. Dari angkatan bersenjata Indonesia pejabat berpangkat tertinggi yang didakwa adalah Jendral Wiranto. Masalah-masalah yang belum ada penanganan Beberapa badan monitor internasional terus merekomendasikan pembentukan sebuah tribunal internasional ad hoc untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di Timor Timur, berdasarkan hal-hal sebagai berikut: Tribunal campur di Dili hanya menargetkan kepada ikan kecil bukan kepada orang-orang yang paling bertanggung jawab yang belum berhadapan dengan keadilan. Karena itu, ada kewajiban yang berkelanjutan di bawah hukum internasional bagi masyarakat international dan pemerintah Indonesia untuk memastikan orang-orang tersebut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Cara kerja dari tribunal ad hoc di Jakarta tidak memenuhi standar minimum internasional yang diperlukan untuk memperlihatkan kesungguhan dan kemampuan yang sebenar-sebenarnya untuk mendakwa mereka yang bertanggung jawab. Prinsip double jeopardy oleh karenanya tidak dapat diaplikasikan kepada mereka yang sudah diadili dan divonis bebas di tribunal ad hoc. Sehingga mereka dapat diadili di pengadilan internasional lain. ICC tidak dapat menangani kasus Timor Timur karena sudah terjadi sebelum ICC terbentuk. Yuridiksi Universal Di bawah prinsip umum kedaulatan negara hukum nasional dari satu negara bagian tidak berlaku di negara bagian lain. Hukum-hukum tersebut hanya dapat berlaku terhadap: Perorangan (warga negara atau sebaliknya) yang secara fisik berada di wilayah geografi satu negara bagian tertentu. Warga negara satu negara yang berada di luar batas wilayah negaranya (hanya dalam kasus pengecualian, sebagai contoh hukum yang baru-baru ini berlaku yang melarang pelanggaran seksual terhadap anak-anak saat berada di luar negeri, dikeluarkan oleh sejumlah negara). Undang-undang yang bertentangan dengan hukum nasional tertentu, yang masih berlaku efektif pada waktu dan tempat di mana undang-undang tersebut dilaksanakan. (Prinsip retroaktif) Komunitas internasional yang semakin lama semakin mengakui bahwa menyeret para pelaku ke meja hijau untuk tindak kejahatan internasional yang paling serius merupakan pengecualian atas prinsip normal seperti dinyatakan di atas. Menurut prinsip yuridiksi universal, kejahatan internasional seperti genocide, kejahatan

