BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG"

Transkripsi

1 BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang Pertanggungjawaban negara Pertanggungjawaban negara muncul akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Pertanggungjawaban muncul diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional, suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara, bahkan memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Munculnya konsep tanggung jawab negara bisa dilihat dari adanya prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip tersebut suatu negara yang haknya telah dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggung jawaban. 23 Tanggung jawab negara timbul karena negara sebagai subjek hukum, pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur hukum. 24 Subjek hukum adalah pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. 25 Perihal tanggung jawab negara berpedoman pada suatu draft yang dihasilkan oleh Komisi hukum internasional (International Law Commission 23 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, hlm Sugeng Istanto, h Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm

2 41 /ILC), sebuah badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1947, melakukan studi dan kodifikasi soal tanggung jawab negara. Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional dapat berupa melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu : 1. Diatribusikan kepada negara melalui hukum internasional 2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12). Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan (coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah secara internasional. Hukum humaniter internasional mengatur mengenai kewajiban negara dalam kaitanya dengan kejahatan perang, kewajiban pertama adalah negara diwajibkan membentuk aturan nasional dalam negaranya untuk mengatur mengenai kejahatan perang di dalam aturannya diwajibkan mengatur mengenai pelaku kejahatan perang, dimana aturan tersebut harus bersifat universal tanpa

3 42 memandang kewarganegaraan pelaku maupun pihak yang menyuruh lakukan kejahatan perang, yang dilakukan didalam atau diluar wilayah negara tersebut, Aturan tersebut tercakup dalam beberapa instrument internasional, yaitu: a) Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan korban perang dalam konflik bersenjata internasional. Ketentuan dalam konvensi yang berkaitan dengan pelanggarn berat menurut bagian ini akan diberlakukan aturan sesuai pelanggaran berat menurut protokol ini. 26. Kewajiban negara mengatur dalam tingkat nasional, suatu negara mempunyai kewajiban untuk saling membantu berkaitan dengan pelanggaran berat, dimungkinkan juga melalui kerjasama dalam ekstradisi. 27 b) Konvensi Jenewa I, II, III, IV tentang perlindungan korban perang. Pihak dalam konvensi ini memberlakukan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang efektif bagi orang, yang melakukan, atau orang yang memerintahkan apabila melakukan pelanggaran berat sesuai definisi yang didalam pasal ini. 28 Dengan ketentuan tersebut maka aturan kejahatan perang yang ada dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 ditambah dengan Protokol Tambahan I menjadi aturan yang seharusnya diterapkan oleh Negara dalam aturan hukum nasionalnya. c) Konvensi Den Haag 1954 tentang perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata, kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghukum dan memberikan sanksi atas seseorang apapun itu 26 Pasal 85 ayat (1) PT I 27 Pasal 88 Protokol Tambahan Pasal 49 KJ I, Pasal 50 KJ II, Pasal 129 KJ III, Pasal 146 KJ IV

4 43 kewarganegaraanya yang telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran berkaitan dengan perlindungan budaya pada konflik bersenjata. d) The Statue of the International Criminal Court (ICC) The statue affirm that national courts have primary responsibility for trying such crimes 29 The jurisdiction of the ICC is complementary to that of state:it may be exercised solely when a state is unable genuinely to carry out the investigation or prosecution of alleged criminals under its jurisdiction, or is unwilling to do so. 30 If they wish to avail themselves of their own courts jurisdiction, the states Parties must have suitable legislation enabling them to bring these persons to trial in accordance with the requirements of the statute.the States Parties are also obliged to coorporate fully with the ICC in its investigation and prosecution of crimes within its jurisdiction. 31 In addiction, they must repress offences againts the administration of justice by the ICC ehich have been commited in their territory or by one of their nationals. 32 Dalam penjelasanya negara yang telah menjadi pihak Statuta berarti memiliki kewajiban untuk mengakui bahwa negara, bukan ICC, memiliki tanggung jawab utama dalam mengadili para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Tidak hanya negara yang memiliki kewajiban untuk mengadili pelaku kejahatan internasional, namun ICC juga dapat mengadilinya hanya apabila negara tersebut tidak mampu dan tidak mau melaksanakan kewajibanya. Jika ICC menjadi pelengkap suatu negara dalam sistem pengadilan internasional, maka negara tersebut harus melaksanakan tanggung jawabnya. Negara harus membuat dan menegakkan hukum nasionalnya yang mengatur kejahatan terhadap hukum internasional. Ukraina berkewajiban 29 Preambule Statuta Roma Ibid, Pasal Ibid, Pasal Ibid, Pasal 70 (4)

5 44 untuk mengamankan peta navigasi udaranya dengan menerapkan zona larangan terbang di atas wilayah tempat konflik bersenjata terjadi Tanggung jawab individu Individu mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan oleh individu itu sendiri, atau mereka yang melakukan, atau mereka yang memerintahkan, atau mereka yang membantu orang lain untuk melakukan kejahatan perang. Dalam konvensi Jenewa terdapat istilah persons. Persons yang dimaksud adalah warga negara, baik warga negara dari negaranya sendiri maupun warga negara lawan yang terikat untuk memenuhi ketentuan dalam Konvensi Jenewa. Bagi orang / person yang melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi pidana efektif, tidak hanya pelaku kejahatan yang terikat tetapi juga orang / person yang menyuruh melakukan kejahatan perang. Tidak ada ketentuan yang menyebut pertanggungjawaban bagi orang yang gagal mencegah terjadinya pelanggaran. 33 Pertanggung jawaban pidana secara individu sudah ada saat dibentuknya Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, sejak saat itu individu sebagai pihak dalam pengadilan internasional/tersangka kejahatan internasional. Sejarah dan perkembangan awal dari prinsip individual responsibility dihadapan pengadilan internasional yang menjadi dasar ICTY, ICTR, dan Konvensi Jenewa 1949 untuk mengadopsi sistem pertanggungjawaban individu dalam hal kejahatan internasional. Pasal 25 Statuta Roma 1998 menjelaskan mengenai ketentuan yuridiksi atau orang, seorang yang melakukan kejahatan didalam juridiksi 33 Jean S. Pictet, 1995,.op.cit., hlm.364 buku Dr Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H., M.Hum Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hlm 129

6 45 mahkamah bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman atas pelanggaran yang dia lakukan. Pertanggung jawaban individu berlaku sama terhadap semua orang tanpa ada pembedaan, meskipun dia seorang kepala negara atau pemerintahan atau parlemen, Statuta Roma 1998 tidak mengecualikan seseorang dari tanggung jawab pidana dibawah statuta ini. Pejabat negara akan bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang dilakukan atas nama Negara Penegakan Hukum Atas Kejahatan Perang Penegakan hukum kejahatan perang terdapat dua macam penegakan yaitu penegakan tidak langsung dan pengadilan langsung. Penegakan tidak langsung melalui proses pengadilan di tingkat nasional, dengan menerapkan intrumen nasional dalam hukum internasional dan penegakan langsung melalui proses pengadilan internasional Penegakan hukum di pengadilan nasional Kedaulatan Negara merupakan sesuatu hal yang penting yang dimiliki oleh suatu negara. Negara mempunyai wewenang yang eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu yang ada di wilayahnya. termasuk hak dan kewajiban untuk mengadili individu yang melakukan pelanggar hukum humaniter internasional, Kedaulatan negara tidak bersifat mutlak mana kala persoalan menjadi urusan bersama, dalam kasus penembakan pesawat ini telah menimbulkan kerugian bagi penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata. Persoalan yang demikian tidak hanya menjadi urusan negeri suatu negara, namun 34 Pasal 27 Statuta Roma 1998

7 46 telah menjadi persoalan bersama sehingga hukum internasional dapat terlibat didalamnya. Ukraina dianggap sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap aksi penembakan pesawat MH-17, mempunyai tanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional diwilayahnya diatur pada laporan International Law Commission dalam rancanganya Article 14 : Every State has the duty to conduct its relations with other States in accordance with the principle that the sovereignty of each State is subject to the supremacy of international law. Konsep kedaulatan negara oleh hukum internasional harus berimplikasi pula kebalikan, negara harus menghormati ketentuan hukum internasional untuk menjamin kepentingan nasional negara lainya. Negara mempunyai kewajiban memberikan pelayanan terhadap setiap penerbangan yang melintas diwilayahnya, pelayanan berupa panduan mengenai kondisi didarat dan informasi cuaca. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan melalui fasilitasnya dengan hal itu maka secara tidak langsung akan terwujud pelaksaanaan penerbangan dengan aman, meskipun penembak Malaysia Airlines MH-17 adalah pemberontak separatis pro Rusia, 35 pemerintah Ukraina tetap mempunyai tanggung jawab untuk aksi ini, terkait lokasi wilayah jatuhnya pesawat yang masih diwilayah negara Ukraina. Negara yang warganya turut menjadi korban dapat melakukan penuntutan terhadap Ukraina, Sebagian besar penumpang di penerbangan MH17 dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur adalah warga negara Belanda selain itu 35 international.sindonews.com/ Dikira Pesawat Ukraina, Ini Pengakuan Penembak MH17 diakses pada 7 Januari 2015

8 47 terdapat juga warga negara Australia, Malaysia, Indonesia, Filipina, Inggris, Jerman, Belgia dan Kanada. 36 Keluarga korban penembakan pesawat MH-17 juga dapat meminta pertanggung jawaban Ukraina dengan menuntut negara ukraina ke pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa, Ukraina dianggap ceroboh untuk tidak menutup wilayah udaranya, kelalaian dari Ukraina ini menyebabkan kematian 298 orang. Penuntutan terhadap negara Ukraina juga bisa dilakukan negara korban dengan melalui mekanisme, ICJ International Court of Justice (ICJ) atau kita kenal juga dengan istilah Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu lembaga dalam hukum internasional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara negara dengan negara. Jika persoalan penembakan pesawat yang dituntut itu adalah Ukraina sebagai negara serta yang menuntut adalah negara yang mengalami kerugian atas aksi penembakan tersebut maka persoalan dapat diselesaikan di International Court of Justice. Yuridiksi mahkamah ini mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa antar negara atau lebih, pada Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang bisa menyerahkan sengketanya ke Mahkamah, dengan kata lain subjek hukum internasional lainya seperti organisasi internasional, perusahaan multilateral orang perorangan, pihak yang bersengka tidak bisa meminta Mahkamah untuk menyelesaikan sengketanya. International Criminal of Justice (ICJ) merupakan organ judisial dari PBB mempunyai tugas untuk menangani sengketa yang berupa Contentious cases 36 newsandfeaturesonindonesia.blogspot.com/presiden Rusia Vladimmir Putin Salahkan Ukraina atas Jatuhnya Pesawat Malaysia

9 48 maupun yang berupa Advisory proceedings. Contentious cases adalah kasus yang berupa sengketa antar negara sedangkan Advisory proceedings adalah kasus dimana organ-organ lain PBB meminta advisory opinions terhadap suatu masalah internasional. Negara yang menjadi anggota PBB adalah anggota dari statuta ICJ. Dengan begitu negara yang ingin menuntut Ukraina (negara lokasi penembakan pesawat MH-17) bisa menyerahkan kasusnya kepada International Criminal of Justice (ICJ) harus dengan adanya special agreement, terdapat rujukan kepada ICJ jika terjadi sengketa dalam suatu perjanjian internasional, dan dengan cara menerima compulsory jurisdiction dari ICJ. Negara yang warga negaranya turut menjadi korban penembakan berhak mengadili individu yang dianggap melanggar hukum humaniter internasional, misalnya negara Belanda, akan dimungkinkan pelaksanaan sanksi terhadap individu dengan menggunakan aturan hukum Belanda, International Criminal Act 19 Juni 2003, dalam undang-undang ini diatur mengenai masalah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam aturan ini tidak menjelaskan kualifikasi kejahatan perang seperti pada Pasal 5 ayat 1 International Criminal Act 2003 yang mengatur pelanggaran berat seperti dalam pasal 8 Statuta roma 1998, pelanggaran berat yang sesuai dengan Protokol Tambahan I, aturan tesebut secara jelas membahas mengenai pelanggaran hukum dan kebiasaan perang, meskipun pada prinsipnya semua negara di dunia berhak mengadili pelaku kejahatan perang sesuai dengan prinsip universal, semua negara mempunyai kewajiban untuk menerapkan prinsip universal atas kejahatan perang. Negara harus mencari dan menghukum atau mengekstradisi orang yang didakwa

10 49 melakukan kejahatan perang. Kewajiban disebutkan oleh Konvensi Den Haag, diatur mengenai kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan, misalnya menghukum pelaku dan melaksanakan sanksi pidana atas seseorang yang melanggar hukum humaniter di konflik bersenjata tanpa melihat kewarganegaraanya Penegakan hukum di pengadilan internasional Ad Hoc Tribunal Tribunal ad hoc diawali dengan dua pengadilan internasional setelah berakhirnya Perang Dunia II, yaitu Military Tribunal for Nuremberg dan International Millitary for Far East, diikuti oleh ICTY dan ICTR. a. Pengadilan internasional Nuremberg dan Pengadilan internasional Tokyo Nuremberg Trial atau disebut juga Pengadilan Nuremberg merupakan sebuah pengadilan militer internasional yang dibentuk oleh empat kekuatan besar sekutu, yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Perancis. Nuremberg Trial sendiri adalah hasil dari gagasan pemimpin negara-negara sekutu untuk mengadili petinggi Nazi Jerman ke hadapan pengadilan militer internasional. Gagasan dan proses pembentukan mahkamah ini berlangsung ketika perang masih berkecamuk. Bersamaan dengan situasi perang yang sudah mulai berbalik, dimana Jerman mengalami kekalahan di banyak pertempuran, pada saat itu juga pemimpin negara-negara sekutu mulai mempersiapkan suatu mekanisme hukum untuk menunut dan mengadili para penjahat perang. Gagasan pembentukan pengadilan internasional untuk penjahat perang Jepang selama Perang Dunia II muncul dari negara-negara sekutu. Pada bulan

11 50 Desember 1945, empat negara sekutu yang berkepentingan atas Jepang pasca Perang Dunia II mengadakan pertemuan di Moskow (Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan China). Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Jepang selama perang berlangsung.2. Pengadilan internasional Yugoslavia dan pengadilan internasional Rwanda International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) adalah sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda. Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undangundang perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan. Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini. Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada ICTR atau Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda dibentuk pada tahun 1994 oleh Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Pengadilan ini bertujuan untuk mengusut/memproses dan menghukum beberapa

12 51 tersangka yang diduga kuat telah terlibat melakukan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa Pembantaian Massal di Rwanda tahun Pengadilan ini dibentuk berdasarkan Resolusi 955 tahun 1994 dan berada dibawah kewenangan Dewan Keamanan PBB. Menyadari bahwa pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan yang dilakukan di Rwanda, dan bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dibuat Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dengan resolusi 955 dari 8 November Tujuan dari langkah ini adalah untuk berkontribusi dalam proses rekonsiliasi nasional di Rwanda dan untuk pemeliharaan perdamaian di wilayah tersebut. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda didirikan untuk penuntutan orang yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda antara tanggal 1 Januari 1994 dan 31 Desember Hal ini juga dapat menangani penuntutan warga negara Rwanda yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran semacam hukum internasional lainnya yang dilakukan di wilayah negara tetangga pada periode yang sama. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda diatur oleh negara, yang dilampirkan Resolusi Dewan Keamanan 955. Peraturan prosedur dan bukti, yang diadopsi para hakim sesuai dengan Pasal 14 Statuta, membangun kerangka kerja yang diperlukan untuk fungsi sistem peradilan. Kedua pengadilan tersebut merupakan organ tambahan Dewan Keamanan hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada para terdakwa hanya hukuman seumur hidup. Pengadilan ICTY dan ICTR mengabaikan prinsip non bis

13 52 in idem, pengadilan ini bisa mengadili tersangka yang telah diadili sebelumnya oleh pengadilan lokal. Pengadilan ad hoc ini berdiri karena beberapa alasan, yang pertama adalah unable factor ini menekankan kepada kondisi sebuah negara tempat terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang tidak mampu menjalankan sebuah proses pengadilan. Kedua adalah unwilling, factor ini menekankan keadaan politik wilayah negara tempat terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Negara yang tidak mempunyai political will enggan membuat upaya hukum agar pelaku kejahatan perang dapat diadili melalui proses pengadilan. Untuk menyelidiki pelanggaran hukum humaniter internasional dalam kasus penembakan pesawat MH-17 dimungkinkan untuk dibuat sebuah pengadilan ad hoc, pengadilan ad hoc dapat dibentuk atas inisiatif para negara korban untuk mengadili pelaku penembakan pesawat MH-17, pengadilan ini sifatnya tidak permanen dan pembentukan dimaksudkan hanya untuk sementara waktu, hakim yang menangani kasus juga bersifat sementara hakim tersebut memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksaa, mengadili, dan memutus suatu perkara Pengadilan yang bersifat Permanen (International Criminal Court) Tidak hanya negara yang terlibat saja yang mengatur tentang penegakan kejahatan perang, dunia internasional pun juga mempunyai sebuah mahkamah pidana internasional (ICC), pembentukan ICC yang menjadi dasar secara eksplisit menegaskan bahwa pelaku kejahatan paling serius yang menyangkut perhatian

14 53 masyarakat internasional secara keseluruhan tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum dan penghukuman secara keseluruhan tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum dan penghukuman secara efektif harus dilakukan melalui tindakantindakan pada level nasional dan melalui peningkatan kerjasama internasional. Ketika sudah ada Mahkamah pidana internasional (ICC) yang mengatur mengenai kejahatan perang maka persoalan yang muncul adalah hubungan antara mahkamah pidana internasional dengan hukum domestik negara. ICC tidak bersifat untuk menggantikan pengadilan nasional, namun sifatnya hanya sebagai pelengkap bagi sistem pidana nasional terutama jika prosedur pengadilan untuk mengadili kejahatan dibawah yuridiksi ICC tidak tersedia atau tidak dapat diselenggarakan secara benar. ICC tetap mengakui kewenangan pengadilan domestik untuk menangani tindakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Melalui artikel 17 Statuta Roma juga menjelaskan mengenai superiotas ICC terhadap pengadilan nasional dalam kondisi tertentu. Menurut artikel 17 Statuta Roma suatu kasus akan dinyatakan dapat diterima oleh ICC apabila seperti berikut ini: a) Ada unwillingness atau inability negara yang seharusnya memiliki yuridiksi penyelidikan dan penuntutan dalam suatu kasus, meskipun proses penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku sedang berjalan di pengadilan nasional Statuta Roma 1998, Art.17 (1).a.

15 54 b) Negara yang memiliki yuridiksi memutuskan untuk tidak menuntut seorang tersangka pelaku kejahatan internasional dan keputusan itu merupakan akibat dari unwillingness atau innability negara tersebut. 38 c) Proses pemeriksaan pengadilan (termasuk pengadilan nasional) terhadap tersangka pelaku kejahatan internasional dalam suatu kasus dimaksudkan untuk melindungi tersangka pelaku dati tanggungjawab pidana (shielding from criminality responsibility). 39 d) Proses pemeriksaan pengadilan (termasuk pengadilan nasional) terhadap tersangka pelaku kejahatan internasional dalam suatu kasus tidak berlangsung secara independen ataupun imparsial. 40 International Criminal Court berbeda dengan Mahkamah Internasional yang merupakan peradilan tetap, organ hukum utama PBB, ICC bukan merupakan organ PBB, berbeda dengan ICJ, ICJ menangani perkara hukum antar negara sedangkan ICC hanya menuntut dan mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi permasalahan bagi masyarakat internasional. Pada statuta dijelaskan bahwa statuta hanya mempunyai Yuridiksi atas individu yang berusia diatas delapan belas tahun keatas setelah statuta mulai berlaku, yuridiksi ICC terbatas oleh waktu dan geografis. ICC tidak dapat mengadili suatu kasus / kejahatan yang terjadi sebelum ICC dibentuk dan ICC tidak dapat mengadili kejahatan yang telah terjadi diluar batas wilayah negara 38 Statuta Roma 1998, Art.17 (1).b. 39 Statuta Roma 1998, Art.20 (3).a 40 Statuta Roma 1998, Art.20 (3).b

16 55 Sesuai dengan Pasal 13 Statuta ICC memberlakukan Yuridiksi terhadap tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 5 jika: a. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan melimpahkanya kepada Jaksa Penuntut oleh negara pihak; b. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan dilimpahkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan yang bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB; c. Jaksa Penuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan berkaitan dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta. d. Ada tiga pihak yang dapat mengajukan suatu perkara tindak pidana ke Jaksa Penuntut, yaitu negara pihak pada Statuta, Dewan Keamanan PBB, dan Prakarsa Jaksa Penuntut itu sendiri. Dalam ICC, yuridiksi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Yuridiksi adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiki oleh pengadilan, yang memberi kekuasaan pada pengadilan itu untuk memeriksa kasus, menerapkan hukum, dan mengambil keputusan atasnya, ada empat kriteria yang menentukan yuridiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan, wilayah, waktu, materi perkara dan person yang dapat dicakup oleh suatu pengadilan. 41 Yuridiksi Ratione materiae ICC adalah yuridiksi ICC yang meliputi kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida, dan agresi, kualifikasi kejahatan dalam Statuta Roma tidak berbeda jauh dari Statuta ICTY dan ICTR, perbedaannya pengaturan dalam Stuta Roma lebih rinci. 41 Arie Siswanto, Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, PT. Rajagrafindo Persada, h. 39

17 56 Kejahatan Perang termasuk dalam Yuridiksi ICC karena kejahatan perang merupakan kejahatan Internasional yang ada sejak lama, dan kejahatan perang merujuk pada tindakan tertentu yang merupakan pelangggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. International Criminal Court memiliki yuridiksi atas kejahatan tersebut begitu suatu negara menjadi peserta dalam Statuta Roma degan meratifikasi atau menyetujui statuta tersebut. Yuridiksi Ratione Personae adalah Yuridiksi ICC mengenai tentang siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakan kejahatan di mata masyarakat Internasional dan organ yudisial yang bersangkutan. Statuta Roma menjelaskan bahwa ICC memiliki yuridiksi atas orang, ICC tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadilii legal persons termasuk negara dan organisasi internasional, orang yang melakukan pelanggaran yang secara material masuk dalam yuridiksi ICC harus menanggung pertanggungjawaban secara individual. 42 Yuridiksi Teritorial adalah yuridiksi ICC terhadap kejahatan yang dilakukan: (1) didalam wilayah negara peserta; (2) diwilayah negara yang menerima yuridiksi atas dasar pernyataan ad hoc; (3) di wilayah yang ditentukan oleh dewan keamanan PBB. Secara Umum Statuta Roma 1998 menjelaskan bahwa ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangan diwilayah negara Pihak Statuta Roma 1998, namun ICC juga dapat menjalankan fungsi dan kewenangan di wilayah bukan negara pihak selama dibuat perjanjianya. 43 Statuta Roma juga mengatur bahwa yuridiksi teritorial ICC tergantung pada inisiatif pengajuan kasus 42 Statuta Roma 1998, Art Statuta Roma 1998, Art.4.2

18 57 ke ICC, suatu kasus jika dirujuk ke penuntut ICC oleh negara dalam pihak Statuta Roma atau hal itu diselidiki karena inisiatif dari penuntut umum maka Statuta Roma mensyaratkan agar negara tempat dilakukan pelanggaran atau tempat kewarganegaraan pelaku haruslah pihak dalam Statuta Roma Sementara apabila kasus dirujuk ke penuntut umum oleh dewan keamanan PBB yang mengambil tindakan dalam kerangkab Bab VII Piagam PBB maka tidak perlu dilihat dari negara mana pelaku berasal dan dimana pelanggaran tersebut terjadi, karena ICC dapat menerapkan yuridiksinya. Yuridiksi Ratione Temporis adalah yuridiksi organ yudisial dapat dibatasi oleh waktu, seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar tindakan yang oada waktu dilakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana.bagi negara yang menjadi pihak dalam statuta Roma setelah statuta memiliki kekuatan berlaku, statuta roma menentukan bahwa ICC memiliki yuridiksi hanya terhadap perbuatan yang dilakukan setelah berlakunya statuta Roma 1998 bagi negara yang bersangkutan kecuali negara itu menyatakan lain. 45 ICC tidak memilili kewenangan untuk menangani kasus sebelum tanggal 1 Juli 2002 berdasarkan artikel 11 Statuta Roma Pada artikel 23 mengatakan a person convicted by the court may be punished only in accordance with this statute. Pada artikel 24 juga diatur bahwa tidak seorang pun dapat dimintai pertanggung jawaban pidana berdasarkan ketentuan statuta atas perbuatan yang dilakukan sebelum berlakunya stuta. ICC tidak akan mengadili suatu kasus jika kasus sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yuridiksi 44 Statuta Roma 1998, Art Statuta Roma 1998, Art.11.2

19 58 atas kasus tersebut, bersifat complementarity sebab apabila yuridiksi nasional menggunakan kewenanganya terhadap penegakan hukum bagi pelaku dan apabila penegakan tersebut gagal maka ICC menggunakan yuridiksinya, ICC akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan. Negara Ukraina merupakan tempat terjadinya kejahatan dan Ukraina tidak termasuk negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma 1998, berkaitan dengan itu, ICC boleh melakukan yuridiksinya bila negara yang diwilayahnya terjadi kejahatan yang disangkakan (negara berkenaan dengan wilayahnya) dan negara yang warga negaranya disangka telah melakukan (negara berkenaan dengan nasionalitas tersangka) adalah negara peserta statuta. Ukraina mempunyai deklarasi yang menyatakan persetujuan untuk menyelesaikan konfliknya melalui juridiksi International Criminal Court dengan dasar Declaration of Verkhovna Rada of Ukraine (the Parliament of Ukraine). 46 Sesuai dengan Pasal 12 paragraf 3 Statuta Roma: Apabila penerimaan dari suatu negara yang bukan merupakan peserta dari Statuta negara boleh dengan deklarasi menundukan diri sama dengan pendaftar, meneriima keberlakuan dari yuridiksi Mahkamah berkenaan dengan tindak pidana tersebut. Negara yang menerima harus bekerja sama dengan Mahkamah tanpa ada penundaan atau pengecualian. Dengan begitu negara Ukraina mengakui Yuridiksi pengadilan untuk mengidentifikasi kejahatan, menuntut, dan mengadili kasus yang ada di territorial Ukraina, disamping itu negara yang tidak meratifikasi Statuta kasusnya dapat Desember Recognition Juristiction diakses pada 10

20 59 dibawa ke pengadilan jika dewan keamanan PBB meminta pengadilan untuk melakukan investigasi situasi kejahatan pelanggaran hukum internasional. ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut kejaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut, diatur dalam pasal 16 Statuta Roma Pengadilan Campuran Hybrid Model atau disebut dengan Internationalised Domestic Criminal Tribunals, adanya komposisi campuran antara elemen domestic dan internasional, adanya perpaduan atau penggabungan antara unsur lokal/nasional dan internasional yang terdapat didalam pengadilan ini misalnya untuk para personilnya (seperti jaksa, hakim, pengacara), sistem hukum yang diterapkan (hukum nasional maupun internasional), dana operasionalnya bersumber dari negara yang bersangkutan maupun bantuan dari luar negri. 47 Pengadilan ini ditunjukan untuk menjawab kesenjangan antara pengadilan nasional dan internasional, masalah utama pengadilan adalah kurang kredibilitas dan inkompeten, sementara pengadilan internasional memiliki keterbatasan dalam hal kewenangan dan mandat. 48 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan campuran (hybrid) digunakan pada beberapa kasus diantaranya adalah kasus mengenai perang sipil di Sierra Leone dan Kamboja serta dalam kasus internal armed conflict yang terjadi di 47 Lina Hastuti, Op.,Cit. h.89 dikutip dari Andret Sujatmoko I., Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya. h Ibid, h.90.

21 60 Timor-Timor dan Kosovo. Pengadilan ini terbentuk berdasarkan latar belakang politik dan dasar hukum pendiriannya. 49 Pada kasus penembakan MH-17 jenis pengadilan ini dapat diterapkan dengan pembentukan panel di Ukraina, panel tersebut memiliki yuridiksi eksklusif atas kejahatan perang dan kejahatan serius yang terjadi wilayah Ukraina. Panel khusus tersebut nantinya berkedudukan di pengadilan wilayah Ukraina, pengadilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding. Pengadilan tersebut yang menyelidiki kejahatan perang dan kejahatan serius lainya termasuk penembakan pesawat MH-17, panel tersebut hanya meliputi kejahatan yang dilakukan dalam periode konflik ukraina serta memiliki yuridiksi yang meliputi seluruh wilayah Ukraina. Dalam melaksanakan yuridiksinya dapat diterapkan hukum yang berlaku di Ukraina dan ketentuan hukum internasional seperti Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1998, meskipun sebenarnya penyelidikan yang nanti dipimpin langsung oleh Ukraina akan membentuk kondisi yang tidak adil Law Review Hybrid courts diakses pada 10 Februari 2015

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 I. PEMOHON 1. Asmara Nababan, SH. Ketua (ELSAM) ( Pemohon I) 2. Ibrahim Zakir. Ketua (KONTRAS) (Pemohon II) 3. Ester Indahyani

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penerbangan MH-17 Malaysia Airlines merupakan penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang dari berbagai negara, pesawat

Lebih terperinci

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International 2009 Diterbitkan oleh: Koalisi Masyarakat

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Ifdhal Kasim 1. Dengan tema konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia, yang diberikan kepada saya,

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi Hukum Pidana Internasional Tolib Effendi Komponen Penilaian 1. Tugas I (10%) 2. UTS (25%) 3. Tugas II (15%) 4. UAS (35%) 5. Kehadiran (5%) 6. Aktivitas di Kelas (10%) Pokok Bahasan 1. Sejarah Hukum Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas isu hukum yang muncul sebagai rumusan masalah dalam bab pertama (Supra 1.2.). Ide-ide yang penulis simpulkan didasarkan

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA Windusadu Anantaya I Dewa Gede Palguna I Gede Putra Ariana Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract 1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of

Lebih terperinci

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS. Cyber Law Drafting. Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS. Cyber Law Drafting. Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS Cyber Law Drafting Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan Dosen: Ir. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, SE, MSi, MPP Agenda Isu Prosedural Jurisdiksi

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI Supriyadi Widodo Eddyono 1 1 Tulisan ini digunakan untuk bahan pengantar diskusi FGD III perlindungan saksi dan Korban yang diinisiasi oleh ICW-KOMMNAS PEREMPUAN-ELSAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

law will aply to offences actually committed of they contain an international (hukum pidana

law will aply to offences actually committed of they contain an international (hukum pidana MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 13 HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 1 DAN TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME A. Pemahaman Dasar Hukum Pidana Internasional Hukum pidana internasional adalah the law

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Mendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia

Mendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional Coalition for the International Criminal Court Kerangka Acuan Seminar Nasional Memperingati Hari Keadilan Internasional Sedunia 17 Juli 2012

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH. SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah Bobot sks Tim Penyusun : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL : 2 sks : ALFONS ZAKARIA, SH. LLM. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci