MYELOMA MULTIPEL. Oleh: Puga Sharaz Wangi, S. Ked I1A Pembimbing: Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp. PD - KHOM

dokumen-dokumen yang mirip
MULTIPLE MYELOMA ANATOMI

Multiple Myeloma DEFINISI GEJALA. Penyebab & Faktor Risiko

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

MULTIPLE MYELOMA PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Epifisis Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder. DEFINISI

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA DI RUANG 27 RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL. Disusun oleh :

MULTIPLE MYELOMA. Oleh : Andre Prasetyo Mahesya, S. Ked Assyifa Anindya, S. Ked Pembimbing : Dr. Juspeni Kartika, Sp.

Patogenesis. Sel MM berinteraksi dengan sel stroma sumsum tulang dan protein matriks ekstraselular. Adhesion-mediated signaling & produksi sitokin

BAB I PENDAHULUAN REFERAT MULTIPEL MIELOMA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MULTIPLE MYELOMA. Gambar 1. Anatomi tulang belakang dan sarafnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

MULTIPLE MYELOMA (MM)

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

KEGANASAN HEMATOLOGI PADA ORANG DEWASA

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Pendahuluan. Epidemiologi

REFERAT MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) VERSUS MDCT (MULTIDETECTOR COMPUTERIZED TOMOGRAPHY) DALAM DETEKSI DAN PENENTUAN STADIUM MULTIPLE MYELOMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN MIELOMA MULTIPEL DI RSUP SANGLAH PADA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA. pada jaringan lunak yang mendukung, mengelilingi, dan melindungi organ tubuh.

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid.

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma

Tinjauan Pustaka. Tanda dan Gejala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

OSTEOPOROSIS DEFINISI

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kanker yang sering terjadi pada anak adalah leukemia, mencapai

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PASIEN MIELOMA MULTIPEL PADA BERBAGAI STADIUM (Studi Observasional di RSUP Dr. Kariadi) ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

MIELOMA MULTIPEL TIPE IgA: LAPORAN LIMA KASUS

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. maupun ganas atau disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat primer

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya sel myeloid (Perrotti et al., 2010). Di Asia,

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

Instabilitas Spinal dan Spondilolisthesis

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : Departemen : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. seumur hidup sebanyak 60% (Demoulin 2012). Menurut World Health

Diabetes Mellitus Type II

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma serviks uteri merupakan masalah penting dalam onkologi ginekologi di

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari jaringan organ yang tidak mengalami diferensiasi membentuk .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan. Etiologi dan Epedimiologi

Penyakit Leukimia TUGAS 1. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Browsing Informasi Ilmiah. Editor : LUPIYANAH G1C D4 ANALIS KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB 1 PENDAHULUAN. ini berbentuk soliter dan dapat tumbuh secara acak di semua sel saraf.

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

Secondary Brain Tumor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

Myeloma atau disebut juga plasma dyscrasia dibagi menjadi 2,yaitu

Transkripsi:

Tinjauan Pustaka MYELOMA MULTIPEL Oleh: Puga Sharaz Wangi, S. Ked I1A009032 Pembimbing: Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp. PD - KHOM BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN Desember, 2013

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I PENDAHULUAN... 3 1.1. Latar Belakang... 3 1.2. Tujuan... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1. Definisi... Error! Bookmark not defined. 2.1. Definisi... Error! Bookmark not defined. 2.1. Definisi... Error! Bookmark not defined. 2.1. Definisi... Error! Bookmark not defined. 2.1. Definisi... Error! Bookmark not defined. BAB III PENUTUP... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Myeloma multipel adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. Myeloma multipel (myelomatosis, plasma cell myeloma, Kahler's disease) merupakan keganasan sel plasma yang ditandai dengan penggantian sumsum tulang, kerusakan tulang, dan formasi paraprotein. Myeloma menyebabkan gejala-gejala klinik dan tanda-tanda klinis melalui mekanisme yang bervariasi. Tumor menghambat sumsum tulang memproduksi cukup sel darah. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan traktus digestivus. Meskipun myeloma masih belum bisa diobati, perkembangan terapi yang terbaru, termasuk penggunaan thalidomide dan obatobatan lain seperti bortezomib dan CC-5013 cukup menjanjikan. 1,2,3,4 1.2. Tujuan Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah meringkas penjelasan tentang myeloma multipel. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Multipel myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sel plasma imatur dan matur yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. 2 2.2. Epidemiologi Di Amerika Serikat, insiden Myeloma multipel sekitar 4 kasus dari 100.000 populasi. Pada tahun 2004, diperkirakan ada 15.000 kasus baru multiple myelosis di Amerika Serikat. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada orang Afro Amerika dan pada pria. Meskipun penyakit ini biasanya ditemukan pada lanjut usia, usia rata-rata orang yang didiagnosis adalah 62 tahun, dengan 35% kasus terjadi di bawah usia 60 tahun. Secara global, diperkirakan setidaknya ada 32.000 kasus baru yang dilaporkan dan 20.000 kematian setiap tahunnya. 5,6 Lebih dari enam puluh persen pasien mieloma multipel di Indonesia berusia lebih dari 50 tahun (65,71%) dengan perbadingan jenis kelamin yang kurang lebih sama antara pria dan wanita. Kurang lebih lima puluh persen pasien bersuku Jawa, dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tidak bekerja. Lima puluh tiga persen pasien memiliki kurang dari 30% sel plasma di sumsum tulangnya dengan 70% pasien tidak memiliki proteinuria Bence Jones dan 80% pasien memiliki serum monoclonal gammopathy yang positif. Persentase 4

sel plasma di sumsum tulang lebih banyak ditemukan pada pasien yang berusia lebih muda (34,05% vs. 24,24% vs. 7,5%). 7 2.3. Etiologi Penyebab Myeloma multipel belum jelas. Paparan radiasi, benzena, dan pelarut organik lainnya, herbisida, dan insektisida mungkin memiliki peran. Myeloma multipel telah dilaporkan pada anggota keluarga dari dua atau lebih keluarga inti dan pada kembar identik. Beragam perubahan kromosom telah ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan predominan kelainan pada 11q. 8 2.4. Lokasi Lokasi predominan Myeloma multipel mencakup tulang-tulang seperti vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan femur. 9 Awal dari pembentukan tulang terjadi di bagian tengah dari suatu tulang. Bagian ini disebut pusat-pusat penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya yang disebut pusat-pusat penulangan sekunder. 10 Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut: 1. Diafisis Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang yang dibentuk oleh pusat penulangan primer, dan merupakan korpus dari tulang. 2. Metafisis Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang (diafisis). 5

3. Lempeng epifisis Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anakanak, yang akan menghilang pada tulang dewasa. 4. Epifisis Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder. Gambar 1. Bagian dari tulang panjang matur 10 Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan 6

ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tesebut dikelompokkan menjadi : 1. Ossa longa (tulang panjang): tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contohnya os humerus dan os femur. 2. Ossa brevia (tulang pendek): tulang yang ukurannya pendek, contoh: ossa carpi. 3. Ossa plana (tulang gepeng/pipih): tulang yg ukurannya lebar, contoh: os scapula. 4. Ossa irregular (tulang tak beraturan), contoh: os vertebrae. 5. Ossa sesamoid, contoh: os patella. 7

Gambar 2. Sistem rangka pada manusia (A) tampak anterior dan (B) tampak lateral 10 2.5. Patofisiologi Tahap patogenesis pertama pada perkembangan myeloma adalah munculnya sejumlah sel plasma clonal yang secara klinis dikenal MGUS (monoclonal gammanopathy of undetermined significance). Pasien dengan 8

MGUS tidak memiliki gejala atau bukti dari kerusakan organ, tetapi memiliki 1% resiko progresi menjadi myeloma atau penyakit keganasan yang berkaitan. 6 Perkembangan sel plasma maligna merupakan suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan perubahan sel plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi gen supresor tumor dan gangguan regulasi gen sitokin. Keluhan dan gejala pasien myeloma mutipel berhubungan dengan ukuran massa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma, seperti para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (OAF). Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik, dan krioglobulinemia. Karena pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung. 6 Patogenesis dan gambaran klinis pada Myeloma multipel 8 Temuan Penyebab yang mendasari Patomekanisme Hipercalsemia, fraktur patologi, kompresi saraf, lesi litik tulang, osteoporosis, nyeri tulang Nefropati Destruksi tulang Light chain proteinuria, hiperkalsemia, urate nephropathy, glomerulopati amiolodi (jarang) Pielonefritis Ekspansi tumor; produksi osteoclast activating factors OAF) oleh sel-sel tumor Efek toksik produk tumor, light chain, OAF, akibat kerusakan DNA hipogammaglobulinemia 9

Infeksi Neuropati Hipogammaglobulinemia, penurunan migrasi neutrofil Hiperviskositas, krioglobulin, deposit amiloid, hiperkalsemia, kompresi medulla spinalis atau saraf kepala Penurunan produksi yang berkaitan dengan tumor induced suppression, peningkatan katabolisme IgG Produk tumor ; sifat protein M ; light chain OAF Anemia Inhibisi secara langsung Penggantian sumsum terhadap proses tulang oleh tumor, hematopoesis perubahan megaloblastik yang menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat Perdarahan Berhubungan dengan Produk tumor ; antibody factor pembekuan, terhadap factor kerusakan amiloid pembekuan ; light chain, endothelium, disfungsi lapisan antibody platelet platelet Tabel patomekanisme dan gambaran klinis pada Myeloma multipel 8 2.6. Diagnosis Diagnosis Myeloma multipel dapat ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan patologi anatomi. a. Gejala klinis Gejala yang umum pada Myeloma multipel adalah lemah, nyeri pada tulang, dan infeksi yang berulang. Anemia terjadi pada sekitar 70% pasien yang terdiagnosis. Nyeri pada tulang merupakan gambaran paling sering pada Myeloma multipel dengan persentasi sekitar 70%. Lokasi yang paling sering terjadi pada tulang vertebra lumbalis. 13 10

Fraktur patologis sering ditemukan pada Myeloma multipel. Kompresi tulang belakang terjadi pada 10-20% pasien. Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi tulang belakang berupa nyeri punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Kadang ditemukan pasien datang dengan keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-gejala hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa haus dapat ditemukan pada 30% pasien. Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi Pneumococcus, shingles dan Haemophilus 11 Pada pemeriksaan fisis tidak spesifik, atau dapat ditemukan : 14 Pucat yang disebabkan oleh anemia Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori, lemah, atau carpal tunnel syndrome. Nyeri lokal bagian bagian tulang Panjang tubuh dapat banyak menurun karena infraksi vertebra Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien Myeloma multipel. b. Laboratorium Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal. Thrombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang ; proporsi plasma sel jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemia ditemukan 11

pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi. 6,8 Gambar 3. Elektroforesis protein serum menunjukkan paraprotein (memuncak pada zona gamma) pada pasien dengan myeloma multipel 8 Gambaran radiologi 1) Foto polos x-ray Gambaran foto x-ray dari Myeloma multipel berupa lesi multiple, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla, mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi. 6,8,11,15,16 12

Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan : Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan myeloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai. 11 Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis. Lesi-lesi litik punch ou: yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa jaringan lunak. Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%. 15 13

Gambar 3. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik yang khas pada myeloma 9 Gambar 4. Foto lumbal lateral menggambarkan deformitas pada CV lumbal 4 akibat plasmacytoma 9 14

Gambar 5. Gambaran radiologi pada os femur dekstra. Tampak gambaran khas suatu lesi myeloma tunggal berupa gambaran lusen berbatas tegas pada regio interocanter. Lesi-lesi lebih kecil tampak pada trocanter mayor 9 2) CT-Scan Umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi. 9 Gambar 6. CT Scan axial pada plenoid yang menggambarkan lesi berbatas tegas, gambaran khas myeloma pada CT scan. Korteks tampak intak 9 15

3) MRI MRI potensial digunakan pada Myeloma multipel karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2. 8,9,15 Sayangnya, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis Myeloma multipel seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang. 9 Gambar 7. Foto potongan koronal T1 weighted-mri pada suatu lesi myeloma di humerus. Gambaran ini menunjukkan lesi dengan intensitas rendah. Batas korteks luar terkikis tetapi intak ; namun, lesi telah melewati korteks bagian dalam 9 16

Gambar 8. T1 weighted-mri dari humerus. Gambaran ini memperlihatkan lesi myelomatosa yang predominan hipointens hingga isointens pada medulla dari diafisis. Lesi tampak pada aspek anterior korteks 9 4) Radiologi Nuklir 9 Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik (formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis Myeloma multipel tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi. 5) Angiografi 9 Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona perifer dari peningkatan vaskularisasi. Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk mendiagnosis Myeloma multipel. c. Patologi Anatomi 14,15 Pada pasien Myeloma multipel, sel plasma berproliferasi di dalam sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 3 kali dari 17

limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik. Gambar 9. Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan sel-sel plasma Myeloma multipel. Tampak sitoplasma berwarna biru, nukleus eksentrik, dan zona pucat perinuclear (halo) 14 Gambar 10. Biopsi sumsum tulang menunjukkan lembaran sel-sel plasma ganas pada Myeloma multipel 14 18

Kriteria diagnosis myeloma multipel: Kriteria Mayor: 1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan 2. Sel plasma sumsum tulang >30% 3. M protein : IgG >35 g/dl, IgA >20 g/dl, kappa atau lambda rantai ringan pada elektroforesis urin Kriteria Minor A. Sel plasma sumsum tulang 10-30% B. M protein pada serum dan urin (kadar lebih kecil dari poin nomor 3) C. Lesi litik pada tulang D. Normal residual IgG <500 mg/l, IgA <1g/L, atau IgG <6g/L Diagnosis ditegakkan bila terdapat kriteria 1 mayor dan 1 minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi kombinasi A dan B. Kombinasi 1 dan A bukan merupakan myeloma multipel. Sistem derajat Myeloma multipel 6-8,14 Saat ini ada dua derajat Myeloma multipel yang digunakan yaitu Salmon Durie system yang telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging System yang dikembangkan oleh the International Myeloma Working Group dan diperkenalkan pada tahun 2005. 19

Salmon Durie staging : a) Stadium I Level hemoglobin lebih dari 10 g/dl Level kalsium kurang dari 12 mg/dl Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dl, IgA < 3 g/dl, urine < 4g/24 jam) b) Stadium II Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun stadium III c) Stadium III Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dl Level kalsium lebih dari 12 g/dl Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dl, IgA > 5 g/dl, urine > 12 g/24 jam) d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dl e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl International Staging System untuk Myeloma multipel a) Stadium I β2 mikroglobulin 3,5 g/dl dan albumin 3,5 g/dl CRP 4,0 mg/dl Plasma cell labeling index < 1% 20

Tidak ditemukan delesi kromosom 13 Serum Il-6 reseptor rendah durasi yang panjang dari awal fase plateau b) Stadium II Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dl, atau Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dl c) Stadium III Beta-2 microglobulin >5.5 g/dl 2.7. Diagnosis Banding Diagnosis Myeloma multipel seringkali jelas karena kebanyakan pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium, termasuk trias berikut : 6 Protein M serum atau urin (99% kasus) Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang Lesi osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang. Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding Myeloma multipel berupa MGUS, smoldering myeloma, amiloidosis primer, dan metastasis karsinoma. 6 Perbedaan pasien MGUS (benign monoclonal gammanophaty) dengan pasien yang mengalami MM sulit bila pada awalnya ditemukan protein M. pada pasien asimtomatik, protein M < 3g/dL, kurang dari 10% plasma sel sumsum tulang, tidak ditemukan lesi osteolitik, anemia, hiperkalsemia, atau gangguan ginjal merupakan ciri dari MGUS. 6 21

Pada pasien asimptomatik dengan nilai protein M lebih dari 3 g/dl dan sel plasma sumsum tulang lebih dari 10% sesuai untuk diagnosis smoldering myeloma. Pada pasien asimptomatik dengan protein M lebih dari 3g/dL dan monoclonal light chain pada urine, MM lebih dipertimbangkan. 6 Perbedaan antara amiloidosis dan MM sulit karena keduanya merupakan gangguan proliferative sel plasma dengan gejala-gejala berbeda tetapi gambaran yang tumpang tindih. Pada amiloidosis, proporsi sel plasma sumsum tulang biasanya kurang dari 20%, tidak ditemukan lesi osteolitik, dan jumlah protein bence Johnson sedang. 6 Pada pasien tanpa komponen protein M dalam serum maupun urine, tetapi ditemukan lesi osteolitik, suatu metastase kanker seperti hipernefroma, sebaiknya diekslusi sebelum diagnosis nonsecretory myeloma dipertimbangkan. Pada pasien dengan gejala konstitusional, lesi osteolitik yang tersebar, komponen protein M sedang, dan kurang dari 10% sel plasma sumsum tulang, metastase kanker dengan MGUS harus diekslusi. 6 2.8. Penatalaksanaan Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib dan lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang bermakna pada myeloma. Lenalidomide, dengan pemberian oral merupakan turunan dari 22

thalidomide.obat pengalkil seperti melphalan dan siklofosfamid paling efektif. Kombinasi melphalan dan prednison menunjukkan angka respon 50-60%. 4,6,8 Setelah pemberian terapi awal (terapi induksi) terapi konsolidasi yang optimal untuk pasien berusia kurang dari 70 tahun adalah transplantasi stem sel autolog. Transplantasi ini secara potensial menyembuhkan myeloma, namun peranannya terbatas karena tingkat mortalitas yang tinggi sekitar 30 50%. 6,9 Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis. Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang. 6 23

Gambar 11. Pendekatan penatalaksanaan pada pasien baru terdiagnosis Myeloma multipel(mm). ASCT = autologous stem cell transplantation; CR = complete response; Dex = dexamethasone; MP = melphalan plus prednisone; MPT = MP plus thalidomide; Rev/Dex = lenalidomide (Revlimid) plus Dex; Thal/Dex = thalidomide plus Dex; VGPR = very good partial response 8 24

2.9. Prognosis Meskipun rerata pasien Myeloma multipel bertahan kira-kira 3 tahun, beberapa pasien yang mengidap Myeloma multipel dapat bertahan hingga 10 tahun tergantung pada tingkatan penyakit. 13 Berdasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie System, angka rerata pasien bertahan hidup sebagai berikut : 6 Stadium I > 60 bulan Stadium II, 41 bulan Stadium III, 23 bulan Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk. Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International staging system maka rerata angka bertahan hidup pasien dengan Myeloma multipel sebagai berikut : 6 stadium I, 62 bulan stadium II, 44 bulan Stadium III, 29 bulan. 25

BAB III PENUTUP Myeloma multipel merupakan suatu keganasan hematologik yang masih belum dapat diobati dan memiliki prognosis yang buruk, namun dengan penanganan yang tepat dan sedini mungkin, penyakit ini dapat dikelola dengan baik. 26

DAFTAR PUSTAKA 1.. Mieloma Multipel (Myeloma multipel)[online]. Available from http://medicastore.com/penyakit_subkategori/12/index.html. 2. McPhee,Stephen J., Maxine A. Papadakis, Lawrence M. Tierney,Jr. 2008. Multiple Myeloma in 2008 Current Medical and Treatment. San Fransisco : Mc Graw Hill-Lange 3. Dugdale,David C. Yi-Bin Chen, David Zieve. 2009. Multiple Myeloma[online]. available from http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000583.htm. 4. Kyle,Robert A., S. Vincent Rajkumar. 2004. Drug Therapy : Multiple Myeloma [online]. Available from http://www.nejm.com. 5. Glass,Jonathan, Reinhold Munker. Multiple Myeloma and Other Paraproteinemias in : Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey : Humana Press. Hlm 271-294 6. Richardson,Paul, Teru Hideshima, Kenneth C. Anderson. Multiple Myeloma and Related Disorders in : Clinical Oncology 3 rd ed. Philadelpia : Elsevier Churcill Livingstone. Hlm. 2955-2970 7. Tadjoedin et al. Multiple Myeloma in Indonesia. Indonesian Journal of Cancer. 2011. 5(2): 76-81. 8. Kyle, Robert K. 2000. Plasma Cell Disorders in Cecil Textbook of Medicine 21 th ed. New York : Elsevier Churcill Livingstone. Hlm 977-982. 9. Longo, Dan L., Kenneth C. Anderson,Dennis L. Kasper, et al. 2005. Plasma Cell Discrasia in Harrison s Principles of Internal Medicine 16 th ed. New York : McGraw Hill Medical Publishing Division 10. Sorenson, Steven M., Amilcare Gentili, Sulabha Masih. Multiple Myeloma [online]. available from http://emedicine.medscape.com/article/391742- overview. 11. Waugh,Anne, Allison Grant. 2001. Anatomi and Physiology in Health and Illness. New York : Churcill Livingstone. p. 388-392 12. Patel, Pradip R. 2005. Lecture Notes Radiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga. p. 205-206 13. Herring, William. 2007. Learning Radiology : recognizing the basic / William Harring 1 th ed [online]. Available from http://www.learningradiology.com. Diakses tanggal 4 November 2009 27

14. Rajkumar, S. Vincent, Robert A. Kyle. 2005. Multiple Myeloma : Diagnosis and Treatment [online]. Mayo Clin Proc. 2005;80(10):1371-1382 15. Grethlein, Sara J., Lilian M Thomas. 2009. Multiple Myeloma [online]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/204369-overview. 16. Kumar,Vinay, Ramzi S. Cotran, Stanley R. Robbin. 2008. Robbins Buku Ajar Patologi edisi 7. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hlm. 481-484 17. Eisenberg, Ronal L., Nancy M. Johnson. 2000. Comprehensive Radiographic Pathology. New York : Mosby Elsevier. Hlm135-136 28