14 14 terhadap kemanusaian, kejahatan dan penyiksaan perang dapat diadili dengan pengadilan nasional dan internasional, tanpa mengindahkan kewarganegaraan dari si pelaku kejahatan atau waktu dan tempat di mana kejahatan terjadi. Kewajiban negara bagian untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut diakui atau diperlukan dalam sejumlah konvensi internasional seperti Hukum Romawi, Konvensi terhadap Penyiksaan dan ketentuan Pelanggaran Berat Konvensi Jenewa. Akan tetapi, walaupun banyak negara nampaknya mengakui kewajiban-kewajibannya, mereka harus mengeluarkan dan melaksanakan perundang-undangan dalam negeri yang memberi efek terhadap kewajibankewajiban tersebut. Perkembangan masalah ini lambat. Namun demikian, kecenderungan terbaru termasuk pengadilan Perancis yang mengadili Jerman untuk kejahatan terhadap kemanusiaan selama Perang Dunia II (kasus Barbie, Papon dan Touvier); pengadilan Israel menjatuhkan hukuman terhadap warga negara Jerman atas tuduhan genocide yang dilakukan di luar wilayah yuridiksi Israel selama Perang Dunia II (Eichman), pengadilan Jerman mengadili bangsa Serbia atas tuduhan kejahatan internasional yang dilakukan di bekas Yugoslavia, dan pengadilan Inggris telah mengakui yuridiksi atas penyiksaan yang dilakukan di Chile, walaupun tidak ada hasil putusan sidang (kasus Pinochet) Pada umumnya, negara-negara takut mencampuri urusan dalam negeri negara lain, hal tersebut semakin menghalangi-halangi proses mencari kejelasan atas kejahatan internasional. Tetapi fakta yang menyatakan bahwa ada tuntutan kejahatan internasional yang menang di pengadilan di Spanyol, Perancis, Belgia, Inggris dan Belanda memperlihatkan bahwa ada peningkatan kemauan dari negara-negara untuk memenuhi kewajibannya. The USA Alien Torts Act (Undang-undang Perbuatan Melawan Hukum Orang Asing) Perbuatan melawan hukum biasanya terbatas untuk menyediakan penyembuhan terhadap warga negara yang menderita akibat pelanggaran yang dilakukan warga negara lainnya, perusahaan, dan sebagainya yang berada di negara itu. (sebagai contoh, melalui kelalaian, pengabaian yang disengaja, dll.) Namun, di Amerika Serikat, sebuah hukum yang sangat tua, bahwa Alien Torts Claims Act (ACTA) dibuat tahun 1789, memungkinkan individual yang bukan warga negara Amerika bisa menuntut, di pengadilan federal Amerika Serikat, orang-orang yang telah membuat mereka menderita melalui pelanggaran dari hukum negara atau sebuah perjanjian Amerika Serikat. Pengadilan Amerika Serikat telah menterjemahkan hukum ini sehingga termasuk tindakan-tindakan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, orang hilang, eksekusi tanpa sidang, kerja paksa dan penahanan yang secara semena-mena terus diperpanjang. Undang-Undang Perlindungan Terhadap Korban Penyiksaan tahun 1991 (TVPA) melanjutkan hal ini dengan memperbolehkan warga negara Amerika Serikat untuk menuntut mereka yang bertanggung jawab terhadap penyiksaan dan pembunuhan tanpa diadili yang bertindak mengatasnamakan pihak penguasa atau hukum suatu negara asing. Hukum-hukum ini bukanlah hukum kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman langsung terhadap pelaku kejahatan. Hukum-hukum tersebut memungkinkan para korban untuk mengklaim atas kerusakan yang terjadi seperti ganti rugi finansial dari pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional seperti tersebut di atas. Prosedur yang relevan termasuk kebutuhan para tergugat atas secara pribadi diberitahukan tentang klaim tersebut oleh Penggugat atau agennya

15 15 dengan cara memberi dokumen klaim secara langsung. Pengadilan selanjutnya akan menjadwalkan satu pemeriksaan (hearing) terhadap masalah tersebut. Menurut prosedur pada umumnya dalam kasus-kasus sipil, apabila salah satu pihak tidak datang pada saat pemeriksaan dilaksanakan, maka pihak lawan akan mendapatkan putusan yang menguntungkan. Dalam sejumlah kasus yang dibawakan menurut prosedur ini, ada kesempatan untuk memberi dokumen kepada tergugat yang relevan, akan tetapi sang tergugat tidak hadir dalam pemeriksaan. Dalam kasus-kasus seperti ini pengadilan telah membuat putusan yang menguntungkan bagi si penggugat, seringkali termasuk sejumlah besar ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak korban baik sebagai ganti rugi atas penderitaan yang dialami dan sebagai hukuman tambahan yang dibuat untuk menghukum pihak tergugat. Perintah-perintah pengadilan seperti ini hanya dapat dilaksanakan di Amerika Serikat. Pihak tergugat yang tidak menghadiri pemeriksaan sidang dan kemudian tidak masuk ke Amerika Serikat tidak wajib membayar. Kebanyakan korban tidak menerima pengakuan atau ganti rugi di negara mereka sendiri, dan tidak akan mendapatkan ganti rugi melalui Alien Torts Act karena pihak tergugat tidak akan masuk ke AS lagi. Namun demikian, prosesnya memberi mereka kemenangan moral, kesempatan untuk memberikan kesaksian publik sehubungan dengan aksi yang dilakukan oleh sang tergugat, dan mengirimkan pesan bagi para pelaku kejahatan di masa lalu dan yang akan datang. Praktisnya, hal tersebut mencegah tergugat untuk bisa masuk ke AS dan melakukan bisnis di sana karena ada kewajiban yang belum terpenuhi terhadap pihak korban. Kasus-kasus yang telah dibawa melawan bekas diktator Haiti, Pemimpin Bosnia Serbia yang mengangkat dirinya sendiri, Radovan Karadzic; Menteri Pertahanan Guatemala dan bekas diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Para korbannya telah menerima penggantian yang substansial dari aset Marcos di AS. Sebuah pengadilan AS juga memerintahkan dua purnawirawan Jendral di El Salvador yang menjalani masa pensiun di Florida untuk membayar sejumlah $54,6 juta kepada 3 korbannya. Kewajiban perusahaan multinasional Akhir-akhir ini sejumlah perusahaan multinasional menerima tuntutan karena keterlibatan langsung dalam suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah asing dan angkatan bersenjatanya. (ref: Human Rights Watch...) UNOCAL dituntut karena diduga telah menyewa militer Burma yang sangat kejam sebagai pegawai keamanan di pipanisasi gasnya dan selama disewa, mereka telah melakukan kekerasan-kekerasan terhadap para warga negara dalam rangka membela kepentingan UNOCAL. Perusahaan minyak Talisman dituntut karena diduga telah memperbolehkan masyarakat Sudan untuk menggunakan fasilitas dan logistiknya untuk kegiatan operasional yang termasuk ke dalam kekerasan terhadap warga sipil. Kasus-kasus Indonesia Dua orang Jenderal Indonesia telah berhasil dituntut di bawah Alien Torts Act atas aksi kejahatan mereka di Timor Timur. Kasus Sintong Panjaitan Santa Cruz Pada tahun 1994 pengadilan federal AS memutuskan Mayjen Sintong Panjaitan untuk membayar AS$4 juta sebagai ganti rugi dan tambahan $10 juta ganti rugi imateriil untuk ibu dari seorang aktivis Malaysia yang terbunuh dalam pembunuhan masalah terhadap lebih dari 270 orang Timur Timur oleh angkatan bersenjata Indonesia di kuburan Santa Cruz di Dili pada tanggal 12 Nopember Todd v. Panjaitan (No , slip op. (D. Mass. Oct. 26, 1994

16 16 Kasus Johnny Lumintang di Timor Timur 1999 Pada tahun 1999, Jend. Johnny Lumitang yang menjabat sebagai wakil chief staff Jenderal, orang nomor dua di Angkatan Darat Indonesia. Beliau secara pribadi mendapatkan panggilan dari Alien Torts Act pada 30 Maret 2000 ketika sedang berkunjung ke area Washington DC dan tidak menghadiri kelanjutan pemeriksaan sidang. Hakim Kay memutuskan Lumintang bertanggung jawab atas kekerasan-kekerasan di Timor Timur. Bukti atas keterlibatan langsung termasuk tanda tangannya di beberapa dokumen kunci. Dia juga secara tidak langsung bertanggung jawab sebagai komandan yang mungkin baik secara kriminal atau sipil bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya. Pengadilan memutuskan bahwa sebagai salah satu pimpinan tinggi TNI Lumintang mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa anak buahnya terlibat dalam pelanggaran hak yang tersistem di Timor Timur and dia gagal untuk bertindak mencegah atau menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut. Oleh karena itu dia secara hukum bertanggung jawab atau aksi yang dilakukan mereka. Hakim Kay memutuskan Lumintang...bertanggung jawab atas aksi kejahatan terhadap para penggugat dan pola yang lebih besar dari pelanggaran hak asasi manusia yang brutal,... Beliau, bersama dengan beberapa pimpinan tinggi militer Indonesia lainnya, merencanakan, memerintahkan dan menghasut suatu tindakan yang dijalankan oleh anak buahnya untuk meneror dan menelantarkan populasi warga Timor Timur... dan menghancurkan infrastruktur di Timor Timur setelah hasil pemilu yang menyatakan keinginan untuk merdeka. Pengadilan memerintahkan Lumintang untuk membayar AS$66 juta termasuk ganti rugi dan ganti rugi imateriil, terhadap 6 korban atau keluarga mereka yang merupakan pihak penggugat dalam kasus ini. Perkembangan Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) Pada tahun 1990-an PBB mengadakan beberapa kali pertemuan dan konferensi dimana para perwakilan dari berbagai Negara bekerjasama untuk merancang suatu Statuta yang akan menciptakan suatu pengadilan pidana internasional. Setelah kerja keras yang dilakukan oleh panitia perancang internasional, pada bulan Juli 1998, suatu konferensi internasional diadakan di Roma, Italy, yang melibatkan peserta dari 160 negara. Pada akhir tahun 1998, 120 negara memilih untuk mengadopasi Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional. Pada waktu Statuta Roma diadopsi, telah diputuskan bahwa setelah 60 negara meratifikasi Statuta tersebut, dan oleh sebab itu setuju untuk terikat oleh ketentuanketentuannya, maka Pengadilan Pidana Internasional akan didirikan. Pada saat itu, hal tersebut mungkin dicapai dalam beberapa tahun. Namun sebelum 2002, jumlah minimum 60 negara yang meratifikasi terpenuhi, dan dengan demikian memungkinkan berdirinya pengadilan tersebut. Pada saat ini, lebih dari 100 negara telah meratifikasi Statuta Roma, yang menjadikan Negara-negara tersebut sebagai pihak/peserta didalam Konvensi. Ada beberapa pengecualian-pengecualian yang dapat dicatat diantara para Negara

17 17 peserta. Amerika Serikat, India, China, Russia dan Jepang bukan merupakan peserta, namun demikian, Jepang telah mengumumkan bahwa Negara itu akan segera meratifikasi Statuta Roma. Asia secara umum tidak terlalu terwakili diantara Negara-negara peserta. Indonesia berencana untuk menjadi peserta setelah meratifikasi Statuta Roma pada tahun Pada masa lalu, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah mendirikan beberapa pengadilan pidana internasional yang bersifat ad hoc (sementara) seperti Pengadilan Pidana untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Namun demikian, pengadilanpengadilan ini hanya diberikan jurisdiksi untuk mengadili perkara atas suatu konflik tertentu dimasa lalu. Statuta Roma menciptakan suatu pengadilan pidana tetap pertama, yang memiliki kemampuan untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan-kejahatan internasional yang paling berat. Walaupun PBB telah mengorganisir langkah-langkah persiapan untuk terbentuknya pengadilan tersebut, tapi pengadilan tersebut bukan merupakan badan PBB. ICC merupakan badan yang independen, dengan mandat yang didasarkan pada Statutanya sendiri. Negara yang menjadi peserta Statuta Roma dengan meratifikasinya, bertanggungjawab untuk mendirikan dan menjalankan Pengadilan tersebut, bukannya PBB. Para Negara peserta telah membentuk suatu Dewan Para Negara Peserta (Assembly of State Parties) yang bertemu setiap tahunan untuk mempertimbangkan isu-isu yang terkait dengan pelaksanaan pengadilan termasuk anggarannya. Dewan ini juga bertanggungjawab atas setiap perubahan terhadap Statuta Roma, walaupun Dewan tersebut telah memutuskan bahwa perubahan tidak akan dibuat sebelum Karena pengadilan ini bukanlah badan PBB, maka Pengadilan ini hanya memiliki kewenangan atas Negara-negara yang telah secara sukarela mengikatkan diri atas ketentuan-ketentuannya. Dengan demikian, Negara-negara yang belum meratifikasi Statuta Roma tidak berada dibawah yurisdiksi ICC, kecuali warga negaranya melakukan kejahatan didalam batas Negara yang merupakan Negara peserta dalam Statuta Roma tersebut. Lebih lanjut, hanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah suatu tanggal Negara meratifikasi Konvensi tersebut yang dapat dijadikan yurisdiksi ICC. Sebagai contoh, Indonesia meratifikasi Statuta Roma di tahun 2008, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara sebelum tanggal ratifikasi tersebut. ICC tidak dirancang untuk menggantikan pengadilan nasional. Bahkan pada kenyataannya, ICC dirancang untuk mendorong agar pengadilan-pengadilan nasional mengambil tanggungjawab untuk mengadili warganegaranya yang telah melakukan kejahatan-kejahatan berat. ICC hanya menangani kasus-kasus yang tidak secara tepat ditangani oleh pengadilan nasional (sehingga pengadilan ini merupakan pelengkap terhadap pengadilan nasional, dan bukan menggantikannya). ICC bukan merupakan pengadilan tingkat banding yang akan mempertimbangkan kasus-kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan nasional. ICC hanya memiliki jurisdiksi untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang paling berat. (diskusikan kemudian). Sehingga, apabila Indonesia meratifikasi di tahun 2008, maka ICC hanya memiliki jurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling berat yang dilakukan setelah tanggal ratifikasi dan dimana pengadilan Indonesia diputuskan tidak memiliki kemawaun atau kemampuan untuk mengadili kasus-kasus tersebut. Preambul (Pembukaan) Statuta Roma Mengafirmasi bahwa kejahatan-kejahatan yang paling berat yang menjadi kepedulian masyarakat internasional tidak boleh tidak dihukum dan harus diadili secara efektif dengan mengambil tindakan-tindakan di tingkat nasional dan dengan

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS Tanggal Embargo: 13 April 2004 20:01 GMT Indonesia/Timor-Leste: Keadilan untuk Timor-Leste: PBB Berlambat-lambat sementara para pelaku kejahatan bebas berkeliaran Pernyataan

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK 2012, No.149 4 PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

SURAT TERBUKA KEPADA KETUA PANSUS RUU TERORISME DPR RI TENTANG RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

SURAT TERBUKA KEPADA KETUA PANSUS RUU TERORISME DPR RI TENTANG RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME AI Index: ASA 21/5273/2016 Mr. Muhammad Syafii Ketua Pansus RUU Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Jl. Gatot Subroto, Senayan Jakarta, 10270, Indonesia

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR UNITED NATIONS NATIONS UNIES United Nations Transitional Administration Administration Transitoire des Nations Unies in East Timor au Timor Oriental UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Lebih terperinci

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Ifdhal Kasim 1. Dengan tema konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia, yang diberikan kepada saya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan persetujuan oleh Resolusi Majelis

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Bagian 2: Mandat Komisi

Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi...1 Bagian 2: Mandat Komisi...2 Pendahuluan...2 Batasan waktu...3 Persoalan-persoalan dengan relevansi khusus...3 Makna berkaitan dengan konflik politik...3

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM no. 08

KOMENTAR UMUM no. 08 1 KOMENTAR UMUM no. 08 KAITAN ANTARA SANKSI EKONOMI DENGAN PENGHORMATAN TERHADAP HAK- HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya E/C.12/1997/8

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatanganan Ratifikasi dan Aksesi MUKADIMAH Negara-negara

Lebih terperinci

R-166 REKOMENDASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

R-166 REKOMENDASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 R-166 REKOMENDASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 R-166 Rekomendasi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan K o n v e n s i 1 9 5 4 t e n t a n g S t a t u s O r a n g - O r a n g T a n p a k e w a r g a n e g a r a a n SERUAN PRIBADI DARI KOMISIONER TINGGI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci